11. Apa itu?

“Sesuai janji saya. Putri Om pulang selamat tanpa lecet sedikit pun,” ucapnya pada ayah Jisoo, yang entah mengapa beliau berdecak kagum dan puas dengan ucapan Taeyong.

Ayahnya sudah teracuni oleh lip service si rambut gondrong. Makanya sikap beliau lunak sama pemuda itu. Biasanya juga gaje dan posesif sama anak-anaknya.

“Eh, main nyelonong masuk. Ini pacar kamu ditemeni dulu,” katanya.

Jisoo mengerang lelah. Baru pulang juga sudah disuruh menemani. Padahal niat Jisoo sampai rumah mau langsung mandi dan rebahan di kasur.

“Kan ada Ayah.”

“Ayah mau mandiin Beo.” Si Beo, motor tua kebanggaan ayahnya. Kalian tahu motor bebek 70-an? Honda C70 warna merah putih yang sampai sekarang—tahun 20-an—masih awet di bagasi belakang rumah.

Masih bisa dipakai keliling kompleks. Seminggu sekali selalu di servis dan dimandikan. Beo seperti anak pertama ayahnya, sementara Jisoo dan Lia anak kesekian.

“Enggak perlu, Om. Saya juga mau pamit pulang.”

“Emang harus pulang,” ucapnya ketara sekali mengusir. “Pulang aja biar nggak dicariin mama kamu.”

Sejak kapan pula Taeyong dicari oleh mamanya?

Seungri—ayah Jisoo—tersenyum membalas pamitan Taeyong, dan berkata, “Nyetirnya hati-hati jangan ngebut, Yong. Kemarin di kompleks ada kecelakaan.”

“Siap, Om!”

Sementara Jisoo berharap Taeyong mengebut saat menyetir. Biar begitulah. Doanya memang agak gila—well, kalian pasti tahulah apa.

“Saya pamit pulang, Om, Jis.”

Jisoo cuma senyum tipis mengantar kepulangan Taeyong. Setelah yakin pemuda itu hilang di ujung sana, ia segera masuk sambil menenteng tas ransel dan bersiap melesat ke kamar. Namun, suara sang ayah seolah memaksanya supaya berhenti dan berbalik.

Katanya, “Rabu malam ajak Taeyong main ke rumah, Kak. Di rumah mau ada perayaan si Beo.”

Idih, malas banget, balasnya tentu dalam hati. Tanpa menyahuti suara, sekadar balas tersenyum saja. Jisoo langsung jalan cepat menuju kamar, sebelum ditanyain aneh-aneh oleh orang serumah, dan kontan mengunci kamar; merebahkan punggungnya yang terasa lelah.

Memandang langit-langit kamar yang telah ia tinggal selama tiga hari. Punggung Jisoo terasa nyaman bersandar pada empuknya kasur. Akhirnya, dia terbebaskan juga dari neraka bernama liburan.

Welcome to—” Beep, beep.

Ponselnya berdering merusak ketenangan. Tangannya menyahut ponsel di saku jaket, memandang bingung nama yang tertera di layar ponsel.

Tumben, pikirnya.

“Kenapa, Seol?”

Seolhyun—temannya—tumbenan sekali menelfon di jam segini. Biasanya dia anti telfon, paling sering chat.  Oh, Jisoo ingat. Kalau Seolhyun telfon, biasanya dia ada hal penting yang mau disampaikan.

Lo beneran dianggurin Taeyong selama liburan?”

Dugaannya salah. Jisoo dengan malas mengangguk. Namun sadar bahwa gerakan kepalanya itu tak akan dilihat oleh Seolhyun. Lantas menjawab, “Menurut lo gimana?”

Anjir! Sialan banget si transkunti. Gak tahu diri gitu. Kesel gue!” Lah, malah dia yang marah-marah. Membuat Jisoo mengernyit, lalu terkekeh.

Yah, begitulah Seolhyun.

Gadis di sebrang sana kemudian melanjutkan lagi kekesalannya, “Johnny ngasih tahu gue, lo di sana dibikin kesel, diabain. Masa dia bawa cewek Tinder. Anji, beneran? Sumpah, ya! Kelakuannya anjing banget.”

Kekehan Jisoo makin terdengar. Dengan kepala terangguk-angguk setuju, sebagai aksi bahwa dia sependapat dengan semua ucapan Seolhyun tentang Taeyong.

Johnny bilang dia sengaja ngajakin lo liburan. Biar apa coba? Biar lo tahu kalau dia sebajingan itu, gitu? Anjir. Mau pamer kalau cewek dia nggak cuma lo tapi ada cewek Tinder lainnya, gitu? Anjir, lah. Bajingan banget si transkunti.

“Udah maksa lo jadi ceweknya, sekarang pamer cewek dia banyak. Anjir! Ya, memang sih dia playboy kelas kakap tapi nggak perlu sebajingan itu, dong. Anjirlah, kesel gue sama transkunti!”

Ayo, hitung berapa kali Seolhyun menyebut “anjir” lewat telfon.

Jisoo terkekeh, menikmati sekali kekesalan Seolhyun pada Taeyong. Semua yang dikatakan oleh temannya itu tepat sekali. Jisoo saja bingung, apalagi Seolhyun. Iya, kan?

Dih, lo malah ketawa doang,” kali ini dia mengomeli Jisoo, “putus buruan, cepat. Masih sanggup lo jadi pacarnya? Gue sih, ogah!

“Nanti juga putus.”

NANTINYA KAPAN JISOO?!” balasnya ngegas. “Jangan sampai lo suka sama dia. Nggak! Nggak boleh. Dia bajingan, lo terlalu uwu buat dia.”

