09. Stupido
Jaewon bukan maksud menakut-nakuti ataupun mengagetkan, cuma timing-nya kurang pas saja. Dia muncul di saat gadis itu sedang melamun. Muncul tiba-tiba dari belakang, entah sejak kapan mengintai keberadaannya.
“Ehhh, jangan teriak!” mohonnya.
Sementara gadis itu—Jisoo—menatapnya was-was sambil melirik kanan-kiri; memastikan dia memiliki akses untuk kabur. Kendati sangat tidak memungkinkan, karena kakinya masih sakit sampai sekarang.
“Gue bukan setan.”
“Emang bukan,” jawabnya cepat. “Lo cowok cabul semalam, kan?”
“Bukan juga,” tukasnya, menerima segala tuduhan tentang dirinya. Dia sadar, semalam memang kesalahannya. “Semalam gue kira lo teman gue,” ujarnya, menjelaskan baik-baik kronologis kesalahpahaman. “Gue minta maaf.”
Namun gelagat gadis di depannya seakan mengatakan hal lain. Jaewon segera menghadang jalannya untuk mendapatkan permintaan maaf dari Jisoo.
“Gue bukan cowok cabul atau apa pun tuduhan lo ke gue,” jelasnya bersabar. “Teman-teman gue bisa jelasin,” dengan mata melirik di balik punggung Jisoo, “mereka di sana.” Tak jauh dari tempat mereka, di balik batu besar yang sedang Jisoo duduki, sekelompok laki-laki dan perempuan sedang membenahi masing-masing tenda.
Ya, mereka adalah kelompok Jaewon.
“Mau gue panggilin?”
“Nggak perlu,” tampiknya. “Gue maafin.” Membuat Jaewon memandangnya ragu. Ucapan Jisoo terdengar tidak ikhlas sekali.
Jaewon enggan mengungkit hal itu. Melihat mimiknya menyiratkan bahwa dia sedang bad mood. Sebab itu dia tidak akan bertanya aneh-aneh atau menjelaskan sesuatu yang dapat mengacaukan mood Jisoo. Kemunculannya saja sudah mengacaukan mood-nya, apalagi penjelasan nanti.
“Oke,” balasnya kemudian. Lantas mengeluarkan ponsel milik Jisoo dan mengembalikan kepadanya. “Semalam gue nemu ini. Lo nggak sengaja ngejatuhin.”
“HP gue!” seru Jisoo riang menyambut benda persegi kesayangannya. “Makasih,” ia terharu mendapatkan kembali benda miliknya, “gue kira bakalan hilang.”
Jaewon cuma tersenyum memandang mimik riang gadis tersebut. Tiba-tiba menduga—mungkin—mood Jisoo hancur karena ponselnya hilang. Sekarang dia tampak ceria dan sedikit bersahabat.
Andai bisa lama di sini, Jaewon akan dengan senang hati mengupayakan segala cara agar Jisoo mau memaafkannya. Biarpun dia membalas “iya”, tapi hatinya belum sepenuhnya memaafkan Jaewon. Sayang, dia harus segara pulang ke kota. Hari ini merupakan hari terakhirnya di pulau ini.
“Tahu ini tanggal berapa?”
“Hm?” sahut Jisoo kontan teringat bahwa di depannya masih ada pemuda asing. “Oh, tanggal? Tujuh. Kenapa?”
Jaewon menengok ke arah temannya sebelum menjelaskan alasan kenapa menanyai tanggal. “Boleh minta alamat lo?”
“Hah?” Kecurigaan terpikirkan langsung olehnya. Dengan pandangan was-was.
Menangkap sinyal-sinyal itu, Jaewon segera menjelaskan, “Stop! Pikiran lo jangan ke mana-mana. Gue cuma minta alamat doang. Mau nebus tujuh kesalahan ke lo.”
“Tujuh kesalahan?”
Ia mengangguk. “Anggap aja tanggal tujuh ini gue punya tujuh kesalahan ke lo.”
Jisoo belum mengerti dan tetap tidak akan memberikan alamatnya pada Jaewon.
