-5-

👠 -FALLEN- 👠

Revisi-01

~•¤•♢👠♢•¤•~

[PART 05]

~•¤•♢👠♢•¤•~

Kau pasti setuju kalau tidak ada hal yang lebih konyol dibanding ketika kau memutusi pacarmu gara-gara akan dipasangkan dengan pria lain, tapi ternyata pria yang mau dipasangkan denganmu adalah pacarmu sendiri.

Aku bahkan sempat berhenti untuk tertawa di tangga, entah karena menertawakan kebetulan ini atau merasa geli karena Sam tampak berbeda sekali memakai jas hitam dengan garis-garis vertikal perak tipis yang melapisi kemeja putih di dalamnya, dengan rambut yang disisir rapi. Sam bahkan meminyaki rambutnya. Ia tampak seolah beberapa tahun lebih dewasa.

Sam tampak kebingungan, alisnya berkerut. Sam yang biasa akan menanyakan, "Hei, apa aku jelek sekali?" sambil mengerucutkan bibir. Tapi Sam kali ini tampak berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya.

Ada yang aneh dengan Sam.

Tawaku terhenti ketika Mom memelototiku seolah berkata, 'Apa kau sudah gila?'

Lalu akhirnya, menggantikan peran putranya, ibu Sam bertanya dengan sedikit tersinggung dan hati-hati, "Apa ada yang salah?"

"Coba tebak," kataku sambil menuruni tangga. "Ternyata kami saling mengenal."

"Sebatas kenalan," timpal Sam sambil tersenyum penuh arti.

Kini giliran alisku yang berkerut. Sebatas kenalan?

"Bagus sekali," ucap ibu Sam sambil berseri. "Ini mempermudah segalanya. Aku Marry, ibu Sam." Wanita itu mengulurkan tangannya yang penuh dengan gelang-gelang perak. Salah satu cincin berlian di jarinya menekan telapak tanganku ketika aku menyalaminya.

"Jacob, ayah Sam." Giliran pria paruh baya itu yang mengulurkan tangan. "Aku atasan ibumu di kantor, tapi sebentar lagi juga jadi keluarga," lanjutnya sambil terkekeh.

Aku tersenyum sopan sambil melirik Mom yang mengangkat alisnya dengan cuek. Tapi aku tahu, jika Mom memasangkanku dengan putra atasannya, artinya hanya satu: Ia sedang berusaha menghindari drama di kantornya.

Well, bukannya aku keberatan---karena aku tidak menemukan alasan untuk itu. Hanya saja, kebetulan ini Sam. Dan akhirnya aku akan menikah dengan sahabatku, memiliki anak, kemudian bercerai. Ha ha ha.

Sam bahkan sudah mulai dramanya sekarang, ketika ia masih bersusah payah memasang tampang dingin dan bersikap anggun (aku tahu sebenarnya ia ingin sekali memamerkan deretan gigi putih ratanya padaku dan menceritakan sesuatu yang heboh sambil menatapku seperti anak kecil terhadap lolipopnya). Sudut-sudut bibirnya berkedut ketika ia duduk di sampingku di meja makan. 

Dia jelas merencanakan sesuatu.

Ceroboh sekali, mengingat seharusnya Sam mengenal diriku sejak kami berpacaran beberapa bulan yang lalu.

"Dulu aku memiliki seorang pacar," Sam membuka pembicaraan ketika juru masak yang disewakan Mom untuk sehari mulai meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja, "tapi ia memutusiku gara-gara dijodohi dengan orang lain."

"Dan tebak," kata Mom sambil tertawa ringan. "Sekarang kau juga dijodohkan."

Aku terbatuk-batuk untuk menyembunyikan tawaku, nyaris tersedak potongan bebek panggang yang dilumuri saus  hingga harus segera meneguk jus jeruk di depanku.

"Sungguh kebetulan sekali," komentar Marry. "Tapi untunglah kalian berpisah. Mom yakin Anna lebih baik."

"Gadis yang meninggalkan Sam kita akan menyesal," Jacob menyepakati.

"Well." Mom menyesap sedikit jusnya. "Setidaknya itu masa lalu. Dan kita membicarakan masa depan di sini."

"Oh, tentu, Jane," Jacob terkekeh. "Profesionalitas. Itulah kenapa kau selalu menjadi asistenku yang terbaik."

Marry tampak agak terganggu. "Tapi bukankah kita harus menyinggung masa lalu di makan malam perjodohan? Seperti, siapa mantan-mantan pacar Anna? Ini penting sekali. Karena ternyata Sam kami hanya memiliki seorang gadis di masa lalunya." Lalu raut wajahnya berubah agak sedih. "Mungkin perlu kutambahkan kalau Sam benar-benar patah hati saat itu. Maaf Anna, aku hanya ingin kau tahu segalanya sebelum memulai," katanya padaku.

