46. GoodBye Sun, Under the Yellow Rain

PART INI PANJANG LOH. BACALAH SAAT SANTAI.

*
🎧 Calling Out - Luna Chrystal

*

"Cinta, jangan berulah atau buatlah tipuan; seolah-olah kau tidak ada."
(Swastamita)

***


Lima minggu kemudian.

"Jadi, kamu masuk mana?"

Pertanyaan horor yang Runi dengar siang ini. Saat sedang asik-asiknya merayakan kelulusan dengan teman-temannya, dia malah dipanggil ke ruang guru.

"Runi?" Pak Tendi bertanya sekali lagi.

"Masuk gerbang, Pak."

PLAK!

Runi melonjak kaget. Pak Zul yang berdiri di samping Pak Tendi memukul mejanya dengan penggaris. Sejak kapan lelaki tua ini di sini? Pikir Runi.

"Saya belum tahu, Pak."

"Kenapa? Teman-temanmu yang lain sudah melapor akan masuk ke mana. Sekolah bersedia membantu menyiapkan bahan-bahannya. Sekolah Tinggi? Universitas? Institut? Kursus? Akmil? Akpol? Sekolah siap bantu. Kecuali nikah." tanya Pak Zul beruntun.

"Saya-masih bingung. Nggak ngerti apa yang mau saya capai ... saya bahkan merasa saya tidak berguna."

Mendengar itu, Pak Zul terdiam sesaat. Ia lalu membuka kacamatanya dan duduk di kursi yang berada di samping Pak Tendi. Kemudian katanya,

"Tuhan telah menciptakan manusia dan Jin untuk beribadah. Bukan hanya soal sholat, puasa dan mengaji. Tapi menuntut ilmu adalah ibadah, bekerja mencari harta halal adalah ibadah. Yang paling penting kau niatkan semuanya karena ibadah. Karena ingin mendapatkan keridhoan Allah."

Lalu dia berhenti bicara. Matanya basah tepat ketika ia mengatakan perihal keridhoan. Pak Zul lelaki yang saleh meskipun ia garang. Semua orang tahu ia sangat memedulikan murid-muridnya. "Di dunia ini ada banyak kesempatan yang telah Tuhan sebarkan, hanya kita saja yang perlu membaca isyarat-Nya. Jangan pernah berkata kalau kau orang yang tak berguna. Karena setiap yang ada di bumi ini, tidak diciptakan untuk di sia-siakan. Bahkan sampah bukanlah sampah jika di hadapan pemulung. Runi, andai ini soal guna dan tidak guna, bapak juga orang yang tidak berguna. Tapi aku menemukan kegunaanku di tempat ini bersama kalian yang secara bergiliran pergi dari tempat ini. Sementara aku terus menua dari hari ke hari. Kau harus tahu, sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat."

"Jadi Runi, beribadahlah, bermanfaatlah. Itulah yang harus kau capai di dunia ini, sebelum memikirkan hal-hal lain. Carilah kesempatan-kesempatan ibadah itu. Cari cara agar kau bisa bermanfaat." katanya lagi.

Runi tertegun. Dia tersadar saat Pak Zul menepuk bahunya, lalu memerintahkan Runi untuk memikirkan lagi soal tujuannya setelah SMA. Kalau perlu, Runi bisa ke perpus untuk meminjam buku data Universitas di Indonesia.

Runi mengangguk. "Terimakasih, Pak," ucap Runi sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Kenapa ini?"

"Terimakasih, sudah memberi saya kesempatan setiap hari."

Pak Zul tersenyum.


***


"Swastamita J." Winda melipat tangan dan tersenyum. "Jadi, kamu rencana lanjut ke mana?"

"Saya mau kuliah S1, terus kalau bisa, saya lanjut S2 dan S3." Tami menjawab dengan mantap. Siang ini, Setelah pengumuman kelulusan, dan ikut melakukan sedikit keributan yang khas terjadi saat lulus. Gadis itu pamit ingin menemui Winda.

"Maksud Ibu, lanjut jurusan apa? S1 tapi jurusan apa?"

Tami bergeming. Saking banyaknya yang bisa ia lakukan dan ia sukai (menggambar, melukis, menghitung, membaca, sejarah, dan sebagainya) ia malah tidak tahu harus fokus pada yang mana.

"Saya ... belum tahu ..."

Winda tersenyum. "Kamu kepingin apa?"

