-12-

👠 -FALLEN- 👠

Revisi-01

~•¤•♢👠♢•¤•~

[PART 12]

~•¤•♢👠♢•¤•~

"Luke? Bagaimana aku bisa punya nomormu?" tanyaku ketika aku mengangkat telepon.

"Kau lupa kalau kau pernah meninggalkan tas yang berisi ponsel berharga milikmu di restoran kemarin?" jawabnya sambil terkekeh.

"Kau membongkar privasiku." Aku berdecak kesal sambil memindahkan ponselku ke telinga kiri, sementara tangan kananku lanjut mencatat daftar nomor telepon penting di sebuah kartu seperti yang diperintahkan Maggie (sesuai permintaannya, khusus nomor ponselnya harus ditulis paling besar dan jelas).

Ia masih terkekeh. "Aku hanya memasukkan nomorku, tidak lebih. Apa malam ini kau ada kuliah?"

"Tidak," ucapku spontan ketika aku selesai mencatat nomor terakhir.

"Bagus, karena itu artinya aku akan menjemputmu sepulang kerja."

"Kenapa?" tanyaku waspada. Tanganku terhenti di udara ketika aku hendak menyelipkan kartu daftar telepon itu di atas telepon kabel, di antara kertas-kertas faks.

"Melanjutkan kegiatan kita yang belum selesai kemarin," jawabnya santai.

Astaga. Sebenarnya aku sama sekali tidak terpikirkan hal itu.

Aku meletakkan kembali kartu daftar telepon tersebut ke atas meja ketika menyadari sesuatu.  

"Aku ingin mengerjakan tugas kuliah," ucapku, tidak berbohong sepenuhnya karena memang ada laporan analisis yang harus kuselesaikan walaupun batas waktunya masih dua minggu lagi. Bagaimanapun juga, aku telah menemukan si peneror yang mengirimiku surat-surat, jadi aku tidak punya alasan untuk bertemu dengan Luke lagi. 

Sesaat kupikir Luke akan membujukku---atau bahkan memaksaku---dan aku sudah menyiapkan kalimat-kalimat defensif sebelum ia berkata dengan tenang, "Oke, baiklah. Sampai kita bertemu lagi." Kemudian ia memutuskan sambungan telepon.

Saat itulah aku mengecek nomor Luke di ponselku, kemudian  mencocokkannya dengan nomor yang baru saja kucatat di kartu. Paman pernah berkata, sebagian pebisnis atau pekerja dengan posisi tinggi biasanya memiliki dua nomor ponsel. Pertama, nomor yang mereka bagikan kepada sesama rekan bisnisnya, agar hubungan mereka terasa lebih 'dekat'. Kedua, nomor ponsel pribadi, yang tentu saja, untuk urusan yang benar-benar pribadi.

Luke jelas telah membagikan nomor ponsel pribadinya padaku.

Bayangan kartu nama Mish mendadak memasuki kepalaku. Jika semua yang dikatakan Mish itu benar....

Baiklah. Aku bisa mengatasinya sendiri.

***

Aku jarang mempercayai kebetulan, sampai hari ini.

Maksudku begini, biasanya paman selalu menjemputku setiap pergi dan pulang kerja. Kecuali jika ia lembur atau sedang ada acara bisnis, aku akan menumpang mobil Frank atau Jossy. Atau ketika Sam ingin mengajakku keluar, ia lah yang menjemputku.

Yeah, begitulah jika kau tidak memiliki kendaraan pribadi. Kau tidak bakal tahu pasti kendaraan siapa yang akan kau tumpangi nanti.

Tapi kali ini lebih parah. Bukannya aku tidak tahu dengan pasti nanti harus pulang dengan siapa. Justru itu masalahnya. Aku sudah tahu pasti kalau tidak ada jemputan gratis bagiku sore ini.

Paman ada acara bisnis penting. Jossy harus buru-buru untuk menonton pertandingan tenis adiknya. Sedangkan mobil Frank masuk bengkel sehingga ia dijemput sepupunya. Dan aku tidak mungkin meminta Maggie mengantarku pulang---apalagi ia akan lembur, dan aku lebih tidak mungkin lagi menunggunya sampai malam. Jadi pilihan terakhirku adalah Sam.

Dan tebak saja, Sam sedang berada di kampus, menunggu kuis yang akan dimulai beberapa menit lagi. Sam bilang ia bisa kabur dan menjemputku kalau mau, tapi aku meyakinkannya kalau aku bisa meminta Mom untuk menjemputku---walaupun sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin. 

'Naik taksi saja. Aku ada meeting.' Begitu bunyi balasan SMS Mom ketika kemudian aku mengirimnya pesan untuk menjemputku. Tidak mengherankan.

Lalu ketika teras kantorku mulai sepi, sementara Maggie dan beberapa karyawan lain yang lembur berada di lantai atas, aku memutuskan untuk menelepon Sheila, yang baru ia angkat setelah deringan ke sekian. 

"Kau tidak akan percaya ini," sambarnya langsung, bahkan sebelum aku sempa mengucapkan sepatah kata pun.

"Kau lebih tidak akan percaya," tukasku.

"Jackson memberiku 99 coklat berbentuk mawar yang ia buat sendiri. Kurasa cowok itu benar-benar serius," serunya girang.

"Oh," aku mengangkat alis, "wow."

Sheila berdecak kesal. "Hentikan 'wow' datar menyebalkanmu dan coba beritahu sesuatu yang lebih mengejutkan."

"Aku sudah berhasil menangkap orang yang menerorku dengan surat."

"WOAH!" ia berseru kaget. "Kau bercanda."

