36. Gadis Kecil dan Sebilah Pisau (1)

Halo semuanya! Apa kabar? Minal Aidin wal faidzin ya. Mohon maaf lahir batin...  Maaf kalau aku ada salah. 🙏

Oya cuma mau ngasih tau mulai chapter ini dan seterusnya bakal kebuka semua hal (yang sepertinya sepele padahal gak sepele) yang pernah aku tulis di chapter2 sebelumnya. Intinya... Ya begitulah.

Semoga Faktor J (FJ) masih ditunggu. Dan teman-teman masih inget cerita FJ walau udah sebulan lebih gak update. Kalo lupa ya sorry.. 😶 tadinya aku mau update FJ setelah kelar baca semua Reading list yang aku tinggalin selama hiatus. Tapi karena satu hal, aku update ya...

Oya chapter ini aku potong jadi dua. Next part udah bisa langsung kamu baca ya. Yaudah lah. Selamat membaca! :)

_____________________________________


FAKTOR J

36. Gadis Kecil dan Sebilah Pisau (1)

***

🔊Loneliness (Instrument)

*

"Something so small can be so long lasting in someone's life."

(Shane Koyczan)

*

Waktu itu ia masih duduk di bangku kelas 6 SD. Baru 11 tahun. Tapi ia sudah tahu tentang harga diri dan rasa sakit.

Ketika hampir semua anak di kelasnya, menyanyikan lagu "Anak Kambing Saya" di depan kelas sambil menari. Tarian mereka amat genit, mereka mengganti kata "anak kambing" menjadi "anak monyet" lalu mengakhiri nyanyian a la boyband mereka dengan mengacungkan jari telunjuk pada Tami.

"Mana di mana, anak monyet saya?
anak monyet saya ada di depan saya!"

Begitu terus mereka nyanyikan. Berulang-ulang. Tami kecil menangkupkan wajahnya dalam-dalam. Menangis. Menyusun rencana apa sebaiknya ia pindah sekolah saja. Atau mati saja?

Tak ada yang tahu dengan benar siapa kita bahkan mungkin kita sendiri. Entah dari mana dan sejak kapan, sel-sel dalam tubuh sudah mengirim pesan terhadap sebuah ancaman seremeh apapun. Dan yang bisa manusia lakukan hanyalah melindungi diri. Apapun itu.

"Tami monyet ... Tami monyet ..." seorang anak laki-laki berteriak-teriak persis di telinga Tami. Ia menoyor-noyor kepala Tami berkali-kali.

"Monyet ... monyet ..."

CUKUP!

Dalam gerakan spontan, Tami mengambil sebuah pisau yang berada di dalam sebuah tas. Kemudian ia tancapkan berkali-kali ke bahu anak cowok itu. Tami bosan jadi bulan-bulanan. Tami capek bertahun-tahun jadi bahan olokan. Ia ingin menunjukkan siapa dia. Tak ada yang boleh mengganggunya mulai hari ini!

"AAAARRRKHHH ...!!!!"

Anak laki-laki itu memekik. Darah mengucur deras dari bahunya.

Semua nyanyian dan tarian berhenti seketika. Tami memandang anak laki-laki yang meringis kesakitan sekaligus ketakutan di hadapannya. Anak-anak yang lain bergidik. Ada yang menangis, ada yang berlari ke ruang guru. Baru saja ia melukai teman sekolah dasarnya.

"Anak monyet ngamuk! Anak monyet ngamuk!"

Tak berapa lama waktu berselang, semua murid sudah berkumpul. Termasuk guru-guru.

"Jo? Nggak papa, Nak?" suara Ibu Eus panik.

Anak itu hanya menangis. Dan Tami bergeming.

"Tami?" Perhatian Ibu Eus berpindah padanya. Ketimbang menunjukkan refleksi prihatin, tatapan guru itu lebih kepada 'mengapa kamu melakukan ini?'

Tami hanya diam. Mulutnya terkunci.

