16. What if

Tepat pukul dua siang, ia tiba di depan rumah bercat pagar silver metalik. Mobil terpakir sambil lalu menunggu sosok berambut panjang dan berhoodie hitam yang sedang menutup pagar rumah. Sosok itu mendekat sembari menaikkan tudung hoodie untuk menutupi wajahnya.

“Udah?” tanyanya demikian, begitu temannya itu duduk jok belakang.

Tak ada sahutan. Hanya terdengar helaan napas berat. Tubuh lelaki itu kian merosot hingga ambruk di jok belakang. Tangan kirinya lantas terangkat, dipakai untuk menutup seluruh wajahnya.

Sementara dua orang duduk di depan, memandangnya sesaat sebelum si pengemudi melajukan mobil; meninggalkan perkarangan rumah tersebut.

Mata lelaki si pengemudi melirik lewat kaca spion di dalam, memandangi lelaki di sana yang diam sejak penjemputannya. Wajahnya benar-benar tertutup, dia diam sejak lalu. Membuatnya berdecak dan menggeleng.

“Pengen gue rekam asli, dah. Cengeng banget lo.”

“Diem, Bob!” tegur perempuan di samping.

Bobby meringis memamerkan deretan gigi kelincinya yang menonjol.

“Lo nggak lihat? Dia nangis,” lalu tertawa, seolah kesedihan lelaki itu merupakan kebahagiaannya, “kali pertama. Hahaha.”

Bobby memang rese. Mentertawakan kesedihan seorang teman. Barangkali rasa simpatinya telah ditepis jauh-jauh. Berbeda dengan cewek di samping, dia bersimpati. Rasa-rasanya ingin mengeluarkan kalimat penenang, tetapi untuk saat ini, hal itu bukanlah yang diinginkan olehnya.

“Buruan, Won, rekam.”

“Brengsek lo, Bob!” maki Sowon makin jengkel, sedang Bobby tertawa senang.

“Udah, deh, Yong, nggak usah nangis. Lagian cewek masih banyak. Tuh, cewek Tinder setia menanti.”

“Bobby, diem!” Sowon membentak. Makin kurang ajar jika dia tidak dibentak. “Simpati dikit bisa, kan?”

“Itu kan keputusan dia,” tuturnya. “Lo sih ngeyel pengen nyoba sama Jisoo. Udah tahu tuh cewek gak suka sama lo.”

Bobby!”

“Gue tahu dia teman lo, Won,” seru Bobby menyela sebelum dirinya disela, “tapi nggak usah dibelain.” Atensinya sempat melirik Sowon yang terdiam tak menyahuti sebelum fokus sepenuhnya pada jalan raya. “Dua-duanya sama-sama bajingan. Udah beres. Case closed!”

Sesaat hening di dalam mobil. Sowon kerap menoleh memperhatikan lelaki di sana prihatin, Bobby fokus menyetir, sementara Taeyong masih di posisi semula sejak gabung bersama mereka. Dengan kebisuan tanpa bergeming barang sedikitpun.

“Cuma ...,” suara Bobby kembali terdengar, mengisi keheningan ketika mobil berbelok memasuki kawasan perumahan, “si cewek siasatnya gerilya, sementara si cowok ketara. Di mana-mana cewek selalu benar; cowok salah. Meskipun dua-duanya salah.”

Saat mobil berhenti di depan rumah dengan pagar bercat coklat tua, benda panjang itu otomatis terbuka. Bobby menginjak gas pelan, memarkirkan mobil di garansi rumah yang tampak luas dilihat dari luar, dan pagar otomatis tertutup sendiri.

Bobby menoleh cepat ke belakang, setelah sukses memakirkan mobil. “Mau tinggal di sini atau rumah?”

Taeyong menurunkan tangan dari wajah. Nampak jelas wajah muram nan sembab; mata pun memerah. Sowon terhanyut dan bersimpati, sedang Bobby cukup melempar senyum tipis. Kali ini bukan senyum mengejek. Tulus dalam diri bahwa dia sesungguhnya juga bersimpati.

“Kalau mau balik, balik aja,” katanya, lantas mendorong pintu dan keluar cepat memasuki rumah mewah tersebut.

Mereka yang ditinggal hanya saling bertukar pandang, kemudian kompak menghela napas.

“Untung gue kenal lo dari jaman nggak enak, Yong,” ucap Bobby sebelum keluar mengikuti jejak temannya itu.

Iya, tanpa diketahui siapa pun, jika sebenarnya mereka berteman sangat dekat ketimbang lainnya. Sowon pun sama demikian. Mau tak mau mengikuti jejak kedua lelaki tersebut, dan terlibat pada percakapan dua lelaki yang “kadang” tidak dia mengerti.