"Saya mau angkat derajat orangtua. Di daerah tempat tinggal saya, anak-anak yang lanjut kuliah bisa dihitung, saya mau jadi salah satunya. Dulu semua orang bahkan sangsi kalau Bapak saya bisa menyekolahkan saya sampai SMA. Tapi nyatanya bisa. Yang pasti saya harus kuliah, Bu. Saya mau belajar."

Winda mengusap kepala Tami. "Insyaallah, bisa. Kalau kita niatnya baik pasti Allah mempermudah jalan kita."

"Mungkin saya pilih sastra."

"Sastra bagus ..."

"Tapi saya suka sejarah."

Winda mengedikkan bahu. "Jadi orang sastra mesti paham sejarah."

"Tapi saya ingin jadi dokter."

Winda tertawa. "Kamu pikirin dulu masak-masak. Semua yang kamu ingin lakukan, harus ada pertanggungjawabannya."

Tami lemas. Kalau begitu, di ujian nanti ia harus belajar IPS. Merasa pusing, ia berdiri dan malah berjalan ke arah rak novel.

"Tami,"

"Ya?"

"Apa pun jurusannya. Orang tua kamu pasti dukung kamu."

Tami hanya mengangguk. Meski dia tidak yakin. Sebab kerjaan orangtuanya hanya bertengkar. Dan itu sangat tidak membantu sama sekali.

"Dan ... selain mengangkat derajat orang tua di dunia. Saya harap kamu juga mikirin soal derajat orang tua kamu di akhirat nanti."

Tami tahu apa maksudnya, sekilas ia memandang rambutnya yang terurai panjang tanpa penutup. Sebelum Tami sempat menjawab (bahkan ia tidak tahu harus jawab apa), Winda sudah kembali fokus pada buku Orang-Orang Bloomington-nya.

Tami tersenyum. Selalu menyenangkan bisa berdiskusi dengan Winda. Perempuan itu tidak pernah memaksakan pemikirannya. Dia hanya terus mengajak Tami membaca dan berdiskusi sampai Tami menemukan sendiri jawabannya.

"Nanti saya pasti kangen Ibu. Saya akan mengunjungi Ibu di sini. Semoga saat itu, saya sudah pakai."

Bukannya mengangguk, Winda malah menatap Tami dengan sedih. Membuat Tami mengernyit tak mengerti. Winda mendekati Tami. Dia rasa, Tami mesti diberitahu.

"Tami, mungkin kita nggak-" Winda meraih bahu Tami. Dia sudah menatapnya cemas. "Saat kamu datang lagi. Mungkin saya juga sudah pergi."

"Pergi?" Tami mencicit.

"Tami ... suami saya seorang pâtissier. Dia dapat promosi di Jawa."

Tami tercenung. Dia lemas. Rasanya jantung seperti luruh ke dasar tubuhnya. Dan dinding-dinding rak buku seperti menghimpitnya. Lama, Tami terdiam. Dan itu membuat Winda gelisah.

"Tami?"

Tami tak merespon.

"Tami?" Winda mengguncang bahu Tami pelan. Cukup untuk membuat gadis itu sadar. "Kamu kenapa?" tanyanya lagi saat melihat gadis itu tersenyum kecil.

Tami menggeleng. Sudut bibirnya terangkat sedikit. "Belakangan ini saya kehilangan banyak hal ... "

"Maksudnya ...?"

"Nggak papa ..."

"Tami, kamu yakin nggak papa?"

"Iya. Nggak papa, Bu ..."

Winda mengernyit. Dia yakin itu bukan jawaban yang jujur. Sebab perempuan itu bisa melihat bagaimana Tami menatapnya. Tatapan gadis itu seolah menembus jauh ke balik dinding perpustakaan.

"Tami, kamu kenapa? Saya nggak yakin alasannya cuma karena ini."

Tami menggeleng. Itu tidak benar sama sekali. Berita itu sudah cukup untuk membuatnya sedih. Tami menunduk. Ia tidak ingin siapa pun membaca ekspresinya. Dia bingung. Ada apa dengan perpisahan sekolah ini? Kenapa rasanya seperti perpisahan pada segala hal?

"Bu Winda ..." Tami masih menunduk. "Apa saya juga sudah mengabaikan Ibu, jadi Ibu memutuskan pergi?"

Winda menggeleng kuat. Wanita itu meraih tubuh Tami dalam pelukannya. Dia yakin Tami punya masalah lain.

