33. Mengembalikan Kunci, Pisau, Kenangan dan lain-lain
Piglet sidled up to Pooh from behind.
"Pooh!" he whispered.
"Yes, Piglet?"
"Nothing," said Piglet, taking Pooh's paw. "I just wanted to be sure of you.
(A.A. Milne, The House at Pooh Corner (Winnie-the-Pooh, #2)
*
🎧Kepompong - Sind3ntosca
***
"Sedikit lagi, kamu mirip Cinta. Tinggal tegur saja: Hai, kamu yang namanya Rangga?" kata Alya sambil menyodorkan tangan.
Lid membelalak. "Iya ya?! Hm ... untungnya di sekolah ini tidak ada yang bernama Cinta. Dan-kenapa namaku harus Lidiya?!" Katanya gelisah. Ini kali pertamanya Lid menyesali namanya.
Hari ini adalah seminggu setelah insiden air seni itu (dan Tami tidak menceritakan hal itu pada siapapun) ketika mereka sengaja ke perpus karena Rangga juga ada di perpus. Butuh waktu lebih bagi Lid untuk membujuk teman-temannya yang sama sekali tidak tertarik untuk ikut.
"Jadi, Rangga juga suka baca buku di perpus?" Olin berbisik. Ia terpaksa berada dalam situasi seperti ini. Sementara Tiara yang selalu lapar sudah duluan kabur ke kantin saat Lid mengajaknya.
"Nggak suka sih ... anak IPS 1 lagi dihukum. Mereka kompak nyabotase PR Mengarang. Masa satu kelas semua karangannya sama. Cuma beda nama tokoh aja. Jadi pada dihukum di sini. Katanya disuruh nulis resensi. Lebih susah, kan? Ya, kan?" Lid menjelaskan dengan semangat.
"Kamu seneng banget sih, Lid?" Alya mengernyit.
"Iya! Ini lebih menyenangkan daripada makan Es krim berdus-dus."
"Anak ayam-tolong jangan berlebihan."
Lid cuek. Dia masih fokus mengatur kamera ponselnya. Niatnya ingin memotret Rangga diam-diam.
"Eh, Ical kok nggak ada? Emang dia lolos hukuman?" Lid celingukan.
"Masa? Tobat dianya? Dan-sejak kapan kau meratiin Ical, Lid?"
Lid melotot. Alya dan Olin cekikikan.
"Tumben Tami nggak ada." kata Olin lagi. Matanya menyapu ruangan perpustakaan.
"Memang Tami nongkrongnya di sini?"
"Iya. Setiap pagi, jam istirahat dan setelah pulang sekolah. Kalian nggak tahu?" Alya dan Lid saling pandang, lalu menggeleng.
"Dia selalu ke sini. Tapi pas pulang sekolah, bahkan bisa sampai sore."
"HA?!"
"Yang bener?"
"Bener. Kalian kok nggak tahu?"
"Kamu kenapa bisa tahu?" Alya yang bertanya. Ada rasa cemburu di hatinya.
Daripada menjawab, Olin malah mengibaskan tangan, "Bentar, Tiara nelpon," lalu gadis itu menempelkan ponsel ke telinganya. Tak berapa lama kemudian, matanya membelalak. "Tami! Tami!"
"Kenapa Tami?!"
Tanpa menjawab, Olin menarik dua temannya itu keluar dari perpustakaan.
***
"Kau punya kunci perpus, kan?"
"Nggak-"
"Sini. Kasihin aku."
"Nggak ..."
"Sini cepet! Aku tau kau punya."
"Da-dari mana kamu tahu?" Tami gemetar. Ia melakukan kesalahan dengan memasuki perpustakaan hari ini sehingga ia harus bertemu Ical. Meskipun sudah mencoba menghindar, Ical mengejarnya hingga sampai di koridor sepi ini.
"Dari Runi." Ical menyeringai. "Dia heboh sekali nyeritain segala hal tentangmu. Sini kuncinya."
"Buat apa?"
"Nggak perlu tahu!" bentak Ical. Ia terlihat buru-buru. Tami tak perlu tahu kalau ia berencana mencuri Resensi milik alumni, siapa tahu ada judul yang sama dengan tugasnya. Ical juga ingin sekalian mengobrak-abrik ruangan menyebalkan itu. Belakangan ini hidupnya berakhir di perpustakaan dengan menulis resume dan resensi. Clara dan Winda perlu diberi pekerjaan lebih dengan merapikan semua buku. Itu akan menyenangkan.
