47. Sejak Kau Mencintaiku ...
*
Though it seems forgotten - Seo Young Eun
*
I'm always watching you.
(Rin, Naruto Shippuden)
***
Juli, 2010
Apakah kamu tahu istilah polar late? Terlalu lama tidak melihat cahaya matahari, sehingga ia menjadi gila dan berhalusinasi. Dan ketika ia benar-benar melihat cahaya matahari, ia menjadi gila, atau bahkan malah percaya ia sedang berhalusinasi.
Tidak ada yang melihatku, selama ini. Jadi, lama-lama aku percaya bahwa memang tak ada satu pun yang melihatku.
Aku berani sumpah, hari itu adalah kali pertama ada seseorang yang dengan jujur dan berani, menunjukkan perasaannya padaku. Berkata tepat dari kedalaman matanya, tentang perasaan yang tak bisa aku remehkan dalam satu dua hari. Aku sangat marah waktu itu. Aku bahkan tidak mengetahui namanya. Aku tak bisa melihat apa-apa selain bayanganku sendiri kalau dia pasti hanya mempermainkanku seperti orang-orang bersikap padaku.
Ketika Kaisar bilang kalau dia suka, hal pertama yang aku pikirkan adalah aku harus pergi dari kelas sekarang juga. Mereka pasti sedang meledekku. Mereka pasti gila. Dan aku merutuk sepanjang perjalanan pulang. Hal kedua yang aku pikirkan adalah, apakah dia serius? Karena ketika aku melihat ke arahnya, dia terlihat tidak sedang bercanda. Dia justru sedang menatapku gugup.
Kepalaku panas, pipiku memerah, dan tubuhku bergetar, dan aku selalu terantuk batu saat berjalan. Ini sangat mengerikan. Saking tak percayanya, aku langsung percaya bahwa dia bohong. Aku harus pulang untuk berdiam diri di kamar dan berpikir ekspresi seperti apa yang harus aku gunakan besok saat bertemu dengannya?
Hasilnya, aku tetap percaya tak ada yang melihatku. Aku sudah bertekad akan fokus pada sekolah, lulus dan selesai. Jadi karena aku lelah berpikir, aku tak mau ambil pusing.
Tetapi lusanya, pada hari senin, saat aku sudah melupakan kejadian itu, tiba-tiba saja dia menunjukkannya lagi, seolah-olah ia ingin berkata, aku benar-benar serius saat itu, juga saat ini. Ketika upacara bendera, dia meminta Anto untuk pindah posisi sehingga ia berdiri di sampingku, dan mengajakku berbicara.
"Panas ya, Tam."
Adalah ucapan pertama darinya untukku.
Dan kujawab, "Iya, panas."
Adalah kata pertama dariku untuknya.
Aku sangat ingat. Tapi dia pasti sudah lupa. Kuperhatikan dia tipikal yang gampang lupa. Tidak seperti aku yang tergolong pengingat momen. Bahkan aku masih ingat bagaimana aku berdebar-debar berada di sampingnya saat itu. Benar-benar konyol. Kami berdua tersipu-sipu di barisan upacara hari itu. Meskipun perutku jadi sakit, aku tetap merasa ini rasa sakit yang tidak berbahaya.
Dia terus menunjukkan perasaannya. Tapi, aku sangat kaget ketika Lidya menyadari ada yang aneh dariku dan dia. Lid yang ceplas-ceplos mulai berpikir kalau ada sesuatu di antara kami berdua. Aku kontan membantah. Aku tidak mau dikait-kaitkan dengan dia... dia anak yang nakal.
Tipe cowokku adalah good boy, bukan seperti dia yang diam-diam aku perhatikan, berteman dengan anak-anak kelas lain yang nakal itu, dia juga suka berkata kotor dan jorok, kata-kata yang bagiku tak patut diucapkan. Dia juga merokok-aku pernah memergokinya sedang merokok bersama Baron, Kaisar, Depa dan lain-lain. Beberapa anak perempuan di kelasku, pernah bergosip tentang dia yang sangat nakal. Dia juga emosional, dia selalu kehilangan uangnya dari saku celananya yang bolong. Aku sering mendengarnya marah dan mengumpat-umpat karena uangnya hilang. Dan tidak jelas ia marah pada siapa, dan itu terjadi sering sekali. Aku heran, jika ia tahu kalau kantong celananya bolong, mengapa ia masih menaruh uang di situ? Benar-benar pelupa dan bodoh.
