Rihlah Di Bumi Spanyol

Jika saat ini kita mengenal Spanyol karena Madrid dan Barcelona, maka jangan lupa islam pun pernah mengariskan sejarah membanggakan di negri Matador tersebut. Bahkan, islam pernah mencapai puncak kejayaanya dengan adanya bukti-bukti peradaban islam yang masih ada dan bisa ditelaah hingga kini karena situs sejarah berharga bagi agama islam telah menjadi objek memukau di Andalausia.

Cuaca di sekitaran kota Seville cukup berteman pada siang hari ini. Hembusan angin menyusuri di sekitar bumi. Manik mata selembut madu itu menatap langit-langit kota penuh cinta dan damai. Layaknya gadis yang kembali mengenal dunia. Di lobby apartemen, gadis dengan tinggi semampai yang setia dengan mantel berbulu mocca dipadu celana kulot merah hati serta scraft sebatas dada tak luput dari pandangan orang yang lalu-lalang.

Hiruk-pikuk di sekeliling lobi mendominasi. Banyak anak-anak yang berkulit putih serta rambut pirang mengisi dimensi dalam ruangan ini.

Kedua manik matanya menangkap siluet bergaya feminim dengan rambut kecoklatan digerai ke bawah melangkah menghampiri. "Sorry, I'm late," kata perempuan berparas anggun dengan memasang raut wajah bersalah.

Gadis bernama Hafshah tersebut mengangguk dan tak luput memasang senyum simpul. "Nggak apa-apa, aku sudah biasa menunggu, Lan," gurau Hafshah di tengah-tengah kecangunggungan mereka.

"Menunggu yang tidak pasti, eih?"
Hafshah mengerucutkan bibirnya seraya mencubit lengan Alanza pelan.
Alanza terbahak keras tak mengindahkan rasa malu di hadapan banyak orang. "Sorry...," desahnya kala mendapatkan pelototan dari Hafshah. "Kita balik ke rencana awal, you wanna go around Spanyol now?"
Tanpa berpikir panjang Hafshah mengangguk semangat, karena ia tak sabar lagi menjelajahi kota sejuta peradaban islam serta negara yang penuh dengan kilas balik kemunculan agama damai ini. Namun di balik itu semua ada kisah kelam terukir dalam sejarah Spanyol bagi agama rahmatan lil alamin, yaitu datang, berkuasa, kalah, dan terusir.

****

Sejenak gadis berbulu mata lentik ini terpana akan keindahan kota Seville. Belum sampai 2x24 jam, ia menapakkan kakinya di kota besar yang memancarkan keanggunan dunia. Dan dirinya sangat tak menyangka akan berada di negri Matador tersebut.

"Kota Seville ini merupakan salah satu saksi kejayaan islam, Shah. Orang Arab biasa menyebutnya kota Asbiliya. Kota yang sangat kental dengan sejarah islam." Usai menempuh perjalanan di sekitar trotoar, Alanza kembali menceritakan hal-hal yang ia ketahui tentang peradaban islam di negri Spanyol. Gadis bersuku basque tersebut tersenyum semringah, kendati agamanya tak selaras dengan sahabat berkerudung di dekatnya ini, akan tetapi ia sangat mengenal jelas penjuru-penjuru peradaban islam di Andalusia.

"Oh ya? Berarti kota ini sangat berperan penting bagi agama islam, ya?"

Alanza menggeleng. "Bukan hanya Seville saja Shah, namun rata-rata kota di Spanyol ini merupakan sejarah penting bagi agamamu," ada jeda di celah perkataan Alanza, "contohnya kota Cardoba yang terletak di sebelah selatan Spanyol dan merupakan salah satu kota paling kaya peninggalan sejarah islam. Di Cardoba ada mezquita Cathedral atau masjid Cardoba. Pokoknya aku sarankan kamu harus berkunjung ke masjid itu...."

"Pergi kalian dari sini... pergi!" Suara pelengkingan nenek tua di ujung trotoar menyadarkan kedua sejoli ini. Dengan gerakan tanpa ampun nenek tua yang bungkuk tersebut mengibaskan tongkatnya ke arah dua pria dewasa yang mengenakan baju dan celana sobek. Nenek tersebut kembali melengking mengisyaratkan pertolongan sambil melindungi tas kulit di tangan kirinya.

