-1-
A right shoes can make everything different
-Jimmy Choo-
👠 -FALLEN- 👠
Revisi-02
~•¤•♢👠♢•¤•~
[PART 01]
~•¤•♢👠♢•¤•~
~~¤~~
Aku melangkahkan sepatu merah maroon-ku di sepanjang trotoar, sesekali menghindari tatakan batu bata yang mulai berlubang yang tampak mengancam keselamatan pergelangan kakiku jika seandainya aku tidak sengaja menjebloskan salah satu kakiku ke dalamnya. Untunglah hak sepatu yang kukenakan hanya setinggi tiga senti, jadi aku tidak terlalu kesulitan berjalan di atas batu-batu yang tidak rata ini.
Kalau bukan karena ingin menghemat tabunganku demi tas tangan Chanel hitam yang harganya hampir setara dengan gaji dua bulanku, aku tidak akan repot-repot berjalan kaki dari kantor tempatku bekerja ke kafe.... Yang masih berjarak sekitar sepuluh blok lagi.
Aku tahu, suhu kota saat ini hanya dua puluh tujuh derajat, karena aku tidak sengaja mendengarnya di berita tadi pagi. Tapi, jika kau telah berjalan sejauh dua kilometer di bawah cahaya matahari---oke, aku memang terlindung di bawah pohon-pohon dari pinggir jalan, tapi tetap saja---kau pasti juga akan merasa panas.
"Ouch!" seruku kaget ketika seseorang menabrak bahuku dengan keras hingga aku terhuyung beberapa langkah.
"Maaf, maaf!" seru si penabrak dengan cemas. "Kau tidak apa-apa, Miss?" Pria penabrak itu mencengkram kedua lengan atasku, seolah aku ingin tumbang atau semacamnya.
Hei, aku masih stabil.
Tapi aku tidak punya banyak waktu, jadi aku hanya menggeleng pelan dan berdeham ala wanita sibuk---well, aku memang sibuk. Setelah mengusap tas kulit putihku untuk memastikan kalau kondisinya aman, detik kemudian aku langsung berjalan cepat menjauhinya, masih dengan gaya wanita sibuk.
Aku bahkan tidak sempat memerhatikan si penabrak---untuk jaga-jaga seandainya saja ia melakukan sesuatu padaku ketika kami bertabrakan tadi---selain mengingat fakta kalau pria itu memakai kacamata gelap.
Informasi itu jelas tidak banyak membantu.
Baru saja ketika aku ingin membuka pintu kafe, tiba-tiba sesuatu mendarat di bahuku. Aku memiringkan kepalaku dan mendapati sebatang anak panah plastik pendek yang menempel di kemeja biru cerahku. Alih-alih jarum tajam, ujung panah tersebut berbentuk seperti ujung pompa kecil, dilapisi begitu banyak perekat hingga aku sedikit kesulitan mencabutnya.
Sial. Jangan di kemeja ini.
Ketika kesabaranku sudah hampir mencapai batas, anak panah tersebut akhirnya terlepas dari bahuku dan meninggalkan bekas lem kecoklatan yang kontras dengan warna kemejaku. Aku menghela napas kesal, menyibakkan rambut coklat panjangku untuk menutupinya, kemudian berjalan ke arah tempat sampah di depan kafe sebelum menyadari secarik kertas yang digulung di permukaan batang panah tersebut.
Penasaran, aku menarik gulungan kertas itu dan membacanya.
'Kau target berikutnya.'
Aku mendengus pelan dan meremas kertas kecil tersebut, kemudian membuangnya bersama anak panah mainan tadi ke tempat sampah. Ini pasti ulah segerombolan remaja SMP bosan hidup yang membolos sekolah.
Dasar remaja iseng kurang piknik.
Dan lagi-lagi, aku tidak punya waktu untuk menemui sekelompok remaja tanggung yang mungkin sedang bersembunyi di balik semak-semak untuk memberi saran-saran yang lebih baik dalam mengerjai orang tanpa mengotori kemeja mereka. Sekarang aku sedang buru-buru. Aku harus bertemu dengan pacarku siang ini. Atau calon mantan pacarku. Ada hal penting yang harus kusampaikan padanya.
Calon mantan pacarku itu menghampiriku dengan berseri-seri ketika melihatku memasuki kafe, seolah ia adalah anak kecil dan aku adalah makanan yang ia tunggu-tunggu sejak tadi.