Jaewon seolah dapat membaca isi kepalanya. Oleh sebab itu, dia asal menyahut ponsel Jisoo. Menuliskan 12 digit nomer, kemudian menghubungi nomer tersebut. Begitu terdengar nada menyambung, Jaewon segera mengakhiri panggilan kemudian menyimpan nomer di kontak ponsel Jisoo.
Tanpa memperdulikan ekspresi marah, sebal, dan waspada gadis tersebut. Jaewon mengembalikan; Jisoo langsung mengamankan ponselnya.
“Buat jaga-jaga. Siapa tahu lo berubah pikiran mau ngasih alamat biar gue bisa nembus tujuh kesalahan gue ke lo,” ucapnya sembari menoleh ke teman-temannya yang ternyata sudah menunggu. “Oke, gue balik dulu. Sampai ketemu di kota.”
Namun tak lama pemuda itu berbalik memandang pundak Jisoo. “Hei, nama gue Jaewon!” Lalu menghilang dengan senyum terpatri di bibir, sementara Jisoo memandang kepergiannya dengan bingung.
Aneh banget. Kenapa di tempat asing begini dia dikelilingi laki-laki aneh.
Bodo amat, penting hape gue balik! Matanya kembali berbinar-binar, memancarkan kekaguman tak terhingga kepada benda canggih tersebut. Saatnya memanjakan kesendirian dengan dunia tak terbatas.
Satu tembang terputar menemani kebersamaan Jisoo dengan semesta. Kesedihannya perlahan-lahan terpudarkan oleh alunan musik. Jisoo tersenyum riang, memandang kagum hamparan biru yang membentang indah nan elok memanjakan mata.
Rasa kecewa dan kemarahan telah tergantikan oleh kesendirian yang menyenangkan. Jisoo menikmati saat-saat seperti ini. Tinggal sehari, besok pulang, pikirnya menyemangati diri sendiri.
Namun, lagi-lagi, waktu sendirinya akan diganggu oleh kedatangan laki-laki ketiga. Kali ini Jisoo dapat melihat kedatangannya tanpa perlu dikejutkan. Dia kontan berdiri hendak menjauh—sejauh-jauhnya—tetapi suara Taeyong berteriak seolah menyabotase gerak sepasang kakinya. Jisoo merenggut sebal, memandang kaki kiri yang masih terasa sakit akibat tusukan kerang berduri.
“Udah jam tiga kenapa gak balik-balik?” tanyanya, sudah berdiri di depan dengan wajah tegasnya.
Jisoo memalingkan muka, malas berhadapan dengannya. Tak lupa mematikan lagu. Kedatangan Taeyong telah merusak mood-nya.
“Oke, gue minta maaf,” ucapnya selangkah ke depan mendekat, “gue salah pagi tadi udah teriak-teriak.”
“Punya nyali juga minta maaf?” hardiknya.
Bukannya melanjutkan permintaan maafnya, Taeyong malah berjongkok, menarik kaki kiri Jisoo yang diketahui terluka.
“Kenapa nggak balik dan diobati?”
“Bukan urusan lo!” tandasnya ketara marah sekali.
Taeyong menatap sedih luka sobek di telapak kaki Jisoo, kemudian mendongak menatap seraut marah yang masih enggan melihatnya.
“Ayo, balik.”
“Percuma balik, nggak ada kehidupan di sana. Toh, siapa gue gitu. Cuma patung piharaan sekali pakai langsung dibuang.”
“Jis.”
“Urusin cewek-cewek lo sana!” tegasnya. “Lo kalau emang gak mau sama gue, udah, mending kita putus. Lagi pula kita pacaran percuma, gue nggak suka lo, lo bajingan. Cowok gerondong paling nyebelin, gak tahu diri, semena-menanya, bajingan, brengsek, bodoh—APA-APAAN! TURUNIN GUE SEKARANG!” jeritnya saat tiba-tiba Taeyong mengangkat tubuh dan mengendongnya dari belakang.