Lantas saja menyaksikan itu semua, Hafshah dan Alanza membantu nenek tua teresbut untuk menyingkirkan dua pria di hadapannya ini agar segera berlari. "Don't distrub us," pekik Hafshah. Namun naas, tak dapat yang berharga yang murahan pun jadi. Dua pencuri tersebut merampas tasnya yang bertengger di bahu. Sepersekian detik, Hafshah tak bisa membayangkan detik-detik kejadian begitu saja. "Please, help me....," teriak Hafshah menahan likuid di pelupuk mata sambil berlari mengejar pencuri tersebut tanpa mengindahkan teriakan Alanza.

Brukk!

Gadis itu tersungkur. Ekor matanya hanya mampu melihat punggung kedua pecuri tersebut yang lamat-lamat menjauh.

Dua pria beralis tebal serta postur wajah yang sama mendekati Hafshah, namun semua itu terhenti saat suara teriakan mengunci indra pendengar Hafshah. "She is moslem. You know!" bentak pria berahang tegas seraya memasang raut wajah sinis mengiris bumi.

Memandang lemah, hatinya seakan terpecah belah. Dia seolah kehilangan keseimbangan untuk bertahan. Benar. Islam dan Spanyol adalah dua hal yang bertolak belakang di bumi ini. Pedang cakrawala tak mampu lagi menghunus sekat-sekat histori. Perjalanan angkasawi tak luput dari malapetaka bagi islam di negeri ini. Sebab nama yang diagungkan itu bak desau masa lalu yang menjadi album terkini.

****

"Hei...," Hafshah memekik seraya mengejar lelaki tersebut. "Can I ask for you," jeritnya lagi ibarat kicauan burung kesakitan. Dilihatnya lelaki berambut ikal yang kemarin marah-marah tak jelas menoleh. Ia menghampiri tak luput dari sorot tajam laki-laki berperawakan tegap seakan mengintimidasi lawan bicara.
Generos mengangkat alisnya ketika gadis berkerudung yang ia temui di sepanjang hari kemarin tersenyum lebar. "Tidak ada yang perlu ditanya karena waktu saya tak dihabiskan untuk berbicara bersama anda," katanya telak.

Hafshah tercengang, bibir ranumnya terbuka sempurna terperangah mendengar ucapan singkat namun membekas di jiwa. "Mungkinkah islam dipandang asing di negara ini? Karena saya yakin kamu bisa menjelaskan itu semua."

Pria itu tersenyum tawar. Hambar tak ada rasa. "Agamamu itu kejam, semena-mena, egois, dan merasa benar sendiri. Anda pergi dari sini atau saya kucilkan kamu di lorong yang sepi?" ancam Generos tak main-main. Manik mata sehitam elang tersebut melotot, terlihat bola mata seolah akan keluar dari kelopaknya.
"Terserah kamu ingin memaki-maki saya atau melempar saya ke jurang sekali pun saya akan tetap terima. Tapi jangan pernah anda berbicara buruk terhadap agama saya karena kalian tak tahu seindah apa saya mempunyai iman dan dapat merasakan cinta sesungguhnya dari agama ini."

Kicauan burung menemani perdebatan mereka. Di pagi yang cerah dipadu semilir angin sangat tak mendukung adanya pertikaian di tengah-tengah cuaca damai ini.

"Baiklah...," sahut Generos mantap sambil mencekal pergelangan tangan Hafshah dengan kuat sehingga menimbulkan pelengkingan hebat dari suara gadis tersebut. Generos menggeret sampai ke ujung lorong yang nampak senyap tanpa pejalan satu pun. Keadaan di sekitar lorong itu pun gelap berhimpit dengan gedung-gedung lebar. Pantaslah membuat Hafshah ketar-ketir saat ini.
Dan kali ini Hafshah menyesali perkataannya. Dia seolah senjata makan tuan. Terkena buntungnya sendiri. "Lepaskan saya!!!" jerit Hafshah tertahan. Air matanya tak berhenti mengalir. "Anda tahu keluarga besar saya hampir bangkrut, orang tua saya luntang-lantung, dan yang lebih menyedihkan lagi kami diusir oleh pimpinan di bawah naungan agama islam. Jadi anda tahukan sebesar apa saya membenci agama islam!" Generos menghempaskan pergelangan tangan Hafshah ke udara. Pikirannya kacau, semerawut seperti kabel kusut. Ia mengacak-acak rambut ikal miliknya sambil memejamkan mata.

"Atau memang anda ditakdirkan oleh Tuhan bahwa anda adalah objek saya untuk membalas dendam?"

