BAB XXV
.
.
.
.
.
Rasa lega yang Win harapkan ketika dia mengemudi keluar dari lampu lalu lintas pertama dari tiga lampu lalu lintas yang terdapat di Sumit, Alabama tidak muncul. Mati rasa telah mengambil alih keseluruhan 7 jam mengemudinya. Kata-kata yang Win dengar dari ucapan ayah tentang ibunya terngiang-ngiang terus menerus di dalam benak sehingga dia tidak lagi mampu merasakan apapun untuk siapapun.
.
Berbelok ke kiri di lampu merah kedua dan menuju ke pemakaman. Win perlu berbicara dengan ibunya sebelum menginap di salah satu motel disini. Win ingin ibunya tahu bahwa dia sama sekali tak percaya dengan semua itu. Win tahu seperti apa ibunya. Ibu seperti apa dia. Tak ada yang bisa menandinginya. Dia menjadi sandaran Win padahal saat itu dialah yang sedang sekarat. Tak pernah sedikitpun Win takut ibu akan meninggalkannya. Sampai saat itupun tiba.
.
Parkiran pemakaman kosong. Terakhir kalinya Win datang kemari banyak penduduk kota yang datang memberikan penghormatan terakhir mereka pada Ibunya. Hari ini mentari telah beranjak turun dan hanya bayanganlah yang menemani Win. Melangkah keluar dari truk, Win menelan gumpalan yang muncul di kerongkongan. Berada disini lagi. Mengetahui bahwa Ibu disini tapi dia tidak ada.
.
Win berjalan menyusuri jalan yang mengarah ke makamnya bertanya-tanya apakah ada orang yang datang mengunjunginya selama Win pergi. Ibunya memiliki teman. Tentu saja seseorang telah mampir dengan bunga-bunga segar. Mata Win terasa perih. Dia tak suka berpikir jika ibu telah ditinggalkan sendirian selama berminggu-minggu. Win senang telah meminta mereka menguburkannya disamping Tine. Itu membuat kepergian Win menjadi lebih mudah.
.
Gundukan tanah yang baru sekarang telah tertutupi rumput. Mr. Mu mengatakan pada Win bahwa dia akan menanamkan rumputnya dengan gratis. Ya, tentu saja karena Win tak mampu untuk membayar lebih.
.
Melihat rumput hijau membuat Win merasa ibunya telah terkubur dengan sempurna terdengar begitu menggelikan sama seperti kedengarannya. Makamnya sama seperti punya Tine sekarang. Batu nisannya tidak sebagus milik Tine. Itu sederhana; hanya itu yang mampu Win berikan. Menghabiskan waktu berjam-jam mencoba memutuskan apa tepatnya yang ingin Win katakan.
.
Nittha Pungsawit
April 19, 1977 – Juni 2, 2020
.
Cinta yang ditinggalkannya akan menjadi alasan untuk meraih mimpi. Dia adalah sandaran ketika dunia mulai runtuh. Kekuatannya akan diingat. Ada di dalam hati kita. Keluarga yang mencintainya sudah tidak ada lagi disini. Berdiri disini melihat makam mereka mengingatkan Win betapa sendirinya dia sebenarnya. dia tak memiliki keluarga lagi dan takkan pernah mengakui keberadaan Ayah setelah hari ini.
.
"Aku tak menyangka kau kembali begitu cepat." Win mendengar suara ribut kerikil di belakangnya dan dia tahu siapa itu tanpa harus berpaling. Win tak menatapnya. dia belum siap. Dia akan menatap menembus ke dalam dirinya. Luke telah menjadi temannya sejak TK. Tahun ketika mereka menjadi sesuatu yang lebih itu telah dapat diduga. Win mencintainya selama bertahun-tahun.
.
"Hidupku disini," balas Win singkat.
.
"Aku mencoba untuk berdebat tentang hal itu beberapa minggu yang lalu." Terdeteksi jejak rasa humor dalam suaranya. Dia senang menjadi benar. Selalu.
.
