-3-

-FALLEN- 👠

Revisi-01

~•¤•♢👠♢•¤•~

[PART 03]

~•¤•♢👠♢•¤•~


'Hati-hati. Kau telah masuk perangkap.'

Aku mengernyit, menatap penasaran pada kertas seukuran kartu pengenal yang kubentangkan di atas meja kerja. Salah satu sedikit ujung kertas tersebut kutimpa dengan cangkir kopi putih. Yeah, kali ini aku tidak membuang surat misterius itu.

"Kau masih memikirkan surat itu?" Jossy memiringkan kepalanya dari layar komputer dan menatapku cemas dari seberang ruangan.

"Hanya berusaha mencari tahu apakah aku mengenal tulisan ini," gumamku.

Tidak mungkin ada dua kelompok remaja nakal berbeda yang mengirimku surat misterius bernada mirip ini. Siapapun pengirimnya, ia pasti adalah orang yang sama dengan penembak anak panah penuh lem kemarin. Dan aku yakin pelakunya bukan sekedar kelompok remaja nakal biasa.

"Apa sebaiknya kita lapor polisi?" tanya Jossy khawatir.

Aku tertawa kecil sambil meneguk kopi putih yang sudah agak dingin itu. "Tidak, tidak, ini hanya surat konyol," kataku sambil menggeleng pelan. "Aku hanya penasaran saja."

Sebenarnya ini adalah pertama kalinya aku menaruh perhatian pada hal remeh. 

"Tapi itu surat ancaman!" serunya, untuk yang kesekian kalinya.

Entah kenapa Jossy malah lebih paranoid dariku ketika aku memberitahukan isi suratku pada mereka tadi.

Sedangkan Sheila, setelah menghela napas kecewa karena isi surat itu tidak sesuai bayangannya, ia hanya berdecak remeh menanggapi Jossy ketika kami berjalan ke parkiran mobil. "Itu hanya trik dari kafe untuk menarik perhatian pelanggan. Lagi pula siapa yang mau mengancam Ann? Maksudku, ini hanya Ann---tidak berniat untuk merendahkan, tapi Ann sendiri jarang bersosialisasi---"

"Berbasa-basi," ralatku. "Dan barusan kau menyinggung."

"Yeah, apa pun istilahnya bagimu," lanjut Sheila tidak sabar ketika kami sudah tiba di parkiran mobilnya. "Yang jelas, surat ancaman kosong itu terdengar menggelikan. Seperti novel."

"Kupikir kau percaya novel?" Aku mengangkat alis menatap Sheila ketika ia berhenti untuk mencari kunci mobilnya di dalam tas.

"Bukan novel misteri."

Tapi sayangnya, aku menyukai genre itu.

Kurasa mungkin karena itulah sedari tadi aku menghabiskan waktu untuk menyelidiki lekukan-lekukan yang panjang dan kurus tulisan itu sambil berusaha membayangkan profil si pengirim surat. Hingga tiba-tiba terdengar suara pintu kantor yang dibuka dengan keras, membuatku terlonjak dan Jossy segera bersembunyi kembali di balik komputernya.

Aku melipat surat itu dan menyimpannya asal di laci meja, berusaha tidak menghela napas kesal ketika Maggie melangkah masuk sambil memanggil namaku dengan lantang. "Anna Rosen."

Aku selalu menganggap namaku bagus. Tapi satu-satunya saat di mana namaku jadi tidak enak didengar, yaitu ketika makhluk yang menyebutnya itu adalah Maggie. 

Maggie adalah atasanku yang diam-diam sering kujuluki Si Kodok, karena selain penampilannya---rambut pirang pendek dengan ujung mengembang---yang selalu membuatku teringat pada Keroro, terkadang ada saat-saat tertentu di mana Maggie membuat ekspresi aneh mirip kodok yang tersenyum jahat. Frank, teknisi yang cukup lama bekerja di sini menyebutnya Darth Vader, dan mengernyit ketika aku mengatakan kalau Maggie lebih mirip Keroro. Tapi jika suatu saat Maggie mengecat rambutnya menjadi hitam, mungkin aku bisa mempertimbangkan julukan dari Frank.

"Coba lihat apa ini." Wanita tiga puluhan itu membanting sebuah dokumen ke meja kerjaku hingga kertas-kertas yang tadinya kususun rapi di atas meja menjadi berantakan.

"Ini faktur penjualan ke Black Corporation." Aku menatapnya bingung. "Apa ada masalah?"

"Perhatikan lagi."

Berusaha keras untuk tidak memutar bola mataku, aku mengamati baik-baik faktur yang telah kucetak beberapa hari yang lalu tersebut. Hmmm, tidak ada yang aneh. Maggie lah yang aneh. 

Sampai mataku akhirnya menemukan kesalahannya. Mati aku.