Sesaat berlalu, kegemingan Tami telah berurai menjadi bulir-bulir air mata. Ia kesal tapi juga menyesal. Di dalam kepalanya, ada ribuan pertanyaan yang ingin ia teriakkan. Apakah ia bisa hidup tenang? Apakah tidak boleh ia memberi mereka pelajaran? Apakah setelah dirundung, pandangan intimidasi itu harus menjadi miliknya juga?

***

Bulan-bulan terakhir di sekolah, situasinya sulit bagi Tami. Ia tahu, masih satu semester lagi menuju hari kelulusan dan ia harus membiasakan banyak hal tanpa siapa pun. Pun sebelumnya, ia juga nyaris tanpa siapapun. Setiap hari adalah hukuman. Setiap hari adalah neraka. Tidak ada lagi yang menegurnya, kecuali satu, dua anak. Tidak ada lagi yang menyapanya dengan ceria, hanya wajah takut, olokan, kasihan dan rasa tak enak. Bahkan untuk hal sepele seperti pergi ke kantin dan WC–di mana anak-anak perempuan biasa pergi berdua dengan temannya sambil bergandengan tangan–ia lakukan sendirian. Hingga urusan yang lebih serius, menemani untuk berbicara atau berdiskusi soal PR.

Anak sekecil dirinya, berbicara dengan teman sebangku atau teman adalah stimulasi perkembangan otak yang paling menunjang, jika memang teorinya seperti itu. Sebuah usaha sosial untuk menunjukkan hakikat manusia. Siapa mereka sebenarnya.

Selaku guru, Ibu Eus sudah bersikap baik mempertanyakan pangkal masalah antara Tami dan teman-temannya.

"Jo cuma ikut-ikutan, Bu!"

Seorang anak angkat suara. Sementara Jo sudah dilarikan ke puskesmas terdekat karena banyaknya darah yang mengalir.

"Bohong, Bu!" seorang anak laki-laki bernama Baron berseru.

"Jo tinjuan sama Reno, Bu!"

"Jadi dia kesal, pas liat Tami dia makin kesal."

"Iya bener gitu, Tami?" Bu Eus memandang Tami.

Gadis kecil itu tak menjawab apa-apa. Ia terus menangis sesegukan di dalam rengkuhan kedua tangannya.

"Tami mecahin prakarya Desi, Bu ..." tiba-tiba Desi yang dari tadi menunduk mengangkat tangan. "Jadi Desi pukul Tami."

Bu Eus geleng-geleng kepala.

"Iyaaaa, terus Desi ngajakin Yuni, Wulan, mereka-mereka ini ngejek Tami, Buuu ..!" seru Baron lagi. Beberapa anak cowok yang lebih rasional dan netral mengangguk-anggukkan kepala. Baron menatap anak-anak cewek, lalu mendesis,

Sukurin! Sukurin!

Tami memang 'itik' yang pendiam. Bukan seperti Desi yang populer, Wulan yang anak guru, Yuni yang cantik, Jo yang kaya dan segala remeh temeh yang bisa membuat seseorang merasa pantas untukk merasa lebih dari yang lain.

Baru-baru ini Tami menyadari kalau teman-teman lamanya itu menderita kebosanan sosial. Tak lebih sehat dari dirinya.

Tami terlahir dari keluarga miskin yang memiliki rupiah terbatas untuk menyekolahkannya. Selain penampilan yang lugu, rambut yang selalu lepek karena minyak kemiri, kulit yang coklat, barangkali ia memang punya aura kelemahan dari seseorang-yang-layak-di-rundung hingga ia harus kehilangan sesuatu yang amat ia butuhkan untuk hidupnya saat ini; kepercayaan diri.

Tapi, sepanjang hidup Tami, tidak ada yang lebih pedih dari perlakuan siang itu. Ia biasa diganggu, tapi tak pernah sejahat hari itu, ketika Desi dengan wajah marah menghampiri Tami dan berkata, "Tami, kamu nyebelin. Jadi aku nampar kamu!"

Tamparan itu mendarat di pipi Tami.

Lalu air mata Tami terburai begitu saja. Dan entah mengapa, semua itu tidak memuaskan. Mata jail Desi langsung berputar, mengajak Jo dan yang lainnya untuk bergabung. Dan semua berujung dengan tarian anak monyet saya.

