32. The Sweet Invation

“This is my family. I found it, all on my own. It's little and broken
But still good, yeah still good.”
(Lilo and Stitch, 2002)

*
Ost. Faktor J
Did I Ask Your Opinion - The S.I.G.I.T

***


Lorong STM, Jambi. 2010

"Cuma pecundang yang berani main keroyokan!"

Seorang cowok berambut spikey yang sudah berganti pakaian kemeja sekolah menjadi kaus bertuliskan 'Dak Usah Belagak' itu menghantamkan kepalan tangannya ke jok motor gear-nya.

Siang yang terik itu, enam orang siswa Classic tampak sudah berdiri di sebuah jalan tempat Jo dan kawan-kawannya biasa lewat. Tadinya mereka mengawasi sebuah jalan tikus tempat Jo CS biasa melintas dengan sepeda motor mereka. Sebuah jalan tikus yang mengarah pada jalan besar Tugu Jam tempat Runi dan teman-temannya biasa nongkrong. Usut punya usut, selain merebut pacar Ical, Jo juga sudah berbuat curang dalam tanding bola kemarin.

"Aku maju duluan!" Baron menggulung lengan bajunya yang bertuliskan 'Buronan Mertua'.

"Yeah!!!" Aldo yang asbun mengibar-ibarkan spanduk kecap yang mereka pinjam dari Bude Ester (sebagai bendera hitam) ke angkasa.

"Aku siap nonjok mulut mereka!" Ical menjerit, sambil meniup-niup kepalan tangannya.

"Aku bagian keteknya!" Edi menimpali.

"Yeah!!!" Aldo memekik lagi.

"Kita nggak salah nunggu di sini?" Kaisar beda sendiri. Kompak kelima cowok itu menoleh ke Kaisar.

"Bah! Sar! Macem mano kau ni! Kau sendiri yang bilang kalo Jo biasa lewat sini." Baron nyolot.

Runi menatap Kaisar garang. "Kita sudah sejauh ini loh, Sar!"

"Panggil aku, Kai. Aku kan pake teori kirologi. Kalian aja main tancap gas."

Kelima cowok itu langsung mendorong-dorong tubuh Kaisar dengan anarkis. Seolah cowok kurus itu pagar pembatas gedung. Tapi tidak lama. Mata mereka langsung kembali menyapu sekitar. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari areal sekolah dan rumah mereka. Sepi dan lengang.

"Aku pernah lihat doang mereka minum miras di warung sono tuuh!" Kaisar memalingkan wajah dan memonyongkan bibir. Dua bibirnya persis mengarah pada ujung jalan di belakang mereka. "Satu-satunya jalan anti razia anak sekolah ya di sini!"

"Cih, asli rusak mereka." Runi berdecak.

"Ngomong-ngomong kau kok tau tempat mabok mereka, Sar?" Aldo menautkan alis. "Kau ikutan juga?"

Kaisar langsung panik. "Enak be! Teler bisa buat sel-sel dalam tubuhku hancur berkeping-keping!"

"Alaaaah, kau banyak teori!" Baron menyundul kepala Kaisar.

"Eh aku serius!"

Semua tertawa-tawa.

Tiba-tiba suara kendaraan sepeda motor khas modifikasi yang melengking datang mendekat. Suara rem-nya mendecit ngilu.

"APA-APAAN NIH?!!"

Sebuah suara berat melengking datang dari arah depan. Suaranya Jo. Jelas saja ia kaget bercampur marah, di jalan tikus itu, berdiri di tengah jalan enam cowok yang sudah menghalangi jalan mereka. Di hadapan mereka, ada beberapa utas tali rafia hitam yang sudah dijadikan police line, menghalangi jalan. Siapa lagi kalau bukan kerjaan Runi dan kawan-kawannya. Mata Jo berkilat-kilat. Sembilan orang temannya tak kalah beringas.

"Sorry ya Mas-Mas, kalian kena razia. Razia pecundang." Runi nyengir.

"APA?!!"

Hawa panas langsung menyelimuti dua kelompok siswa SMA itu. Jika Pak Tendi melihat ini, atau guru manapun, mereka pasti segera menghentikan ini semua.

"Aku baru tahu kalo kau secemen itu, Jo." Runi melipat tangan.

"Cuih, maksud kau apa?"

"Kau keroyok kawanku! Itu pecundang paling sampah yang pernah kutau. Kau sampah!"

"Heh! Sampah! Temen kau nggak ada otaknya, dateng-dateng main tonjok!" Jo berteriak garang.

