-10-
👠 -FALLEN- 👠
Revisi-01
~•¤•♢👠♢•¤•~
[PART 10]
~•¤•♢👠♢•¤•~
"Jangan pergi, Ann," Sam berbisik di sampingku. Kemudian ia melirik kartu nama yang sedari tadi kuputar dengan jempol dan telunjukku. "Michelle Scherazade Volex? Terdengar seperti nama seorang psikopat."
"Kau menilai orang dari namanya," tukasku. Aku berhenti memutar kartu nama tersebut dan menatapnya lagi seolah kata-kata yang tertulis di atasnya bisa berubah sewaktu-waktu. Berapa kali pun aku membacanya---walaupun tulisannya tetap sama---aku selalu mengangkat alis. "Dia detektif ... er, percintaan."
Yang benar saja.
"Tapi dia menguntitmu," tukas Sam, yang hanya mengetahui sebagian kisahku. Tentang aku yang sibuk mengejar seorang penguntit kemarin, kemudian si penguntit menawarkan kerja sama yang tidak masuk akal padaku. "Dan apa katanya, ingin 'menyelamatkanmu' dari bahaya?---" ia membuat tanda kutip di udara "---Memangnya hal mengerikan apa yang bisa terjadi di Tashver? Dia gila."
Lucas Ferrel dan dramanya, menurut Mish.
Tapi aku tidak menjelaskan bagian itu pada Sam. Dan aku juga tidak berniat untuk melakukannya, karena reaksinya malah akan membuatku semakin pusing, sementara aku berencana untuk menuntaskan ini secepatnya.
Jadi itulah sebabnya aku menghabiskan hampir satu setengah jam kuliah pagiku untuk memandang kartu nama dari Mish, membiarkan penjelasan Dr. Pearson tentang suku bunga mengawang di atas kepalaku, sementara aku sibuk memutuskan mana yang lebih menyeramkan: Mish atau Luke.
Atau mungkin keduanya. Mungkin mereka memang psikopat.
"Aku tahu, dia memang tidak waras." Sekarang aku mengetuk-ngetukkan kartu tersebut di atas meja, hingga Dr. Pearson melirikku sekilas. Kurasa ia ingin menegurku, tapi setiap kali dosen itu menghukumku dengan memberi pertanyaan analisisnya yang rumit, aku selalu bisa menjawabnya, bahkan mengimbangi sanggahannya, hingga ia sendiri mulai bosan dan membiarkanku.
"Bisa jadi dia itu komplotan penjahat yang ingin menculikmu lalu menjual organ tubuhmu," tambah Sam dengan wajah ngeri.
"Tapi jika ia benar-benar ingin menculikku, kenapa tidak dilakukan kemarin saja?" kataku sambil berpikir. "Kemarin hanya ada kami berdua di gang. Itu kesempatan yang bagus."
"Astaga. Kau mengejarnya sampai ke gang sepi?" Sam membelalakkan matanya. "Bagaimana jika ia ingin melakukan sesuatu yang jahat?"
"Aku punya pump shoes dengan tumit yang cukup tajam," ujarku seolah sepatu hak itu adalah senjata yang paling berbahaya. "Dan seperti yang kau katakan tadi, memangnya hal mengerikan apa yang bisa terjadi di Tashver?" Aku mengutip kalimatnya sambil tersenyum mengejek.
Sam tampak cemberut. "Semua aman kecuali dia. Begini, Michelle Volex adalah cewek gila, dan kita sepakat agar kau tidak menemuinya lagi selamanya."
Mungkin Sam ada benarnya, karena hal pertama yang terlintas di otakku ketika Mish menceritakan hal yang tidak masuk akal itu semalam adalah: aku baru saja mengejar orang sinting.
Aku masih menganga ketika ia menyebutku target selanjutnya. Seolah aku adalah korban pembunuhan berantai berikutnya yang sedang diincar pembunuh. Jika ada orang yang lewat di sekitar kami saat itu, aku akan berteriak, 'Hei, cewek ini gila! Tolong antarkan dia ke rumah sakit jiwa!'
Tapi masalahnya gang itu benar-benar sepi.
"Aku serius, Anna. Aku bisa menunjukkan kepadamu jika kau mau. Ini kartu namaku. Temui aku jika kau sudah berpikir jernih," kata Mish sambil mengeluarkan sebuah kartu kecil dari saku bajunya dan menyodorkannya padaku.
"Aku tidak bisa menjelaskan semuanya di sini. Lucas pasti sedang menunggumu. Kau harus segera kembali sebelum ia mulai curiga, kemudian jangan beritahu padanya kalau kau sudah menemukanku," lanjutnya sambil meraih tanganku, kemudian meletakkan kartu namanya di atas telapak tanganku.