Tapi Sam memang tampak seperti anak kecil, jika melihat mata biru langitnya yang selalu berseri, sepasang lesung pipi dan deretan rapi gigi putih yang selalu ia tampakkan setiap kali ia tersenyum seolah ia selalu menjalani hidupnya tanpa beban, rambut pirang panjang yang sengaja ia biarkan acak-acakkan, dan ekspresi konyolnya yang tidak pernah malu-malu ia tunjukkan padaku. Hoodie biru keabuan, celana olah raga abu-abu gelap, dan Vans putihnya memang membuatnya terlihat imut---jenis cowok-cowok yang membuat para siswi SMA melirik lebih dari dua kali ketika berpapasan di jalan---tapi tidak maskulin. Tubuh berotot yang ia dapat dari hasil gym rutinnya juga tidak banyak membantu.
Aku selalu menganggapnya sebagai adik, yang sebenarnya aneh, karena pada kenyataannya Sam lebih tua setahun dariku. (Kami bisa mengenyam pendidikan di tahun yang sama hanya karena Sam telat mendaftar sekolah dulu)
Well, sebenarnya lebih aneh lagi, karena Sam itu kan pacarku.... Setidaknya sampai beberapa menit ke depan.
"Hi, sayang." Sam merangkul pundakku dengan senyum bahagia khasnya, kemudian menuntunku ke meja di pojok kafe dan menarik salah satu kursi kayu untukku.
Aku membalas senyumannya. Tapi berbeda dengannya, senyumku lebih singkat dan tidak basa-basi.
"Kita sama-sama berpakaian biru hari ini." Ia duduk di hadapanku, meletakkan kedua sikunya di atas meja dengan dagu yang tertopang pada kedua telapak tangannya.
Aku berdecak santai, menarik selembar tisu di atas meja dan mengusap tepi dahiku yang ternyata kering sama sekali. "Itu karena tadi pagi kau menanyakan baju apa yang kupakai hari ini."
"Ayolah, berpura-pura saja kalau ini memang kebetulan," katanya pura-pura cemberut.
"Well, oke, kebetulan sekali aku memakai kemeja biru cerah dan pakaianmu biru gelap. Sangat tidak kontras," balasku sambil membuang tisu sia-sia tersebut ke tempat sampah di sampingku.
Sam hanya nyengir. Aku tahu ia sudah terbiasa dengan sikapku, mengingat kami sudah beberapa bulan berpacaran. Karena kalau tidak, ia pasti sudah kabur sejak dulu.
"Baiklah, mungkin kapan-kapan kita harus membeli baju pasangan," kekehnya.
Alisku mengernyit ngeri ketika membayangkan Sam dan aku yang harus berjalan memakai kaus merah muda bergambar sama, seolah kami adalah sepasang kembar konyol. Sheila, sahabatku, biasanya menganggap hal itu adalah hal yang imut. Dan tentu saja, definisi imut olehku dan Sheila berbeda.
Tapi tampaknya Sam tidak menyadari ekspresiku, karena ia langsung memulai ceritanya dengan semangat, seperti setiap biasanya. "Kau tahu, aku hampir ketahuan mencontek ketika kuis tadi ...."
Biasanya aku selalu menanggapi cerita-ceritanya, karena Sam selalu bisa membuat hal-hal kecil di sekitarnya terdengar mengasyikkan. Tapi kali ini pikiranku dipenuhi hal lain.
"Lalu dosen itu percaya saja!" Ia tertawa terbahak-bahak, lalu segera menghentikan tawanya ketika melihatku sama sekali tidak bereaksi.
"Kau sedang tidak sehat?" tanyanya sambil menatapku cemas. Ia selalu menganggap orang yang tidak menertawakan leluconnya adalah orang yang tidak waras.
Aku berdeham keras, hanya untuk memastikannya dengan tegas kalau aku masih waras. "Dengar, Sam. Ada hal penting yang harus kusampaikan. Mengenai hubungan kita."
Seorang pelayan meletakkan dua cangkir minuman di atas meja kami. Bau minuman itu mencairkan ketegangan kecil yang terjadi di antara kami, sampai aku sadar kalau itu---
Oh sial, cappucino dengan marshmallow yang setengah meleleh di atasnya. Sekarang rasanya satu-satunya keinginanku hanyalah menikmati minuman itu dengan damai dan diam, membiarkan rongga mulutku berorgasme, meresapi setiap kafein yang---
Oh, tapi sial lagi, jam istirahatku hampir habis. Aku tidak bisa mengambil risiko membiarkan kopi cantik itu mengambil semua sisa waktuku.