"SIAPA NGGAK ADA OTAK?!" Baron maju tiba-tiba. Tubuhnya yang besar tampak paling menonjol di antara yang lain.

"Kau! KAU SEMUA GAK ADA OTAK!" Jo menunjuk-nunjuk. Teman-temannya langsung pasang badan ke depan. "Sekolah butut, nongkrong di Tugu Jam, Ngamen di perempatan, saling membalaskan dendam, Cih! persis kayak orang bego. Kampungan semua!"

Napas Jo naik-turun. Entah kenapa, ia selalu kesal setiap melihat enam orang di depannya ini. Runi, Baron, Kaisar, Ical, Edi, dan Aldo. Mereka selalu menunjukkan kepada semua orang kalau merekalah sahabat paling sejati.

"Kau iri?" Sebuah suara milik Runi.

"IRI?!!! HAHAHAHA" Jo tertawa keras. "JIJIK SIH IYA! KALIAN MANUSIA-MANUSIA PALING LEBAY YANG PERNAH KUTAU! MANUSIA PALING SOK SETIA KAWAN!"

"KOMPAK NGEBOLOS, NGEROKOK, JANGAN-JANGAN CEWEK PUN SATU UNTUK SEMUA. IYA?!"

BUG!

Sebuah hantaman keras mendarat di pipi Jo dan membuatnya terjengkang ke belakang. Runi pelakunya.

"JAGA BICARA LO!"

Runi mengambil alih situasi. Merasa geram dengan ocehan Jo.

"Gue kasian sama kau, Jo ... Punya temen tapi bayangan." Runi menatap teman-teman Jo. Banyak. Tapi pasti akan pergi saat Jo di posisi terbawah.

Sudah banyak yang tahu kalau Jo adalah anak orang kaya di kota ini. Sepatu, tas, jam tangan, semua branded. Motornya ninja. Semua kemewahan ada di diri Jo. Ia punya semuanya, tapi tidak teman. Bodyguard sih iya.

"Aku pun sama. Aku kasian sama kau Runi. Anak buangan dari ibukota. Kenapa pindah ke sini? Nggak naik kelas, iya? Atau ... Nyariin Papa?" Jo menyeringai.

Runi memelotot.

"Kenapa? Heran? Makanya ... temenan itu sama manusia, bukan kaleng rombeng."

Runi menoleh ke belakang. Mencari sosok Ical. Dilihatnya Ical sudah menatapnya gelisah. Bibir Ical menggerakkan kata "Maaf." Memang, pertengkaran Ical dengan Jo kemarin tak lepas dari tuduhan Ical bahwa Jo biang kerok dari hilangnya Runi.

Runi menghela napas. Ia menatap Jo lagi.

"Bukan urusan lo."

Jo tertawa senang. "Pa ...? Papa ...? Papa di mana?" Jo bersuara lagi. Ia memasang mimik yang dibuat-buat, lalu mendengkus. "Run ... Run ... Preman tapi kayak anak TK."

Spontan teman-teman Jo terbahak-bahak.

"Kau yang mancing ya, Jo ..." Runi tersenyum mengejek. Kedua tangannya terkepal erat. Baron dan Kaisar tampak ingin menyabarkan tapi Runi sudah keburu berkata, "Aku pun kasian sama kau, punya Papa tapi Papa orang lain."

Mata Jo melebar. "Brengsek! DIEM KAU!!! KAU NGGAK TAU APAPUN!! Berengsek! Berengsek!"

Gong perang sudah bertalu. Semua yang ada di jalan sempit itu dipenuhi nafsu untuk saling melayangkan tinju. Jo langsung membalas tinjuan Runi. Erwin, temannya Jo langsung menyerang Baron yang langsung ditampik. Aldo berlari mengejar teman Jo yang lain, Berry.

Sambil menangkis serangan yang datang, Kaisar sudah sejak beberapa menit lalu mundur ke belakang, hendak mengambil amunisi mereka ketika Runi yang gantian terjengkang ke belakang.

Darah mengucur. Runi menyeka bibirnya yang robek. Matanya berkilat penuh emosi. Keadaan semakin terjepit. Jo rupanya punya kawan yang jago dojo. Si Erwin yang sudah berhasil membuat Baron berdarah. Sebuah pemandangan yang Runi anggap langka.

Dua teman Jo berhasil mencengkeram lengan Runi. Sementara Jo menatap Runi. Dan ia mulai menyerang,  memberikan satu pukulan di wajah Runi. Terus begitu sampai Runi berhasil menendang Jo dan lolos dari cengkeraman.