Dia juga gila. Dia pernah mempermainkan seorang bapak-bapak dengan berpura-pura menjadi bussinesman dan punya uang jutaan. Dia tidak menipu bapak itu dengan meminta uang, tetapi ia menipu sudut pandang bapak itu. Dan ketika ia ceritakan hal itu pada teman-temannya-hari itu, ia duduk di belakangku-dengan sangat bangga, dan teman-temannya langsung terbahak-bahak, aku justru semakin kesal padanya. Tega-teganya mempermainkan orangtua, kataku saat itu. Tentu saja dalam hati.
Dia juga genit. Dia pernah menggoda guru baru yang memang masih muda dan ranum tetapi cerewetnya bukan main. Hari itu, adalah hari pertama Bu Kinanti masuk ke kelas. dia adalah guru TIK kami yang baru. Aku sedang mengantuk saat itu. Juga bosan. Seharusnya pelajaran TIK bisa menghapus kebosanan kalau saja kami dibolehkan masuk Lab komputer. Tetapi hari itu malah khusus perkenalan di kelas.
"Nama saya, Kinanti Wirasti. Saya tinggal di daerah Kolonel Abunjani...." katanya terus-terusan. "Ada yang mau bertanya?"
Kami semua diam. Soalnya kami betulan bosan dan kesal. Tapi hal itu tidak berlangsung lama ketika Bu Kinanti menunjuk ke arah belakang kananku. Rupanya ada seorang cowok yang mau bertanya.
"Apa kesan Ibu terhadap saya?"
Tawa teman-teman langsung pecah. Berbarengan dengan aku yang langsung menoleh ke belakang. Memastikan suara yang sangat aku kenal. Dia. Ternyata memang dia yang bertanya!
Aku tercenung menatap ke arahnya. Dia begitu cuek dan selalu menampilkan cengiran khasnya. Aku selalu heran padanya. Dia suka menciptakan sensasi dan banyolan di kelas. Dia kira sikap itu lucu? Yah, walaupun memang sepertinya lucu. Semua anak tertawa menyoraki tak terkecuali aku yang lalu tenggelam di dalam lipatan kedua tanganku. Tertawa diam-diam.
Selain gila, dia adalah spotlight di kelas, pada suatu hari, dia pernah membuat heboh satu kelas-oh, tidak-satu sekolah, dengan berita anak hilang dan tawuran. Malam itu, banyak SMS masuk ke ponselku, salah satunya dari Baron yang bertanya apakah aku melihat dia, atau apakah dia bermain ke rumahku? Sebab rupanya dia belum juga pulang ke rumahnya setelah melarikan diri. Mamanya sangat cemas dan menangis, hampir-hampir pingsan, begitu yang Baron sampaikan.
Aku jawab aku tidak lihat dia sama sekali dan tentu saja dia tidak main ke rumahku, lagipula sejak kapan ia tahu rumahku? Dan kalau tahu, sejak kapan ia berani ke rumahku? Karena sejak perisitwa lapangan upacara itu, aku selalu menghindarinya. Sejak dia berkasus dengan Bu Fatma, aku benar-benar tidak mau dikait-kaitkan dengannya.
Kami memang tidak pernah bertegur sapa dalam waktu yang lama. Tetapi kami sekelas. Aku tetap cemas. Karena meskipun dia nakal dan kami tidak dekat, dia tetap temanku.
Pagi harinya, aku cepat-cepat ke sekolah. Aku sampai lupa menyapa Pak Jack yang membuka gerbang. Aku gegas berlari ke arah perpus. Biasanya, dia selalu ada di pohon itu. Aku tau karena aku biasa lihat dia dari jendela perpus. Tapi, sesampainya di sana, aku tidak menemukan dia di mana pun. Ke mana anak itu? Dia tidak ada sama sekali.
Ke mana dia? Kenapa harus minggat? Apa sih yang ada di pikiran dia?
24 jam menghilang, dia ternyata tidak menghilang. Dia ada di belakang pagar sekolah. Sore itu, aku mendengar dia teriak-teriak marah. Dia memekikkan kata Papa dan berengsek terus-terusan. Aku ingin menghampirinya tapi takut. Aku ikut sedih untuk nasibnya. Orangtuaku juga suka bertengkar. Aku nyaris gila kalau melihat mereka ribut. Kurasa nasib kami mirip. Jadi akhirnya, aku menghampirinya. Aku suruh dia pulang. Aku ingin dia pulang.