"Well," aku mengerjap bingung. "Sekarang kau terdengar lebih mengerikan dari wanita pencemburu biasa."
Ia menatap mataku lekat-lekat, lalu berbisik dengan nada dramatis, "Percayalah. Lucas jauh lebih mengerikan."
"Jika kau berbohong atas semua ini, kupastikan kau tidak akan hidup dengan tenang, Michelle Volex. Aku bukan jenis orang yang suka memberi kesempatan kedua," ucapku, berusaha terdengar tegas setelah berhasil mengontrol rasa kaget dan bingungku.
Mish tersenyum. "Kau bisa memegang ucapanku," katanya, kemudian meninggalkanku dengan langkah cepat.
Kali itu aku tidak mengejarnya. Selain karena kakiku sudah terlalu sakit untuk berlari, aku teringat kalau aku meninggalkan Luke dan tasku di restoran.
Tapi ketika aku berjalan kembali ke restoran, baik tasku dan Luke tidak ada di tempatnya. Aku tidak mencurigai Luke mencuri tasku---untuk apa seorang manajer bermobil Ferrari mencuri tas wanita biasa yang isinya hanya ponsel, dompet berisi uang puluhan dolar, kartu kredit, dan beberapa voucher diskon tempat makan?---jadi aku langsung menghentikan salah satu taksi, kembali ke kantorku dan meminjam uang Jossy untuk membayarnya.
Lalu, seolah sudah mengetahuinya, aku tidak heran ketika mendapati tas putihku sudah terletak dengan manis di atas meja kerjaku, dengan secarik kertas yang terselip di bawahnya.
'Maaf meninggalkanmu tanpa izin tadi. Tiba-tiba ada urusan mendadak. Akan kutebus kapan-kapan :)
-L-'
Aku tidak sempat memikirkan pesan Luke lagi, karena kartu nama Mish yang kugenggam saat ini jauh lebih menyita perhatianku.
"Berjanjilah kalau kau tidak akan pergi." Sam mengulangi perkataannya ketika aku tidak menjawab.
Aku melirik Sam sekilas sebelum kembali berpura-pura memerhatikan Mr. Pearson yang tampaknya sedang dilanda dilema untuk memberiku hukuman atau tidak. "Yeah, tentu saja. Aku tidak sekurang kerjaan itu."
"Bagus." Aku bisa merasakan Sam menopang dagunya dan menatapku sambil tersenyum lebar di sebelahku. "Hei, kau tampak cantik dari samping."
"Sam, putar kepalamu sembilan puluh derajat ke kanan sekarang juga," gumamku ketika Mr. Pearson masih belum melepaskan pandangannya dari kami dengan ekspresinya yang berbahaya.
"Kenapa? Aku hanya memujimu. Aw, apa kau tersipu?" Sam menggodaku dengan mencolek pipi kananku.
"Mr. Pearson sedang berjalan ke arah sini, bodoh," desisku.
Tepat ketika Sam menghadap ke depan, Mr. Pearson sudah berada di samping mejanya.
"Nah," Mr. Pearson menatap Sam dengan senyuman yang berbahaya, "siapa namamu, Nak?" Dosen tua itu membuka buku absen di tangannya. Rupanya kali ini ia lebih memilih Sam sebagai sasaran alih-alih diriku.
Seharusnya Sam berada di kelas yang berbeda denganku---dia mengambil jurusan Manajemen Bisnis, sementara aku Manajemen Pemasaran. Tapi terkadang ketika Sam bosan, ia menyusup ke kelasku, setelah meminta salah satu teman sekelasnya untuk menandatangani absennya. Tidak ada yang menyadari hal ini selain kami dan teman-teman sekelas yang tampaknya tidak keberatan dengan kehadirannya.
Aku sudah menegurnya beberapa kali, tapi tetap saja Sam membandel. Walaupun sebenarnya aku tidak terlalu keberatan, karena dengan kehadiran Sam, setidaknya aku punya teman dekat---baiklah, pacar.
Dan sekarang Sam akan mendapat masalah, ketika Mr. Pearson menggoyangkan pulpennya di atas buku absen sementara matanya menyipit pada Sam di balik kacamata berbingkai tipis. Aku bisa merasakan satu kelas mulai sunyi---benar-benar sunyi, seolah setiap tarikan napas mereka akan menimbulkan ledakan atau semacamnya---karena mereka juga menyadari satu hal. Nama Sam tidak pernah ada di daftar absen kelas ini.
"Michael Chidwicky, Sir," Sam menjawab santai, menyebut nama anak kikuk yang paling pendiam di kelasku.
Sontak satu kelas langsung menoleh ke arah Michael yang duduk di pojok kelas. Anak itu mengerang tanpa suara, tampak ingin membantah. Tapi aku tahu ia tidak akan berani melakukannya. Jadi Michael hanya menunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dengan pasrah.
