-6-
👠 -FALLEN- 👠
Revisi-01
~•¤•♢👠♢•¤•~
[PART 06]
~•¤•♢👠♢•¤•~
Setidaknya ada satu hal yang kuketahui dengan jelas sekarang, kalau Lucas Ferrel ternyata bukanlah CEO muda seperti yang dibayangkan Sheila. Well, yeah, tentu saja aku hanya akan meeting dengan seorang manajer biasa---dengan Maggie juga---, bukannya bertemu langsung dengan CEO muda tampan yang memiliki rahasia gelap hingga akhirnya kami terlibat skandal....
Tentu saja, hal-hal semacam itu hanya terjadi di novel-novel yang selalu menjadi favorit Sheila.
"Aku ingin kau mencatat poin-poin penting dari meeting kami." Maggie menyerahkan sebuah buku kecil dan bolpoin padaku ketika kami keluar dari gedung parkir dan berjalan menuju gedung kantor utama Black Corporation.
Dekorasi serba hitam lobi yang familier tersebut langsung menyambut kami begitu kami melangkah masuk melewati pintu kaca. Kami berjalan melewati pilar-pilar hitam metalik dan susunan sofa beludu abu-abu gelap di sisi ruangan tempat beberapa pria dan wanita berjas mendiskusikan sebuah map besar di atas meja kaca hitam rendah, kemudian menuju ke meja resepsionis berbentuk setengah lingkaran di ujung ruangan.
Setelah Maggie menunjukkan kartu nama, kartu identitas, dan surat janji temu yang dikirimkan Luke melalui email tadi lalu kucetak, seorang resepsionis dengan rambut pirang disanggul rapi mengantar aku dan Maggie menuju lift. Tepat ketika pintu lift membuka, seorang pria paruh baya yang agak gemuk keluar dari dalamnya bersama seorang pria lain yang lebih muda dan jangkung.
"Selamat siang, Mr. Wright," resepsionis itu membungkukkan badannya sekilas dengan sopan.
Maggie tampak terkejut mendengar panggilan itu, tapi sedetik kemudian ia berusaha menetralkan ekspresinya. "Mr. Wright," sapanya sambil tersenyum lebar, yang menjadi pemandangan langka bagiku karena sebelumnya Maggie tidak pernah tampak segembira itu ketika bertemu dengan makhluk hidup mana pun. Ia mengulurkan tangannya dengan semangat. "Senang bisa bertemu dengan Anda. Namaku Maggie Howard, dari Epticon. Aku baru saja akan menghadiri janji temu dengan Mr. Ferrel mengenai---"
"Ah, senang berkenalan denganmu, Ms. Howard," pria paruh baya itu menyambar tangan Maggie dengan buru-buru. "Kebetulan aku punya janji juga, tapi bukan dengan Mr. Ferrel." Entah kenapa aku merasa nadanya sedikit sinis ketika mengucapkan nama Luke. "Jadi, sampai jumpa nanti."
"Siapa Mr. Wright?" tanyaku ketika kami memasuki lift.
Maggie memberiku tatapan menegur seolah pertanyaanku bodoh, lalu ia melirik resepsionis yang menekan tombol angka tujuh di lift. Setelah memastikan kalau si resepsionis tampak tidak tertarik atau memerhatikan, Maggie berbisik pelan, "Dia CEO Black Corp."
Tentu saja, tidak ada CEO muda yang seksi di sini.
Resepsionis itu mengantar kami berjalan di koridor yang cukup lebar ketika kami tiba di lantai tujuh. Karpet beludu hitam meredam suara hak sepatuku, membuat suasana terasa jauh lebih sunyi, dan ditambah dengan lukisan abstrak berbingkai hitam di sepanjang koridor dan dinding bercorak garis hitam halus, lantai gedung ini terasa lebih misterius.
Aku tidak pernah sedramatis ini sebelumnya, tapi mau tidak mau aku harus merasa kalau setiap langkah yang kuambil ini seolah membawaku pada suatu hal, dan semua itu sudah direncanakan.
Oke, ternyata terlalu banyak membaca novel misteri juga tidak terlalu bagus.
Resepsionis berseragam hitam itu berhenti dan menekan sebuah tombol pada interkom di samping pintu bernomor 707, dengan sebuah label plastik bertuliskan nama dan jabatan Luke di bawahnya. "Mr. Ferrel," ucap si resepsionis pada interkom, "Ms. Howard dan rekannya sudah tiba."
Sebuah suara 'beep' pelan terdengar, diikuti dengan suara berat seorang pria yang familier di telingaku. "Masuk."