"Aku pikir aku membutuhkan bantuan ayahku. Ternyata tidak." Suara kerikil tergerus terdengar semakin jelas ketika dia maju ke samping Win. "Dia masih seorang bajingan?"
.
Win hanya mengangguk. Dia masih belum siap mengatakan pada Luke betapa bajingannya ayahnya. Dia tak bisa mengatakannya sekarang. Berterus terang akan hal itu membuatnya kelihatan nyata. Win hanya ingin percaya bahwa itu hanyalah mimpi.
.
"Kau tidak menyukai keluarga barunya?" tanya Luke. Dia takkan menyerah begitu saja. Dia akan terus bertanya hingga Win luluh dan mengungkapkan segalanya.
.
"Bagaimana kau tahu aku sudah kembali?" tanya Win, mengganti topic pembicaraan. Itu hanya pengalihan sementara untuknya tapi Win tak berminat untuk terus ada disitu.
.
"Kau tidak benar-benar berharap mengemudikan trukmu di dalam kota dan tidak menjadi buah bibir dalam waktu 5 menit? Kau kenal tempat ini dengan baik, Meta."
.
Meta. Luke memanggilnya Meta sejak mereka berusia 5 tahun. Nama panggilan. Kenangan. Itu aman. Kota ini aman.
.
"Apakah aku sudah disini selama 5 menit?" tanya Win sambil melihat makam di depannya. Nama Ibu terukir di batu nisan itu.
.
"Tidak, mungkin belum. Aku sedang duduk di luar swalayan menunggu Seul selesai bekerja," dia terdiam. Dia berkencan dengan Seul lagi. Tidak mengejutkan. Dia mungkin satu-satunya yang tak bisa lepas dari ingatannya. Win menghela napas panjang dan kemudian memalingkan kepala dan menatap mata sipitnya. Gejolak emosi melawan kebekuan yang membungkus Win erat laksana mantel. Ini adalah rumah. Ini aman. Ini semua yang Win tahu.
.
"Aku akan tinggal," ucap Win padanya.
.
Sebuah seringai terbentuk pada bibirnya dan dia mengangguk. "Aku senang. Kau telah dirindukan. Ini adalah tempat dimana seharusnya kau berada, Meta."
.
Beberapa minggu yang lalu Win mengira setelah kepergian ibu, dia takkan layak tinggal dimanapun. Mungkin dia salah. Hidupnya disini.
.
"Aku tidak ingin membicarakan tentang Chantavit," ujar Win padanya dan mengalihkan pandangan ke makam Ibu.
.
"Siap. Aku takkan mengungkitnya lagi."
.
Win tak perlu berkata apa-apa lagi. memejamkan mata dan berdoa dalam sunyi bahwa Ibu dan saudaranya bersama dan bahagia. Luke tidak beranjak. keduanya berdiri disana dalam diam sementara mentari mulai terbenam. Ketika kegelapan mulai menyelimuti pemakaman, Luke menyelipkan lengannya pada Win. "Ayo, Meta. Mari kita cari tempat untukmu menginap."
.
Win biarkan dia menuntunnya ke jalan dan ke truk. "Maukah kau kuajak ke rumah Granny? Dia punya kamar tamu dan dia akan senang bila kau tinggal disana. Dia hanya sendirian dirumah itu. Dia mungkin akan jarang memanggilku bila ada orang yang menemaninya."
.
Granny adalah Ibu dari Ibunya Luke. Dia adalah guru sekolah minggu Win selama sekolah dasar. Dia juga sering mengirim makanan seminggu sekali kala Ibunya sakit keras.
.
"Aku punya uang. Aku akan menginap di motel. Aku tak ingin merepotkannya." Luke tertawa keras, "Jika dia menemukanmu di kamar hotel dia akan datang dalam kemurkaan. Kau akan ada dirumahnya ketika dia sudah selesai memarahimu. Akan lebih mudah datang ke rumahnya daripada membuat kehebohan. Disamping itu, hanya ada satu motel di kota ini. Kau dan aku tahu berapa banyak pasangan kencan yang berakhir disana. Alasan utama sialannya adalah itu." Luke benar.
