44. Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-Kata (1)
🎧 L.K. Goodbye - HalCali
*
Siapa yang mengikuti siapa? Sebenarnya, siapa yang jatuh cinta kepada siapa?
(Matahari dan Bunga Matahari
- Faktor J)
***
Masa-masa kelas tiga adalah masa paling sibuk setelah sebelumnya semua siswa hanya bermain-main. Classic mengadakan pelajaran tambahan setiap siang usai pelajaran formal.
Semua hal yang sudah dilalui, cukup sudah bagi tiap siswa (bahkan jika kelak akan ada kelas Filsafat sekalipun) menyadari kalau mereka sama saja; seorang siswa. Bagaimana tidak? Sekalipun awal kelas mereka seperti dihinggapi euforia Wah, aku anak IPA! atau Yeay! Aku anak IPS! tiba-tiba saja mereka terkaget-kaget dengan setumpuk tugas yang sudah meminta untuk dikerjakan sejak minggu pertama.
Runi ingat sekali. Bu Fatma pernah memulai pelajaran dengan menyuruh seisi kelas mencari dalil di kitab suci masing-masing agama tentang awal mula makhluk hidup. Runi, yang terakhir kali membaca Al-Quran sewaktu SD, menghabiskan jutaan hari untuk menemukan ayat-ayat yang menyinggung perihal itu. Sampai ia menemukannya dan ia langsung takjub pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia peduli dengan tugas? (atau seperti ketika Ical yang heboh bercerita tentang kelas IPS-nya, yang jauh dari ekspektasi. Wali kelasnya, Ibu Esna, langsung menyuruh Ical dan teman-teman sekelasnya menyusun makalah tentang Akuntansi dan Implementasinya dalam kehidupan. Alhasil, Ical yang mengira akan bersantai-santai justru sibuk ke warnet mencari tugas mengingat betapa killer-nya Ibu Esna yang selalu mewanti-wanti jika ketahuan ada yang sama isi makalahnya, ia tak segan-segan akan memberi nilai kosong.)
Intinya, semua punya konsekuensi.
Setiap hari, anak-anak Cuprum memiliki kebiasaan menuliskan reminder ujian nasional yang akan dilaksanakan bulan April mendatang. Reminder yang digawangi oleh Kaisar, yang meskipun kemampuan belajarnya standar, justru tampak lebih siap. Di sudut kiri atas pada papan tulis kelas IPA 2, reminder itu selalu tampil dalam bentuk tulisan huruf count down yang akan diganti setiap pagi.
H-100 menuju UN
H-99 menuju UN
H-98 menuju UN
H-97 .....
Begitu seterusnya. Setiap kepala beda reaksi, ada yang merasa tertolong karena jadi ingat dan giat belajar, ada yang malah syok, atau langsung drop.
Runi sendiri mulai aktif mengikuti kursus setiap tiga hari dalam seminggu. Sedikit gila, Runi fokus pada soal-soal UN, SNMPTN, dan psikotes. Perhatiannya mulai beralih dari hal-hal yang ingin ia lupakan.
"RUNI! ORANG YANG BOLOS BELAJAR CUMA UNTUK KE KANTIN MEMANG SAMPAH! TAPI ORANG YANG NGGAK TRAKTIR TEMENNYA LEBIH BURUK DARI SAMPAH!!"
Depa yang berteriak. Dan rasanya, suaranya sudah terdengar sampai ke pelosok kota Jambi. Cowok yang sudah kerasukan roh lapar itu terus meronta karena Baron tengah menghalang-halanginya mendekati Runi.
Di depan Depa dan Baron, Runi dan teman-temannya; Ical, Edi, Aldo dan Kaisar sudah berkerumun seperti mengelilingi api unggun. Mereka sedang mempraktikkan 3D (dilihat, diraba, diterawang) terhadap selembar uang 100.000 yang mereka pegang secara bergilir.
"WOH! Ini duit beneran, meeen!" Ical menggebuk punggung Runi.
"Abang kita sekarang jadi penulis!" Edi tertawa senang.
"Sekarang kita manggilnya Jalaludin Runi, COOOY!!!"
Mendengar itu, Runi tersenyum kecil. Sesaat ia terlihat sangat keren. Lalu ia mulai mengusap-usap dagunya dan berkacak pinggang.
"WAHAHAHAHA!" Runi tertawa. Bangga. Memang, tadi pagi, saat ia baru tiba di sekolah, Pak Tendi memanggilnya ke ruang guru dan menyerahkan sebuah amplop padanya. Katanya, satu puisi dan tulisan resensi buku yang Runi tulis-sebagai hukuman jika melanggar peraturan sekolah selama ini-dimuat di sebuah koran-kolom remaja. Awalnya Runi tidak percaya. Dia bahkan tidak pernah mengirimkan apa pun ke koran. Tapi ternyata selama ini, diam-diam ada yang mengirimkan tulisan Runi ke koran. Pak Tendi pelakunya.
