-4-
👠 -FALLEN- 👠
Revisi-01
~•¤•♢👠♢•¤•~
[PART 04]
~•¤•♢👠♢•¤•~
Salah satu hal yang membuatku menyukai Sam dan betah menjadi pacarnya selama beberapa bulan (aku tidak ingat berapa bulan persisnya) adalah, ia mudah melupakan masalah. Kami sama-sama tidak terlalu suka memikirkan suatu hal terlalu rumit. Itu membuat kami jarang terlibat pertengkaran serius, kecuali ketika aku memutuskannya terakhir kali (itu adalah yang paling parah dan paling serius).
Jadi aku tidak begitu terkejut saat aku baru saja hendak menekan nomor teleponnya karena ia belum juga meneleponku selama seminggu lebih, dan bahkan tidak menemuiku di kampus seperti biasa, tiba-tiba nama Sam muncul di layar ponselku.
"Ann!" seru Sam girang seolah ia baru saja memenangkan lotre. Aku tersenyum, menutup novel misteri yang sedang kubaca, kemudian menyandarkan tubuhku ke kursi belajarku.
"Selamat datang kembali, Sam," kekehku. "Akhirnya kau normal kembali." Well, setidaknya normal untuk ukuran Sam. Rasanya aku bisa membayangkan senyum deretan gigi putihnya sekarang.
"Kejam!" Sam menggerutu, tapi tidak terlalu serius. "Kau baru saja mencampakku terakhir kali, ingat?"
"Kau bukan orang pertama yang mengatakan itu," komentarku sambil tertawa kecil. "Tapi baiklah, maaf."
Sam ikut terkekeh. "Kau tahu aku tidak bisa marah lama-lama padamu."
"Jelas," balasku, berusaha menahan diri untuk berkomentar kalau seminggu lebih itu waktu yang cukup lama. "Makanya kita bakal cocok menjadi sahabat."
Tawa Sam berhenti. Ia menarik napas dengan serius dan memberi jeda beberapa saat. "Aku merindukanmu, Ann."
"Aku juga." Aku serius. Beberapa hari tanpa kehadiran Sam membuatku merasa agak kesepian. Tapi bukan dalam maksud itu. Ini seperti kehilangan seorang teman baik.
"Ayo jadian lagi," ajaknya enteng.
Aku tertawa, lalu terkesiap ketika novel setebal kamus yang kupegang sedari tadi terjatuh di lantai, nyaris mengenai kakiku. "Ayolah, Sam. Yang benar saja. Kita sahabatan sekarang. Apa namanya itu, BFF," kataku sambil membungkuk untuk memungut novel malang itu.
"BFF itu istilah untuk para cewek," protes Sam. "Tapi bukan berarti aku menerima status sahabat dalam bentuk apa pun. Dan serius, Ann, aku benar-benar akan mengubah hal itu dan membuat keadaan kembali seperti dulu. Mungkin jauh lebih baik lagi."
Sam percaya diri sekali---kelewat percaya diri malah. Laki-laki itu benar-benar tidak mau menyerah.
"Haha," aku tertawa hambar, "terserah, deh. Yang penting kuanggap masalah kita selesai."
Kupikir begitu.
Seharusnya begitu, karena masalah surat-surat misterius itu sudah cukup membebani pikiranku. Aku sudah bertanya pada Jossy apakah ia melihat orang mencurigakan di sekitar mobilnya kemarin, tapi ia bersumpah kalau tidak ada siapa pun yang berhenti di dekatnya. Ia bahkan meyakinkanku kalau ia sendiri tidak merasa kalau mobilnya disentuh. Aku ingin membalas, tentu saja ia tidak bisa merasakannya karena sistem sarafnya tidak terhubung ke mobil, tapi kemudian aku teringat kalau Jossy telah berbaik hati mengorbankan waktu kerjanya dan memberiku tumpangan.
Sampai sekarang, aku bahkan tidak memiliki petunjuk apa pun soal siapa yang terlalu kurang kerjaan untuk menulis pesan-pesan aneh dan menyelipkannya di sekitarku.
Jadi drama cinta segitiga konyol tambahan jelas merupakan hal terakhir yang kuinginkan sekarang.
