39. Kata Alya, Kata Alya, Kata Alya ... Dan Orang-Orang Yang Sedih Sendiri

Sadness & Sorrow - Taylor Davis

*

"Setiap orang akan memberikan apa yang dia punya."

(anonim)


**

"Berapa kali aku harus bilang? Ini semua tidak ada hubungannya dengan mereka!"

"Ada! Selalu ada! Sejak dulu!"

"Sampai kapan kamu memusuhi keluargaku, Mas?"

"Saya tidak memusuhi! Mereka yang mulai, kan? Saya capek dipandang rendah!"

"Mas, tidak ada yang mandang rendah kamu!"

"Dengar, siapapun tahu, kau pun tahu, siapa keluargamu itu! Bagaimana mereka meremehkan aku. Apa aku bisa menyekolahkan Tami? Buktinya bisa kan? Dengan uangku sendiri. Mana harta keluargamu yang banyak itu? Tanah di mana-mana apanya? Mereka justru jadi benalu di sini!"

"Mas ...!"

"Lalu mana gaji kamu itu? Buktinya? Saya toh yang biayai sekolah Tami? Saya berjuang sendiri di sini! Dan KAMU CUMA SIBUK NGURUSIN BENALU-BENALU SOMBONG ITU!"

"Cukup, Mas! Cukup! Sampai kapan kamu singgung-singgung keluargaku?! Kamu justru harusnya mikir, Mas! Kamu pikir aku nggak berbuat apapun?! Aku juga nyari Mas!"

"Dasar kurang aj-"

Tami membuka pintu ruang tamu. Pertengkaran itu berhenti saat Tami masuk. Ia memandangi kedua orangtuanya dengan hampa. Dia ingat masa kecilnya, saat Ibu masih sempat mendongengkan cerita. Saat Bapak masih suka tersenyum.

"Tami, kamu kenapa?" Ibu menghampiri Tami. Ia gelisah melihat anak perempuannya terlihat sangat kacau.

"Tami?"

Tami merasakan Bapak menyentuh pipinya. Mereka sekarang mulai cemas melihat ekspresi Tami, dan mengguncang-guncang tubuh anaknya. Mereka terus mengusap wajah Tami, sampai akhirnya mata Tami mengeluarkan sesuatu yang sudah lama tidak ia teteskan di depan kedua orangtuanya.

"Bapak ... Ibu ... tolong jangan bertengkar lagi ..."

***

"Tami, kamu suka dongeng apa?"

"Itik buruk rupa ..."

"Oh ya? Kenapa?"

"Karena akhirnya dia jadi angsa ... dan nggak ada yang menghina dia lagi."

"Berarti sejak awal dia bukan itik."

"Maksud Ibu?"

"Sejak awal, dia adalah angsa. Hanya saja dia berada di tempat dan lingkungan yang salah."

Mata Tami berbinar. "Jadi tidak ada dongeng itik buruk rupa?"

"Iya, yang ada, angsa yang dikira itik."

Tami mengekeh pelan.

Kemudian, perempuan itu menjawil pipi putrinya. "Suatu hari nanti, anak ibu yang manis ini juga akan terlihat. Karena sejak awal dia adalah anak yang baik. Terlalu baik malah. Sejak awal dia anak yang cantik.."

"Tapi di sekolah banyak yang gangguin Tami."

Ibu mengelus kepala Tami lembut. "Mungkin Tami salah tempat. Tapi nggak papa ... Angsa saja bisa sabar."

"Tapi Mi capek ...."

Ibu nampak tertegun.

"Mereka juga ngejek Tami ... katanya Tami miskin dan pendek."

Ibu memandang Tami lekat. "Tami ... Setiap orang akan memberikan apa yang dia punya. Kalau orang itu suka menghina, menyakiti dan semacam itu. Maka itulah yang dia punya di dalam dirinya. Ibu nggak mau kamu sibuk dengan mereka. Ibu mau kamu sibuk dengan apa yang kamu punya ... Sibuklah memperbaiki apa yang kamu punya."

"Memang Tami punya apa?"

Ibunya nampak menimang-nimangqp kata. "Tami anak baik, buktinya Tami ajak main Alya."

Tami menautkan alis. Alya anak pindahan dari Maluku itu. Teman sebangkunya yang juga suka dapat sasaran empuk olokan di sekolah karena di sekujur tubuh Alya penuh dengan bentol-bentol merah seperti alergi. Kadang di beberapa tempat di tubuhnya ada bentol bernanah sehingga membuat jijik.