"Sini kuncinya ..."
"Nggak ..."
"Sini! Atau aku bilang ke semua orang kalau rumor itu benar. Kalau kau pernah melakukan percobaan pembunuhan. Kalau kau itu orang aneh."
Mata Tami berkedut. "Bilang aja. Aku nggak sengaja kok."
"Bodoh. Semua orang tuh nggak peduli kau sengaja atau nggak. Yang mereka pedulikan, kau pernah melakukannya." Ical menatap Tami tajam.
"Aku beneran nggak bermaksud."
"Bawa pisau ke sekolah, lalu menusuk orang. Itu yang namanya nggak bermaksud?"
Tami tak menjawab.
"Dengar ya, Tami, kau itu jahat. Sebaiknya kau juga jauhi Runi."
"Kamu nggak tahu apa-apa. Kamu-"
"Kuncinya!!"
Tami melonjak kaget. Untuk sesaat matanya yang dingin tak berkedip. Sampai sebuah sepatu warna pink menghantam kepala Ical, dan Ical mengaduh kesakitan.
"HEH! ORANG GILA!" Lid sudah berada tepat di belakang Ical.
Ical menatap Lid seolah Lid sedang menderita sakit komplikasi antara masuk angin dan kurap.
"Kau lagi!"
"Ngapain ganggu temenku?" hardik Lid. Sebenarnya ia sudah berkeringat dingin. Meskipun sudah biasa memarahi Ical, tapi Lid benar-benar takut dengan ekspresi Ical kali ini.
"Ini temanmu, ya?" tanya Ical, setengah mengejek.
"Iya. Kenapa? Kau nggak punya temen?"
Ical menyeringai tak peduli. "Apa dia memang selalu begitu?"
"Begitu apa?"
"Menunduk, diam, terlihat alergi. Dia bahkan terlihat alergi pada semua orang di dunia ini. Lihat saja dia!" Ical mengangkat dagunya ke arah Tami.
"Ngaca, woi! Kau yang alergi sama Tami. Kau sendiri berjalan menantang dunia tanpa peduli sudah menginjak tai." hardik Lid lagi, sambil memukul-mukul Ical pakai sepatu. Tingkahnya persis induk ayam yang marah saat anaknya diganggu.
"Aw! Aw! Sudah, woi!" Ical melotot. Ia menepis tangan Lid dengan marah. "DASAR CE-"
"Pergi dari sini." Alya yang sejak tadi hanya diam mengawasi, sudah mengacungkan pisau lipat. Semua yang menyaksikan memandang gadis yang mengaku phobia darah itu tak percaya. Olin dan Tiara sampai mundur ke belakang.
"Wow!" Ical bertepuk tangan. "Santai dikit kenapa? Alya ... Alya ... kau lebih parah dari kami. Tunggu sampai guru lihat benda ini."
"Pergi!"
"Kau yang pergi!" Katanya tak peduli. "Tami, kuncinya, ayolah!"
"Aku serius!" Alya menodongkan pisau itu lurus-lurus.
Ical menatap Alya tajam. Pandangannya lalu berpindah pada Tami. "Tami, kau benar-benar bawa pengaruh jelek."
Tami menunduk dalam. Tempat itu jadi begitu sunyi, dengan Alya yang masih menggenggam pisau lipatnya, menodongkannya ke tempat Ical berdiri. Sementara teman-temannya masih memandang kaget.
"ASTAGHFIRULLAH! KALIAN!"
Semua menoleh. Bu Fatma sudah mengatupkan kedua tangannya.
***
Jika sebelumnya hanya membayangkan bagaimana rasanya masuk ruang BP dan berhadapan dengan guru BP dan Pak Zul sekaligus, kali ini mereka tahu rasanya. Kecuali Ical, dia sudah puas keluar masuk ruang BP. Di luar, ada banyak siswa yang mengintip karena jarang-jarang ruang BP begitu penuh dengan siswa-siswa yang cantik. Kecuali Ical, dia lelaki.
"Apa maksud kalian dengan pisau ini?!" Bentak Pak Zul sambil menunjuk-nunjuk pisau lipat yang sudah tergeletak di atas meja. "Mau jadi apa kalian? Perampok? HAH? Jawab!" Hardiknya lagi sambil menggebrak meja. Di dekatnya sudah berdiri Bu Fatma dan Bu Sumi, selaku guru BP di Classic.