Suara ketukan di pintu kamarku memaksaku memutuskan sambungan telepon Sam. Mom bahkan tidak perlu menunggu jawabanku untuk segera menerobos masuk ke kamar.
"Ann, kau tahu hari ini hari apa," sambarnya. Mom, seperti biasa, tidak pernah mengganti pakaian kerjanya dan selalu memakai kemeja atau setelan rapi di rumah---kecuali saat tidur---seolah sewaktu-waktu ia bisa mendapat tamu penting dadakan.
Mungkin menjadi sekretaris terpercaya bos perusahaan terbesar di Amerika memang mengharuskannya menerima telepon tatap muka jarak jauh dari atasannya. Atau mungkin Mom hanya suka tampil mengintimidasi---dan itu selalu berhasil.
"Sabtu," jawabku dengan nada yang terdengar seperti pertanyaan. Maksudku, tidak mungkin Mom ke kamarku hanya untuk menanyakan ini. Ia bisa mengecek di kalender saku yang selalu ia bawa di sakunya, atau di ponsel pintar canggihnya, atau tempat di mana pun ia bisa mencari tahu hari apa ini selain repot-repot menaiki tangga dan berjalan sejauh belasan meter untuk menemuiku....
Kecuali jika ia ingin mengingatkanku pada sesuatu yang penting.
"Tunggu," kataku sebelum Mom menyanggah, "ini Sabtu cerah biasa. Tidak ada kuliah atau kerja, dan aku bisa menyelesaikan novelku kemudian mengerjakan tugas malam harinya. Apa aku melewatkan sesuatu? Cemilan tengah malam? Itu masih dua belas jam lagi." Lalu aku menatapnya dengan senyum penuh harap. "Oh, cemilan tengah hari?"
Mom menggeleng seolah aku telah melakukan dosa besar. "Aku tidak percaya kau benar-benar melupakan sesuatu. Malam ini calonmu datang."
OH. Pertemuan pertama dengan calon pasangan. Bagaimana aku bisa melupakannya? Surat misterius pengacau otak sialan.
"Oh," kataku lambat-lambat. "Benar. Tentu saja."
Mom hanya mengangkat bahu, kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamarku yang rapi dan nyaris tak bercela. Kamarku memang selalu terlihat seperti ini sebenarnya. Bukannya aku sering merapikan kamarku, tapi karena aku nyaris tidak pernah berada di kamar sepanjang hari selain ketika tidur dan akhir pekan, ditambah kebiasaanku yang meletakkan barang di tempat asalnya, aku terselamatkan dari tugas beres-beres tiap minggu.
"Well, kurasa aku tidak perlu menyuruhmu untuk bersiap-siap," komentarnya setelah puas menilai kamarku.
Sebenarnya aku masih tidak memahami apa hubungan tamu yang akan datang dengan kerapian dan kebersihan kamarku. Jadi aku mengangkat sebelah alisku dan pura-pura terkejut, "Astaga, Mom. Tidak mungkin kau berharap nanti dia bakal berakhir di kamarku, kan?"
"Bicara apa kau?" Mom melotot padaku. "Aku hanya heran kau belum menyiapkan gaunmu."
"Itu gampang." Aku sudah mengurutkan seluruh pakaian di lemariku, mulai dari gaun mahal formal sampai kaus oblong obralan yang nyaris tidak pernah kupakai, tapi kukoleksi karena gambarnya lucu. Jadi aku tinggal menentukan seserius apakah acara nanti, kemudian mencomot salah satu gaun sesuai hasil ketentuanku.
"Oke," jawab Mom sambil melipat lengannya dengan santai. "Aku mempercayai pilihanmu." Ia berjalan keluar dari kamarku, kemudian mengedipkan matanya sebelum menutup pintu.
Aku juga ingin mempercayai pilihannya.
Maksudku, jangan pria tua botak gendut. Iuh.
Pernah suatu hari, aku tidak tahan untuk tidak menanyakan pada Mum apa sebenarnya alasan ia mengatur 'pemasangan' konyol ini.
"Kepikiran saja," jawabnya sambil membaca majalah Wildlife di sofa beludru peach favoritnya.
"Apa?"
