-11-

👠 -FALLEN- 👠

Revisi-01

~•¤•♢👠♢•¤•~

[PART 11]

~•¤•♢👠♢•¤•~

Aku memasuki ruang rapat tepat ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh. Semua pasang mata langsung tertuju padaku, kecuali Maggie, yang tetap menatap lurus ke tempat Paman duduk, seolah kehadiranku tidak lebih penting dari sekedar angin lewat.

Aku tidak peduli, karena aku sendiri tidak menganggapnya lebih dari sebuah pajangan yang tidak sedap dipandang. Jadi aku berjalan santai ke seberang ruangan, mengambil tempat duduk di samping Frank tepat ketika laki-laki itu berbisik padaku dengan suara berat seramnya, "Dan inilah dia, karyawan paling sibuk di Epticon."

Frank memiliki tubuh yang kelewat kurus dan kantong mata tebal di sekitar matanya, dengan suara berat yang rendah---jenis suara yang tidak akan kau harapkan dengar di malam hari ketika sendirian di kamar. Walaupun nama lengkapnya Franklin, kami semua memanggilnya Frankestein, monster mayat hidup yang terdapat di novel Mary Shelley. Semuanya bermula ketika Sheila berkunjung di kantorku dan secara spontan membelalak pada Frank dan berseru, "Astaga, zombie!"

Untunglah, alih-alih melompat untuk mencekik Sheila atau semacamnya, Frank hanya tertawa santai---dengan nada seram.

"Oh, jelas," aku balas berbisik pada Frank. "Karyawan yang paling penting juga."

"Oke, semua sudah hadir," ucap Paman sambil berdiri. "Selamat siang, tim! Kalian pasti penasaran mengapa aku memulai rapat dadakan di waktu menjelang istirahat seperti ini." Ia menyunggingkan sebuah senyuman misterius.

"Tidak mau basa-basi, sebaiknya kita langsung saja ke intinya. Aku punya kabar gembira untuk kalian semua," katanya, masih dengan ekspresi yang sama.

"Black Corporation telah menandatangani kontrak dengan perusahaan kita atas pemesanan tiga ratus unit printer, hingga pemesanan rutin lainnya selama minimal lima tahun." Kali ini Paman tersenyum lebar, diikuti oleh suara tepuk tangan heboh yang memenuhi ruangan.

"Ini adalah proyek terbesar kita, dan merupakan proyek yang sangat menguntungkan," lanjutnya riang. "Semua ini berkat Maggie. Dia telah berjasa besar. Kerja bagus, Meg!" Paman menunjuk Maggie yang sekarang sedang tersenyum aneh, seolah ingin tertawa lebar, tapi tetap ingin terlihat profesional. Ekspresi itulah yang membuatnya sekilas tampak seperti kodok.

"Oleh karena itu," Paman melanjutkan lagi, "aku ingin memindahkannya sekaligus mempromosikannya menjadi manajer proyek, sehingga ia akan lebih fokus dalam menangani ini untuk ke depannya." Suara tepukan tangan kembali terdengar, tapi kali ini lebih kaku. Yeah, walaupun Maggie pekerja keras dan segalanya, tapi tidak ada yang benar-benar menyukainya di sini.

"Terima kasih," ucap Maggie, akhirnya tidak bisa menahan senyum lebarnya. Secara mengejutkan, semua bayangan Keroro lenyap dari wajahnya.

"Dan setelah itu, aku juga ingin mengangkat seseorang untuk menjadi asisten pribadi Maggie, berhubung pekerjaan Maggie akan bertambah banyak beberapa kali lipat sebagai manajer." Sekarang Paman menatap kami semua dengan senyuman penuh arti, seperti ayah yang ingin membagikan hadiah kepada salah satu anaknya yang beruntung.

Mendadak semua orang yang berada di dalam ruangan, kecuali Paman dan Maggie, menjadi sangat tertarik dengan tekstur meja rapat yang sebetulnya agak membosankan. Bahkan Jossy yang biasanya paling serius ketika rapat sekarang pura-pura mengelap noda tak terlihat di ujung meja dengan tisu. Situasi ini persis seperti ketika dosen di kelasku ingin menunjuk seseorang untuk mengerjakan soal di papan tulis.

"Kudengar kemarin kau sempat menjadi asisten sementara Maggie, Ann." Tatapan Paman mendarat padaku.

Oke, aku jadi punya firasat buruk.

"Benar, Mr. Larson," jawabku sambil berusaha mengirim sinyal pada Paman lewat kedua mataku. 'Jangan aku!'

Tapi sepertinya Paman kurang peka. "Dan kurasa kau adalah kandidat yang tepat untuk menjadi asisten pribadi Maggie. Selamat, Ann!"