"Woi Run! Traktir kita kan? Traktir?" Ical nyengir.
"Iya, sate padang nenek enak nih! Sekali-kali jangan gorengan Bude Ester dong." Aldo mengelus-elus perutnya. Mendengar itu, Depa yang kembali kerusakan roh lapar, makin menjadi-jadi. Tapi sayang, Baron lebih kuat menahannya.
"Eh jangan dong! Kita tetep jajan tempat Bude Ester bae! Giliran ngutang aja ke Bude, sekalinya banyak duit, jajan tempat lain." Kaisar yang baru selesai mencium uang 100.000 itu memberi nasehat.
Semua mengangguk-angguk.
"Tapi aku pengen makan Sate!"
"Ya tapi nasi ayam Bude Ester tetep nggak kalah kok!"
"Alaaaah ...! Kau ini ada apa sih sama Bude?! Naksir?"
"He, Monyong! Kasian coyyy! Janda beranak lima itu!"
Semua kembali mengangguk-angguk.
"Aha! Atau gini be, kita makan dua kali! Istirahat pertama tempat Bude Ester, istirahat kedua Sate nenek! Ya nggak, Run?!"
Semua kompak menoleh pada Runi.
Cowok itu, Runi, yang sejak tadi menonton teman-temannya berdebat melongo. Tapi kemudian, detik berikutnya, ia tertawa.
Runi merangkul teman-temannya. Sedetik kemudian, ia memiting teman-temannya.
"Duit gue itu, Monyong!" Runi teriak. "Tapi, oke deh! Makan-makan kita!"
Semua bersorak. Baron yang sejak tadi menahan Depa sudah berlari mendekati Runi dan lainnya.
"Runi! Abang!" Depa mendekat, "Orang yang nggak traktir temennya emang sampah! Tapi orang yang nggak traktir aku lebi--"
"Eh, bacot loh, ikut aja udah. Dasar sampah masyarakat!" Aldo yang gemas langsung menarik bibir Depa.
"Sial. Dasar sampah negara!" Depa tak mau kalah.
Keduanya saling memiting.
"Baiklah, kumpulan sampah, ayo ke kantin!" Runi menengahi.
Semua bersorak. Lalu berjalan beriringan menuju kantin. Sesekali terdengar ocehan; eh sampah, lulus nanti mau ke mana?
Dan kumpulan yang tidak benar-benar ingin jadi sampah itu, saling membagi cerita. Sesekali tertawa dengan celetukan Runi.
Begitulah Runi. Dia semakin bersinar dari hari ke hari.
***
Runi punya hobi baru sekarang.
Selain tidur-tiduran di dahan pohon Akasia, secara mendadak ia jadi suka menyambangi perpustakaan, ada atau tidak ada Swastamita di dalam sana. Kelakuannya itu membuat geger se-antero sekolah. Ical ce-es berpendapat kalau Runi bukan hanya mabuk kangkung tapi mabuk Bu Clara.
Pak Tendi menunjukkan rasa simpatiknya dengan menawarkan Runi untuk ikut bergabung dalam kelas persiapan SNMPTN. Pak Zul yang paling riang. Ia sering kedapatan menyebut nama Runi di tiap kelas yang ia ajar sebagai refleksi siswa nakal yang akhirnya bisa menjadi teladan. Seperti di acara talkshow di Tivi-tivi, judul besar untuk Runi adalah 'seorang preman sekolah berhasil keluar dari dunia hitam.' Padahal bagi Runi sendiri, ia masih berengsek seperti biasanya, masih suka sembunyi-sembunyi menghisap rokok di WC bersama Kaisar, Baron dan Edi. Meskipun rombongan Ical tak percaya dan berkata 'kamu berubah!' dengan nada hiperbola dalam sinetron. Kadang-kadang dengan gaya bencong.
Bahkan Winda, Tantenya yang cantik, solehah, sekaligus penjaga perpustakaan juga tak kalah syok. Runi bahkan menulis di kotak saran- yang sekadar formalitas- yang tergantung di pojok ruang perpus. Meski ia tahu entah kapan pihak sekolah akan membacanya, Runi tetap semangat menuliskan kritik dan saran. Kalau ada contact person, Winda yakin sekali Runi juga akan mengirim SMS. Isi pesannya singkat,
'Tolong tambahin buku Petruk dan Gareng dong. Sekalian Komik Bleach dan Naruto edisi terbaru.'