Jisoo sempat belum siap, hampir terjungkal ke belakang, andai dia tidak sigap melingkarkan kedua tangannya ke leher Taeyong.
“TURUNIN NGGAK?!” protesnya. “Buruan, turunin!”
Kontan ia menjerit histeris ketika Taeyong mencodongkan tubuhnya ke air laut. “TAEYOOOONG ...!!!” Sementara pemuda itu tersenyum jahil mengerjainya.
“Aku nggak suka kamu gituin!” Lalu menjerit lagi, Taeyong menggodanya terus menerus hingga membuat tenggorakannya terasa kering akibat keseringan berteriak.
Cukup yakin Jisoo tidak berteriak lagi, Taeyong mengamankan tubuh gadis digendongan belakangnya.
“Aku ngajak balik kenapa malah marah-marah?”
Jisoo mendengus, spontan menjambak rambut Taeyong sepuasnya. Rasain, rontok saja semua! Batinnya, senang menyiksa. Namun sadar, bahwa percuma menyiksa kalau besoknya rambut Taeyong bisa tumbuh normal.
“Ini bukan arah jalan pulang!” Jisoo memprotes. Sadar bahwa jalan yang dilewati Taeyong bukan jalan ke arah camp, melainkan lurus mengelilingi bibir pantai. “Cepetan, turunin! Aku sanggup jalan sendiri.”
“Aku pun sanggup mengendong,” balasnya terkekeh. “Mau tahu sesuatu?”
“Tahu kalau kamu bajingan?” sarkasnya. “Gak perlu dikasih tahu. Anak kecil pun tahu kamu itu bajingan.”
“Thanks,” jawabnya tersenyum-senyum.
Jisoo mencibir balasannya. Masih dengan tangan mengenggam rambut Taeyong, tapi tidak digenggam erat, hanya genggaman kecil yang mengisyaratkan betapa gemas Jisoo ingin memotong rambutnya.
“Aku senang.”
“Senang karena cewek tinder lo? Basi. Udah tahu!”
Ia memekik saat tubuhnya diturunkan. Seakan yakin telah dibebaskan, Jisoo berniat kabur, tapi Taeyong dengan cepat menarik pinggang, membalikkan tubuh, dan memeluknya sehingga tubuh mereka saling menubruk.
“Pertama kamu marah. Kedua kamu berani. Ketiga kamu teriak, terakhir kamu pakai lo-gue,” ucapnya. “Itu buat aku senang.”
“Sinting!” makinya.
“Tambahan, kita gak akan putus!” tandasnya dengan mata melotot tajam. Berhasil membungkam mulut itu rapat-rapat dan menghentikan segala aksi berontak Jisoo. “Aku bajingan, seratus. Gak tahu diri, duaratus. Semena-menanya, tigaratus. Brengsek, empatratus. Bodoh, limaratus. Nol untuk ... aku bukan gak butuh, tapi memang butuh kamu.”
Kedua tangannya kini menangkup wajah Jisoo. Memaksa agar mata mereka saling bertemu dan bersitatap lama.
“Kamu cemburu.”
“A-apa?!” pekiknya. “Ma-mana bisa begitu?”
Taeyong senyum-senyum memandang jenaka sorot mata tak percaya Jisoo akan tuduhannya barusan.
“Kira-kira nanti setelah Yeonwoo dan Vivi, siapa lagi, ya. Hm ...,” gumamnya dengan gila membicarakan hal itu kepadanya, “..., kamu ada rekomendasi?”
“Sinting. Kamu itu, sinting!” protesnya seraya membuang muka. Taeyong langsung menghadapkan mukanya ke hadapannya lagi.
“Got you!” serunya riang. “Kamu bukannya gak suka. Suka cuma belum sayang saja. Bukan begitu, Sayang?”
“Apa sih, gaje,” balasnya.
Taeyong terkekeh, lalu dengan gemas merangkul tubuh Jisoo erat-erat. Tak akan membiarkan gadis dipelukannya lepas saat ini. Sembari mengecup lama keningnya.
Lagu yang didengerin Jisoo
Check mulmed 🤘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top