"Baik, Michael... Saya akan mengingat namamu," kata Mr. Pearson sambil memberi tanda di daftar absennya, tidak sadar kalau murid-murid di kelasnya mulai terkikik pelan. "Karena tampaknya kau sudah merasa pintar di kelas ini, aku tidak mau melihat nilaimu kurang dari A di kuis minggu depan. Atau kau akan mendapat hukuman."
Michael yang malang.
***
"Kau parah sekali. Bersyukurlah karena Michael tidak mengatakan apa pun tadi." Aku menggelengkan kepalaku pada Sam yang tertawa terbahak-bahak ketika pergantian kelas.
"Justru karena aku tahu Michael tidak akan berani menyela, makanya aku menyebut namanya," katanya, masih tertawa. "Lagipula dia kan pintar. Seharusnya mendapat nilai A bukan masalah yang besar untuknya."
"Terserah, deh." Aku mengangkat bahuku cuek sambil mengecek ponselku, kemudian mendapati lima misscall dari pamanku, dua misscall dan tiga pesan dari Jossy, lalu satu voicemail dari Maggie.
Wah. Apa kantor mengalami kebakaran?
Aku membuka pesan dari Jossy yang isinya tentang pengumuman rapat penting dadakan yang diadakan pukul sebelas siang nanti. Yakin kalau voicemail dari Maggie juga berisi hal yang sama--tapi pasti jauh lebih tidak enak didengar--, maka aku langsung menghapusnya. Aku tidak ingin suaranya merusak pagi cerahku.
Akhirnya aku menekan nama contact Jossy di layar ponsel, kemudian meneleponnya, yang langsung diangkatnya setelah deringan pertama.
"Ann! Akhirnya kau angkat teleponku," seru Jossy lega di seberang sana.
"Hei, kan aku ada kuliah pagi hari ini. Harusnya kalian tahu." Saat itu aku sedang menuruni tangga, menuju ke kelas Akuntansi di lantai paling bawah.
"Tapi ini rapat penting! Kata bos kau harus hadir. Tadi ia meneleponmu berkali-kali."
"Astaga, sekarang sudah pukul sepuluh tiga puluh," kataku sambil melirik arlojiku.
"Masih sempat, Ann. Kau mau aku menjemputmu?" tanyanya.
"Tidak perlu, trims. Aku tidak ingin merepotkanmu. Bilang ke mereka aku akan segera tiba di sana dalam dua puluh menit. Daah," kemudian aku menutup telepon.
"Ada apa?" tanya Sam ketika kami sudah mencapai lantai dasar.
"Aku harus izin kuliah. Ada rapat mendadak," kataku sambil melangkah ke koridor yang mengarah ke luar kampus alih-alih menuju ke kelas.
"Yaaah ...." Sam mengikutiku dengan tatapan kecewa. "Jadi aku tidak bisa makan siang denganmu lagi dong."
Aku tertawa. "Kita bisa melakukannya kapan saja, Sam." Lalu aku menghentikan langkahku dan menatapnya. "Oh ya, bisakah kau menitipkan pesan ke Ms. Hazel untukku?"
"Baiklah." Ia menghela napas, kemudian menatapku cerah, "Hei, kuantar kau ke kantor saja! Lalu aku akan menunggumu dan kita makan siang bersama!"
"Kau tidak boleh membolos kuliah lagi, Sam." Aku memutar bola mataku.
"Kau juga membolos."
"Aku izin. Urusan kantor, ingat?" ujarku mengingatkan. "Lagipula kau jauh lebih sering membolos mata kuliahmu sendiri. Sudahlah, aku buru-buru. Sampai jumpa."
"Kau akan terlambat jika harus menunggu taksi lagi. Sebaiknya kuantar saja," tawar Sam. "Setelah itu aku berjanji tidak akan sering-sering membolos," tambahnya sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.
Aku menatapnya sambil menimbang beberapa saat. Sam benar, akan lebih cepat jika ia mengantarku.
"Ayolah, ini terakhir kalinya aku membolos," ia merangkul pundakku. "Demi kau."
"Bagaimana dengan Ms. Hazel?"
"Soal itu gampang. Aku akan meminta temanku untuk menyampaikannya," katanya. Mungkin ini lah salah satu keuntungan bersahabat---oke, berpacaran---dengan orang yang memiliki banyak koneksi di kampus.
"Jadi, ayo kita membolos." Sam menarik pergelangan tanganku sambil tertawa jail.
Aku berdeham.
"Maksudku, ayo kita mengorbankan jam kuliah yang berharga demi kepentingan Sang Ratu," katanya nyengir.
---------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top