Besoknya, dia sekolah. Dan teman-teman sekelasku mengomel padanya, "Woi, Runi, ubur-ubur! Aku sangka kau benar-benar hilang. Kasihan Emakmu!"
Dan dia hanya tertawa-tawa mendengarnya. Sambil memarahi dan mengatai dirinya sendiri. Dan aku langsung sebal lagi padanya. Tega-teganya dia membuat cemas Ibunya. Bahkan dia juga berulah lagi. Dia mengumpulkan air pipis anak-anak sekelas. Sebenarnya, dia mau apa sih? Tapi aku jadi penasaran. Mengapa dia bisa begitu ceria? Di hidupnya yang sedih itu, bagaimana caranya bisa tetap tertawa seperti itu? Begitu pikirku saat itu.
Jadi, apa pun yang dia lakukan aku selalu mengernyitkan alisku. Semuanya salah di mataku. Semuanya sangat serius bagiku. Karena sejak ia semakin terus mendekatiku, aku memutuskan untuk mengubah sikapku padanya. Sejak aku perhatikan kalau dia benar-benar membuatku takut, aku jadi harus menjaga jarak dengannya.
Aku tahu dia menyukaiku. Semua itu bisa aku rasakan sejak mata kami bertemu hari itu. Dia benar-benar serius. Dan, aku tidak ingin menyukainya. Kaisar, teman sekelasku di kelas sepuluh yang tak pernah peduli padaku, tiba-tiba jadi sangat peduli padaku. Dia sering mencuri duduk di sampingku-saat Alya tidak berada di kursinya-dan bertanya-tanya mengenai kehidupan pribadiku. Dia bertanya nomor ponselku, rumahku, warna kesukaanku, tanggal lahirku, apakah aku menyukai bunga, apakah aku menyukai coklat, apakah aku punya pacar, apakah aku menyukai Rizal seperti yang disangkakan teman-teman.
Kaisar benar-benar gegabah dalam mengorek informasi. Ia tidak cocok menjadi detektif. Aku bisa melihat dari sudut mataku, Kaisar sedang bertanya-tanya dalam pengawasan mata teman sebangkunya, Runi. Jadi aku mengusili Kaisar.
Dengan niat mematahkan, aku bilang, "Kaisar, sudah aku bilang kan? kalau kamu mau tahu tentang aku, kamu harus bayar lima ribu rupiah." kataku waktu itu, sambil menirukan gaya Gold digger-nya Lid.
Kaisar benci Gold Digger.
Kaisar-yang dulu tak pernah peduli padaku dan mendadak peduli padaku-langsung tercengang. Lalu dia pergi dari sampingku menuju bangkunya. Dan sejak itu, Kaisar tidak pernah bertanya-tanya hal aneh padaku.
Waktu itu aku langsung tertawa kecil. Aku tahu Kaisar hanya orang suruhan dia. Dia terlalu jauh untuk bisa bertanya langsung padaku, terlalu asing untuk tiba-tiba menegurku, kami tidak pernah bertegur sapa, kami tidak dekat sama sekali. Dia sudah merusak awal perkenalan kami dengan perasaannya sendiri. Terkadang aku merasa gelisah dengan keadaan ini. Aku sangat menyayangkan soal ini. Sebenarnya kami bisa bersikap biasa-biasa saja dan berteman seperti yang lainnya. Tapi semuanya sudah rusak sejak awal.
Aku tidak ingin menyakitnya lebih dalam. Aku kira, memberikan harapan pada orang yang tidak kita harapkan untuk hidup bersama suatu hari nanti adalah kejahatan besar.
Aku tahu dia menyukaiku. Tapi aku tahu aku harus menyukai siapa. Aku memang tak pernah dilihat, aku memang rentan menjadi bahan hinaan, tapi aku percaya kalau aku ini perempuan terhormat dan punya prinsip. Aku tidak marah waktu Bapak melarangku pacaran. Aku tahu ia ingin aku serius sekolah. Aku tahu betapa susahnya ia bekerja. Aku juga tidak marah waktu Ibu melarangku pacaran, karena semuanya searah dengan prinsipku. Jika harus pacaran, aku hanya ingin berpacaran untuk yang pertama dan terakhir, dan pacar pertamaku harus berakhir di pelaminan. Walau aku hanya tertawa-tawa saja dengan prinsipku, sebab, aku tak pernah dilihat. Jadi siapa juga yang akan menjadi pacarku?
