7. Pengumuman! Runi benar-benar naksir cewek!

Angin November lebih dingin dari hari-hari kemarin dengan awan yang telah mengandung beribu titik hujan, untuk berkali-kali dijatuh-luruhkan ke bumi. Seperti siswa yang lain, Tami menuju gerbang Classic yang terletak di puncak jalan tanjakan dengan santai.

Aktivitas Classic memang belum serius karena kegiatan MOS sedang berlangsung. Beberapa murid tampak sedang ngecengin anak-anak baru yang sedang berbaris di lapangan.

Sebenarnya sejak kemarin, Tami berencana menghabiskan waktunya di suatu tempat. Itu bisa terjadi kalau saja Lid dan Alya tidak terus-terusan mengoceh dan mengikuti setiap langkahnya dan Pak Tendi tidak menahannya keluar. Ia dan teman-teman di kelasnya harus menjalani sesi pemilihan ketua kelas dan perangkat-perangkatnya, penentuan jadwal piket-Tami mendapat jadwal hari rabu- dan membicarakan inventaris kelas.

Tami bosan. Ia tahu suara-suara anak eksis sudah mengudara di kelasnya, ia tahu jenis-jenis macam apa mereka semua. Di hari pertama sekolah, sudah terlihat siapa yang sudah mencolok. Belum lagi gang-gang yang sudah terbentuk itu. Cewek-cewek cantik itu, gank Nadia, yang isinya gadis-gadis pujaan para cowok, mereka cantik, populer dan kaya. Paduan yang selalu ada di setiap angkatan.

Kemudian, grup yang Lid iseng menamakannya, BBB. Semua itu karena mereka memang bukan sembarangan orang Batak. Selain pandai pelajaran Sains, bagi mereka, semua tempat adalah panggung. Mereka tipe-tipe orang yang kerap menyambung perkataan orang lain dengan menyanyikan bait lagu. Baron salah satu anggotanya. Dia punya wawasan lagu yang cukup bagus, dia suka bernyanyi apa saja. Bahkan Tami sering tidak tahu lagu apa yang sedang Baron nyanyikan. Tapi yang dia ingat, Baron sering menyanyi lagu; Too Much Love Will Kill You, Manusia Termiskin di Dunia, Kawin Massal, dan Hanya Ingin Kau Tahu.

Kemudian Double Son alias Elison dan Weslison, mereka bukan kembar tapi nama mereka yang secara ajaib mirip, membuat Lid tergelitik untuk memberi mereka julukan Double-Son (read: dua anak laki-laki). Dan sederetan nama lagi yang Lid gonta-ganti identitasnya seenak jidat.

Tami tersenyum. Meskipun ia tidak yakin dengan Lid, sebab baginya Lid itu matre, sama saja seperti yang lain, yang tampak begitu baik tapi akan dengan-cepat-terlihat-boroknya. Ia sering tersenyum sendiri kalau sudah melihat tingkah anak itu.

Tami tersadar dari lamunannya.

Gerimis.

Tami menengadahkan tangan. Di langit matahari pagi bersinar cerah, tapi hujan jatuh menimpa kepalanya. Ini adalah momen yang sempurna dan jarang terjadi. Jadi Tami sengaja berlama-lama berjalan di antara hujan matahari di jalan tanjakan.

"Katanya kalau minum air hujan langsung dari langit, kita bisa cantik."

Tami menoleh cepat. Disampingnya, Alya sudah berdiri sambil memayunginya. "Kata siapa?"

"Kata kamu." Alya menjawab sambil menyamakan langkah Tami. "Dulu kita sering main hujan-hujanan. Dan cuma hujan kan, yang jatuh langsung dari langit? Selain itu apa coba?"

Tami berpikir sebentar. "Komet? Salju? Katak terbang?"

Alya tertawa renyah. Ia lalu memandang Tami antusias. "Ayo payungan! Sepagi ini nggak lucu kalau basah. Lagian gawat kalau kamu demam."

"Hujan nggak bikin demam. Daya tahan tubuh kita yang lemah."