Sampai sekarang pun masih belum mengerti dengan jalan pikiran mereka, apalagi Taeyong, rumit sekali kemauannya. Kalau memang masih suka, untuk apa memilih berpisah?

Heran.

— Flashback —

Mantan Zico.”

“Kenapa?” tanya Bobby.

“Mau gue jadiin pacar.”

“Siapa?” tanya Sowon, baru menyempatkan untuk bergabung bersama mereka setelah “urusan” di toilet yang tertuntaskan. Dia kembali duduk di sofa, Taeyong duduk di bawah tak jauh darinya, dan Bobby rebahan di karpet.

Tatapan Sowon jatuh padanya. “Joy gimana?” Dengan kedua tangan bersemat di rambut gondrong Taeyong; bermain-main di sana sebelum mengikatnya menjadi satu.

Sebenarnya dia gemas dengan rambut panjang laki-laki ini. Kerap diminta potong, tapi tidak dipotong-potong. Semenjak Bobby menghasut, Taeyong jadi ikut-ikutan memanjangkan rambut. Giliran rambut dia sudah memanjang sebahu, Bobby malah potong rambut.

Siapa yang susah? Sowon. Karena dia yang sering dimintai untuk mengurus rambut panjang mereka. Setelah Bobby kini giliran Taeyong, meskipun Taeyong tak serewel Bobby dan lebih mandiri, tetap saja dia menyulitkan Sowon.

“Putus.”

Jambakan rambut kontan membuat lelaki itu menjerit kesakitan. Taeyong menoleh marah, menuduh gadis itu sebagai psikopat yang hendak membobol habis rambut di kepalanya hingga botak. Bobby tertawa-tawa menonton, kesenangan.

“Nggak ngerti gue sama pikiran bajingan lo itu,” ucapnya heran. “Udahan jadi brengseknya. Nggak capek?”

“Enggak.”

Sowon kembali menjambak rambut Taeyong, kali ini teramat keras tarikannya, hingga menyebabkan lelaki itu berangsur menjauh dan melotot tajam padanya.

“Lo kenapa bisa suka sama dia, sih!” ujar Taeyong menuding Bobby yang masih setia menonton dan tertawa.

“Karena dia Wonder Women,” akunya puas dengan keributan mereka.

“Cewek Tinder mana yang lo incer?” tanya Sowon galak.

“Bukan Tinder, Sayang. Ini Jisoo,” jawab Bobby.

“Jisoo siapa?”

“Teman lo.”

Anjing!” Dengan mimik galak, Sowon bersiap-siap menerjang Taeyong untuk menghabisinya. “Berani banget lo sama teman gue.”

Taeyong sendiri telah berlari dan berteriak meminta Bobby supaya mengurung Sowon, agar gadis itu tidak menghabisinya di rumah sendiri. Bisa gawat.

“Jadiin Jisoo cewek kesekian lo. Sumpah, gue nggak mau temenan sama lo lagi!”

“Bob, lo masih mau temanan gue, kan?” tanya Taeyong mencari pembela.

Sang pembela pun mengacungkan jempol tinggi-tinggi dan mengangguk-angguk, yang kemudian mendapatkan bogeman Sowon. Teramat pedih dan menyakitkan.

“Dia nggak bakalan suka sama lo!” tandas Sowon.

“Yang bilang gue suka sama dia siapa?” ujar Taeyong membela. “Gue cuma mau jadiin dia pacar, Sowon.”

“Brengsek!” Sowon benar-benar mau menghabisi Taeyong, andai Bobby tidak menyahut tubuh dan mendekapnya erat-erat. Mereka ini kerap sekali bersekongkol. Mentang-mentang mereka lelaki, sedangkan dia perempuan.

“Percuma pacaran sama dia. Dia suka teman lo, daripada lo.”

“Siapa?”

Sowon mengerang frutasi minta dilepas. Kurungan Bobby menyusahkan aksi berontaknya. Tenaganya begitu hebat, sampai-sampai Sowon kewalahan dan lelah.

“Dia suka siapa, Won?” tanya Taeyong.

Niat hati tak ingin memberitahu; Taeyong malah duduk di depan dan mendesak agar dia memberitahu.

“Scoups,” jawabnya kemudian.

Taeyong menyeringai. Seolah sudah menduga jawabannya, karena belakangan ini dia sering mengamati mereka.

“Bagus. Makin besar kemauan gue macarin dia.”

Anjing!”

Sowon tanpa sadar mengumpat tepat di depan lelaki itu, sedangkan mereka—Taeyong dan Bobby—saling melempar senyum paling menyebalkan yang kerap dipamerkan.

Bagian gondrong sedikit karena lebih banyak flashback-nya. Akan balik lagi ke masa depan, hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top