"Oh, ya, nomor pengirimannya salah," gumamku pelan. Aku menggigit bawah bibirku dengan gugup. Ini adalah kesalahan pertamaku sejak enam bulan bekerja di sini. Kesalahan sepele pula.

"Nah," kata Maggie dengan nada penuh kemenangan, kemudian memulai ceramah panjangnya. "Untung saja aku menyadarinya sekarang. Bagaimana jika aku terlambat menyadarinya, lalu terjadi masalah ketika audit? Kemudian kita harus mengurusi faktur perbaikannya. Bagaimana jika Black Corp mempermasalahkan ini dan tidak mau mengurus pembayarannya? Bayangkan kerugian yang akan kita alami. Dan itu akan mempengaruhi citra perusahaan kita di mata mereka. Bagaimana mereka bisa mempercayai kita lagi di kemudian hari?"

Aku yakin, seharusnya masalahnya tidak akan sebesar itu. Maksudku, ini adalah Maggie yang berpendapat kalau noda kopi di karpet dapat mengakibatkan penurunan laba perusahaan secara drastis. 

"Baik. Akan kuatasi," kataku datar. 

Yeah, aku sadar kalau aku belum mengucapkan kata 'maaf'. Entah kenapa sulit sekali mengucapkan kata itu padanya. Apalagi sekarang ia sedang melakukan ekspresi itu. Bibirnya membentuk segaris tipis, hingga garis-garis di sekitar mulutnya terlihat jelas, mengingatkanku pada kodok. Aku tidak tahu apa nama ekspresi itu, karena 'senyum kodok' jelas tidak pernah terdengar di antara daftar nama-nama ekspresi yang ada.

"Bagaimana caramu bertanggungjawab? Apa kau mau mengantar revisi fakturnya sendiri ke sana?" tantang Maggie. Ia tahu kalau aku belum memiliki kendaraan.

"Ya," kataku nekad. Aku tidak ingin memelas padanya.

Ia mengangkat bahu, "Baik, kalau begitu. Terserah." Kemudian ia membalikkan badannya dan meninggalkanku dengan gaya boss yang baru saja memarahi bawahannya. Aku tahu ia memang termasuk atasanku, tapi aku benar-benar tidak suka gayanya.

Kalau saja ia tahu aku adalah keponakan bos besarnya.

Tapi sayangnya pamanku melarangku untuk menceritakan hubungan kami pada siapapun. Katanya, untuk menghindari persepsi-persepsi yang tidak sehat dari karyawan lain.

Setelah suara hak sepatu Maggie tidak terdengar lagi, aku menatap Jossy yang tampak semakin cemas di seberang ruangan. Untung saja di ruangan ini hanya ada aku dan Jossy, dan Jossy sendiri sudah terbiasa dengan pemandangan-pemandangan seperti tadi.

Aku menghela napas lelah. "Jossy, kau bisa bantu aku?"

***

"Maaf sudah merepotkanmu, Jossy," kataku ketika mobil Jossy berhenti di depan gerbang Black Corporation. Karena tidak sempat menyiapkan surat izin masuk, Jossy dan SUV peraknya terpaksa harus menunggu di luar.

"Tidak masalah, lagipula aku juga sedang tidak sibuk." Ia tersenyum tulus.

"Aku janji akan mengurusnya secepat mungkin." Setelah menutup pintu, aku berjalan ke gerbang, memberi tanda pengenalku pada satpam, kemudian setengah berlari menuju ke salah satu bangunan tertinggi di antara beberapa bangunan berlapis kaca hitam. Aku tidak sempat menghitungnya, tapi kurasa bangunan itu paling kurang terdiri dari lima belas tingkat. Dibanding dengan kantor kecil milik pamanku, salah satu gedung Black Corporation saja sepuluh kali lebih besar.

Aku menengadah menatap bangunan elegan tersebut ketika hampir mencapai teras. Oke, mungkin dua puluh kali lipat lebih besar.

Entah kenapa, ada perasaan aneh ketika aku melangkahkan sepatu hak hitamku di atas permukaan lantai mengilap kantor ini. Seolah ada musik romantis yang mengalun di dalam kepalaku, seperti adegan yang sering terjadi di film di mana si tokoh utama cewek akan bertemu dengan CEO tampan dan--- 

Astaga, itu menggelikan. Apa yang baru saja kupikirkan?! 

Aku melirik arlojiku. Sekarang sudah pukul dua siang, dan jam tiga nanti ada kelas kuliah. Kembali ke dunia nyata.

"Aku ingin bertemu dengan bagian penerimaan invoice," kataku pada resepsionis berseragam hitam. Gedung ini benar-benar serba hitam, dengan pilar-pilar hitam metalik dan dekorasi perabotan yang didominasi warna hitam dan abu-abu gelap. Rasanya seperti masuk ke dalam sebuah perangkap yang berbahaya.