Dan, ketika ada yang melihatku saat yang lain tidak melihatku, dia justru yang mengingatkanku pada sosok ayahku yang emosional. Aku tidak tahu mana yang lebih parah; dia atau ayahku. Tetapi persamaan mereka adalah, sama-sama membuatku takut.
Dan, aku sudah lelah hidup bersama orang-orang yang membuatku takut dan putus asa. Jadi aku tidak ingin menghabiskan sisa hidup bersama orang yang akan membuatku takut lagi.
***
Dari buku yang aku baca, akhirnya aku tahu; Jika kita membenci seseorang, kita akan lebih memperhatikan tingkah laku dan sikapnya dengan spesifik.
Aku membencinya. Saking takut jatuh cinta padanya, aku justru memutuskan untuk membencinya. Sejak aku menyadari kalau dia memiliki perasaan padaku, sejak itu aku membangun dinding yang tinggi untuknya. Sebuah pembatas dingin dan beku yang akan membuatnya tak bisa melangkah sejengkal pun. Tak akan bisa membuatnya merasa bersambut tangan barang sekejap pun. Tak akan bisa membuatnya membangun harapan setetes pun.
Tapi, aku salah perhitungan.
Kekhawatiranku untuk dicintai justru membuatku penasaran padanya. Mata dan telingaku selalu mengawasinya. Aku marah jika menemukan dia tengah bertingkah urakan, aku marah kalau dia bolos sekolah dan merokok. Aku marah karena aku disukai pemuda urakan, tapi aku juga marah karena aku justru memperhatikan dia diam-diam, marah karena jangan-jangan aku sudah salah sangka. Entah kemarahan apa ini.
Aku benar-benar bodoh soal ini.
Sejengkel apa pun aku padanya, aku tetap saja mendengarkannya. Dia sering mengambil posisi duduk di belakangku, atau di seberangku-hanya sebatas itu yang ia sanggup menjangkaunya-dan mengoceh apa pun yang bisa aku dengar. Apakah itu tentang band-nya, aksi mengamen di jalan kota, atau tentang ocehan dia perihal kepalanya yang botak seperti Baron karena banci salon yang salah potong model rambut.
Jadi, tiba-tiba di suatu hari yang cerah, dia datang ke sekolah dengan kepala botak pelontos. Kami semua menertawainya, teman-temanku menertawainya, dan dia dengan umpatan khasnya langsung memiting kepala cowok-cowok yang melecehkan kepalanya. Bahkan anak-anak perempuan yang tadinya sebal padanya, juga ikut tertawa. Hanya aku yang tidak bisa menunjukkan kalau aku menertawainya. Karena aku punya urusan emosi dengannya, sementara yang lain tidak. Jadi mereka bisa bersikap biasa-biasa saja dengan dia. Tapi aku, tidak bisa.
Jadi dalam waktu bersamaan, aku selalu mengernyitkan alis sambil berkata 'dasar bodoh' dan tertawa sendiri melihat dia.
Seiring berjalannya waktu, ada banyak perisitiwa yang melibatkan aku dan dia. Mulai dari acara buka puasa bersama, kejutan ulang tahun Pak Tendi, peristiwa kuis fisika, peristiwa di perpustakaan, peristiwa guru PPL, praktik Biologi, kelompok belajar seni suara, dan segala hal yang memang membuat kami harus terlibat karena mudahnya untuk terlibat. Kami sekelas selama dua tahun. Lama-lama aku perhatikan, dia sangat menyenangkan. Dia benar-benar seperti Arunika yang selalu memancarkan energi ceria. Aku iri padanya. Aku ingin seperti dia.
Di kedalaman hatiku, aku ingin berteman dengannya. Aku kira, dua tahun itu waktu yang cukup untuk memperbaiki segalanya.