"Tami ... kamu anak yang baik. Saya senang kita bisa dekat." Winda mengusap punggung Tami dengan sayang. "Tami, apa pun masalah kamu, itu bagus. Kesusahan mengajarkan kamu tentang kerja keras. Kehilangan mengajarkan kamu tentang menghargai. Sakit hati mengajarkan kamu apa itu cinta. Apa pun itu, selalu ada yang bisa diambil hikmahnya."

"This is high school. Sama seperti hidup. Tidak semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi kamu masih muda. Dan kamu akan bertemu orang baru. Dan mendapatkan hal baru lagi. Kamu akan jadi dewasa dan lupa dengan kesedihan saat ini."

Masih dalam pelukan Winda, Tami mengangguk.

"Kita masih bisa saling sapa di sosmed. Kalau jodoh kita akan bertemu lagi, Insyaallah," ucap Winda lagi.

Tami masih tidak ingin bilang apa pun. Tapi Winda selalu baik padanya. Gadis itu mengangguk pelan.

Ya, semoga saja.


***


Suasana Classics mulai sepi. Tami baru saja keluar dari perpustakaan pada pukul tiga sore, ketika dia merasakan butiran kuning jatuh di wajahnya.

Tami mendongak, lalu menoleh ke belakang. Dari koridor depan perpus, Tami melihat pohon yang penuh dengan warna kuning, berdiri kokoh di belakang gedung perpus. Dahan-dahannya yang tinggi terlihat jelas dari tempat Tami berada. Minggu-minggu ini, embusan angin memang lumayan kencang. Dan dari tempat itulah butiran kuning itu berasal.

Agak melamun, Tami melangkah ke belakang perpus. Mengikuti asal butiran kuning itu, yang sesekali menimpa kepalanya. Dan sesampainya di sana pun, pemandangan itu membuat Tami terpukau.

Di belakang perpustakaan itu, nyaris tidak ada warna tanah atau warna rumput. Hanya ada hamparan warna kuning.

"Jadi tinggal kita berdua?"

Tami terkaget. Ia menoleh ke sana kemari. Tidak ada siapa pun. Lalu gadis itu mendongak ketika suara gesekan kaki dan pohon berbunyi. Dan tanpa Tami sempat berkedip, sosok itu melompat dari dahan pohon terendah, lalu mendarat persis di depan Tami.

Mata Tami membola.

"Hai, Tam," sapa cowok itu sambil membersihkan celananya.

"H-hai-" Tami mengangguk cepat. Matanya masih memandang wajah tengil Runi. Tami menguasai diri, lalu berkata, "Ternyata kamu memang selalu di sini."

"Dan kamu memang selalu di sana ..." Runi menunjuk perpus yang ada di belakang mereka. Tak menyadari kalau ucapannya membuat mata Tami berkedut.

"Kaget ya?" Runi nyengir. "Aku lagi pesta perpisahan sama dia. Maklum bentar lagi kita bakal nggak ketemu. Mana dia dalam keadaan siap kawin lagi." Runi mengarahkan telunjuknya ke pohon tinggi di dekat mereka.

Tami mengangkat alis. "Siap kawin?"

"Berbunga, maksudnya ... Liat, Tam. Yang kuning-kuning itu bunganya."

Tami mendongak. Pohon itu memiliki banyak bunga di setiap ranting. Memang cantik sekali. Sesekali angin membuat serbuk-serbuk kuning itu berterbangan.


"Jadi, kenapa kamu belum lapor mau lanjut ke mana."

Tami menoleh. Tak berniat menjawab.

"Pak Tendi bilang tinggal kita berdua yang belum lapor mau lanjut ke mana." Runi menatap Tami intens, mencari jawaban.

"Oh. Iya, belum," jawab Tami sekenanya, tangannya sibuk menangkap butiran kuning yang jatuh ke arahnya.

"Kenapa? Kamu pinter gambar, puisinya juga keren, dan soal pelajaran kamu deretan siswa pintar. Nggak kayak aku, rasanya kok salah masuk jurusan, ya."

Tami tersenyum tawar. Dia menghentikan aktivitasnya. "Jack of all trades, but master of none. Pernah denger istilah itu nggak, Run?"

Runi mengernyit.

"Maksudnya, tahu cuma sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apa pun. Dan, aku salah satu Jack itu," tutur Tami sambil melihat ke arah Runi. "Buatku, lebih baik punya satu skill tapi menguasai dengan benar, daripada punya banyak skill tapi semuanya setengah-setengah."

