35. Impian dan Tawuran

Aku punya impian; Keluarga yang harmonis misalnya. Tapi aku tidak punya cara untuk menggapainya. Atau mungkin kehabisan cara?
(Arunika - Swastamita)

*

🔉About a Boy - Ballads of the Cliche


***


Insiden The Sweet Invation telah meninggalkan bekas yang mendalam bagi Jo dan ganknya. Tak dielakkan lagi, Jo dan gank-nya sudah berdiri dengan lantang di samping gerbang masuk Classic. Mereka berencana balas dendam. Mata mereka mengawasi setiap siswa yang berhamburan dari gerbang. Jo mengedarkan pandangan, mencari sosok cowok berkepala spikey itu.

"Aku kasian sama kau Jo. Punya papa tapi papa orang lain."

Jo menggeram. Matanya kemudian menangkap dua orang di titik yang cukup jauh, tengah hendak melintas ke gerbang sekolah. Salah satunya, Runi.

***

"Tami!"

Tami berjengit. Runi sudah di sampingnya. Cowok itu berusaha menyamakan langkah besarnya dengan langkah kecil Tami. Di dalam kepalanya, sudah tersusun rangkaian kata yang akan ia ucapkan pada Tami.

Seperti ... 'Sendirian aja?' atau mungkin ia akan mengatakan 'Mau pulang bareng pake motor aku nggak?'

Tapi yang ditanyakan Runi pertama kali adalah;

"Panas ya, Tam." Runi menepuk jidatnya. Lagi-lagi ia memulai percakapan dengan cuaca.

"Iya." jawab Tami pelan, membuat Runi menoleh cepat, merasa lebih baik. Tami pikir tidak ada salahnya bersikap baik pada Runi.

"Oh iya, kamu suka bunga matahari kan, Tam?"

Bibir Tami berkedut sedikit ketika mendengarnya. Bagaimana cowok ini tahu kalau ia suka bunga matahari? Selain mencari tahu nomor ponselnya, sudah sejauh mana cowok ini mencari tahu dirinya?

Tami melemparkan pandangannya sebentar pada Runi. Lalu mengangguk.

Mereka berjalan beriringan.

"Makasih ya ..." kata Tami pelan.

"Untuk?"

Tami menggeleng. "Makasih ..."

Runi senang karena ini kali pertama ia bisa berbicara dengan Tami tanpa harus melihat gadis itu berusaha menghindar. Lebih tepatnya, ini kali pertama Tami menatap wajah Runi dengan sungguh-sungguh tanpa pretensi. Sekalipun hanya kata 'ya' itu tak jadi soal. Ia ingin mengucapkan kalimat-kalimat yang lain lagi dan mendengar jawaban yang disertai tatapan penuh ingin tahu itu lagi. Tak peduli jika lapangan parkir sudah ia lewati begitu saja. Tak peduli dengan motornya. Hari ini ia ingin bisa lebih dekat dengan gadis itu.

Bersamaan dengan langkah mereka berdua yang sudah melintasi pintu gerbang, Jo dan gank-nya yang sudah menunggu di depan gerbang langsung berteriak.

"WOI KAMBING!"

Runi mencelos. Suara perusak suasana itu sama sekali tidak asing. Dilihatnya Jo dan kawan-kawannya sudah berdiri di depan gerbang Classic. Lagi-lagi bersama centeng-centengnya. Dan lebih banyak. Tubuh Runi secara refleks maju ke depan menutupi Tami yang padahal ia yakin, Tami tak akan dilibatkan. Jo menyeringai. Runi sudah persis di depan matanya.

"Mau apa lagi?"

"Kangen aja." Jo membusungkan dadanya.

"Oh. Kau ketagihan dengan yang kemarin?"

"Cih, kau beraninya pake gituan."

Giliran Runi yang menyeringai. "Itu kreatif, Bung!"

Urat leher Jo menegang. "Minum berapa liter biar bisa dapet air kencing seember?"

"Kenapa? Kau mau coba juga?"

"Iya, aku malah mau kencing sampe sedrum."

"Oh ya?" Runi mengekeh.

Jo naik darah.