Sampai hari itu tiba, ketika kami sekelompok pada tugas seni suara untuk menampilkan pertunjukan resembel di saat ujian praktik. Latihan demi latihan kami jalani. Interaksi yang sering membuatku bisa lebih rileks dan memiliki alasan untuk mengobrol dengannya. Dia juga sudah tidak lagi menunjukkan perasaannya padaku jadi aku bisa bersikap biasa-biasa saja padanya dan tak perlu berdebar lagi. Seusai latihan, dia berkata kalau aku aneh. Ia sering melihat ekspresiku yang bisa berubah drastis. Dalam satu saat, ia bisa melihatku bersedih tetapi sesaat kemudian aku langsung ceria. Mendengar itu, aku hanya tersenyum sekaligus takjub. Dia sangat baik. Dia selalu merespon semua omonganku, dia selalu merendahkan suaranya jika aku berbicara padanya, dia berusaha tidak nyolot seperti yang biasa ia lakukan kalau berhadapan dengan yang lain. Dia mendengar permintaanku untuk tidak mengumpat lagi karena aku sangat terganggu. Dia bahkan berkata ia ingin berubah. Ia ingin lebih memikirkan lagi masa depannya.
Setelah sikap dinginku selama ini, dia tidak membenciku.
Aku berpikir kami bisa berteman tanpa ada kebencian. Dengan semua sikap abaiku selama ini, dia tidak membenciku. Aku senang.
Tapi hari itu ia merusak lagi, dia kembali menunjukkan perasaannya padaku. Dia yang biasanya mengutus Kaisar untuk mencuri duduk di sampingku-saat Alya sedang ke toilet bersama Lidya-justru langsung terang-terangan duduk di sampingku. Dia berkata ia meminta selembar kertas untuk mengerjakan tugas kewarganegaraan yang Bu Rosde berikan pada kami sekelas. Tanpa tedeng aling-aling, ia langsung merobek buku Alya sambil mengajakku mengobrol dengan tatapan itu. Aku sangat gugup. Aku tersenyum canggung padanya, tapi lagi-lagi senyum itu membuat jantungku berdebum kencang. Aku lihat Daniar, Baron dan Kaisar ber-cie-ciee ke arahku. Aku merasa ini tidak boleh dibiarkan. Aku tidak menyukainya. Jadi, dengan cepat aku bangkit dari kursi, berkata padanya bahwa aku ingin meminjam Tipe-ex pada Yana yang duduk paling depan. Aku meninggalkannya begitu saja.
Aku sangat kaget. Aku kira dalam satu dua hari lagi dia akan berubah pikiran. Tapi ternyata dia belum menyerah.
Dan aku kesal karenanya. Dalam sudut mataku, kulihat dia belum beranjak dari kursi Alya, bersamaan dengan itu aku dengar-dan seisi kelas bisa mendengarnya-Alya berteriak sangat kencang pada dia. Bukannya diam, teman-temanku yang kerasukan acara reality show Kontak Jodoh malah menyoraki mereka berdua. Saat itu, dengan gugup dia bangkit dari kursi Alya dan meminta maaf. Semua orang di kelas semakin heboh menyoraki, tertawa-tawa. Mereka berdua tampak salah tingkah. Entah mengapa saat itu aku juga ikut tertawa dan menyoraki tanpa peduli wajah muram dia. Mata kami bertemu, dan aku tahu dia menatapku dengan tatapan terluka. Tapi aku berpikir ini adalah satu-satunya cara agar dia tidak terluka lebih dalam.
Tapi ternyata, dia belum menyerah.
Seperti biasa kelas kami melakukan hang out. Kali ini kami menghabiskan jam-jam kosong usai ujian kenaikan kelas di Kanal. Aku membonceng dia. Sepanjang perjalanan kami diam saja. Ini sangat membosankan. Tetapi aku terus mengunci mulutku karena takut padanya. Aku juga tidak tahu harus bicara apa dengannya. Dia pun hanya diam. Akhirnya aku memutuskan untuk melamun. Melamunkan Rizal. Kalau pergi dengan Rizal, kami akan membahas buku, PR, tugas, dan segala hal. Mungkin karena kami mirip.
Aku terus tenggelam dalam pikiran. Sampai akhirnya dia membahas soal bunga. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa tahu kalau aku suka bunga matahari. Aku tidak terlalu menganggapinya, sampai akhirnya dia yang sejak tadi mengebut terus-menerus memacu motornya sampai kami nyaris mati terserempet truk. Aku marah dan takut padanya. Kalau dengan Rizal, kami tidak pernah melanggar aturan lalu lintas. Rizal selalu memacu motornya hati-hati, jika harus mengebut, ia harus punya alasan kuat untuk mengebut. Tetapi dia? Dia begitu brutal.
