BAB I


Truk bercampur lumpur pada ban yang Metawin pakai telah terparkir disamping rumah yang sedang berpesta. Tidak ada mobil buatan luar negeri mahal disini. Tempat ini paling tidak memuat setidaknya dua puluh mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk. Ia memarkir truk Ford tua berusia lima belas tahun milik Ibunya di lapangan berumput, jadi Win tidak akan menghalangi siapa pun.

Ayahnya tidak bilang pada Win bahwa malam ini dia akan mengadakan pesta. Dia tidak bicara banyak pada Win. Dia juga tidak hadir pada pemakaman Ibu. Jika Win tidak butuh tempat tinggal, ia tidak mau berada disini. Sayangnya Win sudah menjual rumah mungil yang ditinggalkan Nenek untuk membayar tagihan akhir dari biaya pengobatan ibu. Yang tersisa hanyalah baju dan truk. Menelpon Ayahnya, setelah dia tidak pernah datang walau hanya sekali selama tiga tahun Ibu berjuang melawan penyakit kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah satu-satunya keluarga yang Win miliki.

Lagi-lagi Win menatap pada rumah besar tiga lantai yang mengarah langsung pada pasir putih di pantai Rosemary, Florida. Ini adalah rumah baru Ayahnya. Keluarga barunya. Win tau ia tidak akan cocok hidup disini.

Pintu truk tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, Win meraih ke bawah kursi dan mengambil pistol sembilan millimeter miliknya, mengayunkan dan mengarahkan pada penyusup itu, memegang senjata dengan kedua tangan yang telah siap untuk menarik pelatuk.

"Whoa...aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat, tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan padaku asalkan kau jauhkan senjata itu," seorang pria dengan rambut sewarna coklat yang diselipkan dibelakang telinganya berdiri di sisi depan senjata Win dengan kedua tangan terangkat dan matanya yang melebar.

Win menatapnya bingung dan tetap mengacungkan senjatanya. Dia masih tidak tahu siapa pria ini. Membuka pintu truk orang lain bukanlah hal biasa bagi orang asing. "Tidak, kupikir aku tidak tersesat. Apakah ini rumah Chantavit?"

Pria itu menelan ludahnya dengan gugup, "Uh, aku tidak bisa berpikir jika senjata itu diarahkan ke wajahku. Kau membuatku sangat gugup, Sayang. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum terjadi kecelakaan?"

Kecelakaan? Benarkah? Pria ini mulai membuatnya marah. "Aku tidak mengenalmu. Di luar gelap dan aku di tempat asing, sendirian. Jadi, maafkan aku jika kau merasa tidak nyaman saat ini. Kau bisa mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi kecelakaan. aku bisa memakai senjata. Dengan sangat baik."

Pria itu kelihatannya tidak percaya pada Win dan sekarang setelah Win melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun, tentu saja Win belum siap untuk menurunkan senjata.

"Chantavit?" dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan kepalanya kemudian berhenti, "Tunggu, Chantavit adalah Ayah tiri baru Bright. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Davika pergi ke Paris."

Paris? Bright? Apa?

Win menunggu penjelasan lebih tetapi pria itu terus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. Mengunci tatapan Win padanya, menurunkan senjata dan memastikan untuk mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum Win menyimpan senjata di bawah kursi truk. Mungkin dengan senjata itu dijauhkan pria ini bisa fokus dan menjelaskan.

"Kau punya surat ijin untuk memiliki senjata?" tanyanya ragu.

Win sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjata. Dia butuh jawaban.

"Chantavit di Paris?" tanya Win meminta konfirmasi. Chantavit tahu Win akan datang hari ini. keduanya sudah membicarakan perihal ini beberapa minggu yang lalu setelah Win menjual rumah.

Pria itu mengangguk pelan dan bersikap santai. "Kau mengenalnya?"

Tidak juga. Win menemuinya dua kali sejak dia meninggalkan ibu dan dirinya lima tahun yang lalu. Win ingat Ayahnya datang ke pertandingan sepak bola kemudian memanggang burger di luar rumah untuk pesta antar tetangga. Ayah yang Win miliki hingga hari dimana saudara kembarnya Tine tewas dalam kecelakaan. Ayah yang mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Pria itu tidak menelpon atau memastikan Win baik-baik saja sementara menjaga ibunya yang sakit, Win tidak mengenalnya lagi. Tidak sama sekali.

"Aku putranya."

Mata pria itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke belakang dan tertawa. Apakah itu lucu? Win menunggunya untuk menjelaskan ketika dia mengulurkan tangannya. "Kalau begitu ayo, aku ingin kau bertemu dengan seseorang. Dia akan menyukainya."

Win menatap tangannya dan meraih tas.

"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu? Haruskah aku memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada menggoda di suaranya menjauhkan Win dari berkata kasar.

"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk. Aku ketakutan."

"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengacungkan senjata pada seseorang? bocah sialan, dari mana asalmu? Kebanyakan bocah yang ku kenal akan berteriak atau semacamnya."