Tak hanya itu, Runi juga tidak segan duduk di bangku terdepan supaya bisa mencerna pelajaran. Tapi bukan berarti dia betah. Jika sudah tidak sanggup, ia akan pindah duduk ke belakang dan meminta Rizal menjelaskan pelajaran untuknya. Baron sering berceloteh kalau Runi itu abang preman yang baru saja tobat dan sedang dalam proyek penyetaraan level dengan teman-teman yang pintar.
Dulu memang ada seseorang yang Runi jadikan pusat perhatian. Ical cs sampai prihatin dan menasehatinya. Mereka menyanyikan lagu Queen; Too much love will kill you.
Tapi sekarang Runi berusaha keras berhenti.
Hari ini ketika Runi berada di perpustakaan dan menarik salah satu buku dari rak, ia menemukan sosok itu. Dari celah rak, ia bisa melihat Tami sedang memilah-milah buku seperti biasanya.
"Tami!"
Sontak Tami menoleh. "Eh, oh-Hai!"
"Ternyata kamu memang selalu di sini."
"Kamu juga selalu di sana." Tami menunjuk pohon Akasia di luar. Dari jendela perpus, dahan yang biasa di duduki Runi itu terlihat jelas.
Runi tertawa. Ada rasa lega di hatinya. Sekarang dia dan Tami bisa berinteraksi seperti teman sekelas pada umumnya. "Enak lho di sana. Kamu bisa lihat siapa pun dari sana. Aku bisa liat siapa saja yang hilir mudik. Rasanya kamu kayak lagi nonton film, tapi film itu nyata. Rasanya kayak ..."
"Kayak Matahari?"
"Iya!"
"Kamu memang Matahari."
"Maksudnya?" Runi mengangkat alis. "Kamu mikirnya aku ini Matahari ya?"
Tami mengangguk pelan. "Iya ..."
Runi tersenyum. "Kamu mau coba ke sana?"
"Aku nggak bisa manjat."
Runi mengangguk maklum. Ia mendekat persis di depan Tami. "Bentar lagi UN, aku boleh tanya?"
"Apa?"
"Kamu pernah dapat soal paling susah nggak saat ujian?"
Tami mengernyit. "Selalu pernah. Kenapa?"
"Bisa jawab?"
"Kadang bisa, kadang nggak."
"Oh." Runi mengangguk. Paham. "Cara menghadapi soal seperti itu gimana?"
"Aku tinggalin dulu, kerjain soal yang lain. Kalau waktunya cukup aku kembali lagi ke soal itu."
"Berarti kamu nggak serius dengan soal itu. Karena ditinggal-tinggal."
Tami menoleh pada Runi. Bengong. "Karena waktu kita kan terbatas. Untuk apa menghabiskan waktu demi soal yang tidak mungkin bisa kamu jawab."
"Oh ya? Apa nggak ada yang akan jawab soal itu?"
Tami berpikir sebentar. "Tergantung."
"Tergantung apa?"
"Tergantung orang yang dapat soal itu."
"Kalau nggak ada batasan waktu, apa kamu mau mengerjakan soal itu sampai ketemu jawabannya?"
"Aku akan cari sampai ketemu."
"Tapi kita dibatasi dinding waktu, dan terlalu sia-sia mengerjakan soal yang tidak ketemu juga jawabannya."
Tami menoleh pada Runi. Sedikit kesal. Tidak paham kenapa Runi seperti itu. "Aku ke Bu Winda ya." ucap Tami mohon diri. Di tangannya, ia memegang sebuah buku puisi.
Runi hanya diam. Dia memandang Tami sampai gadis itu menghilang. Tak lama kemudian, ia duduk dan mengeluarkan selembar kertas dari bukunya. Selembar kertas berisikan tulisan Tami tentang dongeng Matahari dan Bunga Matahari yang diam-diam pernah ia fotocopy dari buku maroon itu.
Untuk kesekian kalinya, cowok itu membaca tulisan Tami. Selalu menyenangkan membaca dongeng itu. Runi mengernyit. Entah kenapa dia merasa dongeng itu belum selesai. Lama merenung, Runi menuliskan sesuatu.
Tami,
Di Brazil, ada sebuah kota bernama Nao-Me-Toque. Yang artinya "Jangan Sentuh Aku." Kurasa, kamulah kota itu ...
Kamulah kota yang tak pernah bisa aku tinggali.
***
"Kamu ngapain, sih?" tegur Tami. Gadis itu meletakkan buku puisi yang sejak tadi dia baca.
Lid tertawa lebar-lebar sambil menempelkan dua kertas stiker di alisnya. "Ini namanya Rock Lee."
"Kalo ini Tukul" tiba-tiba Olin muncul dengan kertas putih di atas bibirnya.
"Kalau ini Kenshin, Samurai X." Tiara tak mau kalah.
"Siapa yang ngajarin pake ginian?" Tami terbahak-bahak ketika mendapati wajah teman-temannya sudah terlihat aneh.