Tercengang ketakutan, Hafshah menggeleng cepat. Tangannya ditangkupkan di mulut menahan isak tangis yang kian menjadi. Ia tak lupa berdzikir dan berdo'a meminta pertolongan Dzat Yang Maha Mempusakai bumi. Logikanya tak sampai ke situ. Ya Allah... engkaulah maha pemberi pertolongan.
Pria bermata sipit itu melonggarkan ikat pinggang. Rasa manusiawi tak lagi melekat di hati sekeras batu ini. Tangannya telah siap menghunus dan menyerang gadis yang sekarang terbujur lemah meratapi nasib dimensi sekarang. "Keluarga saya tinggal di Istanbul hampir sepanjang hidup mereka, dan ayah saya pun lahir dan dibesarkan di sana. Keluarga saya adalah barisan pejabat kaya, berpendidikan, dan seperti layaknya keluarga kristen orthodok yang tinggal negara islam." Sorot matanya nelangsa jauh di masa silam. Namun tangannya refleks menyebat ikat pinggang tersebut di sekujur tubuh Hafshah. Perasaannya telah mati hanya tinggal raga yang lamat-lamat pun akan pergi. Lagi, bunyi desis mengisi seantero lorong sepi ini.
Sekujur tubuh Hafshah melemah dan bergetar hebat. Ia layaknya gadis yang tidak ada lagi kekuatan. Pasrah dan ikhlas. Karena siapa yang akan menolongnya di negara orang ini. Suaranya tergugu kencang menahan pedih di tiap sisi tubuh.

Cetas!

"Ya Allah...," teriaknya menahan kesakitan kesekian kalinya.
"Kamu ingin meminta penjelasan tentang islam menurutku kan? Dan saya akan menambahkan bonus saat-saat tersiksa dahulu. Sehingga saya dapat berdiri di Spanyol ini." Generos tersenyum sengit. Tak memedulikan musuh tersebut hanya tersisa sedikit kekuatan. "Kemudian datang di mana pemerintah Turki memutuskan untuk mengusir warga Yunani dan mengambil semua kekayaan milik kami. Dan anda tahu, kelang beberapa hari ibu saya frustrasi menghadapi ini semua. Ibu saya gila sampai sekarang!" pekik Generos di kalimat terakhir sambil mengibas ikat pinggangnya lagi di sekitar pinggang Hafshah, sehingga mengeluarkan bunyi desis memekakkan indra telinga.

Pria tersebut mengangkat tangannya di udara dan siap melayangkan kembali pukulan di wajah lembut Hafshah, akan tetapi pertolongan datang dari nenek tua bertongkat yang ditolong Hafshah kemarin. Teriakan nenek tersebut menghentikan kekerasan fisik yang dilakukan Generos.

"Hentikan perbuatanmu itu!" jerit nenek tersebut seraya memukul kepala pria tak berperasaan ini menggunakan tongkatnya. "Cepat pergi dari sini. Dan telepon pihak berwajb, sekarang!!!" seru nenek berambut putih pirang ini kepada Hafshah dan melanjutkan kembali, "cepat, tidak usah memikirkan nenek."

Sebelum beranjak dari tempat terkutuk tersebut, Hafshah melayangkan seruan atas perbuatan yang dilakukan oleh pria ini, "Karena anda adalah segelintir raga yang tak mempunyai masa depan semenjak islam kau jadikan kambing hitam." Hafshah berusaha cekatan melangkah jauh dari tempat tersebut seraya menahan ngilu dan pedih di sekitar tubuhnya. Tubuhnya perlahan menjauh, dilihatnya saat mobil dengan sirene khas di sebrang sana. Hafshah berharap pria tersebut bisa merubah pemikirannya dengan sangat apik.

****

Sistem peradaban islam di Spanyol. Itulah serangkaian kata yang menjadi objek kenapa Hafshah bisa berada di sini. Mengamati dan mengidentifikasi penjuru-penjuru tentang negri Barcelona ini. Seketika menjadi bencana yang datang menimpa diri. Spanyol... negara yang sangat kental dengan sejarah islam. Namun di balik sejarah tersebut ada sebagian masyarakat tersiksa dalam kehidupan. Menjadikan kebencian adalah syarat hal utama yang membuat agama islam benar-benar telah asing di Andalusia.
Sebab kita adalah agama yang penuh berkah. Dengan itu buktikan bahwa di penjuru dunia agama islam adalah suatu keberkahan yang di datangkan bagi dunia ini. Semoga tiap-tiap kejadian bisa membuat kita mengubah rasio masyarkat bahwa agama islam tak seburuk yang mereka bayangkan...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top