Kemudian semua orang bertepuk tangan dengan semangat, mungkin lebih karena lega karena ternyata bukan mereka yang dipilih. Bahkan Frank mengeluarkan tawa mengerikannya sambil menepuk bahuku dan menggeram pelan, "May the force be with you."

"Tapi, Pam---Mr. Larson, aku tidak bisa!" tukasku, mengabaikan Frank. Bertemu dengan Maggie beberapa kali sehari saja sudah buruk, apalagi jika harus bersamanya seharian, selama jam kerja.

"Yeah, kau bisa, Ann! Aku mengamati kinerjamu selama ini, dan itu benar-benar memuaskan." Paman tersenyum bangga padaku, kemudian menatap yang lainnya dan berkata, "Well, kurasa sekian hal penting yang kusampaikan di rapat ini. Dan Jossy, aku memintamu mencari pengganti untuk posisi lama Ann. Dan sebagai perayaan, kalian bisa istirahat lebih cepat sekarang. Selamat makan siang!"

Terdengar gumaman kecewa dari sepenjuru ruangan, karena mereka jelas mengharapkan perayaan yang lebih dari sekedar jam istirahat yang diperpanjang tiga puluh menit.

Aku menunggu semua orang perlahan keluar hingga menyisakan diriku dan Paman berdua di ruang rapat. Kemudian aku menghampirinya, yang sekarang sudah duduk manis dan sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.

"Kau tidak mau makan, Ann?" tanya Paman, masih sambil mengetik.

"Aku tidak mau menjadi asisten dia!" protesku sambil melipat kedua lenganku.

"Hei, hei," Paman memalingkan wajahnya dari laptop untuk menatapku, "ada apa dengan Anna Rosen? Kenapa kau jadi tukang ngambek begini?"

"Kau bisa tempatkan posisiku menjadi asisten siapapun, asal jangan dia, Paman!"

Paman menghembuskan napasnya, kemudian berdiri dan menatapku lekat-lekat sambil mencengkram bagian atas sandaran kursinya. "Baik, apa alasanmu, sayang?"

"Aku tidak suka dia."

Ia menyentakkan kepalanya ke atas dan tertawa. "Ah, itu bukan alasan yang kuat."

"Kau tidak mengerti! Kau tidak tahu sifat aslinya!" Aku merasa seperti seorang anak yang sedang meyakinkan ayahnya kalau ibu tirinya adalah monster.

"Anna," Paman menyentuh pundakku. "Ada hal yang harus kuberitahu padamu." Ia menatapku serius dengan kedua mata coklatnya yang cerah. Walaupun usianya sudah hampir mencapai kepala empat, kerutan-kerutan di sekitar matanya nyaris tidak terlihat. Aku menuduh Paman diam-diam telah melakukan perawatan, tapi Paman membela diri dengan mengatakan kalau itu adalah salah satu keuntungan dari tidak menikah dan memiliki anak yang harus dipusingkan.

Paman tampak gelisah. "Sebenarnya aku ...."

"Kau ayah kandungku?"

"Astaga, aku ini adik kandung ibumu, Ann," ia memutar bola matanya.

"Hanya bercanda. Kau terlihat terlalu serius."

"Oke, sebenarnya aku sengaja memposisimu sebagai asisten Maggie. Aku tahu hubungan kalian tidak terlalu baik. Dan aku ingin memperbaikinya dengan cara ini."

"Hubungan Maggie dengan semua orang tidak baik, Paman. Kau tidak perlu menjadikanku sebagai kelinci percobaan," kataku kesal.

"Tapi kau berbeda, Ann. Aku ingin melihat kalian lebih dekat."

"Kenapa?"

"Karena Maggie, dia ...." Paman menggantungkan kalimatnya lagi.

"Jangan bilang dia ibu kandungku," tebakku, pura-pura memasang wajah horor, walaupun hal itu jelas tidak mungkin. 

"Serius, Ann. Kau bukan anak kandung siapa-siapa di sini." Ia memutar bola matanya lagi.

Aku tertawa kecil, "Aku tahu, Paman. Ini bukan drama. Soalnya tidak biasanya kau memasang wajah seserius itu padaku."

Aku jarang bercanda, tapi dengan Paman, entah kenapa rasanya lebih mudah melakukannya. Mungkin karena Paman sudah kuanggap seperti ayahku sendiri, sejak aku kehilangan jatah kasih sayang itu dari Dad delapan tahun yang lalu. Dua ribu dolar satu bulan jelas tidak bisa dihitung sebagai kasih sayang.