Sam yang mulai tampak curiga mengambil kesempatan itu. "Baik, kita tidak akan membicarakan apa pun sampai kau menghabiskan minumannya."
"Tidak, aku harus mengatakan sekarang. Lebih cepat lebih baik."
Cowok pirang di depanku menatapku beberapa saat. Garis-garis di wajahnya yang biasanya tampak santai mulai menegang. "Tidak. Aku tidak mau mendengarnya."
"Aku tetap akan mengatakannya," kataku tegas, menahan bau harum kopi yang terus menggelitik lubang hidungku.
"Aku tidak bisa mendengarmu." Sam menutup telinganya. Dia mulai panik.
Aku melirik arlojiku tidak sabaran. "Ayolah, sebentar lagi jam istirahat makan siangku berakhir."
Seperti Sam, aku memang sedang kuliah sekarang. Tapi aku juga kerja sambilan di perusahaan pamanku, dengan jam kerja fleksibel yang bisa disesuaikan dengan waktu kuliah. Yeah, ibuku juga memaksaku bekerja di sana, katanya agar aku bisa lebih mandiri.
Aku tidak menyalahkan Mom. Kurasa ia hanya ingin aku terbiasa bekerja keras, mengingat ia sendiri juga harus bersusah payah membesarkanku sendiri sejak kedua orangtuaku bercerai sepuluh tahun yang lalu. Well, Dad memang membiayai semua pendidikanku, tapi Mom tetap bekerja keras.
Memang tidak mudah kuliah sambil bekerja. Tapi ketika setiap kali aku melirik kalender dan mendapati kalau saat itu adalah awal bulan (baca: gajian), semua itu terbayarkan. Artinya, bakal ada kartu debit yang sering digesek nanti. Dan bakal banyak kantong-kantong belanjaan yang bertumpukan di atas tempat tidurku, dengan nama merk yang berkilau indah di permukaan kantong itu.
"Tidak." Sam menggeleng dengan ngeri. "Kau mau minta putus. Itu yang selalu dikatakan semua orang ketika memasang tampang seserius itu."
Oh, dia berhasil menebaknya.
Mungkin saat ini aku terlihat seperti cewek-cewek kejam yang memutuskan kekasihnya seenaknya, seperti yang dilakukan Sheila pada setiap cowok yang sudah ia pacari lebih dari satu minggu. Yeah, aku memang memutusi Sam tanpa keberatan, tapi aku bukan Sheila.
Dan jika kalian bertanya bagaimana aku dan Sam bisa berpacaran, ceritanya cukup sederhana. Saat itu kami masih kelas dua belas, dan ketika Sam memintaku menjadi pacarnya, aku langsung menerimanya. Maksudku, kenapa tidak? Aku belum punya pacar dan belum menaruh perhatian secara khusus pada cowok manapun. Lagipula Sam imut dan manis.
Hei, aku tidak memanfaatkannya atau mempermainkannya. Aku juga menyayanginya, sebagai adik---atau teman, karena istilah itu sepertinya kurang tepat. Setidaknya terjadi simbiosis mutualisme di antara kami. Tidak ada yang dirugikan. Kami sudah duduk di bangku kuliah semester satu, dan semuanya berjalan dengan lancar, sampai sekarang ini.
Aku hanya tidak paham dengan konteks saling mencintai ala sepasang kekasih. Maksudku, tidak ada logika yang mendasari fenomena itu....
"Well ... yeah ...." Aku menggulung rambut coklat panjangku.
"Apa kau bosan padaku?"
"Tentu saja tidak!" sergahku. "Kau asyik dan baik! Tapi ... yeah ... Mom memasangkanku dengan orang lain." Aku tidak bohong. Ibuku memang memintaku untuk bersiap-siap dipasangkan dengan putra seorang temannya.
Klise, tapi itu yang terjadi.
Aku sempat ingin membantah Mom malam itu. Tapi baru saja aku membuka mulut, Mom sudah menghentikanku dengan mengatakan, "Please, sayang, jangan ada penolakan. Aku tidak suka drama."