Sheila akan menjerit lebih nyaring lagi kalau tahu soal Luke. Tapi demi keselamatan gendang telingaku, tidak bijak jika aku menyebutkannya sekarang lewat telepon.

"Sayangnya tidak." Aku tertawa hambar. "Oleh karena itu lah, ayo jemput aku sekarang dan aku akan menceritakan semuanya."

"Tidak bisa," keluhnya. "Tahu, kan, Jack mengajakku berlayar dengan kapal pesiarnya dan kami baru akan pulang malam ini."

Oh, pantas saja ia tidak mengangkat teleponku semalam. 

"Tapi aku akan meneleponmu malam ini, dan kau harus menceritakan semuanya," lanjut Sheila. Kemudian aku mendengar suara berat yang memanggil Sheila di telepon. "Sudah dulu ya, Jack memanggil. Daah!"

Bagus, tiba-tiba saja semua orang menjadi sibuk.

Jadi karena itulah, sekarang aku berdiri di tepi jalan, menghela napas dan menunggu taksi yang lewat, sambil merenung kalau aku harus mulai menabung untuk membeli mobil.  

Ketika aku sudah yakin kalau tidak akan ada kebetulan yang lebih hebat dari ini lagi, sebuah Ferrari  merah gelap berhenti tepat di depanku.

Oh, tentu saja. Satu kejadian lagi, kenapa tidak?

Dan kebetulan, ini Luke.

Kaca pengemudi gelap mobil itu bergerak turun, memperlihatkan rambut coklat gelap pendek, kacamata hitam yang menutup mata, hidung tegas, dan kedua sudut bibir penuh yang melengkung naik. Luke menurunkan kacamatanya dan menatapku. "Butuh tumpangan, Nona?"

"Apa kau sengaja menjemputku?" tanyaku curiga.

Ia terkekeh. "Percayalah. Aku hanya kebetulan lewat dan menemukan gadis cantik yang menunggu di tepi jalan sendirian dengan wajah cemberut---yang omong-omong imut juga," katanya sambil mengedipkan matanya.

Sebenarnya aku tidak terlalu percaya dengannya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, kenapa harus naik taksi jika ada mobil mewah yang menjemputmu tanpa biaya?

Aku berdeham sambil memilin tas tanganku, "Baiklah. Jika kau tidak keberatan---" 

Belum sempat aku selesai berkata-kata, Luke sudah melangkah keluar dari mobilnya, kemudian membukakan pintu penumpang sambil tersenyum simpul padaku. "Silakan."

Dan tiba-tiba saja aku merasa gugup.

Oke, aku hanya perlu menerima tumpangannya, kemudian sampai di rumah dengan selamat, dan melanjutkan hidup dengan tenang. Sederhana.

Ini adalah kedua kalinya aku menaiki mobil Luke. Tapi entah kenapa bokongku sudah mulai terbiasa dengan kursi kulit merah hitamnya, dan sabuk pengaman dengan bahan lembut. Rasanya aku bakalan betah walaupun duduk di sini seharian, membiarkan punggungku bersandar pada sandaran kursi yang nyaman sementara--- 

Oh, sial. Kenapa aku jadi seberlebihan ini?

"Jadi, apa kau mau menjelaskan insiden kemarin?" Luke bertanya setelah ia menjalankan mobilnya.

"Aku bertemu dengan kawan lama," kataku sambil menoleh padanya. Hari ini Luke memakai kemeja abu-abu gelap, tanpa dasi, dan lagi-lagi terlihat begitu pas di tubuhnya. Tidak terlalu ketat, tapi kau bakal bisa tahu kalau di balik kemeja tersebut tersembunyi otot-otot padat yang mampu membuatmu menahan napas.

Aku hanya mengamati, oke? Bukan mengagumi.

"Benarkah?" tanyanya sambil mengangkat alis, membuatku terkejut. Apa dia bisa membaca pikiran?

"Taruhan, ia pasti teman yang penting sekali, hingga kau meninggalkan barang-barang berhargamu begitu saja demi mengejarnya," lanjutnya, melirik sekali ke tas kulit putih yang sekarang kuletakkan di atas pahaku. Oh, kupikir ia berbicara tentang pendapatku tentang sesuatu di balik kemejanya.

"Yeah," aku merasa suaraku mulai sedikit serak karena gugup. "Dia berutang dua ratus dolar padaku."

Luke berusaha menahan tawanya. Aduh, apa dua ratus dolar terlalu sedikit? Mungkin seharusnya tadi aku menyebut seribu dolar.

"Baiklah. Bisa dipahami," ucapnya kemudian.

"Tidak. Kau hanya pura-pura memahami." Aku memutar bola mataku.

"Ayolah, jangan marah, aku hanya tertawa karena kau tampak lucu," ucapnya sambil nyengir.

Bagus, sekarang aku mulai berbakat menjadi pelawak.

"Percayalah. Ini juga pujian," ia berusaha meyakinkanku. "Semua yang kukatakan tentangmu itu pujian, oke?" Lalu Luke mengerlingku sekilas dan medapatiku sedang tersenyum tipis.

Tidak, tidak sampai tersipu.

"Maaf, rumahku di sebelah sana," ucapku sambil menunjuk ke persimpangan yang baru saja ia lewatkan.

"Aku akan mengajakmu makan bersama," katanya santai. "Sebagai pengganti yang kemarin, ingat?"

"Hanya satu makan malam, Anna," lanjutnya ketika aku hanya mematung. Luke tersenyum, kemudian menatapku cukup lama ketika kami berada di lampu merah.

"Oke," kataku akhirnya, tapi memandang tas tangan putihku alih-alih mata coklat madunya.

Yeah. Hanya satu makan malam. Lalu aku akan pulang ke rumah, dan melanjutkan hidup dengan tenang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top