-7-
👠 -FALLEN- 👠
Revisi-01
~•¤•♢👠♢•¤•~
[PART 07]
~•¤•♢👠♢•¤•~
Rasanya aku bisa mendengar dentum jantungku sendiri, seiring dengan gema hak sepatuku ketika kami melangkah ke gedung parkir yang ternyata terhubung langsung dari lantai gedung kantor Luke. Aku tidak tahu apakah perasaan gelisah ini merupakan akibat dari pilihanku yang cukup tidak biasa atau karena aku yakin sebentar lagi aku akan berhadapan dengan si peneror kurang kerjaan.
Luke berhenti di depan Ferrari berwarna merah marun, lalu membuka kunci dengan remot di sakunya. Aku ikut berhenti dan mengerjap beberapa kali pada mobil yang bermuatan dua orang tersebut.
"Apa ini benar-benar mobilmu?" tanyaku tidak yakin.
"Well, kau tidak harus menjadi seorang CEO untuk bisa memiliki mobil mewah." Luke membukakan kursi penumpang dan membungkuk sopan padaku.
"Tapi kau hanya perlu menjadi Lucas Ferrel," lanjutnya ketika bokongku sudah mendarat dengan manis di bantalan kursi nyamannya, kemudian ia menutup pintu sambil mengedipkan mata.
Rupanya Black Corporation jauh lebih besar dan kaya daripada yang kubayangkan. Maksudku, ini hanya mobil manajernya. Bagaimana dengan direkturnya?
Aku masih duduk terpaku ketika Luke sudah menduduki kursi pengemudi. Luke menatapku dan tersenyum sesaat, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku. Selama sepersekian detik, bagian otakku yang cukup gila mengira kalau ia akan memelukku atau semacamnya, hingga akhirnya ia meraih sabuk pengaman berwarna merah di samping kanan kursiku. Aku jadi merasa seperti orang tolol.
"Ehm, maaf," aku berdeham sambil menarik sabuk itu dari tangannya, "aku tahu bagaimana caranya menggunakan sabuk pengaman."
Luke hanya mengangkat sebelah alisnya, kemudian tersenyum singkat ketika aku sudah selesai dengan sabuk sialan itu. Memangnya siapa yang tidak bisa memakai sabuk pengaman, sekalipun kau berada di salah satu dari sepuluh besar mobil yang paling diidamkan tahun ini?
Selama beberapa saat kami tidak mengatakan apa pun, hingga akhirnya Luke membuka suara ketika kami sudah memasuki jalan besar. "Kuharap kau tidak mengajakku makan siang karena urusan bisnis."
Aku yang sedari tadi sibuk melirik kaca spion di samping jendelaku sedikit terlonjak. "Tidak. Lagipula ini jam makan siang. Untuk apa kita menyia-nyiakan waktu istirahat kita untuk bekerja?" ujarku sambil menatapnya sekilas.
Luke tertawa, tapi pandangannya masih fokus pada jalan di depan. "Kau benar. Tapi beberapa partner bisnisku melakukan hal itu."
"Bisa kulihat hidupmu sungguh menjenuhkan," balasku asal sambil kembali melirik kaca spion, berusaha mencari kendaraan mencurigakan yang mungkin saja mengikuti kami.
"Sangat," ia menyetujui, "tapi kurasa tidak sejenuh orang yang kuliah sambil bekerja. Maksudku, apakah terkadang kau harus membagi tubuhmu menjadi beberapa bagian? Bagaimana jika seandainya kau ada kelas kuliah sementara kau harus menghadiri meeting penting?"
"Jam kerjaku fleksibel, sudah diatur dengan sangat baik sehingga tidak akan berbentrokan dengan jadwal kuliah," jawabku hati-hati, berusaha untuk tidak menyinggung kalau semua jam kerja fleksibel itu berkat hubunganku dengan bos besar perusahaan tempat aku bekerja.
"Berapa usiamu?"
Hmm. Pertanyaan yang cukup sensitif.
"Delapan belas." Aku menegakkan punggungku ketika menemukan sedan hitam yang sedari tadi mengikuti di belakang mobil Luke. Mencurigakan.