Sama, aku juga.
"Tapi---"
"Kalau kau membantah, aku akan menghukummu."
Tapi aku tidak tahan untuk tidak mengatakan, "Aku hanya mau bilang, kalau sebenarnya Mom lah yang telah memulai drama dengan ... pemasangan ini." Aku sadar kalau aku menghindari kata 'perjodohan'. Terdengar menggelikan soalnya.
Setelah aku mengatakan kalimat itu, Mom tidak berbicara padaku lagi selama beberapa hari, yang artinya aku juga kehilangan cemilan makan malam yang biasanya sering kami lakukan di akhir pekan sambil menonton film yang Mom sewa. Itu sedikit menyiksaku.
"Kau dijodohkan?" Sam terbelalak menatapku.
"Dipasangkan," ralatku. "Maksudnya, Mom sudah mencarikanku calon suami."
"Dijodohkan?" Sam mengulang dengan nada yang lebih ngeri. "Apa ibumu tidak tahu kalau kau sudah punya calon suami yang tepat untukmu?" Sam menunjuk dirinya dengan tersinggung.
"Dipasangkan," ralatku lagi. "Sebenarnya Mom tidak tahu kalau aku punya pacar." Gulungan rambut di telunjukku sudah semakin tebal, sampai kulepaskan lagi, dan kemudian aku menggulung sejumput rambut lain.
Sebenarnya, Mom bahkan tidak akan peduli jika aku punya pacar atau tidak.
"Kalau begitu katakan, Ann! Ayo, aku akan menemuinya." Sam bangkit dengan cepat dan menarik pergelangan tanganku.
"Tidak, Sam. Aku tidak ingin menambah masalah," kataku lelah.
Bagaimanapun juga, ini adalah kesempatanku untuk putus dengannya. Sam terlalu asyik, dan aku selalu menganggapnya sebagai adik---atau sahabatku. Dan aku tidak bisa membayangkan harus menikah dengan adik---maksudku sahabatku sendiri---lalu punya anak, bertengkar, cerai, dan aku menjadi single parent. Iuh.
Aku tahu, Sam memang pacarku. Tapi itu kan hanya status. Titel. Gelar. Atau istilah tanpa arti khusus.
"Kita bahkan belum genap satu tahun berpacaran!" kata Sam frustrasi sambil kembali membanting tubuhnya di kursi. "Dan kita belum pernah melakukan apa-apa!" tambahnya dengan sedih.
Aku tahu maksudnya dengan 'melakukan apa-apa'. Selama kami berpacaran, hal paling jauh yang pernah ia lakukan hanya merangkulku, dan ketika ia mulai menunjukkan tanda-tanda ingin mentransfer jutaan bakteri di lidahnya ke mulutku, aku selalu berhasil menghindarinya dengan sejurus alasan.
Selama itu tidak terjadi, aku cukup nyaman dengan hubungan kami.
"Kita harus putus, Sam," kataku tegas. "Begini, sejujurnya kita bisa menjadi sahabat yang asyik," tambahku ceria.
Tapi Sam tampak tidak mau mendengarku. Dia bahkan tampak seperti tidak ingin mengarkan apa pun.
"Apa kau sedang kekurangan cairan, sehingga kau tidak fokus, Ann? Aku pernah mendengarnya di sebuah iklan--"
"Bersikap seriuslah, Sam. Aku tidak ingin memperumit masalah ini." Aku mendeliknya kesal. Sam mulai menyebalkan.
"Tapi aku mencintaimu, Ann. Aku tidak ingin melepaskanmu." Ia menggenggam erat tanganku. "Tidak demi orang yang bahkan belum kau kenal!"
Aku memutar bola mataku. "Kenapa putus tidak semudah jadian, sih? Ini hanya status, Sam. Kita bukannya benar-benar berpisah. Ayolah, aku benar-benar tidak ada waktu," tukasku sambil melirik arloji lagi.
Kemudian Sam terdiam. Kedua mata birunya menatapku lekat-lekat dengan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan. "Anna," panggilnya dengan suara rendah.
Aku membalas tatapannya dengan penuh harap. Mungkin akhirnya Sam menyerah, dan kami menjadi sepasang sahabat yang asik dan hidup bahagia selamanya. Yay.
"Selama ini kau tidak serius mencintaiku. Ya, kan?"
Ups.
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top