Kami melewati pintu yang dibuka si resepsionis sementara wanita bersanggul pirang itu membungkuk sopan dan berjalan pergi. Ruangan kantor Luke berukuran tiga kali luas kantorku (padahal ruang kantorku ditempati oleh aku, Jossy, dan Frank), dengan lantai hitam mengilap yang memantulkan bayangan-bayangan perabotan mahal di atasnya. Perhatianku tertarik pada sebuah biola hitam yang dipajang di salah satu sudut ruangan, sebelum akhirnya aku mengalihkan pandanganku ketika merasa sepasang mata tajam menatapku dari sisi ruangan.
Luke, memakai kemeja biru gelap yang dibalut dengan jas hitam, bersandar dengan santai pada kursi kerjanya sambil tersenyum tipis padaku. Anehnya, ia sama sekali tidak tampak terkejut. Entah mungkin karena ia sudah melupakan wajahku atau hanya ingin terlihat profesional.
"Boleh juga," bisik Maggie sambil terkesiap di sebelahku. Sepertinya ia tidak pernah menyangka kalau manajer yang akan ia temui ternyata masih berusia muda dan ... baiklah, tampan, dengan bola mata madunya yang unik dan janggut pendek di sekitar dagunya yang tampak belum dicukur tadi pagi. Sebagai sesama perempuan, aku tidak menyalahkan hormon estrogen Maggie, walaupun ia sendiri sudah berusia awal tiga puluhan dan Luke mungkin saja masih sekitar pertengahan dua puluhan.
"Selamat pagi, Mr. Ferrel. Saya Maggie Howard dari Epticon," Maggie menjabat tangan Luke dengan agak gemetaran. Lalu ia menunjukku. "Dan ini---"
"Anna Rosen. Senang bertemu denganmu lagi," potong Luke sambil menjabat tanganku. Maggie menatapku sambil mengangkat alisnya keheranan, tapi Luke tampak tidak menyadarinya. "Baik, silakan duduk." Luke bangkit sambil menunjuk sofa hitam nyaman di depan meja kerjanya. Sofa itu mengarah ke sisi kiri ruangan, sehingga berhadapan langsung dengan sinar matahari yang menembus melalui jendela kaca raksasa yang menutupi seluruh sisi tersebut, memanjang dari atap hingga lantai. Aku bisa membayangkan, bakal nyaman sekali menyesap kopi panas sebelum masuk kerja sambil membenamkan diri di sofa itu, menikmati matahari yang baru terbit.
Jika menjadi manajer saja bisa mendapat kantor sekeren ini, aku tidak berani membayangkan ruangan Mr. Wright.
Setelah beberapa detik kami duduk di sofa dan terdiam canggung, akhirnya Maggie merapikan jasnya dan berdeham di sampingku sambil berusaha menatap Luke dengan percaya diri. "Saya rasa saya sudah mengirim e-mail pada Anda mengenai gambaran produk kami yang akan diterapkan dalam proyek perusahaan Anda. Sekarang kami akan menjelaskan detailnya."
Pembicaraan berlanjut ke penjelasan-penjelasan produk dan promosi produk yang dilakukan Maggie dengan gugup, walaupun sebenarnya hampir semua kalimat yang ia katakan merupakan salinan mentah dari brosur-brosur yang kubaca tadi.
Aku tidak yakin kalau ada hal penting yang harus ditulis, tapi karena aku tidak ada kerjaan dan Luke terus menerus melirikku, jadi kutundukkan kepalaku sambil berpura-pura serius menulis di buku catatan yang kuletakkan di atas pahaku.
".... dan Anda bisa melihat spesifikasi yang lebih lengkap untuk model ini di halaman... Umm...." Maggie membolak-balikkan katalog di atas meja dengan kebingungan.
"Halaman lima puluh sembilan," cetusku, hanya karena kebetulan aku mengingatnya. Tapi sukses membuatku mendapat peran yang cukup bagus di sini, karena Maggie langsung mengangguk puas, dan Luke semakin tertarik menatapku.
"Bagaimana kalian bisa berpendapat kalau produk kalian lebih tepat untuk kami dibanding produk lain?" Kali ini perhatian Luke terlalihkan sepenuhnya padaku.
"Seperti yang sudah dibilang Ms. Howard tadi, tentu saja karena kualitas. Anda orang yang cerdas dan pandai menilai. Saya yakin Anda sudah pernah mendengar merek kami secara luas di pasaran."
"Kita sedang membicarakan tiga ratus unit printer di sini. Itu bukan angka yang kecil."
"Oleh karena itulah kami menawarkan spesifikasi standar dengan harga terjangkau. Itu adalah solusi terbaik untuk semua masalah yang telah Anda jelaskan tadi," ucapku, diam-diam berharap kalau aku mengatakan hal yang tepat. Ini adalah pertama kalinya aku berkomunikasi langsung dengan klien.