Kedua alis Runi seketika bertaut. Tatapannya seolah bertanya. "another J factor ...?" Runi mengedikkan bahu.

"Aku nggak tahu aku ini maunya apa."

"Kamu pasti bercanda." Runi melipat tangan.

"Serius. Aku nggak multiskill kok, aku cuma tau dasar-dasarnya. Tapi nggak satu pun yang aku tahu benar-benar. Nggak satu pun yang aku terjun di dalamnya dengan serius dan berani."

"Tapi kamu selalu dapat nilai bagus untuk semua mata pelajaran."

Tami tersenyum. "Runi, nilai, skor, apa pun itu, semuanya bisa didapat kalo kamu belajar. Tapi soal skill beda lagi. Nilai nggak bisa jamin masa depan kamu. Nilai cuma bisa ngasih gambaran bukan jaminan. Yang kamu butuhkan itu lebih dari nilai. Dan aku belum ketemu apa itu," kata Tami dengan sangat lancar. Ia bahkan kaget ia bisa selancar ini. Tapi ia tetap ingin melanjutkan, "Memangnya kamu belum dengar, sering ada siswa-siswa sebelumnya yang selalu juara justru nggak lulus UN?"

Runi tercenung.

"Sampai sekarang aku masih nggak tahu isi kepala ini maunya apa. Aku merasa nggak punya satu skill pun yang benar-benar aku kuasai. Semuanya blur. Semuanya setengah-setengah. Sementara kita sudah harus menentukan Universitas dan fakultas apa yang ingin kita masuki. Alya, dia tau persis apa kemauannya. Dia pengen jadi psikolog, jadi dia sudah sibuk dengan psikotes. Tiara fokus di ilmu kesehatan, Rizal tahu persis dia mau jadi dokter. Olin fokus di sekolah tinggi, Lid katanya mau jadi pengkhianat IPA." Tami tersenyum. Bu Fatma bilang, siswa jurusan IPA yang malah kuliah di jurusan non-eksakta adalah pengkhianat IPA. "Semuanya rata-rata sudah punya pilihan masing-masing. Semua sudah melapor ke wali kelas mau masuk mana mereka. Sedangkan aku?" ucap Tami lagi.

"Wow ..." Runi melipat kening. "Tami, aku nggak nyangka, kamu secemas ini."

"Nggak ada yang salah dari mencemaskan tujuan hidup."

"Ya, kadang kita lupa mikirin tujuan hidup. Tapi, yah, kenapa nggak biarkan aja kayak air mengalir? Ikuti arus." Runi mengarahkan tangannya ke depan, seolah membentuk garis lurus.

Tami menatap Runi intens. "Untuk hal tertentu, terlalu meneladani air itu justru bisa bikin kamu masuk got dan kering karena dihempas angin kemarau tanpa sempat mengalir ke lautan."

Sekali lagi, Runi tercenung. "Berat banget ya ..."

"Runi, usia kita masuk 18 tahun. Dalam undang-undang ataupun ilmu kesehatan, usia segitu harusnya sudah bisa menentukan arah. Bukan kayak ilalang yang ikut apa kata angin. Usia segitu seharusnya sudah bisa menjawab pertanyaan; mau jadi apa? dan, untuk apa kita hidup?"

Runi terdiam. Terlongo lebih tepatnya. Labirin-labirin otaknya membawanya menyusuri ingatannya perihal kosongnya tujun hidupnya. Ia sama seperti Tami. Sama-sama tidak tahu mau kemana. "Oke, iya, memang bener. Kita memang harus menemukan tujuan kita."

"Iya, kamu juga harus."

Kemudian keduanya terdiam. Cukup lama sampai membuat suasana menjadi canggung kembali. Lebih-lebih Tami, baru kali ini ia bicara banyak dengan Runi.

"Oya, Tam, kamu kepengen apa di hidup ini?" Runi memecah sepi.

"Aku ... aku pengen ke mana saja asal tempat itu punya kebun bunga matahari yang luas, atau perpustakaan yang besar, atau lihat sungai Eufrat sebelum menjadi logam."

"Ha?"

Tami tersenyum simpul. "Udahlah, lupain. Itu impianku yang paling muluk-muluk. Semua orang kalau dengar impian aku pasti bakal ketawa. Naif. Memangnya aku siapa? Tin-tin?"

"Nggak ada yang salah dengan impian. Aku bahkan nggak punya impian. Kasian ya."