Jadi, sesampainya kami di Kanal, aku menjauh sejauh-jauhnya dari dia. Dengan menggunakan ponsel Baron, dia memotretku diam-diam. Baron yang heboh membuatku tahu itu. Dia langsung berlari dan bergabung dengan yang lain karenaa malu. Dan aku, langsung merebut ponsel Baron dan menghapusnya dengan marah.
Ternyata dia belum menyerah.
Sepulang dari sana, aku tidak mau membonceng lagi dengannya. Dengan dingin, aku mengacuhkannya dan malah membonceng Lid. Aku pergi meninggalkannya begitu saja.
Aku sempat melihat ke arahnya. Tatapan terluka itu lagi. Dan aku tidak tahu, hari itu adalah awal mula aku yang akan terluka.
***
Sejak itu keadaan di kelas berubah. Teman-temanku suka menjodoh-jodohkan aku dengan Rizal, karena menurut mereka kami mirip. Ya, kami memang mirip. Rizal pintar dan rajin, aku juga. Rizal good boy, aku good girl. Lidya yang paling mendukung kalau kami berpacaran, bahkan berjodoh pada akhirnya. Di usia kami yang masih belasan, pembahasan jodoh sudah acapkali mampir dalam obrolan dan kami tidak canggung sama sekali membahasnya. Dan mereka percaya, bahwa kami berjodoh. Begitu banyak hal yang membuat pemikiran itu muncul. Seperti kelompok-kelompok belajar yang dibentuk oleh guru kami secara acak, entah kenapa aku selalu saja sekelompok dengan Rizal. Puncaknya ketika Bu Rasni membentuk kelompok belajar Matematika dengan mengundi kami secara acak. Aku dan Rizal sama-sama mendapatkan nomor tiga. Teman-temanku langsung menyoraki kami. Wajahku langsung memerah. Kulihat, dia juga menyoraki kami.
Sepertinya dia sudah melupakanku.
Seperti aku, dia pun di comblang-kan dengan Alya. Lid dan geng BBB yang paling heboh. Aku sering memperhatikan perubahan polemik pada wajahnya ketika semua orang menyorakinya dengan Alya. Awalnya ia geleng-geleng kepala, tersenyum menderita, tetapi kemudian lama-lama ia pun menikmati lelucon itu. Dia juga jadi terlihat salah tingkah jika berada di dekat Alya.
Sebuah kemajuan yang bagus, pikirku.
Tetapi dia lagi-lagi belum menyerah.
Terakhir kali, dan ini mungkin yang paling menyakitinya, siang itu, setelah peristiwa air seni dan pertengkaranku dengan Alya, aku sedang menjalani hukuman menulis di perpus. Lagi-lagi dia menolongku. Dia membantuku menulis saat aku tertidur. Saat aku bangun, tugasku sudah nyaris selesai. Aku tahu itu tulisan dia. Soalnya aku sering membaca kertas-kertas hukuman yang dia kerjakan di meja Bu Clara. Aku sangat berterima kasih. Tapi, aku sangat takut. Hari itu, Jo dan teman-temannya datang ke sekolah. Ternyata dia dan Jo punya masalah. Memang, aku sempat melihat Jo saat dia melindungiku dari siraman air pipis. Karena itulah aku tidak mau dekat-dekat dengan dia lagi. Aku tidak ingin terlibat lagi dengan Jo. Aku tidak ingin terlibat dengan siapa pun yang terlibat dengan Jo. Akhirnya, aku mengatakan kata itu.
"Kamu nggak punya cita-cita. Nggak punya impian. Aku nggak mau punya teman yang nggak punya cita-cita."
Itulah terakhir kali aku menyadari usahanya. Terakhir kali dia berusaha mendekatiku. Terakhir kali ia berani padaku. Karena setelah hari itu, rasa-rasanya dia tidak pernah lagi berusaha mendekatiku.
***
Time takes it all, whether you want it to or not. Stephen King yang bilang. Waktu memang telah mengubah segalanya. Sebenarnya bukan hanya waktu, tetapi segala kejadian dan kita sendiri yang memutuskan untuk mengubahnya. Konon katanya, waktu juga bisa menyembuhkan.
Pada akhirnya kami sampai di kelas tiga. Cita-citaku, teman-temanku-akhirnya aku punya teman dan hidupku lebih ceria-perasaanku yang rumit, Ibu, Bapak, olimpiade, ulangan, kuis, Les, ujian nasional, universitas memenuhi semua labirin otakku.