"Dia adalah gadis yang istimewa," Sam menerawang pada potongan kentang goreng yang dilumuri saus mustar di garpunya, seolah makanan itu lah mantan pacar yang menyakiti hatinya, "cerdas, dengan sinar mata penuh percaya dirinya. Cuek, tapi lebih tulus dari siapapun. Tidak bisa menahan diri pada makanan manis dan kopi. Cappucino, apalagi ada marshmallow-nya."

Sekarang giliran Mom yang tampak tidak terlalu senang. "Maaf, tapi aku tidak tahu deskripsi gadis pematah hatimu bisa berguna di sini. Tapi tunggu, apa hanya perasaanku atau mantan kekasihmu itu sedikit mirip Anna?"

Aku mendengus. "Tentu saja, Mom. Gadis itu kan memang aku."

Sekarang seluruh pasang mata menatapku terkejut. Bahkan mata biru Sam ikut terbelalak padaku, seolah tidak menyangka pengakuan yang kulontarkan barusan dengan santai.

"Aku mantan pacarnya Sam," aku memutar bola mataku ke arah Sam. "Ayolah, Sam. Tidak perlu sok sinis begitu."

Sam tampak ragu selama beberapa saat. Tapi kemudian ia menyerah, menghela napas kecewa sambil memberengut kesal, "Kau merusak peranku sebagai pria dingin patah hati yang ingin membuat mantannya merasa bersalah."

Nah, ini baru Sam.

Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya dan balas berbisik, "Peran itu tidak cocok padamu. Oke, kau pakai jas, minyak rambut, dan segalanya. Tapi kau tetap Sam. Sam imut yang mengerang kecewa ketika pakaian kita tidak serasi."

Sam benar-benar mengerang kecewa sekarang, tapi kali ini bukan karena pakaian kami tidak serasi. "Tidak bolehkah aku bersikap marah sesekali? Kau memutusiku!"

"Kupikir kita sudah baikan."

Akhirnya ia menggeleng dan menyeringai padaku. "Baiklah, aku menyerah. Setidaknya kita berjodoh. Kalau aku tahu gadis yang akan dijodohkan denganku adalah kau, aku tidak akan membuang-buang waktu berdebat dengan ibuku seminggu ini. Tapi lalu Mom memperlihatkan fotomu, dan aku nyaris tidak percaya!"

Pantas saja tadi ia langsung meneleponku dengan semangat.

Aku tertawa kecil. Sebenarnya bukan ini yang kuharapkan.

Tapi aku hanya mengangguk. "Yeah, ini aneh."

Sam tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Kau akan menjadi istriku suatu saat. Itu tidak aneh."

Sebuah suara dehaman membuat perhatianku kembali teralih pada tiga pasang mata yang ternyata belum melepaskan pandangannya pada kami. Ekspresi mereka bercampur antara bingung (Marry), canggung (Jacob), dan geli (Mom, tentu saja). 

"Jadi," Mom membuka suara, "ada yang keberatan untuk berbagi sesuatu?"

Well, taruhan, ini adalah makan malam paling aneh yang pernah terjadi---setidaknya, pada kehidupanku.

***

"Jadi bagaimana pria itu? Apakah dia hot?" Sheila langsung menyerbuku tanpa basa-basi ketika aku menghubunginya lewat telepon siang ini. 

"Kalimat pertama yang bagus untuk dilontarkan kepada sahabatmu ketika kau seharian kemarin tidak bisa dihubungi," dengusku.

Saat ini memang sedang jam kerja. Tapi berhubung kerjaanku sedang agak santai, ditambah lagi hampir semua orang sedang mengikuti pelatihan dadakan hingga tersisa aku sendiri di ruangan kantor, aku memutuskan untuk menelepon Sheila.

Gadis itu tertawa dengan suara seksi yang kadang membuatku iri (ketika aku mengatakan hal ini padanya, dia malah sengaja semakin sering mengeluarkan tawa itu di depanku). "Aku sibuk, kau tahu? Jackson membawaku ke villanya---dia punya satu villa di Seattle yang menghadap laut, bayangkan! Tunggu, kita telepon bukan untuk membicarakan villa Jackson dan kolam berenang atapnya. Siapa pria yang dijodohkan denganmu itu?"

"Dipasangkan," ralatku. Aku memindahkan ponsel ke tangan kiriku, sementara tangan kananku sibuk mengetik surat penawaran harga di komputer. "Kau tidak akan percaya."

"Oh! Jadi jodohmu benar-benar si seksi Theo James itu?" tebak Sheila.

Aku tertawa keras karena ternyata Sheila juga sependapat denganku mengenai Luke yang mirip dengan salah satu aktor hollywood tampan itu.

"Bukan," kataku setelah tawaku terhenti. "Dan omong-omong si Theo James itu nama aslinya Lucas Ferrel."

"Woah! Kau tahu namanya!" Sheila memekik, kemudian buru-buru memelankan suaranya. "Astaga, Profesor Collins nyaris melirikku. Kenapa dosen itu berjalan ke barisan belakang?" Kemudian ia melanjutkan, "Apa kalian benar-benar sudah bertemu di hotel?"