"Itu anak-anak cowok yang mulai!"
Tami menoleh ke belakang, semua cowok, bahkan semua anak Cuprum sudah memenuhi wajah-wajah mereka dengan kertas sticker putih (kertas ukuran 0,5 x 3,6 cm yang biasa dipakai sebagai pengganti tip-ex).
"Kamu juga harus pake!" Alya menggembungkan pipi, kemudian mengambil dua carik kertas, hendak menempelkannya ke pipi Tami.
Tami mengelak. "Aku pake sendiri ...!" katanya seraya meraih kertas tempel itu. Ia mengedarkan pandangan dan terkikik.
Cuprums menyebut minggu-minggu itu sebagai syndrom menghadapi UN. Puncaknya hari ini ketika Pak Adrian tidak bisa hadir mengisi pelajaran sejarah. Jam kosong yang dinanti itu tidak mereka sia-siakan begitu saja. Selalu saja ada perkara yang bisa membuat ruang kelas itu gaduh.
Berawal dari hobi baru Tami menggambar kertas label sticker itu dengan berbagai motif; anjing dalmatian, pelangi, dan sebagainya, kemudian menempelkannya di jari manisnya serupa cincin. Beberapa anak cewek yang kagum mulai meminta Tami untuk membuatkan untuk mereka. Tak butuh waktu lama, tren menempel tubuh dengan kertas tempel itu menyebar begitu saja di kelas.
Kemudian supaya semua bisa diterapkan oleh semua genre, Runi yang tak pernah kehabisan ide lelucon mengubah tren itu menjadi aksi tempel tubuh pakai kertas label sticker. Ia memulainya dari dirinya sendiri, yang menempelkan kertas itu ke dagu sebagai jenggot, di bawah hidung sebagai kumis. Di telinga, sebagai anting. Terakhir, di lubang hidungnya.
Semua itu dilakukan untuk bersenang-senang dari aktivitas yang membuat mereka tertekan. Menjelang UN, Cuprums belajar mati-matian. Mereka bahkan tidak ada waktu lagi mengadakan trip. Hari demi hari mereka habiskan untuk belajar dan membahas soal.
Secara tradisi, beberapa anak, termasuk Runi sibuk dengan band undefenited-nya untuk ikut memeriahkan acara perpisahan Mei mendatang. Runi yang sejak awal sudah punya aura famous itu mulai sadar meskipun belum sepenuhnya. Karena keajaiban saja butuh proses, maka Runi juga butuh itu. Ia mulai menyibukkan dirinya dengan berbagai les tambahan dan mengerjakan berbagai contoh soal SNMPTN.
Tami berangsur-angsur lupa pada urusan perasaan dan jawaban apa yang akan diberikan Alya kepada Runi. Meskipun ia sudah tahu Alya akan jawab apa. Tapi Tami sudah bersiap-siap. Dan apa salahnya bersiap-siap?
Yang terpenting dari itu semua, Tami sangat suka sekolah ini. Kadang-kadang Tami ingin sekali menghentikan waktu kalau saja ia punya kekuatan super. Dia ingin semua hanya tetap seperti ini, menghabiskan waktu dengan teman-temannya seperti yang pernah ia impikan sejak dulu. Punya teman. Ia ingin tetap seperti ini, dan hanya ada satu cara yang terpikir Tami untuk mempertahankannya;
Tami memejamkan mata. Ia ingin meresapi sensasi bahagia ini.
"AW!!"
Sebuah sikutan frontal tiba-tiba menghentak keras ke perut Tami. Lid pelakunya. Cewek itu, Lid, yang tak peduli pada pelototan Tami menunjuk-nunjuk ke depan kelas. Di sana, Runi yang tadi wajahnya masih penuh tempelan kertas lem, tampak sudah bersih dan sedang berdiri sambil memegang satu buket bunga mawar.
Sorak-sorai membahana. Runi berjalan ke tempat Alya duduk. Persis di dekat Tami.
"Buat kamu."
Alya meraih mawar itu sambil matanya tak dapat lepas dari Runi. Wajahnya memerah karena malu.
"Ma ... makasih."
Runi tersenyum. "Aku masih nunggu jawaban kamu." Lalu pergi begitu saja meninggalkan kelas. meninggalkan Alya dengan perasaan campur aduknya, dengan kegaduhan yang semakin menjadi-jadi.
Tami menyaksikan pemandangan itu dengan tatapan nanar. Dia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Dia juga bisa menduga, jawaban apa yang akan Alya beri.
Bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata.¹
***
_______________
¹) Dikutip dari penggalan puisi "Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi" karya Goenawan Mohamad. (1966)
AN/
Halo. Bentar lagi tamat.
Itu lagunya ceria, tapi maknanya sedih. Kayak keadaan si Tami .-.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top