.
"Kau tak perlu mengantarku. Aku akan kesana sendirian. Kau punya Seul yang sedang menunggumu," Win mengingatkannya. Dia memutar mata. "Jangan ungkit itu, Meta. Kau tahu dengan baik. Jentikkan jarimu, babe. Cukup jentikkan satu jarimu. Hanya itu yang dibutuhkan."
.
Luke sudah mengatakan tentang hal itu selama bertahun-tahun. Itu hanyalah lelucon sekarang. Paling tidak untuk Win. Hatinya sudah tidak disana. Sepasang mata tajam Bright terlintas di pikirannya membawa serta luka yang menembus kebekuan. Win tahu dimana hatinya berada dan tidak yakin bisa melihatnya lagi. Tidak jika Win berusaha untuk bertahan.
.
Granny tidak akan membiarkannya merenung. Dia takkan membiarkannya sendirian. Malam ini Win membutuhkan ketenangan. Kesunyian.
.
"Luke, aku perlu sendiri malam ini. Aku perlu berpikir. Aku perlu proses. Malam ini aku menginap di motel. Tolong mengertilah dan bantu Granny untuk mengerti. Hanya malam ini."
.
Luke memandang menembus lewat kepala Win dengan rengutan frustasi. Win tahu dia ingin bertanya tapi dia berhati-hati. "Meta, aku benci ini. Aku tahu kau terluka. Aku bisa membacanya dari raut wajahmu. Aku telah melihatmu terluka selama bertahun-tahun. Ini perlahan membunuhku juga. Bicara padaku, Metawin. Kau perlu berbicara dengan seseorang."
.
Luke benar. Win butuh seseorang untuk diajak bicara tapi untuk saat ini yang harus ia khawatirkan adalah berdamai dengan diri sendiri. Pada akhirnya Win akan memberitahukannya mengenai Rosemary Beach. Win perlu memberitahu seseorang. Luke adalah teman terdekat yang dia miliki disini.
.
"Beri aku waktu," ucap Win, menatapnya.
.
"Waktu," dia mengangguk. "Aku telah memberimu waktu selama tiga tahun ini. Aku kira dengan menyediakan waktu sedikit lagi tidak akan menyakitkan."
.
Win membuka pintu truk dan masuk kedalamnya. Besok mungkin dia sudah siap menghadapi kenyataan. Kenyataan. Ya, dia bisa melakukannya... besok.
.
"Apakah kau punya ponsel? Aku menelponmu sehari setelah kepergianmu dan meninggalkanku disini tapi tidak tersambung."
.
Bright. Wajahnya saat memohon padaku untuk menyimpan ponsel yang dia akali muncul dipikirannya. Lukanya menekan kedalam hati Win sedikit lebih jauh lagi. Win menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tak punya satupun."
.
Luke lebih cemberut. "Sialan, Meta. Kau tak bisa tanpa ponsel."
.
"Aku punya senjata," Win mengingatkannya.
.
"Kau tetap perlu ponsel. Aku ragu kau pernah menyorongkan itu ke orang lain sepanjang hidupmu." Disitulah Luke salah. Win hanya mengangkat bahu.
.
"Belilah satu besok," perintahnya. Win mengangguk walaupun sebenarnya tak berminat kemudian menutup pintu truk.
.
.
.
.
.
Win kembali ke jalan dua jalur. Mengemudi sekitar setengah mil ke lampu merah pertama dan belok kanan. Motel bangunan kedua di sebelah kiri. Dia tak pernah menginap disini sebelumnya. Win punya teman yang datang kesini setelah pesta prom tapi itu hanyalah bagian dari SMA yang hanya dia dengar sepintas lalu. Membayar untuk semalam cukup mudah. Gadis yang menjaga di meja depan tampak akrab tapi dia lebih muda darinya. Mungkin masih di SMA. Win mengambil kunci dan segera menuju keluar.
.