Luke mengumpat pelan. "Delapan belas?" tanyanya tidak percaya. "Kau benar-benar tampak ... dewasa." Aku merasa tatapannya tertuju padaku sekarang.
Mau tidak mau aku balas menatapnya sambil mengangkat alis, "Apa itu cara halusmu untuk mengatakan aku tampak tua?"
Sebenarnya Luke bukan orang pertama yang menganggap begitu. Orang-orang di kantorku selalu mengira aku berumur dua puluhan atau semacamnya. Entah karena gaya bicaraku atau selera berpakaianku. Jossy bahkan mengira kalau aku lebih tua darinya---tidak mengherankan, karena dia sendiri tampak begitu ... kecil.
"Tidak, tentu saja tidak!" sergah Luke sambil menggeleng. Ia kembali menatap ke kaca depan mobil. "Percayalah, yang tadi itu pujian. Aku tidak heran perusahaanmu menerimamu dan mau menyesuaikan jam kerjamu dengan jam kuliah."
Aku mendengus. Dia tidak tahu kalau aku diterima di perusahaan pamanku karena, ya, tentu saja sebagian besar faktornya dipengaruhi oleh hubungan darah yang kami miliki.
"Aku dua puluh empat tahun," katanya, tepat saat aku mengeluh tanpa sadar ketika mobil hitam yang kuamati tadi berbelok ke jalan lain.
Luke terkekeh, "Terkadang umur hanyalah sebuah angka. Lagipula enam tahun tidak jauh."
Sepertinya ia salah mengartikan keluhanku. Maksudku, aku bahkan tidak berniat menanyakan usianya.
"Umur itu selalu angka. Sejak kapan kau mendengar ada umur dalam bentuk huruf?" Aku tertawa kecil. Kemudian perhatianku teralihkan kembali oleh minibus putih berkaca gelap.
"Bagaimana jika 24 ditulis dalam bentuk kalimat?" kekehnya ketika kami berhenti di lampu merah. "Bercanda. Maksudku begini, umur bagai sebuah gelar. Seperti izajah, yang akan kau dapatkan dan menjadi sebuah penilaian untuk melamar pekerjaan. Tapi setelah itu, semua itu bahkan sudah tidak terlalu berarti lagi."
Aku mengerti maksudnya.
"Yeah, sampai kau melamar pekerjaan selanjutnya," tambahku.
Aku mulai menyerah ketika minibus berkaca gelap tersebut berbelok ke jalan lain alih-alih ikut berhenti menunggu lampu merah bersama mobil lainnya. Tiba-tiba aku merasa konyol. Bagaimana jika setelah ini ternyata aku tidak akan menerima surat apa pun? Barangkali si peneror juga tidak ingin menyia-nyiakan jam istirahat makan siangnya.
Tunggu, tapi kemarin ia pernah mengirimiku surat ketika jam makan siang.
"Ada yang menarik di luar sana?" tanyanya sambil melirikku. Akhirnya Luke menyadari ketertarikanku yang tidak wajar pada kaca spion mobilnya.
"Bukan apa-apa," balasku sambil bersender dan menatapnya. "Apa kau sudah punya pacar? Atau ada wanita yang menyukaimu?"
Luke tampak agak terkejut dengan pertanyaan frontalku. Kemudian ia terkekeh, "Takut punya saingan, Nona?"
Aku tertawa mengimbanginya. "Hanya penasaran."
Ia masih tidak bisa menahan senyumnya ketika lampu lalu lintas sudah berpindah ke warna hijau. "Well, sejujurnya aku belum dekat dengan wanita manapun. Kecuali kau, kau berada di sampingku sekarang."
Aku tersenyum dan memikirkan dua kemungkinan. Pertama, Luke terlalu cuek hingga ia tidak menyadari kalau ada wanita yang terobsesi padanya hingga mengirimkan surat-surat teror pada wanita lain yang dekat dengannya. Kedua, Luke adalah playboy kelas berat, jadi ia berbohong.
Berhubung aku punya jiwa optimis, mari kita pegang pilihan pertama. Kuharap kau juga berpikiran positif.