"CUKUP MANIS-MANISNYA! KAU EMANG BRENGSEK! SAMA KAYAK TEMEN-TEMENMU!"

"Jangan hina temen-temenku!"

"KAU YANG DULUAN KAN? DENGER YA SAPI, URUSANKU CUMA SAMA ICAL! KAU DAN YANG LAIN NGGAK USAH IKUT CAMPUR!"

Jo mendorong tubuh Runi keras.

"AKU PERLU IKUT CAMPUR! ICAL KAWANKU!"

Runi balas mendorong. Mendengar itu, Jo bungkam. Sebelum akhirnya tawanya meledak.

"HAHAHAHAHAHA"

"DIEM LO!"

Runi benci tawa itu. Tawa penghinaan.

"Temen katamu? BULLSHIT! ASAL KAU TAHU, KAU SALAH PILIH TEMEN! ICAL YANG REBUT BELLA DARIKU!! ICAL YANG PENGKHIANAT! TUNGGU SAMPE KAU DITUSUK DARI BELAKANG! DIA SAMA BRENGSEKNYA. SAMA SIALNYA. SAMA- "

"JANGAN SALAHKAN HIDUPMU YANG MENDERITA KE ORANG LAIN!"

Jo menghentikan ocehannya. Menderita? Jo tertawa kecil. Ia semakin bernafsu untuk menyerang saat ia menyadari sesuatu. Pandangannya langsung terjun bebas pada seonggok daging bertulang di belakang Runi, yang sejak tadi hanya menunduk ketakutan. Mendadak Jo menautkan alisnya.

"Loh, anak monyet?!"

Tami menahan napas.

Dia masih ingat aku?

Jo memandanginya dari atas sampai bawah. Mencari ciri yang lebih kuat lagi.

"Eh, beneran. Kau ini anak monyet, kan?" lagi Jo mengamati Tami. "EH, EH, Bener! Sekolah di sini rupanya?"

Jo tertawa geli. Teman-temannya tak ikut tertawa. Mereka sama bingungnya dengan Runi dan siswa-siswa yang melintasi gerbang sekolah, secara teratur, mereka menghentikan langkah. Tak berniat melewatkan tontonan ini sama sekali.

"Namanya Tami!" bentak Runi. Ia muak dengan gaya tawa Jo yang sok itu. Meski ia ingin tahu juga. Mengapa Jo, cowok paling parlente di Smanpa mengenal Swastamita-nya.

"Kau kenal Jo?" Erwin yang bertanya.

"Kenal katamu? Ya jelas aku kenal dia!" telunjuk Jo mengacung kasar pada Tami. "Eh, anak monyet, di sekolah ini siapa yang mau coba kau bunuh?"

Semua menahan napas.

"Kau temenan sama dia juga, Run? HAH! Cocok! Yang satu sialan yang satu freak!"

Semua menatap Tami. Semua tatapan itu menghujani Tami seolah ingin meminta klarifikasi maksud dari panggilan itu, maksud dari kalimat itu.

Bisik-bisik terdengar tentang Tami. Termasuk Alya dan Lidya yang sejak tadi menyaksikan.

Bunuh?

***

Tami kalut. Sebagian dari dirinya entah ada di mana. Emosinya melonjak, melebihi kosakata yang pernah ada. Entah mengapa berbagai kejadian yang menimpanya minggu-minggu terakhir ini membuat kepalanya terasa ingin pecah. Tanpa pikir panjang, Tami melarikan diri. Bahkan sempat berpikir untuk menghilang saja. Rasanya percuma saja. Rusak semua kanopi rahasia yang ia jaga selama ini. Hancur sudah.

Tami sengaja memilih sekolah terjauh dari sekolahnya yang dulu supaya tidak ada satupun orang yang mengenalnya. Ia sengaja tidak menonjolkan diri supaya tak ada satupun yang memerhatikannya. Tapi hari ini, semua mata mengarah padanya.

Tuhan, apa yang harus dilakukan seorang Swastamita sekarang?

Sepi yang segera memberangus. Tak ada satupun yang berbicara sesaat setelah Tami berlari pergi. Runi mendadak kehilangan kendali.