Alya nampak menimang-nimang kata. Lalu dengan cuek berkata,

"Hujan memang nggak buat demam, Tapi bisa buat kita mengenang pada hal-hal tertentu. Dan kalau sudah begitu, aku bisa sakit karena rindu." Alya memperbaiki rambutnya. "Hei, Tami, kalau dalam sains, pemandangan yang langka seperti ini apa ya namanya?" katanya lagi sambil matanya tetap menatap takjub rintik gerimis hujan yang bercahaya karena terpaan sinar matahari. Yang Alya tahu, hujan selalu disertai gelap atau mendung. Tapi tidak mentereng seperti pagi ini.

"Ini namanya hujan matahari. Kalau di sains, ini hujan frontal. Karena turun saat udara dingin dan udara panas bertemu. Tapi aku juga jarang ketemu sama hujan seperti sekarang ini."

"Iya, rasanya kayak lagi liatin hujan di bawah lampu neon pinggir jalan di malam hari. Mataharinya kayak senter raksasa." Alya menyahut.

Tami memandang Alya lurus-lurus. "Kenapa dari kemarin seperti ini?"

"Seperti apa?"

Tami tak menjawab. Tapi ia yakin Alya mengerti maksudnya. Semua perubahan di tahun kedua SMA ini, benar-benar membuat Tami bingung.

"Aku hanya ingin satu payung denganmu. Aku hanya ingin membuat persahabatan denganmu." ungkap Alya.

Tami tertawa sedikit. "Kita tidak bisa membuat persahabatan. Hal-hal seperti itu muncul begitu saja setelah melalui banyak hal. Selama ini kita tidak punya cukup hal untuk dilalui. Dan... kamu lupa? Jangan berteman dengan loser kalau tidak ingin jadi loser. Aku loser."

Tami berlari menuju kelas, meninggalkan Alya yang lama terdiam di balik payungnya.

***

"Boleh duduk disini?" seorang cowok, menegur Tami. "Aku kemarin duduk disini."

Tami tertegun. Ia baru saja meletakkan tas di bangku paling depan, dekat dinding. Sistem bangku kelas yang diatur Pak Tendi seperti gaya perkuliahan, membuat Tami sengaja datang lebih awal ke kelas supaya bisa bebas mengambil bangku yang ia inginkan dan ia tidak peduli siapa yang akan jadi teman sebangkunya.

"Boleh?"

Tami mengangguk pelan. Dia merasa tidak enak jika melarang.

"Makasih. Aku Rizal."

"Tami."

"Suka baca?" tanya Rizal lagi, dia melihat Tami mengambil sebuah buku dari dalam tas dengan cepat, seolah ingin pergi dari situ sesegera mugkin.

"I...Iya."

"Siapa yang kamu suka?"

"Apa?"

"Di buku itu, siapa tokoh yang kamu suka."

"Oh-" Tami tersenyum kecil. Tidak menyangka, selain wanita bernama Winda, ada orang lain yang akan bertanya soal buku kepadanya.

"Mungkin Anis."

"Oh. Karena?"

"Mirip."

Rizal mengernyit. Ia memandang teman sebangkunya. Betapa sunyi. Tapi itu berlangsung sebentar, sebab Tami mengangguk permisi dan beranjak ke luar kelas. Sendirian, baginya, lebih menenangkan.

"Jalan terus!" tiba-tiba lengking Pak Zul terdengar dari seberang lapangan basket. Teriakan itu memancing perhatian siswa-siswa yang sudah tiba di sekolah, tak terkecuali Tami. Mereka saling bisik, senyum atau malah gelengan kepala.

Pak Zul tampak sedang mengawasi Runi, Kaisar dan Baron yang berjalan jongkok menyebrangi lapangan menuju kelas Tami. Di tangan kanannya, Pak Zul memegang sebuah payung kuning yang melindungi tiga siswa bandel itu dari gerimis. "Sudah ada gerbang, masuk pula kalian lewat pagar! Jalan jongkok terus sampai kelas kalian!"