"Saya nggak tahu, Pak. Kan saya yang ditodong." Ical menjawab gelisah. Sebagai seorang korban, ia kesal karena digiring juga ke ruangan ini.
"Ya Tuhan ... kalian benar-benar ... saya bisa pensiun awal karena kalian. Kalian itu perempuan! Dan kamu Ical, berapa kali dalam bulan ini kamu masuk ruang ini?!" Pak Zul mendudukkan diri ke kursi. "Mau saya panggil orangtua kalian?"
"Jangan Pak... Jangan..." Olin dan Tiara memohon. Lid yang sejak tadi mencuri pandang dekorasi ruang BP (dan merasa ruang ini perlu direnovasi) akhirnya juga ikut memohon.
"Kamu Ical, kamu nggak malu berantem sama perempuan?"
"Bukan begitu, Pak." Ical membela diri. Ia menatap Tami dengan kesal. "Saya cuma mau melindungi teman saya. Saya juga kesal kenapa orang kayak dia bisa dapat kepercayaan megang kunci perpus? Dia cuma siswa. Bukan staff sekolah. Lagian dia kan masuk sekolah ini pakai surat perjanjian karena-"
"Ical, bisa kamu diam?" Pak Zul memberi isyarat dengan jarinya. Sekarang ia sepenuhnya mengarahkan padangannya kepada Tami. "Betul, kamu punya kunci perpustakaan?"
Tami mengangguk pelan.
"Bisa Bapak minta?"
Tami membeku.
"Ayo, mana?"
Tami merogoh saku roknya. Sebuah kunci berwarna tembaga kini berada di telapaknya. Pak Zul mengulurkan tangannya. Tami terlihat sangat terluka saat menyerahkan benda itu kepada Pak Zul. Dia tidak akan bisa lagi bebas membaca buku di tempat itu.
"Tami ... dari mana kamu dapat benda ini?"
Sesaat Tami terlihat berpikir keras. "Saya ... ambil kunci duplikatnya. Diam-diam."
"Maksudnya maling kunci?!"
Tami mengangguk. "Pisau itu, itu juga punya saya."
"Jadi ini punya kamu. Tami? Bukan punya Ical?"
"Ya Allah, Bapaaak ...!" Ical geram.
Alya yang sudah pucat memaksa bicara, "Bukan, Pak! Itu punya say-"
"Iya. Punya saya. Dan saya bukan teman mereka."
Pak Zul menatap murid-muridnya dengan saksama. Tanpa ia sadari, Ical juga melakukan hal yang sama; matanya berpindah dari Alya yang kaget dan Tami yang sedingin gunung es. Guru tua itu mulai mengerti.
***
Tepat pada bel pulang berbunyi, Runi datang tergopoh-gopoh sambil berteriak kalau pisau itu miliknya, Baron datang dan memekik kalau dia yang membawa pisau itu, kemudian Kaisar, Edi dan Aldo datang sambil berikrar kalau merekalah yang mengasah pisau itu bersama-sama sambil menyanyikan lagu potong bebek angsa.
Maka, semakin misteriuslah ke-eksistensi-an pisau lipat itu.
Tapi Pak Zul bukanlah manusia yang mudah ditipu. Dia tidak bisa mentolerir perilaku mencuri, dalam hal ini menggandakan kunci perpus. Jadi Pak Zul menghukum Tami dengan menulis kalimat 'Saya tidak akan mengambil barang sekolah diam-diam lagi. Saya tidak akan mencuri lagi" dalam sebuah buku tulis setebal 36 halaman. Atas alasan pisau dan ikut terlibat dalam pertengkaran, Ical, Alya dan teman-temannya dihukum mengerjakan resensi buku "Eisnten's Dream"
Kemudian, saat anak-anak itu keluar ruang BP dengan jalan tertunduk-tunduk, Winda masuk ke ruangan dengan gelisah. Disusul Bu Clara.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Tami menembus koridor, melewati banyak siswa yang beranjak pulang. Ia mempercepat langkahnya memasuki kelas, dan meraih tasnya. Ia ingin pulang secepatnya.
"Kita perlu bicara." Alya mencegat Tami.
"Kenapa?"