Mom menatapku dengan alis terangkat, "Memangnya apa yang kau pikirkan? Kita sedang bangkrut, penuh utang, dan aku terpaksa menyerahkanmu pada CEO muda tampan yang tidak memiliki tujuan hidup lain selain menikahi gadis terpuruk?" Ia tertawa geli. "Jangan bercanda."
Kau yang bercanda, aku ingin mengatakannya. Tapi aku hanya bergumam dengan hati-hati, "Mom, ini tidak masuk akal. Aku harus menikah sebelum usia dua puluh hanya karena kau ... kepikiran?"
"Aku juga menikah sebelum umur dua puluh dan baik-baik saja," tukasnya. "Dan aku melakukan hal yang sama padamu agar kau juga baik-baik saja."
Aku ingin mengingatkannya kalau pada akhirnya Mom dan Dad harus bercerai beberapa tahun kemudian, tapi itu terlalu kejam, walaupun sebenarnya Mom tidak pernah tampak sedih soal itu.
Jadi sebenarnya apa pengertian 'baik-baik saja' menurut Mom?
Mom menutup majalahnya dan menghela napas lelah ketika tidak ada jawaban dariku. "Astaga, Ann. Ini hanya perjodohan. Hanya bagian kecil dari hidupmu."
Hanya bagian kecil dari hidup. Mom lah satu-satunya yang menganggap pernikahan adalah bagian kecil dari hidup.
Sekarang aku sadar darimana aku mewarisi sebagian besar sifat-sifatku.
Aku memutuskan untuk tidak membantahnya. Selain takut lama-lama aku akan menyinggung soal Dad---yang bahkan tidak pernah melakukan kontak pada kami selain uang-uangnya yang terus mengalir ke rekening kami, aku juga ingin menghemat waktu untuk berdebat dengan Mom. Mom sulit didebat.
Jadi itulah kenapa aku tidak banyak memprotes ketika Mom mengatakan tamu-tamu 'spesial'nya akan tiba pukul tujuh, dan aku harus siap sebelum saat itu tiba. (Tapi jika ternyata yang muncul adalah pria tua gendut botak, aku bakal memprotes habis-habisan....)
"Anna!" Aku mendengar Mum berteriak di bawah.
Ini baru pukul enam!
"Lima menit!" Teriakku.
Aku membasuh wajahku dengan cepat, menyambar gaun hitam Versace selututku yang sempat kupilih dengan cepat tadi, kemudian memakainya buru-buru dengan menarik risleting punggung dengan susah payah. Tidak sempat mandi. (Lagi pula, siapa yang bakal tahu kalau aku belum mandi?)
Setelah memastikan kalau tubuhku tidak menguarkan aroma yang tidak diinginkan, aku menyisir rambut coklat panjangku---yang untungnya sangat mudah diatur---dengan cepat, mengoleskan eyeliner dan lipstik cair merah, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke balik siku dan ujung rambutku.
Lalu aku keluar dari kamar.
Tamu-tamunya sudah datang. Aku bisa mendengar suara mereka dari ujung tangga. Berusaha tampak anggun, aku menuruni tangga yang setengah melingkar dengan perlahan. Ketika aku hampir mencapai belokan tangga, sebuah suara di atas suara para wanita, terdengar agak berat, menarik perhatianku.
Rasanya aku mengenali suara itu.
"Itu Anna," Mom mengumumkan ketika aku sudah berbelok di tangga.
Aku menatap Mom yang menunjukku sambil tersenyum puas. Bukan, bukan ekspresi bangga yang jarang ditunjukkan Mom yang membuatku terbelalak hingga segala keanggunan yang kujaga tadi menguap begitu saja. Tapi karena seorang laki-laki bersetelan hitam yang berdiri di samping Mom, di sebelah wanita gemuk berwajah ramah dengan gaun manik-manik gelap dan pria paruh baya bersetelan serupa---hanya saja berwarna lebih muda---yang pasti adalah orangtuanya.
Laki-laki itu tersenyum lebar padaku sementara aku masih terpaku dengan mulut setengah terbuka.
Bukan juga, bukan karena laki-laki itu adalah pria tua botak gendut yang dicemaskan Sheila.
Tapi laki-laki yang ingin dipasangkan padaku ternyata adalah Samuel Hood.
------------------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top