Kebanyakan bocah yang dia kenal tidak terpaksa untuk melindungi dirinya hampir selama tiga tahun. Win punya seorang ibu yang sakit untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun ada untuk menjaganya. "Aku dari Alabama," jawab Win sambil mengacuhkan uluran tangannya dan melangkah keluar dari truk.

Angin sepoi pantai membelai wajahnya dan bau asin dari laut terasa begitu nyata. Win belum pernah melihat laut sebelumnya. Paling tidak belum secara langsung. Ia hanya melihatnya di lukisan dan film. Tapi baunya, benar-benar seperti apa yang Win harapkan.

"Jadi benar apa yang mereka katakan tentang pria dari Bama," jawabnya dan Win mengalihkan perhatian padanya.

"Apa maksudmu?"

Matanya mengamati tubuh Win dari bawah dan kembali ke wajah. Sebuah seringai terpasang di sepanjang wajahnya. "Jeans ketat, kaos longgar, dan senjata. Sialan, Aku hidup di negara bagian yang salah."

Memutar mata, Win meraih ke belakang truk. Dia membawa koper dan beberapa kotak yang harus Win turunkan di Goodwill. "Sini, biar aku saja," ia berjalan mengitari kemudian meraih koper besar Ibu Win di bagasi truk yang tersimpan di lemari untuk 'Perjalanan jauh' yang tidak pernah mereka lakukan. Nittha─ibunya selalu berbicara tentang bagaimana mereka akan mengemudi melintasi Negara dan kemudian menuju pantai barat suatu hari nanti. Kemudian dia jatuh sakit. Menghilangkan ingatan itu, Win fokus pada masa sekarang. "Terima kasih, uh...aku belum tahu namamu."

Pria itu menarik koper keluar kemudian berpaling pada Win. "Apa? Kau lupa untuk bertanya ketika kau punya senjata Sembilan millimeter yang diarahkan padaku?" jawabnya.

Win mendesah. Oke, mungkin ia menjadi sedikit berlebihan dengan senjata tetapi pria ini membuatnya takut.

"Aku Frank, a, uh, temannya Bright."

"Bright?" Nama itu lagi. Siapa itu Bright?

Frank menyeringai lebar lagi. "Kau tidak tahu siapa itu Bright?" dia benar-benar gembira. "Aku sangat senang kau datang malam ini." Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah, "Ayo. aku akan memperkenalkanmu padanya."

Win berjalan disamping Frank saat dia membawa mereka menuju rumah. Musik di dalam rumah begitu keras saat keduanya mendekat. Jika Ayahnya tidak ada disini, lalu siapa disana? Win tahu Davika adalah istri baru Ayahnya tetapi hanya itu saja yang Win tahu. Apakah ini pesta anaknya? Berapa usia mereka? Dia punya anak, bukan? Win sama sekali tidak ingat. Ayah tidak memberitahunya dengan jelas. Dia hanya bilang Win akan menyukai keluarga barunya tetapi dia tidak bilang siapa keluarga baru itu.

"Jadi, Bright tinggal disini?" tanya Win.

"Ya, dia tinggal disini, paling tidak saat musim panas. Dia pindah ke rumahnya yang lain sesuai musim."

"Rumahnya yang lain?"

Frank tertawa, "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga yang dinikahi ayahmu, kan Win-jaa?"

Dia tidak tahu. Win menggelengkan kepala.

"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan," jawabnya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menatap Win. "Bright Vachirawit adalah kakak tirimu. Dia adalah anak tunggal dari drummer terkenal SSS, Sunny. Orang tuanya tidak pernah menikah. Ibu nya, Davika, adalah satu penggemarnya saat itu. Ini rumahnya. Ibunya bisa tinggal disini karena dia mengijinkannya." Frank berhenti dan melihat ke belakang pintu, dan membukanya. "Ini semua adalah temannya."

Seorang perempuan mungil, berambut ikal, langsing memakai gaun mahal pendek berwarna biru dan sepasang heels yang jika Win mencoba untuk memakainya akan mematahkan lehernya─oh baiklah, dia laki-laki dan dia tidak akan pernah membayangkan memakai hal mengerikan itu- mereka berdiri disana menatapnya. Win tidak melewatkan kernyitan di wajah mereka. Dia juga tidak mengenal orang seperti ini tapi Win tahu tempat belanja bajunya bukanlah sesuatu yang mereka datangi.

"Well, halo Prim," jawab Frank dengan nada mengganggu.

"Siapa dia?" gadis itu bertanya, mengalihkan tatapannya pada Frank.

"Teman. Hapus ancaman dari wajahmu, itu terlihat tidak cocok untukmu," jawabnya, meraih tangan Win dan mendorongnya masuk kedalam rumah dibelakangnya. Ruangan itu tidak seramai yang Win bayangkan. Saat mereka melewati serambi yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung mengarah ke tempat yang Win kira adalah ruang tamu. Meskipun begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirnya atau rumah yang pernah menjadi rumahnya. Dua pintu kaca berdiri dengan pemandangan laut yang mempesona. Win ingin melihat lebih dekat.