'Hati-hati. Kau telah masuk perangkap.'

Mau tidak mau aku kembali teringat kalimat tadi. Aduh, sial, kenapa sekarang aku jadi paranoid?

Setelah diberi petunjuk ke departemen keuangan di sayap kiri gedung, aku menghampiri kantor keuangan mereka, meminta maaf dan menyerahkan hasil revisi, kemudian menandatangani setumpuk dokumen yang merepotkan, dan seharusnya masalah selesai.

Sampai aku hampir menabrak seseorang tepat setelah aku keluar dari ruangan.

Theo James.

Maksudku, kembaran Theo James.

Pria itu tidak memakai kacamatanya atau menggigitnya kali ini. Tapi ia masih memakai kemeja abu-abu yang sama, hanya saja kali ini dibalut dengan jas hitam, yang mulai membuatku bertanya-tanya apakah seluruh pekerja di sini diharuskan memakai pakaian hitam. Aku hanya pernah memerhatikannya ketika ia dalam posisi duduk, tapi ketika berdiri di hadapanku sekarang, ternyata ia cukup tinggi juga---sekepala lebih tinggi dariku, padahal aku memakai hak lima senti.

"Ah, kau." Ia mengangkat alisnya menatapku---atau kancing kemejaku, aku tidak yakin.

"Oh, kau," balasku santai seolah sebelumnya ia tidak pernah memergoki kancingku yang terbuka.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Ada nada tertarik dalam suaranya.

"Sedikit urusan. Ada kesalahan data faktur penjualan." Aku menunjuk dokumen salah di tangan kananku.

Ia mengangguk, diikuti kilasan senyum. "Kita belum berkenalan."

"Anna Rosen." Tanpa basa-basi, aku memindahkan dokumen ke tangan kiriku, kemudian mengulurkan tangan yang sebelah padanya.

"Lucas Ferrel. Kau bisa memanggilku Luke," katanya sambil membalas uluran tanganku.

"Okay, Luke."

Ia tersenyum lagi. "Aku bekerja di sini."

Sebenarnya aku tidak tanya. Tapi demi kesopanan, aku mengganggukkan kepalaku seolah itu adalah informasi yang bermanfaat.

"Maaf, Luke, tapi aku masih ada urusan. Selamat tinggal." Aku sudah bersiap untuk meninggalkannya, sebelum ia menahan lenganku dengan lembut.

"Apa kau punya waktu malam nanti?"

Kedua alisku terangkat.

"Maksudku, barangkali aku bisa mengajakmu makan malam," tambahnya seraya memiringkan kepala. Menyamakan ekspresiku, ia mengangkat sebelah alisnya, menunggu jawaban dariku.

Aku mengernyitkan dahiku. "Apa kau sedang ingin mengajak kencan dengan orang yang baru kau temui?"

"Sesuatu seperti itu," katanya sambil mengangkat bahu dengan santai.

Ini tidak wajar.

"Maaf, tapi aku ada kuliah."

Luke tampak terkejut. "Kau masih kuliah?"

Yang tadi itu agak menyinggung. Memangnya wajahku tampak terlalu tua untuk anak kuliahan? Maksudku, walaupun aku sudah memasuki dunia kerja, aku kan masih delapan belas tahun....

Tapi alih-alih mendeliknya kesal, aku hanya memberinya senyuman tipis dan berkata, "Selamat tinggal."

Bukan masalahku ia menganggapku umur berapa.

Aku sudah hampir mencapai pintu keluar saat itu. Baru saja aku ingin mencapai gagang pintu kaca, tiba-tiba suara bisikannya terdengar. Cukup jelas untuk membuatku menoleh, karena seingatku jarak kami seharusnya cukup jauh.

"Sampai bertemu lagi."

Dan benar, Luke masih berdiri di tempat tadi ketika aku menatapnya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celananya, kemudian ia mengedipkan matanya ke arahku.

***

"Semuanya baik-baik saja?" seru Jossy sambil menurunkan kaca mobilnya ketika melihatku berlari kecil ke arahnya.

Hanya sebuah kedipan. Baik-baik saja.

Tapi tentu saja, bukan itu yang ia maksud.

Jadi aku tersenyum dan memberi anggukan singkat pada Jossy sebagai jawaban seraya berjalan memutari SUV-nya. Tanganku baru saja hendak membuka pintu penumpang ketika aku menyadari ada sesuatu yang terselip di pegangan pintu. Ternyata lipatan kertas.

Tiba-tiba firasatku tidak enak.

Yang segera terbukti ketika aku membuka lipatan kertas itu dan melihat tulisan yang familier di atasnya.

'Jika kau melangkah terlalu jauh, kau akan tersesat.'

----------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top