"Tapi sekarang Alya nggak mau main sama Tami ... kata Alya, dia benci darah. Dan Tami nusuk Jo ... kata Alya, Tami sama aja kayak bapak-bapak di Maluku ... Tami jahat. Kata Alya, jangan main sama orang jahat kalau nggak mau jadi jahat. Dan Tami orang jahat, Bu ... Terus, kata Alya ... "

Mendengar itu, Ibu langsung mengecup kepala Tami bertubi-tubi. "Tami anak baik. Tami rajin sholat dan mendo'akan orangtua. Ibu bangga punya kamu. Tapi memang, jangan diulangi lagi ya ...? Belajar sabar ya, mau?" Sambung Ibunya sambil memeluk Tami.

"Iya ..."

"Suatu hari nanti, pasti ada, yang sayang sama kamu tanpa penjelasan."

Tami termangu. Ia masih berusia 11 tahun untuk mencerna kalimat Ibunya. Bagaimana cara mencintai seseorang tanpa penjelasan?

"Jadi hari ini mau dongeng apa?" Tami nyengir. Menyeka air matanya.

"Dongeng buatan Ibu. Mau dengar?"

Tami mengangguk antusias.

"Ini tentang Matahari dan Bunga Matahari."

Tiririrt tiririt tiriririt ......

Dering ponsel meraung raung di dalam kamar yang kecil itu sejak tadi, beriringan dengan suara gedubrakan seseorang. Kaget dengan suara ponselnya sendiri.

Sudah pagi. Tami terjaga dari mimpi. Ia menyambar ponselnya dan terkejut membaca tampilan layar.

Alya is calling.

Tami mengeryitkan dahi. Ia masih mengumpulkan setengah nyawanya yang masih mengambang di alam bawah sadar. Tami menggigit bagian bawah bibirnya sebelum akhirnya ia membiarkan dering itu berhenti sendiri.

***

"Swastamita," panggil Pak Tendi saat mengecek kehadiran siswa-siswinya dan tiba di baris nama itu. "Swastamita?" kali ini suaranya sedikit dengan intonasi bertanya dan wajahnya sedikit mendongak. Mencari sosok siswi yang namanya ia sebutkan tadi.

"Lidiya, kamu tahu ke mana Tami?" tanyanya langsung pada siswi berambut ikal itu. Ia tahu kalau Lid sering bersama Tami.

"Saya nggak tahu, Pak ..."

"Kalau kamu, Alya?"

Alya menggeleng lemah.

Pak Tendi menghela napas. "Tidak ada satupun yang tahu tentang Tami?" tanyanya lagi. Kali ini ditujukan kepada seisi kelas. Semua siswa menggeleng.

Guru yang masih berusia 30-an itu menatap buku absen di tangannya, memeriksa riwayat kehadiran Tami. Rupanya, bangku barisan pertama dari kanan itu sudah satu minggu kosong. Ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya tanpa surat atau berita. Baru kali ini Tami absen.

Sepengetahuan Pak Tendi, Tami memang tak pernah absen. Selain kemampuan belajarnya yang di atas rata-rata, anak itu juga tergolong siswa yang rajin. Sangat mencurigakan jika Tami merelakan satu minggu untuk tidak datang ke sekolah.

Selaku wali kelas, sebenarnya lelaki itu sudah bisa menelusuri duduk perkaranya. Ibu Tami memang pernah menemuinya di sekolah, berkata bahwa Tami sedikit spesial. Ia tidak suka bicara. Ia juga benci suasana baru. Kenaikan kelas membuat Tami harus berpisah lagi dengan teman-teman semasa kelas satu yang bahkan ia belum menjalin sama sekali.

Ketika selesai memanggil nama siswa satu persatu dari daftar absen, Pak Tendi meminta Rizal untuk mengumpulkan teman-teman sekelas sepulang sekolah nanti. Mereka berencana menjenguk Tami. Tapi sialnya, tidak ada yang tahu rumah Tami. Dan, beberapa anak bahkan tidak terlalu peduli dengan keberadaan Tami. Suasana kelas jadi sedikit ribut.

"Anak-anak," Pak Tendi meminta perhatian. "Saya hanya mau bilang, jangan selalu menilai orang dari masa lalunya. Dia nggak tinggal di sana lagi." ucap Pak Tendi sambil memandang siswa-siswanya.

