17. If I

Dia bukanlah tipe lelaki yang sering menimbang beragam cara untuk mendapatkan sesuatu. Mungkin pengalaman ini akan jadi hal pertama baginya. Terbiasa langsung bertindak, kini tidak, perlu beberapa hal yang harus dipastikan.

Melakukan “sesuatu” secara pasti. Karena menurutnya, sekali-kali bermain aman bukanlah perkara ilegal. Jadi, keputusan Taeyong mendatangi temannya dan bertanya langsung sebelum bertindak adalah keputusan tepat.

“Lo beneran nggak suka Jisoo?” Sang adam yang ditanyai lantas mengangkat kepala dan menatapnya bingung. Alih-alih menjawab, dia mengernyit heran untuk pertanyaan sama Taeyong, kesekian.

Jika diingat-ingat, ada lima kali dia mendapatkan pertanyaan sama dari orang sama.

Nggak suka(?)” gumamnya sedikit memiringkan kepala dengan alis berkerut.

Membuat lelaki itu mengembangkan senyum terbaik di bibirnya. Dia sekadar memastikan, ketimbang merusak pertemanan. Biarpun kelakukannya tak patut dimaafkan oleh para mantan, tapi dia masih memiliki sikap respect terhadap teman. Malah sikap loyal-nya itu patut diacungi jempol.

Sial! Lo mau nembak Jisoo?” Scoups sesaat tersadar maksud terselubung dari pertanyaan Taeyong.

“Siapa nembak siapa?” Dua temannya baru bergabung, langsung menanyakan keributan mereka yang sempat didengar.

"Cewek mana lagi, Yong?” tanya Johnny.

Scoups membalas, “Jisoo.”

“Jisoo? Jisoo temannya Hwasa?” tanya Yuta kemudian menatap Taeyong tak percaya.

Siapa menduga jika lelaki berambut gondrong itu akan tertarik dengan anak sastra dan bahasa, aneh. Sejak kapan dia mulai tertarik pada gadis itu? Kalau selama ini dia paling senang mendekati mahasiswi jurusan “terkenal”.

Jurusan terkenal; hukum, kedokteran, ekonomi, dan banyak lagi. Tidak untuk jurusan sastra dan bahasa.

“Galak gitu, aelah,” beo Johnny paham betul seperti apa sifat gadis tersebut. “Lo sama dia nggak bakalan bebas, yang ada cewek-cewek Tinder lo kena damprat sama dia. Gue sih, ogah, walaupun dia mempesona.”

“Boro-boro bebas. Gue aja nggak yakin dia diterima,” ujar Scoups.

Lalu dibalas kekehan Taeyong. Justru itu, dari pengamatan dan omongan teman-temannya, dia penasaran. Nyaris ingin tahu segalak apa gadis itu sampai-sampai dijuluki macan betina. Menurutnya, dia tak segarang itu. Wajahnya terlalu soft dan tatapan matanya terkesan impresif.

“Bayangin kalian pacaran bikin gue prihatin,” kata Scoups menggeleng tak sanggup membayangkan. “Cuma ... sampai lo bikin dia sakit hati ... abis lo!”

Apa barusan dia diancam oleh teman yang mengaku tak suka pada gadis itu?

Yuta sama Johnny kompak sekali tertawa, dan menyetujui ancaman Scoups untuknya. Ia tak mengindahkan ancaman itu, cuma terpikirkan saja setelahnya.

“Beneran nggak suka dia?” tanya Taeyong memastikan sekali lagi.

Scoups menyugar rambut. “Suka iya,” berhasil menyekat napasnya, “sayang juga.” Malah menyurutkan niat Taeyong untuk mengincar gadis tersebut.

Di antara mereka, hanya Yuta penganut setia sampai mampus. Belum pernah rujuk dari sang kekasih, selalu setia; lengket; mesra. Johnny lelaki kedua setia—setia selingkuh—dia sama bajingan. Sudah bertunangan sejak awal semester lima lalu, tapi bertekad selingkuh dengan mahasiswi ter-hits. Hubungan keduanya langgeng—tunangan dan selingkuhan—tiap ditanya kapan akan berhenti menjadi bajingan, jawabannya selalu sama.

Belum siap meninggalkan sang sephia (selingkuhan), apalagi melepas sang pujaan (tunangannya). Yang artinya dia menyukai keduanya “hampir” sama rata.

Brengsek! Kenyataan memang begitulah laki-laki. Rumit.

So, bukan hanya perempuan saja yang rumit. Laki-laki pun begitu.

Scoups ... entahlah. Dia belum pernah mengenalkan gadis spesial ke mereka. Dia memang setia-setia dengan kesendirian. Lupa kapan terakhir dia mengenalkan seorang gadis sebagai pacarnya. Mungkin satu tahun lalu ... oh, bukan, melainkan dua tahun lalu.

Setia dengan kesendirian membuat teman-temannya mencurigai dia seorang gay. Yah, itu sekadar dugaan tak berdasar. Bukan berarti lelaki setia menjomlo seorang gay, ‘kan?

Dia sendiri—Taeyong—lelaki kedua yang setia dengan kelakuan bajingan. Teman kencan memang banyak, tapi berselingkuh bukanlah gayanya. Dia hanya menetapkan satu orang sebagai seorang kekasih, tapi menyelingkuhi pasangan bukan hobinya.

Orang-orang mungkin tak akan percaya kalau Taeyong bukan penyuka konsep selingkuh. Jadi bajingan memang konsepnya, tetapi membanggakan hal itu bukan berasal darinya. Mereka saja yang membesar-besarkan kelakuan publiknya tanpa melirik kelakuan privasinya.