Runi terjerembab.

Keadaan semakin terjepit. Dengan kekuatan yang jelas-jelas sudah kalah, Runi mengira-ngira kapan waktu yang tepat untuk sebuah pertahanan terakhir. Sekaligus penyerangan.

"The Last Ammunition ...!!!" teriak Runi tiba-tiba.

Ical dan yang lain langsung lari, mengambil langkah mundur. Memancing Jo dan ganknya mengejar mereka, masuk ke gang sempit itu lebih dalam. Suara teriakan "Mau ke mana kau, hah?!" membahana. Jo dan ganknya semakin dekat.

Runi dan teman-temannya menyamakan barisan. Kaisar yang sedari tadi sibuk berkutat di barisan motor gank-nya langsung sadar posisi. Ini saatnya ia mulai menjalankan tugas.

Jo dan gank-nya tampak bingung. Sedetik, dua detik, mereka langsung tercekat. Runi, Baron dan Aldo nampak mengeluarkan pistol dari dalam kantong celana mereka. Kemudian membidik dirinya dan teman-temannya dengan pistol itu.

"KALIAN SUDAH SINTING!" hardik Jo. Napasnya tersengal. Tak habis pikir bisa-bisanya siswa SMA membawa senjata api dan mengarahkan senjata itu tepat ke arah siswa SMA juga.

"Kau ... Kau gila Run!"

Runi tak peduli. Ia memandang Jo penuh kemarahan. Jo dan gank-nya sudah pucat pasi.

"Oh, come on ... Kau bercanda kan Run?"

Runi menyeringai. Sebuah seringaian yang membuat kuduk Jo dan gank-nya meremang.

"Tembak!!!!"

"....."

"Macet, woi! Kau beli di mana sih Sar?!"

"Jangan arahin ke sini, Monyong!"

"TEMBAK!!!""

"JANGAN TEMBAK KEPALA, INGET!!!"

DOOORRR!!

Jo dan gank-nya memejamkan mata sambil semaput. Kaki mereka gemetaran hebat. Sementara tembakan-tembakan sudah melesat ke dada mereka. Sensasi dingin langsung menyeruak disusul bau pesing yang tak karuan. Oh well, Mom ... Dad ... I will go to heaven ... batin mereka. Tapi tunggu dulu!! Sejak kapan...

"AAARGGGGHHH!!!!" Erwin yang sadar langsung histeris.

Jo dan kawan-kawannya langsung membuka mata mereka dan memandang tubuh mereka sendiri yang sudah lecek. Bagian perut sampai kaki mereka nyaris seluruhnya kekuningan dan berbau pesing. Jo mengendus dirinya. Apa pula ini?

LARUTAN URINE!

"KURANG AJAR KALIAN SEMUA....!!!!!!"

"HUAHAHAHAHAHAHAHAHA"

"Terus ... terus ... teriak kayak banci sana ..."

Dengan wajah bernafsu, Runi menyemprotkan lagi pistol air tepat ke arah punggung Jo. Disusul Baron dan Aldo. Di jalan setapak yang sepi itu, yang kanan dan kirinya adalah tembok-tembok rumah orang, tak ada jalan lain untuk Jo dan teman-temannya kabur selain mundur. Tapi tembakan Runi dan yang lainnya membuat mereka kesusahan berjalan. Ini kepungan!

Runi mengangkat tangan, pertanda isyarat untuk Kaisar. "Keluarin dong, the Sweetest Invation ...!"

Tetapi, rupanya, tanpa mereka sadari, jalan setapak yang mereka monopoli justru kedatangan pengguna baru yang tak mengerti mengapa ada sekelompok pemuda berkerumun di jalan itu. Ia terus berjalan mendekat. Hanya Runi yang samar-samar, di antara tawanya yang mengalir, menangkap bayangan seorang cewek.

Kau tahu? Orang yang jatuh cinta itu seperti memiliki antena untuk menangkap sinyal keberadaan orang yang ia cintai. Sekalipun ia terus menyangkal bahwa itu bukan cinta, tapi tetap saja perasaan bekerja lebih peka dari susunan tubuh manapun. Dari susunan kata seperti apapun. Jantung Runi berdenyut tak beraturan. Hatinya rincah.
Swastamita ...