Ada banyak peristiwa membuat aku dan dia menjadi akrab kembali. Seperti peristiwa Quid pro quo, gotong royong kelas, pensi, kejadian air seni, tawuran dan hari itu, saat ia masuk ke dalam kebun bunga Matahariku.
Dia adalah matahari. Dan Raja langit pasti memiliki harga diri yang tinggi. Dan akan marah jika ditolak terus-menerus. Aku kira, setelah aku mengucapkan kalimat itu, dia marah dan tak mau menegurku selamanya. Tetapi sikapnya yang santai dan ceria padaku menunjukkan seolah-olah tak pernah terjadi apa pun di antara kami. Semua baik-baik saja.
Aku merasa dia berubah. Dulu dia terang-terangan masuk ke hidupku lewat pintu depan bahkan mungkin melompat pagar. Tapi hari itu, dia masuk lewat pintu belakang yang terbuka lebar. Dia datang sebagai teman.
Jadi aku memberanikan diri berakrab-akrab dengannya. Dengan jujur aku mengatakan kalau aku terganggu dengan kebiasaannya berbicara kotor dan jorok. Aku senang waktu dia bilang dia ingin berubah menjadi orang yang lebih baik dan tidak berkata hal-hal kotor lagi. Sejak itu, dia berani menegurku kembali. Kami juga mulai berteman di facebook.
Dan perasaan itu muncul lagi. Aku ingin berteman baik dengannya.
Lucu. Kami sekelas hampir dua tahun, baru ketika nyaris lulus kami bisa bersikap wajar.
Wajar dengan kepura-puraanku.
***
"Lebih baik kamu hidup bersama orang yang mencintaimu tetapi kamu tidak cinta, daripada harus hidup dengan orang yang kamu cintai, tetapi tidak mencintaimu."
Sebuah status dia, aku baca. Status itu sudah lewat dua bulan yang lalu, kalau aku ingat-ingat, itu tepat ketika dia mulai menyambut lelucon jodohnya dengan Alya.
Aku sadar.
Dulu dia tidak menyukaiku. Dia mencintaiku.
Dan cintanya membuatku sembuh pelan-pelan. Sekalipun aku bersikap dingin. Tetapi perasaannya padaku membuatku percaya diri. Membuatku tidak menangis lagi karena merasa sendiri. Membuatku tersenyum sendiri di rumah. Membuatku sembuh. Membuatku merasa berharga.
Pada hari ketika Alya bercerita peristiwa ditembak itu. Aku kaget dan berbisik, akhirnya aku bisa lega menyukai Rizal. Tapi saat bersamaan, aku merasakan sakit di dadaku. Aku marah tanpa alasan. Aku marah dan berkata tuh kan dia menyerah. Betapa naifnya. Dia manusia, dan dia juga butuh dicintai. Dan aku tidak layak membuatnya menunggu lebih lama.
"Baron, kamu bisa main lagu Kehilangan?" kataku ceria. Hari itu- seminggu setelah aku menangis di toilet-jam istirahat tiba. Di kelas, hanya ada dia, aku, dan Baron yang sedang memetik gitar sembarangan.
"Itu lagu apa, Tam?"
"Lagu Firman. Rada-rada melayu gitu. Kamu nggak tahu?"
"Aku tahu!" tiba-tiba dia berseru ceria, bangkit dari kursinya dan langsung duduk di sebelah Baron. "Lagu itu keren ya, Tam. Maknanya dalem banget. Tentang orang yang kehilangan orang yang mencintai dia karena sudah disia-siakan-ya gitu, kalau sudah kehilangan baru kerasa."
Aku terdiam. Jantungku berdebum kencang. Aku tahu dia menyindirku. Dengan senyum, aku mengangguk-angguk setuju. Tak berapa lama, aku pamit ingin ke kantin. Tak berselera lagi mendengar Baron bermain gitar. Sayup-sayup, aku bisa mendengar,
"Nggak nyadar juga dia..." kata Baron padanya. Dia mendengus pelan.
Aku memejamkan mata, dan terus berjalan keluar kelas. Dia, dia, dan selalu dia. Aku heran mengapa aku selalu berpura-pura tidak menyadari perasaannya. Tapi aku lebih heran lagi pada dia, yang aku tahu dia sekarang menyukai Alya. Tapi tadi dia menyindirku.