"HEH SAPI! LO PUNYA OTAK NGGAK?!!!" Runi mendorong Jo jengkel.

Jo tak bersuara. Matanya liar memandang sekeliling. Kali ini ia memang salah lokasi. Siapa sangka ucapannya itu membuat puluhan mata memandangnya dengan ekspresi yang beda-beda.

"Gue nggak peduli apa masalah lo sama Tami. Tapi gue nggak nyangka, Selain songong, ternyata lo juga BANCI!"

Runi hendak meninju Jo. Tapi ia tahan. Kaisar dan Baron sudah berada di sampingnya bersama beberapa anak-anak Cuprums lain. Urat-urat wajahnya menegang. Di kepalanya melintas wajah Tami beberapa saat yang lalu. Mata gadis itu serupa kantung setipis ari yang digelayuti air. Rapuh. Disentil sedikit saja pastilah ia pecah.

SHIT!

Dalam langkah besar, cowok berkepala spikey itu meninggalkan semua orang, berlari mengejar Tami. Gadis rapuh yang sok dingin itu pasti belum jauh dari sini. Pasti ia sedang mencari sebuah tempat paling aman untuk menangis. Sendirian.

Ketakutan tak pernah sendirian.
Malah, sendirian yang justru ketakutan.
Sunyi-sunyi menyusuri jalan.
Menangkap Arunika dan Swastamita di langkah hening.
Tak apa, sebab itu kau ingat Dia.
Menoleh kiri-kanan, adakah seseorang?
Satu saja. Untuk bisa berkata,
"Kau masih dalam pusaran yang benar."

Sebuah puisi dalam buku Maroon milik Tami terngiang-ngiang di kuping Runi. Barisan kata-katanya seperti tangga nada dalam partitur yang secara jelas membentuk refleksi di depan iris hitamnya. Runi melewati belokan kemudian kembali lagi. Memilih jalan lain lagi namun Tami tak juga terlihat. Runi menelusuri lagi jalan pulang yang biasa Tami lewati, tak jauh dari Classic. Dan di jalan turunan, ia melihat Tami berjalan sambil menangis.

"Tami!"

Runi mengerem langkahnya. Ia tersengal. Selangkah lagi, ia akan berada di samping Tami.

"Tam, jangan sedih ya. Aku juga sering dipanggil monyet kok."

"...."

"Tam, maaf dari kemarin kamu terlibat terus. Aku-"

"Dia benar, kok."

Runi mengernyit.

"Aku memang begitu."

"Kamu nggak begitu."

Tami diam. Sebelum akhirnya ia berkata, "Kita yang sudah nggak jelas ini sebaiknya nggak perlu berteman dan menjadi semakin nggak jelas."

"Nggak jelas? Maksudnya?"

"Bolos sekolah, buat onar, merokok, tawuran, menghabiskan waktu sekolah cuma untuk main dan hura-hura ... bukannya itu nggak jelas? Bukannya itu kamu? Kamu nggak punya impian. Nggak punya cita-cita."

Hening memberangus. Sebelum akhirnya Tami berkata lagi, "Aku nggak mau punya teman yang nggak punya cita-cita ..."

Runi tercekat. Seumur hidup, baru kali ini ia memikirkan orang lain begitu mendalam. Sekaligus disakiti hanya dengan kata-kata dengan sangat dalam. Sampai ia tak bisa lagi menghentikan Tami yang berlari meninggalkannya.

Bahkan, untuk menjadi teman saja dia ditolak.

***

Jo terjengkang di depan pagar Classic yang bercat krem. Darah kemarahannya kembali berdesir-desir ketika mengetahui Baron yang baru saja memberikan bogem mentahnya. Lima belas menit sebelumnya, Baron yang paling anti keluar-masuk lewat gerbang mendengar keributan yang terjadi di depan sekolah. Bulan-bulan ini memang keributan sering terjadi di depan sekolah lantaran ada proyek pembangunan mesjid di sana. Tetapi Baron yakin keributan itu bukan berasal dari tempat itu. Benarlah kiranya, cuaca panas membuat ia semakin panas ketika melihat Tami dipermalukan sekali lagi oleh cowok itu.