Range Rover hitam mengkilap terparkir disebelah truknya kelihatan tidak pantas berada disini. Hati yang Win kira telah mati rasa berdegup kencang di dadanya dalam satu dentuman yang menyakitkan seiring matanya bertatapan dengan mata Bright. Dia berdiri sambil menatap Win di depan Range Rover dengan kedua tangan di dalam sakunya.
.
Win tak berharap bertemu dia lagi. Setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Win ingin membuat perasaannya lebih jelas. Bagaimana caranya dia bisa tiba disini? Win tak pernah mengatakan daerah asalnya. Apakah Ayah? Tidakkah mereka mengerti Win ingin menyendiri?
.
Terdengar pintu mobil dibanting dan perhatian Win teralihkan dari Bright untuk melihat Luke keluar dari truk Ford merahnya yang didapatnya saat kelulusan. "Aku berharap dengan sangat kau tahu siapa pria ini karena dia telah mengikutimu kesini semenjak dari pemakaman. Aku memperhatikannya diseberang jalan melihat kita kembali tapi aku tak mengatakan apa-apa," ujar Luke melangkah maju berdiri sedikit didepan Win.
.
"Aku kenal dia," Win berhasil menelan sumbatan di tenggorokannya. Luke melirik tajam ke arah Win, "Dia alasan kau kembali pulang?"
.
Tidak. Tidak juga. Bukan dia yang membuat Win pulang. Dialah alasan Win ingin tinggal. Walaupun tahu segala yang mereka miliki adalah hal yang mustahil.
.
"Tidak," ucap Win, menggelengkan kepala dan berbalik menatap Bright. Bahkan di bawah sinar bulan pun wajahnya terlihat terluka.
.
"Mengapa kau disini?" tanya Win, menjaga jarak. Luke bergeser lebih maju ke depan saat dia menyadari Win tak akan mendekati Bright.
.
"Kau disini," jawabnya.
.
Tuhan. Bagaimana caranya Win melewati ini lagi? Melihatnya dan mengetahui jika dia takkan bisa memiliki Bright. Apapun yang diwakilinya hanyalah akan mengotori segala perasaan Win padanya.
.
"Aku tak bisa melakukannya, Bright."
.
Bright melangkah maju, "Bicara padaku. Kumohon, Win. Begitu banyak yang ingin kujelaskan padamu."
.
Win menggelengkan kepala dan mundur. "Tidak. Aku tak bisa."
.
Bright mengumpat dan mengalihkan tatapannya dari Win ke Luke. "Bisakah kau memberikan kami sedikit waktu?" tuntutnya.
.
Luke menyilangkan tangannya di dadanya dan melangkah maju lagi didepan Win. "Aku pikir tak bisa. Kelihatannya dia tidak ingin berbicara denganmu. Akupun tak bisa memaksanya. Dan demikian pula denganmu."
.
Win tak perlu melihat Bright untuk tahu betapa Luke telah membuatnya naik darah. Jika Win tak menghentikannya ini akan berakhir dengan buruk. Win memutuskan untuk melangkah memutari Luke dan berjalan ke arah Bright. Jika mereka harus berbicara mereka tak memerlukan penonton.
.
"Tidak apa-apa, Luke. Dia saudara tiriku, Bright. Dia sudah tahu siapa kau. Dia ingin berbicara. Jadi kami akan berbicara. Kau bisa pergi. Aku akan baik-baik saja," ucap Win melewati bahunya dan kemudian berbalik untuk membuka kunci kamar 4A.
.
"Saudara tiri? Tunggu... Bright Vachirawit? Anak tunggalnya Sunny si bintang rockstar? Sialan Win, kau punya hubungan kekerabatan dengan seorang artis rock."
.
Hh, Win lupa jika Luke merupakan penggemar berat band rock itu. Dia pasti tahu segalanya tentang anak laki-laki tunggal dari drummer SSS.
.
"Pergilah, Luke," ulang Win lelah. Dengan perlahan membuka pintu dan melangkah masuk.
.
.
.
.
.
[w/n : tunggu masih ada sisanya... kkkk]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top