Aku meringis. "Astaga, kau menjijikkan. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya ketika bekerja."

"Oke," Sheila terkikik pelan. Rasanya aku bisa membayangkan ia yang sedang berusaha menutupi wajah mesumnya dengan buku Psikologi besar di barisan kursi paling belakang sambil tertawa ke headset. "Jadi siapa jodohmu? Tukang kebun tetanggamu yang ternyata punya sixpack itu?"

"Bukan, astaga," aku memutar bola mata, "tapi kau mengenalnya."

"Ann! Kau bertele-tele!" desaknya tidak sabar.

Aku tertawa kecil, lalu menarik napas. "Baiklah, orang itu Sam."

Hening sejenak.

Sampai kemudian tawa Sheila meledak, cukup keras hingga aku harus menjauhkan ponselku beberapa senti dari telinga. Belum sempat aku melancarkan protes, tiba-tiba ia memutuskan sambungan telepon. Oke, bagus, akhirnya anak itu ketahuan Profesor Collins.

Pintu kantor mendadak terbuka dengan suara keras, menyebabkan aku nyaris menjatuhkan ponsel di tanganku. Aku menghela napas kesal, kemudian lebih tidak senang lagi ketika mendapati sosok berambut pendek mengembang yang melangkah buru-buru seolah jika ia berhenti barang sedetik saja, ia akan meledak.

Aku tahu, Maggie memang atasanku, dan tidak ada peraturan yang mengharuskan atasan mengetuk pintu kantor bawahan di kantor ini, yang bisa kujadikan pegangan untuk menegurnya nanti (yeah, lagi pula mana ada bawahan yang menegur bosnya?). Tapi tetap saja, tidak bisakah ia memasuki ruangan tanpa mengagetkanku? Aku juga punya jantung.

"Anna Rosen. Sekarang kau bersiap-siap," Maggie menghampiri mejaku dan meletakkan sebuah map di atas tumpukan faktur-faktur yang sudah kususun rapi.

"Ada apa?" Aku berusaha keras untuk tidak menambahkan kata 'lagi' di akhir kalimatku.

"Kau akan ikut meeting bersamaku dengan salah satu klien. Ini adalah berkas-berkas produk yang akan kita promosikan nanti. Pelajari dan pahami itu. Kita akan berangkat satu jam lagi."

Aku? Meeting bersama dia? Astaga. Aku lebih memilih dijodohkan dengan tukang kebun tetanggaku.

"Tapi ... kenapa aku?" tanyaku hati-hati, berusaha tidak tampak enggan kendati segenap jiwaku tidak ingin melakukannya. Bagaimanapun, Maggie mengatur gaji kami, dan aku tidak berniat gajiku dipotong di tahun pertama kerjaku.

"Karyawan lain sedang training, Anna, kau tahu itu. Dan aku butuh asisten sementara untuk meeting penting ini." Ia menghela napasnya seolah sudah lelah berbicara padaku. Hei, padahal seharusnya akulah yang sedang berusaha bersabar dengannya.

Karena ini perusahaan kecil dan kami semua mengenal satu sama lain, menggantikan karyawan lain ketika mereka sedang berhalangan merupakan hal yang biasa. Tapi tetap saja, kenapa harus aku? Maksudku, keluar bareng Maggie tidak pernah masuk ke dalam daftar hal-hal yang mengasyikkan dalam hidupku, walaupun itu hanya sekedar urusan bisnis.    

"Tapi Frank tidak ikut training," aku menyebut staff administrator proyek di perusahaanku. Kemudian aku teringat dengan asisten sales yang tanggal masuk kerjanya berbarengan denganku, "Dan Brenda juga."

"Aku mau kau yang ikut denganku. Jadi kau menolak?" Maggie melipat tangannya, seolah menantangku.

"Aku hanya mau tahu alasan kenapa kau lebih memilihku dibanding Frank, Brenda, dan lainnya," ujarku sambil mengangkat bahu dengan santai. Sebenarnya aku sudah menduga alasannya, tapi aku sengaja ingin membuat Maggie mengatakan langsung, karena aku tahu, memuji bukan sesuatu yang senang dilakukan Maggie.

"Baik, baik. Karena kau lebih cerdas dan pandai bicara, Anna Rosen," akunya dengan berat hati, tapi berhasil memunculkan sebuah senyuman puas di bibirku. Rasanya senang melihat orang yang tidak kau sukai akhirnya mengakui kehebatanmu.

Setidaknya kali ini jika Maggie membuatku kesal, aku punya kartu AS-nya.

"Baiklah. Jadi siapa kliennya?" tanyaku santai sambil membuka map yang berisi katalog tersebut. Sial. Faktur-faktur yang telah kususun jadi berantakan gara-gara ditimpa map itu.

"Manajer produksi di Black Corporation."

Aku menatapnya curiga."Siapa namanya?"

Maggie mengernyit memandangku seolah berkata, 'Masa kau tidak tahu sih?'. Tapi akhirnya ia menjawab sebuah nama yang sudah kuduga. "Lucas Ferrel."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top