"Kamu masih belum punya impian?"

Runi terkekeh. "Bercanda. Sudah kok."

"Kamu ingin menyelamatkan dunia?"

Runi terbatuk. "Kamu ingat?"

Giliran Tami yang terbatuk. "Kamu sering bilang gitu di kelas."

Runi mengerjapkan mata. "Apa saja yang kamu ingat?" tanyanya spontan. Tapi ia segera sadar Tami berubah gelisah. Runi menahan dirinya. "Oh-Oke ... sampai sekarang aku masih belum yakin mau jadi apa. Makanya ngasih garis umumnya aja. Menyelamatkan dunia. Aku belum tahu dalam bentuk apa. Semoga itu termasuk impian." Runi mendengkus.

"Itu impian kok. Kamu juga selama ini rajin belajar."

"Eh?"

"Hmm ... absen perpus. Aku sering lihat kamu ke sini buat baca buku atau ngerjain soal-soal."

"Iya nih. Tapi kamu lebih rajin. Hehehe."

Lagi, sesuatu seperti tersangkut di kerongkongan Tami. Ia putuskan membiarkannya saja.

Dia sudah biasa saja ngobrol denganku. Ini lebih baik dari diam-diaman kayak dulu. Kami bisa jadi temen sekarang.

"Kita punya masalah yang sama. Tujuan hidup." Runi menukas.

Tapi derita yang beda.

Tami mengangguk. Gadis itu melihat langit. "Tapi Allah nggak akan tega membiarkan kita lama-lama kebingungan."

Bersamaan dengan itu, angin berembus pelan menerbangkan serbuk-serbuk bunga Akasia dan menjatuhi mereka berdua. Tanpa dikomando, dua remaja itu kompak menengadahkan tangan. Mengizinkan jari-jari mereka menyentuh serbuk kuning itu. Keduanya tersenyum dengan momen itu. Rasanya seperti diterpa hujan kuning.

Cukup lama mereka seperti itu, sampai Runi berkata lagi. "Tami, ayo kita cari jalan ibadah kita."

"Jalan ibadah?"

"Kamu liat serbuk-serbuk ini nggak, Tam?" Runi kembali mengarahkan telapak tangannya ke langit. Serbuk bunga itu masih berterbangan. "Sekilas, serbuk-serbuk ini nggak ada gunanya. Seperti bunga yang gagal tumbuh jadi biji. Meskipun gitu, Akasia tetap ikhlas. Nggak berhenti berbunga." Runi menangkap butiran kuning yang jatuh ke arahnya.

"Pak Zul bilang, sebaik-baiknya manusia itu yang bermanfaat. Di mana pun dia berada, dia siap memberi manfaat. Dia percaya itu adalah salah cara untuk beribadah. Kalau jadi polisi, jadilah polisi yang bermanfaat, kalau jadi guru, jadilah guru yang bermanfaat. Kalau pun masih jadi pengangguran, jadilah pengangguran yang bermanfaat. Jangan pernah jadi perusak di muka bumi."

Runi melanjutkan, "Kalau segala hal kita niatkan untuk ibadah. Kita nggak akan gampang kecewa. Dari niat itulah kita bisa mulai mencari kesempatan-kesempatan untuk bisa bermanfaat. Di mana pun kita berada nanti. Jadi jangan pernah putus asa. Ayo kita sama-sama berjuang cari kesempatan itu."

Tami terdiam. Dia tersenyum mantap. Matanya telah berkaca-kaca karena mendengar kalimat mencerahkan dari seorang yang selama ini kelakuannya kurang cerah dan akhirnya bisa Tami tegur dengan normal. Dan itu terjadi justru di detik-detik terakhir sekolah.

"Omong-omong, aku minta maaf ya." Runi menghadap Tami.

"Kenapa?"

"Bukannya ini biasa dilakukan kalau mau berpisah? Setelah pengumuman SNMPTN, UMB, legalisir ijazah, dan segala macamnya, mungkin kita semua tidak akan bertemu lagi. kita akan bertemu orang-orang baru. Meskipun aku yakin nggak akan ada yang seperti aku di dunia ini."

Keduanya tertawa.

"Kamu kalau begini, lebih baik."

"Kamu juga."

"Kalau nggak ngomong kasar, kotor, kamu jauh lebih baik."