Paman menarik napas, seolah ingin mengumpulkan keberanian yang cukup besar untuk mengatakannya. "Aku hanya mau bilang, kalau Maggie bisa saja menjadi... yeah... calon bibimu nanti," katanya gugup.

"Kau suka Maggie?" aku membelalakkan mataku, berusaha sebisa mungkin tidak membentaknya dengan kata 'gila'.

Tapi ini tetap gila.  

Paman selalu beralasan kalau ia terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya, sehingga ia memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan wanita mana pun hingga sekarang. Awalnya aku menyindirnya dengan mengatakan mungkin ia bisa mencoba menjadi pastor setelah pensiun kerja. 

Sebenarnya itu tidak pernah menjadi masalah bagiku, jika Paman memilih untuk tidak menjadi pastor dan menikah.

Yang jadi masalah adalah, dia memilih Maggie sebagai wanita pilihannya.

"Maggie tidak seperti yang kau pikirkan, Ann. Kau akan menyukainya jika kalian lebih dekat." Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya, yang kuyakini bukan karena gatal.

"Sudah berapa lama kalian berpacaran?" tanyaku setelah berhasil menenangkan diri.

"Justru itu." Tiba-tiba Paman tampak kecewa, "Kami belum jadian, Ann. Makanya aku melakukan semua ini, untuk mewujudkan semua impianku."

"Kau mau aku membantumu," kataku menarik kesimpulan.

Paman menatapku, nyengir. "Sebenarnya bukan itu juga. Aku hanya ingin hubungan kalian berjalan baik, jadi mungkin semuanya bakal lebih mudah untukku." Ia berdeham sesaat. "Tapi jika kau ingin membantu, aku tidak keberatan," ucapnya sambil mengedipkan matanya.

Aku menghela napas dengan keras, kemudian mengambil tasku dari atas meja rapat. "Aku tidak akan menjanjikan apa pun."

Itu adalah satu-satunya kalimat yang paling tidak menyakitkan hati yang bisa kukatakan pada Paman.

***

Sepanjang siang ini kuhabiskan waktu kerjaku dengan memindahkan barang-barangku ke ruang Maggie. Kantor Maggie, walaupun sedikit lebih luas dari kantor lamaku yang berisi tiga orang, tampak membosankan dengan rak besar di samping mejanya yang berisi katalog produk dan dinding putih polos penuh dengan penghargaan. Satu-satunya hal yang menarik hanyalah mesin pembuat kopi yang terletak di sudut ruangan.

"Aku ingin mejamu menghadap ke sini, Anna Rosen, agar aku gampang memberimu instruksi nanti," perintah Maggie sambil memberiku isyarat untuk memutar meja yang baru saja kususun. Aku sengaja menempatkan mejaku di dekat jendela agar aku bisa menikmati kopi setiap pagi sambil menatap matahari yang baru terbit. Yeah, walaupun tidak ada jendela lebar setinggi langit-langit dan sofa hitam yang nyaman....

"Barang-barangmu jangan sampai menutup jendela, itu tidak bagus dan mengganggu pemandangan. Cahaya matahari yang seharusnya masuk dengan penuh ke dalam ruangan jadi berkurang setengah." Maggie menegurku setelah aku memutar meja ke arahnya dan melanjutkan membereskan barang-barangku.

"Jangan mendorong kursimu seperti itu, itu bisa menimbulkan bekas gesekan yang jelek dan sulit dihilangkan di lantai. Bagaimana jika ada klien yang mengunjungiku dan menilai perusahaan kita jorok?"

"Anna Rosen. Harus berapa kali kukatakan kalau map-map biru ini disusun sesuai abjad? Harusnya kau mempermudahku, bukannya mempersulit." Teguran ini tidak masuk akal, karena aku jelas-jelas baru pindah ke ruangannya hari ini.

"Anna Rosen, kau tidak mencatat nomor ponselku di samping telepon kantor? Bagaimana jika ada konsumen atau orang penting yang mencariku ketika aku tidak ada? Memangnya kau mau menggantikanku dan mengurus semuanya?"

Sekali lagi ia mengoceh, aku benar-benar akan membanting telepon kabel ini ke wajahnya. Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang disukai Paman dari Maggie. Entah ocehan kodoknya atau ekspresi kodoknya. Barangkali keduanya.

"Anna Ros--"

Kali ini Maggie beruntung karena bunyi deringan ponselku telah menyelamatkannya dari hantaman telepon.

Aku mengecek ponselku, kemudian mematung. 

Bukan nama Lucas Ferrel yang membuat jantungku terasa berhenti berdetak---walaupun hal itu memang sedikit berperan.

Tapi seingatku, aku tidak pernah menyimpan nomornya.

-------------------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top