"Kurang ajar!" Jo mengacung-acungkan tangannya. Ia membalas Baron dengan cepat. Aldo, Ical dan Edi yang tak terima langsung ikut dalam arena pertengkaran bersama Jo dan kawan-kawan yang ia bawa. Siswa-siswa Classic yang lain-termasuk junior kelas satu dan dua- dengan alasan solidaritas ikut menyerang.

Runi yang kembali dengan wajah marah langsung masuk ke dalam lingkaran. Ia mengambil bagian dengan meninju hidung Jo secara tiba-tiba. Dengan cepat ia memberi pukulan keras pada Jo.

"KAMBING! MINGGIR!! AKU NGGAK ADA URUSAN SAMA KAU!" hardik Jo, jemarinya mencengkeram kerah baju Runi. Siap memukul balik. Tapi pupil matanya yang nyalang berubah menjadi nanar saat melihat setetes air mata yang jatuh dari mata Runi.

"Ada. Sejak nyokap lo merebut bokap gue."

Cengkeraman tangan Jo merenggang. Ia merasakan semua otot-ototnya lumpuh seketika. Dibiarkannya saja, saat Runi menghantam wajahnya dengan satu pukulan.

Namanya Jo. Joan Ali. Pemuda keturunan Arab-Cina-Melayu. Ganteng. Tapi minus attitude. Sudah hilang sejak kesunyian selalu ada di rumahnya. Semakin dia hilangkan sejak orangtuanya mendadak cerai. Dan hari ini, dia justru ingin terus menghilang.

"Dan, satu lagi. Jangan panggil Tami monyet!"

Runi memukulnya lagi. Dan lagi. Sampai Jo jatuh terjerembab, Runi berteriak seperti kesetanan. Membalas siapapun yang juga melayangkan tinju padanya.

Suasana makin panas dan mencekam.

Siswa-siswa perempuan ikut berteriak panik memanggil guru-guru mereka. Bunyi lemparan batu, suara makian dan pukulan semakin membuat suasana rusuh. Hari ini masalah perempuan, perebutan pengaruh, hinaan juara futsal, dendam masa lalu sudah cukup untuk menjadi alasan-alasan yang menumpuk dan meletuskan tawuran. Classic sudah ricuh.

Helm-helm, sepatu, batu bata milik proyek pembangunan mesjid melayang ke mana-mana seperti diterpa angin kencang. Bahkan warung kelontong pun menjadi sasaran amukan mereka. Pemandangan yang terlihat setelah itu, darah segar yang mengucur, bibir robek, pejalan kaki yang panik dan memilih jalan lain.

Pak Jack, satpam Classic, yang hanya bermodalkan pentungan tak bisa merelai anak-anak itu. Guru-guru perempuan meminta siswa-siswanya masuk kembali ke sekolah dan dengan cepat menutup gerbang sekolah. Alya sudah mau mati karena phobia darahnya. Keadaan Pak Zul justru lebih menyedihkan. Ia datang tergopoh-gopoh dan menatap tawuran itu dengan pandangan yang nanar seperti ketika ia menceritakan bagaimana para pahlawan mati di tangan penjajah. Bagaimana mungkin tawuran terjadi di depan sekolah. Padahal baru saja mereka keluar dari tempat mulia dan sekarang bertengkar persis di depan pagarnya, menorehkan tahi sapi ke wajah dunia pendidikan.

Barulah setengah jam kemudian, suara sirine polisi datang memekakkan telinga. Mengepung anak-anak itu dengan sedikit gas air mata. Sekonyong-konyong tawuran langsung berhenti dan mereka mulai kocar-kacir. Dalam satu bekukan, mereka semua ditangkap. Termasuk biang masalah itu semua.

Runi dan Jo.


***

Bersambung ...



AN.
Impian dan cita-cita itu sama apa beda?

Sebenernya Runi dan Tami itu punya impian yang sama; Keluarga. Tapi keduanya punya cara sendiri yang menurut mereka baik. Bersikap baik atau nakal.

Oh ya, jangan lupa vote/comment ya :)

#30DWC Jilid 14
#Day2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top