Apa yang kalian harapkan dari mata netizen maha benar? Jangan berharap lebih. Mereka sekadar tong kosong yang menyebut bajingan setiap saat.

“Gue tembak dia ntar lo nyesel lagi,” kata Taeyong.

“Enggak,”' sahut Scoups. “Cuma jangan bikin dia sakit hati.”

“Kenapa?”

“Masa lo nggak suka?” tanya Yuta tiba-tiba ingin tahu. “Tapi care banget ke dia.”

“Oh, gue tau,” sambung Johnny. “Lo ke dia sekadar hubungan platonik.” Tepat sekali!

Johnny sepertinya paham dengan segala jenis hubungan platonik. Jenis hubungan; suka, sayang bisa jadi, mengerti perasaan satu sama lain, dan menghormati, bukan hubungan romantis. Itu yang dirasakan oleh Scoups.

Yakin akan hal itu, tanpa ragu-ragu dia langsung melesat menemui sang dara serta menyatakan rasa suka kepadanya. Suka dadakan; pemaksaan pula, menyebabkan gadis itu terkejut oleh pernyataan di tengah jalan. Dibumbui sedikit pertikaian, dan keisengan Taeyong bersama Bobby mendeklarasikan hubungan tak terduga tersebut. Dalang pawai; penyebar gosip hubungan asmara, antara jebolan teknik dengan sastra dan bahasa, tentu adalah Bobby.

Mulanya akan berakhir cepat, karena dia tak senang berlama-lama. Namun, berubah. Semua di awali dari kenekatan gadis itu mendatangi dan menyatakan permintaan putus, yang kemudian dibalas candaan dan tantangan, mereka akan putus setelah tiga bulan pacaran. Tidak secara tersurat tentunya. Dia ingin tahu senekat apa gadis itu padanya, sampai-sampai membuatnya tak berhenti tertawa geli ketika mendengar rencana berselingkuh dan putus darinya.

Menggelikan, tapi hiburan. Taeyong kerap berterima kasih pada Bobby maupun Sowon yang bersedia memberitahu padanya. Oh, jelas dia tak minta diberitahu. Mereka sendiri yang memberitahu tanpa paksaan.

“Ihh, itu diambil bukan malah lari. Tolol banget, sih!” Jisoo memaki-maki sejak dua puluh menit lalu mereka di Timezone.

Nampak seru memainkan salah satu game tanpa mengacuhkan lelaki di sampingnya. Saat gadis itu marah-marah, dia merinding; menatap horor ekspresi garang Jisoo ketika mengumpat dan memarahi benda tak berdosa yang dikendalikannya.

“Udah,” lerainya, berharap Jisoo mau berhenti memaki benda mati. Bukannya berhenti, kesepuluh jemari panjangnya malah memukul-mukul konsol pengendali. Persis seperti kebanyakan orang saat kalah main game.

Taeyong pun sering berlaku demikian.

Astaga, sebelum mereka ditarik paksa oleh petugas Timezone, akan lebih baik kalau Taeyong memisahkan gadisnya dari benda mati tersebut. Sebab, tiga petugas di pojok sana terus mengamati mereka. Dengan paksa Taeyong mengangkat Jisoo, menjauhkan dari benda tersebut.

Kendati gadisnya merengek dan bilang kalau dia pasti bisa memenangkan game itu, Taeyong tetap pada pendiriannya; menjauhkan mereka.

Rengekan Jisoo menganggu sekali, ketara sikapnya seperti bocah laki-laki umur sepuluh tahun, minta dituruti orangtua agar diperbolehkan bermain game lagi. Ini beda cerita. Usia Jisoo sudah memasuki dewasa, dia bukan anak kecil, apalagi anak laki-laki, dia perempuan.

“Udah, jangan ke sana lagi!” tegasnya menahan dirinya yang hendak pergi. Lalu ekspresi cemberut membumbung dengan bangga di wajah gadisnya.

Taeyong mendesah. Perempuan dengan ekspresi begini yang kerap menyusahkan seorang laki-laki. Jadi, yang dilakukan dirinya cuma menjulang di hadapannya. Diam sesaat, sebelum kedua tangan Taeyong menangkup wajah Jisoo.

Mengangkat wajah gadis itu agar mata mereka bertemu. Ini yang disukai olehnya, menatap matanya. Jisoo kerap menghindar saat mata mereka bersorobok. Ketara dia tak suka melihat matanya, karena takut. Berdasarkan cerita Sowon, mata Taeyong tajam dan gelap seperti elang, makanya Jisoo takut.

“Jangan bawel. Kamu bukan anak kecil.”Ekspresi cemburut itu kian membumbung dengan bangga. Oh, dia sedang mencari perhatian dengan memancing kelemahannya. “Jangan bawel, ngerti?” ulangnya dengan tegas.

Sepertinya dia melunak, dengan kepala mengangguk, tentu mata itu tak berani menatapnya.

“Bagus!” ucapnya seraya mengacak kepala, kemudian merangkul pundaknya.

Taeyong pun berpikir, mungkin lebih dari tiga bulan bukanlah masalah besar. Sebulan mencoba saja mereka baik-baik, meski lebih banyak perintah; berontak; patuh, dan ... nyaman.

Sayangnya, dia meragukan bagian akhir itu.

Duh, tiba-tiba aku pengen kisah segitiga sang sephia - Johnny - sang pujaan

😭😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top