Seulas senyum imitatif Tami berikan kepada teman-temannya yang sudah menatapnya nanar.
"Kenapa kamu begitu, Tam?"
"Begitu apanya?"
Kemudian Alya memberi isyarat pada Tami untuk ikut dengannya. Tak berapa lama, mereka hanya bertiga, berhadap-hadapan.
"Kenapa kamu melindungi kami? Bukan. Kenapa jadi kamu yang bohong soal pisau itu? Aku minta maaf. Tapi kunci itu ... kamu betulan mencurinya?"
"Oh ... itu."
"Dan kenapa kamu bilang kalau kami bukan temen kamu?" Lid menimpali.
"Memang bukan."
"Tapi Tami-Itu nggak sungguhan kan? Di dalam hati kamu, kami memang teman kamu, kan?"
"Aku nggak tahu. Mungkin bukan."
"Maksud kamu? Kami bukan sahabat kamu? Tami, kamu bikin kami merasa kayak orang bego." Lid mendesah.
"Tam? Kamu segitu nggak percayanya sama kami, begitu?" Sebuah suara dingin, milik Alya.
Tami merasa tawar. "Sudahlah ... aku mau pulang."
Alya menarik lengan Tami. "Berhenti Tami-berhenti bersikap seperti ini, bersikap kayak gini justru bikin kami sakit! bisa nggak sih percaya sedikiiiit aja. Bisa nggak sih hargain kita? Bisa nggak keluarin pendapatmu? Bisa nggak tunjukkan siapa kamu sebenarnya, Tami? Apa yang kamu suka? Apa yang kamu mau? Ini yang namanya teman? Kamu sama sekali nggak menganggap kami temen!" rentetan kalimat Alya meloncat begitu saja. Ia sendiri kaget dengan ucapannya. Lid merasakan perutnya melilit seketika.
Tami terlihat syok. Ekspresinya mendadak berubah gugup. Matanya berair. Tapi ia segera menutupinya dengan pandangannya yang sangat dingin.
"Kita teman atau bukan, semuanya terlihat sendiri akhirnya, kan? Sejak dulu, siapa yang kena saat kamu melakukan kesalahan? Siapa yang disiksa saat kamu menginjak pensil Jo sampai patah? Saat kamu merusak prakarya Wulan? Saat kamu-" Tami menghela napas. "Pada akhirnya, kamu satu-satunya orang yang harus selalu aku tutupi kesalahannya kan?"
"Tami-" Lid terlihat kaget. Ia memandang Alya dan Tami dengan bingung.
"Oh." Wajah Alya memerah. Ia tampak ingin menangis. "Aku ..." dengan gemetar Alya merogoh sakunya, menyerahkan sesuatu ke telapak tangan Tami. "Buat kamu." katanya pelan, lalu berbalik pergi. Sambil mengelap pipinya yang basah, ia sadari satu hal. Tami memang tak pernah menganggap dirinya sebagai teman.
"Alya!" Lid memanggil-manggil. "Tami! Kamu kok kasar sih! Alya tuh tulus sama kamu! Kamu tuh ya-aku nggak mau temenan lagi sama kamu! Capek!" Bentak Lid sambil berlalu pergi.
Tami tercenung. Ia melihat kepergian teman-temannya.
Di bangku panjang koridor, Tami terduduk lesu. Dilihatnya, benda yang Alya serahkan tadi, sebuah lampu bohlam bekas yang di dalamnya sudah berisikan air. Di leher lampu itu ada semacam pita yang mengikat sebuah kertas bertuliskan; Katanya, hujan bisa bikin cantik!
***
______________________
AN.
Iya. Emang gini ceritanya. Kritik dan saran pas udah tamat aja. Biar aku gak ilang fokus *-*
Btw, bentar lagi Ramadhan niiih 😆
Bagi yang muslim, udah persiapan belum? Oya, aku selama Ramadhan-idul fitri ini izin hiatus ya, soalnya aku akan ada di tempat dan kondisi gak bisa buka sosmed. Segala urusan dunia per-wattpad-an akan aku tunaikan seminggu ini dan setelah idul fitri. InsyaAllah.
Sebagai ganti mau hiatus, Aku akan posting beberapa chapter lagi satu minggu ke depan. Itu kalo kalian banyak yang mau kalo gak mau yasudahlah. :v
Oya, Comment dan vote nya ya. Hehe
Eh itu mulmednya kece badai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top