Dan mendadak, semua jadi diam.

Pak Tendi berdeham. Ia menyingsingkan lengan kemejanya lalu meraih buku paket. Ia meminta siswa-siswanya kembali fokus ke pelajaran.

Sementara itu, tanpa sepengetahuan Pak Tendi, Kaisar sedang mengirim pesan pada sahabatnya, Runi, yang ikut-ikutan tak masuk sekolah juga hari ini.

Di mana, nyet?

Sent.

Lima menit berlalu, pesan itu tak juga dibalas.

***

Efek anarkis dari tertekan adalah pemberontakan yang bersifat fisik. Nge-drugs dan mabok adalah salah satu pelarian orang-orang tertekan kebanyakan. Sementara, tak banyak yang tahu kalau ada efek soft dari perasaan tertekan yang tak kalah pahit. Ia menjadikan semua lukanya dalam pantomim, drama bisu dan teriakan bervolume nol.

Hal semacam itu tak sengaja Runi dengar ketika Pak Tendi dan beberapa guru sedang mengobrol di ruang guru. Hari ini Runi sekolah. Dan dia baru saja menyelesaikan hukumannya mengerjakan 50 soal Kewarganegaraan (karena menjadi pelopor terjadinya tawuran dan terlambat datang ke sekolah) di samping Bu Rosde, ketika para guru membahas anak-anak bermasalah. Runi terkejut saat majelis guru memasukkan Tami ke dalam daftar. Bukan karena ia berandalan seperti Runi dan teman-temannya. Justru karena ia adalah anak yang selalu diandalkan.

Orang yang terlalu diandalkan biasanya selalu menyimpan masalahnya sendirian. Orang-orang luar tak akan mengira, bahwa di balik sikapnya yang seolah diam dan tak ada masalah. Ia sudah menderita dari sikap diamnya sendiri.

Mati dari dalam.

Semuanya adalah bom waktu yang menunggu timing yang tepat untuk meledak kapan saja. Dan Tami seperti bunga matahari. Dibalik keceriaannya, ia merunduk dari hari ke hari.

Semua guru, termasuk Runi yang menguping, terkejut saat tahu Tami mengajukan surat pindah sekolah sementara gadis itu sudah kelas tiga. Mereka akhirnya mengaitkan hal itu pada kasus yang terjadi di depan gerbang sekolah seminggu yang lalu. Mereka terpaksa mengungkit kembali apa yang pernah Tami lakukan sewaktu ia masih di sekolah dasar. Pak Zul yang memimpin rapat hanya duduk diam mendengarkan.

Tak berapa lama, para guru melakukan rapat dadakan dan memutuskan untuk mengambil tindakan lebih lanjut. Sehingga diputuskan harus ada guru yang datang menemui Tami untuk membawanya kembali ke sekolah.

Di luar ruang guru itu, Runi tengah berdiri. Ia memikirkan sesuatu.

"Dulu, semua anak selalu manggil aku Si Popot plesetan dari Knalpot Bocor. Pas kelas 4 SD aku masih berak di celana, itu yang buat mereka jadi manggil aku Popot sampai kelulusan," kata Baron, kemarin, saat mereka duduk-duduk di bilik 13. Entah kenapa cowok itu mendadak ingin cerita. Mumpung ada Ical juga.

"Tapi cuma Tami, satu-satunya anak yang manggil aku pakai nama," ujar Baron lagi, pandangannya nanar.

"Kesalahan yang aku lakukan ke dia adalah, aku juga ikut jauhin dia. Awalnya aku bela dia sih di depan Bu Eus. Tapi lama-lama, karena dia ngaku pisau itu miliknya, karena semua jauhin dia, aku juga ikut jauhin. Kalian taulah, temenan sama orang yang 'dijauhin' bisa bikin kita 'ikut dijauhin' juga. Jadi ... ya ... macam tu lah." Baron mengedikkan bahu.

"Dan sejak itu, Tami nggak pernah manggil aku lagi. Dia nggak pernah manggil siapapun lagi."

Semua diam.