"Benar, kami akan menghitung total biaya yang akan dikeluarkan jika Anda menggunakan produk kami, sebagai pertimbangan. Saya akan mengirimkan laporannya nanti," jelas Maggie sambil berusaha tersenyum manis. Tapi tatapan Luke masih terpaku padaku.
"Baik. Aku akan menerima tawaran kalian jika Anna yang menangani ini," Luke menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa sambil tersenyum miring.
Oh, bagus. Dapat referensi dari novel percintaan mana dia?
"Maaf, Mr. Ferrel," kata Maggie hati-hati. "Ms. Rosen memang asistenku, tapi Anna belum memiliki izin untuk menangani proyek ini."
Kemudian tawa Luke pecah. "Bercanda. Aku mana bisa memutuskan seenaknya begitu. Tawaran kalian akan kami pertimbangkan lagi di meeting internal perusahaan kami."
Aku menghembuskan napas dengan lega, setelah kusadari kalau ternyata dari tadi aku sedang menahan napas.
Maggie juga menghela napas, lalu ikut tertawa bersama Luke. "Baiklah, Mr. Ferrel, kami tunggu kabar baik dari Anda." Kemudian mereka kembali berjabat tangan.
"Terima kasih, Mr. Ferrel," kataku ketika ia menjabat tanganku.
"Panggil aku Luke." Ia belum melepaskan tanganku.
"Baik, trims, Luke." Aku tersenyum seprofesional mungkin sampai akhirnya ia melepaskan tanganku.
Setidaknya ini tidak akan berjalan lebih jauh.
.
Atau tidak, karena ketika Maggie dan aku berjalan menuju ke parkiran, kami mendapati kertas yang terselip di antara celah jendela sedan peraknya, yang segera kusambar sebelum Maggie. Seharusnya aku tidak heran lagi melihat tulisan familier di atas kertas itu, sama tidak terkejutnya dengan ketika Sheila mengatakan kalau ia baru saja memutusi cowok yang ia pacari tiga hari yang lalu.
'Selamatkan dirimu, sebelum kau benar-benar terjebak dalam drama semu ini.'
"Apa itu?" tanya Maggie sambil melirik kertas yang kupegang.
"Diskon dari tempat pencucian mobil," jawabku asal. Untung saja Maggie bukan jenis ibu-ibu yang histeris dengan kata 'diskon', jadi aku tidak perlu repot-repot mencari alasan agar ia tidak melihat isi kertas ini.
Bodohnya, sekarang aku baru menyadari kalau surat teror ini selalu muncul setiap kali aku bertemu dengan Luke. Siapapun yang mengirim surat ini, entah apapun alasannya, ia jelas tidak ingin aku lebih dekat dengan Luke.
Kali ini, aku tidak akan membiarkannya lolos.
"Mau kemana kau?" Maggie berseru ketika aku memutar tubuhku ke luar gedung parkir.
"Urusan mendadak."
"Aku ada meeting lagi nanti," ujarnya kesal.
"Kau bisa berangkat duluan."
Maggie menyipitkan matanya menatapku dengan wajah menyebalkan. "Jangan coba-coba mengorupsi waktu kerja, Anna Rosen."
Aku berusaha keras untuk tidak memutar bola mataku. "Sekarang sudah jam istirahat, Maggie," kataku sabar. Aku tahu karena aku terus menerus melirik arloji sejak meeting tadi.
Maggie melirik arlojinya sendiri, kemudian mengangkat bahu dengan lelah, seolah tetap aku lah yang salah. "Terserah kalau begitu."
Kemudian ia memasuki mobil dan menyalakan mesin. Sementara aku berjalan menjauhinya, berusaha untuk tidak mendoakan agar ban mobilnya bocor di tengah jalan.
Sial. Semoga saja mobilnya mogok di tengah lampu merah.
.
"Halo, Anna." Luke tersenyum tanpa melepaskan pandangannya dari laptop ketika aku memasuki ruangannya---agak terlalu tergesa. "Apakah ada barangmu yang tertinggal, atau barangkali hatimu tertinggal di sini?" kekehnya. Melepas segala sikap formal tadi, kali ini Luke tampak jauh lebih santai.
Tapi tetap saja, bukan Anna namanya jika pipiku mudah berubah warna oleh rayuan basa-basi.
Aku hanya tersenyum tipis walaupun Luke masih terfokus pada layar perangkat di depannya. "Aku ingin mengajakmu makan siang bersama," kataku mantap, yang akhirnya berhasil membuat kepala Luke terangkat dan tersenyum miring padaku.
(Author memutar soundtrack Love Me Like You Do)
Hei. Seharusnya itu bukan sesuatu yang besar. Maksudku, ayolah ini hanya makan siang. Apa-apaan musik romantis aneh yang menggema di kepalaku ini?!
-----------------
A/n:
Baru baca ulang bagian ini dan agak cringey.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top