Seandainya ia punya kemampuan membalas, pasti ia sudah balas dan mereka berdua akan saling jambak seperti anak-anak perempuan lainnya jika bertengkar. Seandainya saja, bisa membalas. Tapi Tami anak yang sangat baik. Begitu yang pernah Ibunya katakan.

"Nanti pasti ada. Teman-teman yang akan sayang sama kamu ..." ujar Ibunya tempo hari.

Minggu-minggu berikutnya dihabiskan untuk duduk sendirian di kelas sampai ujian EBTANAS tiba. Benci sekali, perasaan yang Tami biarkan hidup di dalam hatinya sekalipun Bu Eus sudah menyuruh anak-anak itu meminta maaf pada Tami. Masalahnya, Bu Eus tak punya kacamata tembus pandang. Hanya guru berusaha bijak yang memandang bahwa jabat tangan adalah tanda perdamaian. Sesudah itu ada julukan 'anak monyet' yang menggaung di telinganya, kemarahan yang bercokol dan luka yang mengendap jadi ingatan hingga sekarang.

Dendam? Tentu tidak. Dalam benaknya, hanya ada sebuah spidol permanent hitam yang senantiasa memberi tanda black list pada mereka dari daftar orang-orang yang layak dijadikan teman. Itu saja.

Secara diam-diam Tami mencuri dengar percakapan Jo dan lainnya tentang sekolah mana yang mereka tuju dan berusaha sebisa mungkin supaya tidak satu sekolah dengan mereka.

Tami setengah mati meminta Bapak dan Ibunya untuk tidak mendaftarkannya sekolah di SMP sekitar wilayah yang berdekatan dengan SD-nya yang dulu. Instingnya mengatakan, Jo, Desi dan lainnya tentu akan sekolah di tempat itu. Kalau tidak semuanya, pasti salah satu. Tami tidak akan pernah mau lagi menghabiskan tiga tahun menatap wajah-wajah itu.

Tapi tetap saja, Tami selalu salah perhitungan.

***

Memasuki masa sekolah menengah pertama, pengalaman rundung tak berakhir begitu saja. Gosip tentangnya yang pernah melakukan penganiayaan sewaktu SD menyebar begitu saja seperti dibawa angin. Entah siapa yang menyebarkan. Entah itu temannya teman Jo, temannya teman Desi dan entah teman, sepupu, siapapun. Tapi di dunia ini, Tami tahu satu hal, kecepatan bibir memang tidak boleh diremehkan.

Pada awalnya, Tami selalu bertanya-tanya kapan ucapan Ibunya menjadi kenyataan. Kapan ia punya teman? Sementara Tami semakin pesimis saja dan terkadang bertanya-tanya apakah ia bisa memiliki teman? Apakah tidak ada, satu saja, yang menerima Tami dengan sangat baik? Yang memandang Tami dengan pandangan tulus?

Sampai pada suatu hari, juga hari ini, Tami sudah terlanjur tumbuh menjadi gadis yang menutup diri dan tak pernah memberi kesempatan pada siapapun untuk mengenalnya lebih dalam. Bagi Tami, semua sama butanya. Sama menggangunya.

Krisis identitas yang dialami Tami bukanlah krisis yang membuatnya menjadi urakan melainkan membuat mentalnya berantakan. Tami selalu ketakutan jika bertemu orang lain. Ia menggigil jika namanya dipanggil untuk maju ke depan kelas. Apakah ia benar-benar phobia? Entahlah. Tapi yang Tami tahu, ketakutan-ketakutan itu sudah melumpuhkan sisi manusiawi Tami. Menyita kesadaran Tami. Menghancurkan jiwa sosialnya. Merusak sistem kerja otak yang mengatur manusia untuk mempercayai diri dan orang lain.

Dan, menipu dirinya sendiri.

Merasa lelah, Tami berhenti berlari. Runi sudah jauh. Ia mengenang ucapan menyebalkan yang pernah Winda katakan,

"Kamu tau, Tami? Orang-orang yang ketakutan, sebenarnya mereka tidak percaya kalau ada yang lebih besar daripada ketakutan mereka yang besar. Tuhan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top