"Aku tau itu salah. Tapi Tami orangnya nggak pedulian. Mungkin pura-pura nggak peduli. Pas akhirnya kita ketemu lagi di sekolah ini, Tami nggak nunjukin ekspresi apa-apa padaku. Aku rasanya ada di posisi 'Kau salah, tapi kau juga sungkan minta maaf, karena kesalahan itu sudah lama. Kau ingin negur dan pura-pura nggak terjadi apa-apa. Tapi tetap nggak bisa.' Aku ... jadi bingung."

"Pas akhirnya kau bilang suka Tami, Run. Aku pun awalnya canggung. Tapi kupikir ... akhirnya aku punya alasan untuk nyapa Tami lagi." ucap Baron lagi sambil tersenyum.

Tapi dengan cepat ia berkata lagi, "Eh, Bah! Jangan salah paham ya, Run. Ini bukan cinta loh! ini ... rasa hormatku pada Tami. Aku menghargai dia. Dia menghargai aku soalnya. Makanya aku pun sebenarnya ragu bantuin kau, soalnya kan, kau itu bodat kali."

Ical tertawa kecil.

"Bah! Kau juga, Cal! Stop kasar sama Tami! Stop berpikir buruk tentang Tami! Kau cuma tau kabar dari sumber nggak jelas!"

"Iya ...! Iya ...!" Ical menggaruk kepalanya.

Saat itu juga, mereka bertiga membisu.

Hanya terdengar suara Bude Ester yang lagi seru membahas isu kiamat tahun 2012 bersama Yuk Jum, penjual Pempek di bilik 12.

"Maklum lah Yuuuk eeh, zaman sekarang banyak yang sok tau. Macem tu kan nak ngajak tanding Tuhan!" (Seperti itu kan mau ngajak tanding Tuhan!)

"Iyo pulak dak?" (iya juga ya?)

Lalu terdengar gelak tawa ibu-ibu itu. Sesekali, mereka heboh juga membicarakan harga cabai.

Sementara itu, tiga cowok itu terus tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tapi jadi ikut ribut karena mendadak, Ical bertanya kenapa Baron kok masih berak di celana pas kelas 4 SD.

Baron menggeram. Ia pun sibuk memiting kepala Ical. Membiarkan Runi melamun.

Bahkan saat ini pun, seusai mendengar percakapan para guru, Runi kembali melamun. Dia berjalan sambil memasukkan kedua tangannya di saku jaketnya. Berjalan pelan di sepanjang koridor menuju kelas. Dia kira selama ini yang paling bermasalah adalah dirinya. Dia kira yang paling kesepian itu dirinya.

Tapi ternyata, semua orang punya rasa sedih masing-masing. Mama, Baron, Alya, Ical, bahkan Jo ...

Runi mendengkus. Entah seperti apa kabar anak itu. Terakhir bertemu dengan Jo, anak itu tidak ikutan ritual mencuci kaki orangtua, sebab Mamanya bersikap seolah Jo akan mati kalau tidak segera dibawa ke rumah sakit. Alhasil, Runi hanya bisa puas memandang wajah Papa sebentar. Sebelum lelaki itu berlalu begitu saja.

Dan soal Tami ...

Gadis itu juga sama. Tami menyimpan semua masalahnya seorang diri. Dia sudah mengalami banyak kesakitan dalam hidupnya. Anak itu pasti sangat sedih dan kesepian.

Runi melongo ke atas koridor. Ada sarang laba-laba.

Seperti yang aku duga ... kamu memang tinggal di sarang laba-laba.

Runi tersenyum getir. "Kamu juga Tam. Dasar nggak tau diri."

Kamu nggak punya cita-cita.

Runi melompati selokan depan kelas. Lalu berkata pelan, "Iya, kamu benar juga sih."

Kita yang udah nggak jelas ini sebaiknya nggak usah temenan aja dan semakin nggak jelas.

Runi sudah berada di ambang pintu kelasnya. Dia menoleh ke barisan bangku tempat Tami biasa duduk. Kosong.

"Jangan pergi. Ayo temenan." ucap Runi lagi.

Bicara sendiri.


***







_______

Haiiii, aku update. Maaf lama, aku habis dilanda demam berkepanjangan dan berbagai badai kehidupan (baca: pekerjaan) dan makasih setia baca Faktor J.
Jangan lupa vote dan commentnya yaa. Itu tanda bintangnya di klik. :)

Oya aku mau tanya (nanya aja nih. Serius) di dalam imajinasi kalian, dalam visualisasi kalian sendiri. Runi, Tami, itu seperti siapa ya?

Salam.
🌻🌞

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top