"Sebelah sini," ajak Frank sambil dia berjalan menuju...bar? Yang benar saja? Ada bar di dalam rumah? Win menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti saat itu juga dan menatapnya sekilas. Ia merasa tersanjung.

"Bright, kenalkan Win. Aku yakin dia mungkin milikmu. Aku menemukannya di luar dan terlihat sedikit tersesat," ucap Frank dan segera Win mengalihkan tatapan dari kumpulan orang-orang yang penasaran untuk melihat siapa itu Bright.

Oh.

Oh. My.

"Oh ya?" jawab Bright dengan malas dan maju dari posisi santainya di sofa dengan bir ditangannya. "Dia menarik tapi masih muda. Tidak bisa dikatakan dia milikku."

"Oh, dia memang milikmu. Ayahnya pergi ke Paris dengan ibumu selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar ditempatku jika kau mau. Hanya saja jika dia berjanji untuk meninggalkan senjata mematikannya di truk."

Bright mengernyitkan alisnya dan mengamati Win lebih dekat. Matanya berwarna aneh. Menarik namun ganjil. Warnanya bukan coklat. Bukan juga kehijauan. Warnanya hangat dengan iris berwarna perak melingkupinya. Win belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Apa mungkin itu lensa kontak?

"Bukan berarti dia milikku," akhirnya dia menjawab dan bersandar lagi di sofa dimana dia berbaring saat Win dan Frank muncul.

Frank membersihkan tenggorokannya. "Kau bercanda, kan?"

Bright tidak menjawab. Malah dia minum dari botol berleher tinggi di tangannya. Tatapannya bergeser pada Frank dan Win yang bisa melihat peringatan disana. Dalam hati Win ingin meminta ijin untuk segera pergi. Ini tidak bagus, pikirnya. Win hanya punya dua puluh dolar di dompet dan ia hampir kehabisan bensin. Dia sudah menjual semua yang dimiliki. Ketika menelpon ayahnya dan bilang kalau dirinya butuh tempat tinggal hingga Win mendapat kerja lalu menghasilkan cukup uang untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberi Win alamat ini mengatakan dia akan sangat senang jika Win mau tinggal bersamanya. Tapi, apa yang dia dapat disini?

Perhatian Bright kembali pada Win. Menunggu Win untuk mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk Win katakan?

Sebuah seringai terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata pada Win.

"Aku punya banyak tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh." Bright mengalihkan tatapannya pada Frank. "Kupikir lebih baik kita membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa menghubungi Ayahnya."

Rasa jijik di lidahnya saat Bright mengatakan kata "Ayah" telah lenyap tanpa diketahui. Dia tidak seperti ayahnya. Win tidak bisa menyalahkannya. Ini bukanlah salahnya. Ayahnya yang mengirim Win kemari. Win bahkan sudah menghabiskan banyak uang untuk membeli bensin dan makanan di perjalanan menuju kemari. Kenapa Win harus percaya pada manusia dihadapannya ini?

Seketika Win meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Frank. "Dia benar. Aku seharusnya pergi. Ini adalah hal yang sangat buruk," Win menjelaskan tanpa melihatnya. menarik keras koper dan Frank melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat mata Win saat dia sadar begitu merindukan rumah.

Win tidak sanggup melihat mereka. Berbalik, menuju pintu, menahan kesedihan. Dia bisa mendengar Frank berdebat dengan Bright tapi Win mengabaikannya. Ia tidak mau mendengar apapun yang dikatakan pria tampan itu tentang dirinya. Dia tidak menyukainya. Itu terlihat jelas. Ayahnya nampaknya bukanlah anggota keluarga yang diharapkan.

"Kau akan segera pergi?" sebuah suara yang mengingatkan Win pada sirup lembut bertanya. Win mengangkat kepalanya untuk melihat senyum gembira pada gadis yang membuka pintu sebelumnya. Dia juga tidak ingin melihat Win disini. Apakah Win begitu menjijikkan bagi semua orang?

Win langsung menjatuhkan tatapannya pada lantai dan membuka pintu. Dia masih punya banyak harga diri untuk tidak membiarkan jalang itu melihatnya bersedih.

Saat Win sampai di luar rumah dengan selamat dia menangis terisak dan berjalan menuju truk. Jika Win tidak membawa koper dia sangat yakin akan lari. Ia harus mencari perlindungan, masuk ke dalam truk, bukan di dalam rumah lucu itu dengan orang-orang sombong. Ia rindu rumah. Ia rindu Ibunya. Isakan lain meluncur bebas dan Win menutup pintu truk dan menguncinya dibelakang.




[w/n : another remake ya, sekali lagi saya tidak mendapat apapun dengan meremake novel ini, jika nanti ada hal-hal yang tidak di inginkan maka saya akan dengan senang hati menarik kembali cerita ini. Terimakasih]

[Fanfiction ini berasal dari novel Abby berjudul 'Fallen to far' silahkan baca dan dukung novel aslinya jika berkenan]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top