Runi tersenyum, mengusap kepalanya yang tidak gatal. "Iya, Tam. Aku lagi berusaha berubah jadi lebih baik, nggak kebiasaan ngomong kotor."

"Semangat, ya."

Runi tersenyum. "Sekali lagi, aku minta maaf untuk semuanya."

"Aku juga."

"Kenapa?"

Tami menggigit bawah bibirnya. "Nggak papa ..."

"Aku juga berterimakasih, selalu menyenangkan kita bisa jadi temen sekelas. Bagaimanapun, Tami, kamu salah satu saksi hidup, kamu salah satu bagian dari proses pertumbuhanku."

Tami terkesiap.

Runi melanjutkan, "Nggak terasa ada banyak yang dilewati, tapi nggak kita lewati."

"Maksudnya?"

"Aku belum pernah main QPQ sama kamu."

Tami tersenyum. "Mau main sekarang?"

"Kayaknya nggak usah."

"Oh. Kenapa?"

Runi menggeleng.

Karena satu-satunya pertanyaan yang mau aku tanya ke kamu ... aku sudah tahu jawabannya.

"Kalau ada ... well, katakanlah, Faktor J, aku akan ajak kamu main QPQ."

Runi terdiam. Kaget dengan ucapannya sendiri. Dan mendadak semua terasa dingin dan beku. Untuk beberapa detik mereka seperti itu sampai sebuah suara mengagetkan datang dari belakang mereka.

"Woi, Runi! Bener dugaan aku, di situ kau ruponyo!" Baron memekik dari kejauhan. Lalu melambai-lambai. Hari ini, anak majelis 13 sepakat akan jalan-jalan usai pengumuman kelulusan.

Runi balas melambai. Sebuah pertanyaan mencuat di kepalanya. Runi menggeleng. Mungkin dia hanya salah berharap.

"Tami, aku harus pergi."

"Iya, aku juga mau pulang."

"Oke ..." Sedikit enggan, Runi berjalan mundur. "Dah, Tam."

Tami mengangguk. "Dah ..."

Angin berembus, meluruhkan kembali bunga-bunga Akasia. Di bawah pohon yang tinggi itu, Tami dan Runi pergi dalam pikiran yang mereka simpan sendiri.

Tami berhenti. Dan memandang punggung Runi yang kian menjauh. Rasanya seperti akan meninggalkan dan ditinggalkan sesuatu yang sangat berharga. Dan itu sangat sakit. Tami memejamkan matanya. Mungkin Runi, memang harus dilupakan. Mungkin memang tidak ada lagi waktu.

Dan saat Runi belum benar-benar menghilang, Tami merogoh saku roknya. Lalu mengeluarkan sebuah batu bening dengan gradasi orange. Dan lewat batu yang transparan itu, Tami kembali menatap punggung Runi.

Bunga Matahari sedih. Dia hanya bisa hidup, mekar, mati. Tidak seperti matahari, yang tinggi, yang terang dan hebat. Tapi mengapa ia hanya bisa memperhatikan Matahari ...?²

Tami menelan ludah. Dia menepuk dadanya yang terasa sakit. Dan entah mengapa, kali ini perasaannya lebih buruk dari sebelum-sebelumnya.

Dia tahu, mungkin ini hari terakhir dia bertemu dengan Runi.


***


Keajaiban di Langit
: Mendengarkan Do Pal³

untuk suatu saat bahkan suatu yang lekas
kafilah hidup kita bertemu-pisah di sulur jalan
dan pastilah kau menghilang lagi seperti
awan yang tak pernah sama wujudnya
sementara aku terus bertanya apakah
kau keajaiban di angkasa ataukah
hanya wangi angin dalam semesta
Sama saja bagi orang sepandir ini.
Lidah yang sebatangkara akan mengurung dirinya.
Seperti saat kita diam ketika waktu
menyela perbincangan kita

Sampai akhirnya:
kau pun pergi
aku juga pergi.

(Ikanuila, 2017-2018)


***

---------------------------
²Dongeng Bunga Matahari dan Matahari (Faktor J, BAB Hai Pencinta!)
³puisi terinspirasi dari lagu negara India berjudul Do Pal

I Miss You - SoYou

Ini bukan visual Tami. Soalnya aku nggak pake visual siapa pun di FJ. Cuma suka aja cara dia nangis, mirip Tami.


__________
AN.
Next chapter, sepenuhnya tentang Tami. Dan kamu akan tau betapa complex-nya Tami.

#Day10 30DWC jilid 14

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top