“Uwu” astaga, Jisoo tak dapat menghentikan ledakan tawanya. Seolhyun benar-benar ... menghibur sekali. Andai temannya itu ada di sini, mungkin Jisoo sudah berhambur memeluknya, lalu berdua saling tertawa.

Kembali dari liburan neraka, dia langsung dihibur oleh temannya. Sungguh, keberuntungan yang luar biasa.

“Ini gue lagi mikir buat putus sama dia,” balasnya.

Seolhyun mendengus. Jelas tak suka dengan balasan Jisoo. Dia seriusan ingin Jisoo segera putus sama Taeyong.

Asal lo tahu, ya. Cowok lo itu—ralat, deh. Si transkunti itu ada cewek lain. Jadi, jangan kira cuma lo doang ceweknya.”

“Gue tahu.”

Lo emang pacarnya, tapi status doang. Cuma status apa yang perlu dibanggain, sih? Kalau hati penuh dengan wanita lain. Idih, bangsat!”

Jisoo tertawa-tawa lagi. Sungguh, hiburan sekali ledakan marah Seolhyun.

Dah lah, pasangan terbaik lo cuma Zico doang. Eh, gue denger-denger dia sekarang diangkat jadi manajer. Lo seriusan udah nggak kontakan sama dia?”

“Hmmm,” Jisoo menggumam, antara ingin menjawab atau tidak. “Kalau enggak kenapa?”

Di sebrang Seolhyun melolong panjang sebagai artian bahwa dia kecewa dengan jawaban Jisoo.

Sayang banget, Jisoo. Harusnya lo gak putus sama Mas Zico.”

“Ngapa jadi Zico, sih?”

Karena dia mantan lo.”

Mantan nggak perlu dibahas.”

Seolhyun berkata lain, “Mantan terindah perlu dibahas.” Membuat Jisoo memutar bola mata dengan malas. “Balikan aja sama dia. Udah mapan pula. Lo nikah sama dia pun hidup lo terjamin; aman, tentram, dan sentosa.”

“Kayak iklan aja,” jawabnya dengan malas.

Daripada terjebak zona pacar tanpa rasa. Hayo, pilih mana?”

“Lo kenapa sih, tadi ngomel-ngomel sekarang nyuruh gue balikan sama mantan.”

Aneh, pikir Jisoo.

Seolhyun terkekeh sebentar. “Karena Zico lebih baik ketimbang Taeyong. Dan—bentar, bentar,” samar-samar terdengar suara Seolhyun berbicara dengan seseorang. Jisoo dapat mengenali suara itu—sangat mengenali—hingga membuatnya berdecak dan tak heran lagi, jika sore-sore gini lelaki itu bertandang di kediaman Seolhyun.

Nanti malam gue telfon lagi,” pamitnya. Sebelum diputuskan, Jisoo membalas, “Rese lo, ya. Masih aja main belakang sama Johnny. Gak takut ketahuan?”

Seolhyun cuma meringis lalu memutuskan telfon sepihak. Jisoo berdecak sembari menatap ponsel dan bergeleng.

Entah sampai kapan temannya itu menjalin hubungan “affair” dengan Johnny. Sudah setahun lebih, dan Seolhyun sepertinya jatuh cinta pada Johnny sampai tak sanggup meninggalkan lelaki itu. Padahal Johnny sudah bertunangan.

Jadi, siapa yang bajingan di antara mereka?

Beep beep

Ponselnya berdering lagi. Kali ini Jisoo malas mengangkat, tapi kalau tak diangkat nanti pasti diserbu dengan rentetan pesan penuh ancaman.

“Apa?” ucapnya mengawali sapaan telfon mereka.

Adat sapaan telfon ke pacar bukan begitu, Jisoo,” balasnya. “Iya, Sayang, ada apa? Begitu.”

Jisoo sama sekali tidak peduli akan hal itu. Dia ingin segera mengakhiri sesi obrolan telfon mereka.

Tapi nggak papa, aku telfon cuma mau bilang abang ojol udah di depan gerbang rumah.”

“Ojol?”

Taeyong menyahut, “Iya,” lalu menjelaskan, “buruan keluar. Abang ojolnya udah nungguin dari tadi. Kamu nggak kasihan?”

“Aku nggak mesen ojol.”

Protes mulu. Keluar, Sayang. Apa perlu aku banting setir ke rumah kamu terus nemuin abang ojolnya?”

“Belum sampai rumah?”

Kekehan terdengar di sebrang. Sepertinya Jisoo salah bertanya. Lalu dengan cepat meralat, “Oke, aku keluar.”

Nah, gitu. Ya udah, aku tutup telfonnya, ya?” namun tiba-tiba, “Jisoo!” Panggilannya itu seolah menahan langkah Jisoo yang hendak keluar kamar.

“Hm?” balas Jisoo masih berdiri di depan pintu dan menunggu balasan Taeyong. “Apa?”

Makasih,” ucapnya terdengar seperti bisikan lembut, “udah bikin aku sakit kepala.”

“Hah?” ia bingung dengan ucapannya itu, “sakit kepala gimana?”

Bukannya menjelaskan, Taeyong malah tertawa lalu mematikan telfon dengan alasan sedang menyetir.

Jisoo mendengus sedikit kesal dengan sikap Taeyong barusan. Lalu bergegas keluar menemui abang ojol. Namun, chat masuk dari si pemilik display name “TY” membuat kakinya berjalan sangat pelan saking ingin tahunya pesan apa yang dikirim oleh pemuda itu.

————
TY
Aku sakit kepala. Habisan kamu gak mau keluar dari kepalaku. Jadi, makasih, udah bikin aku rasain sakit kepala sungguhan.
—————

“Apa, sih. Gak jelas banget!” gumamnya menyesal membaca pesan Taeyong.

Udah tahu kan, siapa mantan presiden 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top