"Iya Pak..." ucap Baron dengan susah payah. Ia kepayahan berjalan jongkok dengan kondisi 75 kg berat tubuhnya. "Pak.... capek, hah-hah-hah"

Tapi Pak Zul terus memekik-mekik seperti suara daun jendela yang berderit ngilu. Sementara geng Nadia yang baru tiba kontan tertawa keras Tami juga ikut memerhatikan kejadian itu. Kemudian setelah mengomel-termasuk-saat melihat rok geng Nadia yang di atas lutut. Pak Zul meninggalkan kata mutiara "Mau jadi apa kalian besar nanti?!", lelaki tua itu pergi berlalu.

Tontonan selesai. Semua siswa bubar.

Kaisar dan Baron sudah masuk ke kelas sambil memjit-mijit pahanya. Sementara Runi, sejak tadi jalan jongkoknya terhenti karena seseorang. Jadi saat dia mulai berdiri sambil mendongakkan kepala, persis di sisi kirinya, berdiri Tami.

Setengah syok, Runi memandang Tami bertepatan saat angin memainkan poni rambut gadis itu. Ia memandang gadis yang sering mencuri perhatiannya sejak dulu. Gadis itu sedang memandang kepergian Pak Zul. Sadar sedang diperhatikan, Tami merasa risih. Ia menganggukkan kepala, lantas pergi begitu saja sambil membaca buku.

Runi terus mengikuti langkah gadis itu, yang berwajah tirus itu, yang berambut hitam pekat menjuntai sampai bahu, yang terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Kalau dilihat-lihat, tatapan gadis itu nyaris kosong. Senyumnya yang hanya seulas menunjukkan kelegaan yang terlalu imitatif. Senyum yang sangat sedikit di antara gelak tawa para cewek-cewek di sekitarnya.

Runi terus memerhatikan sampai gadis itu berhenti berjalan karena dihadang Lid-sebagai pelanggan setia yang kerap membeli pena, ia pasti kenal-yang tampak heboh sendiri sambil menyeret gadis itu kembali ke kelas, melewati Runi. Untuk beberapa detik mata mereka bertemu.

Seperti dihipnotis, Runi mengikuti mereka masuk kelas. Ia melihat Lid menyerahkan sebuah buku kepada gadis itu. Dia tersenyum senang sambil menatap buku itu. Saat Alya yang baru tiba di kelas, dan datang menghampiri, dia tersenyum. Senyum yang imitatif lagi. Tapi senyum yang ceria saat wajahnya ia hadapkan ke buku.

"Cewek aneh." desis Runi, sambil terus mencuri pandang ke gadis itu.

"Sar, kita sekelas sama dia kan? Dia.. siapa?" Runi menyikut Kaisar yang langsung menjengit. Ia ingin memastikan apakah dalam dua tahun ini, ia akan berada dalam satu ruang dengan gadis itu.

"Udah aku bilang kan? Panggil aku Kai."

"Yang duduk paling depan itu siapa?" Runi mengulang pertanyaannya tanpa memedulikan protes Kaisar.

Kaisar mendongakkan kepala. Matanya berjinjit menyapu seisi kelas.

"Rizal...?"

"Bukan! Paling kanan!"

"Yang itu?"

"Iya, yang pakai sweater hitam."

Kaisar terbatuk. "Si Tami?"

"Namanya Tami?"

"Ho-oh. Swastamita."

"Swas..tamita?" Runi mengangkat alisnya.

"Iya. Kelas sepuluh kami sekelas." jawab Kaisar singkat yang langsung direspon Ooh oleh Runi. "Anaknya nerdy, kayak namanya." timpal Kaisar. Matanya penuh selidik. Kemudian senyum jahilnya mengembang. "Kau suka, Run? Iya?? Jadi ini anaknya??"

Runi tercenung. Kemudian sambil menatap Kaisar, ia menggenggam tangan temannya itu.

"Sar, percaya. Hanya kau seorang..."

Kaisar memelotot. Buru-buru ia menarik tangannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top