Kemudian kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Beberapa kali Luke menoleh ke arahku, yang membuatku merasa seolah ia sendiri sedang berusaha menyelami pikiranku, dan aku nyaris tenggelam ke dalam iris coklat madunya---
Tunggu. Apa aku baru saja mengatakan 'tenggelam ke dalam bola matanya'? Sial, aku benar-benar mulai terpengaruh dengan novel-novel Sheila. Kurasa aku harus berhenti membaca cerita yang seperti itu.
Tiba-tiba ponselku berdering, memecah keheningan yang canggung ini. Aku mengaduk-aduk isi tasku, mencari sumber benda yang bergetar tersebut dengan lega. Terpujilah siapapun yang meneleponku.
"Ann! Aku mencarimu di kantor dan kau tak ada," seru Sam di seberang telepon.
"Maaf, aku sedang di luar," aku nyengir. Sudah beberapa minggu lebih, Sam tidak pernah menjemputku untuk makan siang bersama.
"Kau makan siang di luar? Bersama siapa?"
"Semacam rekan bisnis," tanpa sadar aku melirik Luke dari sudut mataku dan mendapati kalau pandangannya masih tertuju ke jalan. Tunggu, kenapa gestur tubuhku jadi seperti orang yang ditelepon pacarnya ketika berselingkuh, sih?
"Pantas saja Jossy juga tidak di tempat."
"Aku bukan keluar dengan Jossy. Tapi dengan rekan kerja perusahaan lain."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki."
"Oke, aku cemburu."
Aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak. "Astaga, sejak kapan kau jadi seprotektif ini?"
"Sejak kita dijodohkan," ia terkekeh.
"Dipasangkan," ralatku.
"Aku lebih suka kata 'dijodohkan', karena artinya kita pasti akan menikah, dan bisa dibilang kau adalah calon istriku," ucapnya riang.
"Hmm," gumamku. Walaupun orangtua kami sepakat kalau kami akan menikah setelah lulus kuliah, yang berarti tiga tahun lagi---empat, kalau beruntung---, aku masih belum terbiasa dengan istilah itu.
"Ann," panggilnya. "Kau jarang keluar dengan orang lain selain Jossy dan Sheila---dan aku tentunya. Jadi badai apa yang memaksamu harus makan siang bareng rekan kerja?" Ia menekan kata 'rekan kerja' pada kalimatnya.
"Ada hal penting yang harus kuurus," aku mengecilkan suaraku.
"Woah! Misterius sekali. Ada apa?" tanyanya penasaran.
Yeah, ada seorang perempuan gila yang menerorku setiap kali aku dekat dengan Luke, manajer biasa di perusahaan besar. Jadi aku sengaja berada di dekat Luke untuk memancingnya keluar, dan mungkin menjejalkan surat-surat itu ke dalam mulutnya sebelum ia menjambak rambutku.
Tapi aku tidak bisa mengatakan itu selama Luke berada di dekatku. Jadi aku hanya berkata pada Sam di telepon, "Aku akan menceritakan padamu nanti. Daah!"
"Apakah itu pacarmu?" Luke bertanya dengan nada santai setelah aku memutuskan sambungan telepon.
"Bukan," kataku sambil menyimpan ponsel ke dalam tas kulit berwarna putih, yang sebentar lagi akan pensiun karena aku bakal menggantikannya dengan tas Chanel hitam setelah gajian minggu depan.
Luke tertawa, tampak lega.
"Tapi dia calon suamiku," lanjutku, sedikit tidak percaya karena akhirnya aku menggunakan istilah itu juga.
Kemudian ia berhenti tertawa. Itu bukan masalah besar.
Yang menjadi masalah adalah, saat itu juga tiba-tiba ia menghentikan mobilnya, begitu mendadaknya hingga aku terlonjak beberapa senti dari kursi dan kepalaku nyaris saja menghantam kaca depan mobil. Percayalah, belum pernah aku merasa seberterima kasih ini pada sabuk pengaman yang menahan tubuhku dari benturan yang mungkin akan menyebabkan kepalaku pecah.
"Ada apa?" Aku tidak bisa tidak kesal.
"Maaf," ucapnya datar. "Kita sudah sampai."
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top