Menyebalkan sekali.
***
"Kamu lagi mainin apa sih, Tam?" Bu Clara menegurku, waktu itu. Bu Clara sudah biasa dengan kehadiranku di perpus. Tadinya aku diminta tolong menyusun kertas-kertas hukuman.
"Oh, ini? Ini batu, Bu."
"Batu?"
"Iya, batu gunung." Aku menunjukkan sebuah batu bening dengan gradasi orange.
Bu Clara mengibaskan tangannya. Tidak berminat sama sekali. "Kertas hukumannya sudah kamu pisah sesuai kelas?"
"Sudah," kataku mengangguk cepat. "Oh ya, Bu. Tulisan resensi yang ini bagus ya, Bu."
Bu Clara menoleh. Bu Winda yang sedang merapikan buku di rak juga terlihat tertarik. Aku menunjukkan selembar kertas hukuman yang tadi kubaca.
"Tulisan siapa?" Bu Clara meraih kertas di tanganku. "Ya Allah ... astaghfirullah ... rapi nian lah tulisan anak ni ... " keluh Bu Clara sambil mendesah. Soalnya, tulisan dia memang jelek.
"Bukan tulisannya, Bu," ralatku. "Tapi apa yang dia tulis. Keliatan ngerjainnya serius."
Bu Clara kembali meneliti kertas itu. Diikuti Bu Winda. Aku bisa lihat bagaimana ekspresi mereka saat membaca tulisan dia. Persis saat kesemutan.
"Iya, ya, bagus nih. Resensi ini lengkap dengan kelebihan kekurangan bukunya. Untuk ukuran remaja ini termasuk bagus dan detail." Bu Clara mengangguk-angguk.
"Koran ini ada kolom remajanya. Mereka terima naskah resensi buku dan tulisan fiksi, Bu." Aku menyodorkan koran langganan sekolah. Aku yakin, mereka paham maksudku.
"Bener juga ya, Bu." Bu Winda memukul pelan lengan Bu Clara. "Selama ini kita cuma kasih hukuman aja, nggak ada follow up-nya. Gimana kalo tulisan-tulisan ini kita seleksi, kalo bagus bisa kita kirim ke koran. Biar hukuman ini makin efektif."
"Kenapa nggak kepikiran sama kita, ya?" Bu Clara mengangguk lagi. "Kita usul ke Pak Tendi, biar tulisan ini dikirim pakai cap sekolah. Jadi anak-anak ini bisa sambil mewakili sekolah juga."
"Nah, kita mulai dari tulisannya Runi ini, Bu." Bu Winda antusias.
Aku senyum melihat Bu Winda dan Bu Clara sibuk menyusun rencana. Rasanya lega.
Dan hari ini, aku menyadari satu hal. Betapa banyaknya ceritaku tentang dia, betapa banyak hal-hal yang aku ingat tentang dia. Betapa seringnya aku memperhatikan dia. Betapa setiap hari, aku selalu menunggu apa lagi yang akan ia lakukan di sekolah. Betapa aku ingin melakukan hal baik untuk dia, sebagaimana dia melakukan hal baik padaku.
Tidak ada yang melihatku, selama ini. Dan dia satu-satunya yang melihatku waktu itu. Karena kaget mengapa dia melihatku, aku malah memperhatikannya lebih sering daripada orang lain. Aku mengawasinya. Sampai aku sulit membedakan apa bedanya membenci dan menyukai.
Tapi, ini sudah terlambat. Dia sudah bersama orang lain. Dia sudah mencintai orang lain. Dia juga sudah dibawa pesawat terbang di atas sana. Dia akan berada di tempat yang jaraknya berkilo-kilo jauhnya dari sini.
Perlahan, aku menghela napas. Napas ini sangat sesak.
Runi, terimakasih sudah melihatku waktu itu. Terimakasih, karena sudah mencintaiku dengan sangat baik.
Runi, apa mungkin kamu melihatku lagi?
Tapi, Runi ...
Kamu adalah Arunika¹ dan aku Swastamita²
Bagaimana bisa kita bertemu? Cahaya fajar datang di pagi hari, sementara cahaya senja datang di sore hari ...
***
__________________________________
[¹] Berasal dari Bahasa Sanskerta, Cahaya matahari pagi
[²] Berasal dari Bahasa Sanskerta, Cahaya matahari sore
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top