Gadis itu Tami. Ia tak menyadari sama sekali dengan apa yang terjadi di depannya. Ia tetap berjalan mendekat tanpa curiga pada apapun. Tami menyeka peluh di dahinya. Keringatnya bercucuran. Memilih bersekolah di Classic membuatnya harus menempuh perjalanan lebih jauh. Ia harus mengambil jalan memutar jalur angkutan umum. Sebanyak empat kali naik angkot untuk Pergi-pulang dari rumah ke sekolah. Semua itu membuatnya harus bangun sangat pagi untuk mencapai sekolah dan tiba cukup sore untuk sampai di rumah.

Tak jauh dari posisi Tami, Runi masih berada di dunia entah apa namanya. Kaisar sudah berlari tergopoh-gopoh ke arah Jo dan gank-nya yang masih terjebak dan terkejut-kejut dengan tembakan air seni. Langkah Kaisar tampak berat, tubuh kerempengnya menahan beban ember yang ia bawa. Tanpa menunggu lagi, Kaisar mengambil ancang-ancang untuk menumpahkan isi ember itu.

"TERIMA Iniii ...!!!"

Baron dan Aldo tertawa terpingkal-pingkal. Dalam gerakan lambat seperti dalam film Matrix, Runi bisa melihat bagaimana air seni yang tadi pagi ia kumpulkan bersama teman-temannya memenuhi molekul udara dan terbang bersama angin mengarah pada Jo dan gank-nya, juga pada ...

Swastamita!

SHIT!

Sebuah gerakan refleks tercipta begitu saja. Runi langsung maju memasuki barisan Jo dan gank-nya. Tubuhnya mendekat ke arah tubuh Tami yang masih saja–di saat-saat seperti ini bisa-bisanya–menundukkan kepala dan tak menyadari 'bahaya' yang mendekat. Awas....!

Tami mendongakkan kepalanya. Sebuah wajah yang tak asing mendekat padanya, menghalangi jalannya. Runi? Tami langsung memeluk dirinya sendiri.

PYAAAR!!

Hujan air seni dengan bau menyengat mengguyur Runi. Jo dan gank-nya yang tidak tersiram sebanyak Runi, menjerit;

Mampos kau! Mampos kau! Mampos!

Runi menyipitkan matanya. Punggungnya sempurna basah. Oh, baiklah. Ini namanya senjata makan tuan. Baiklah, baiklah, Runi tak peduli. Pandangannya langsung terpusat pada wajah Tami dan tubuhnya yang meringkuk, berusaha melindungi dirinya sendiri. Gadis ini beringsut seperti ulat keket takut jika Runi menyentuh dirinya. Runi tersenyum lembut.

Tenanglah, aku nggak akan menyentuhmu sembarangan.

Tapi Runi lega, Tami tidak basah kuyup oleh the last ammunition. Hanya sedikit cipratan-cipratan kecil yang memantul dari tubuh Runi.

Cuma kena sedikit, kamu nggak marah kan Swastamita? Runi membatin. Ia mencoba memandang wajah Tami yang masih kebingungan tentang apa yang terjadi.

Runi tertegun. Ini kali pertama ia menatap secara dekat gadis itu. Dekat dan detail. Kulit coklat mudanya yang mengilap hasil terpaan sinar matahari, rambut sebahunya yang hitam berkilau, wajah lugu yang mulus tanpa jerawat sedikitpun, serta mata prominent yang misterius itu. Runi seperti dihipnotis.

"Runi!!" Kaisar yang pertama memekik.

Baron, Ical, Edi dan Aldo sudah melongo sedari tadi. Tami menatap Runi yang masih belum bisa bangun dari jagatnya sendiri.

"Eh, eh, Sorry ya Run." Kaisar salah tingkah. Ingin ngakak sebenarnya.

"Kau juga, Tam? Kau nggak papa?"

Tami menggeleng pelan. Tapi rona wajahnya terlihat tak senang. Penciumannya menangkap sesuatu di tubuhnya dan tubuh Runi.

"Hahaha! Hahahaha! Hahahaha!"

"Wuakakakakakakakak" tawa khas Baron terdengar.

Suasana hening mencekam langsung pecah oleh tawa yang besar dan menggelegar. Baron dan Ical kontan meringkuk-ringkuk hingga terduduk ke tanah. Aldo dan Edi tak kalah histeris, mereka tertawa sampai terbongkok-bongkok. Sekarang mereka bebas ngakak karena entah sejak kapan Jo dan gank-nya sudah lenyap. Barangkali Jo dan gank-nya langsung memilih cabut ketika insiden senjata makan tuan itu terjadi. Pergi sebelum Runi dan kawan-kawannya sadar dan mereka akan mendapatkan siraman the next sweetest invation atau entahlah apa namanya itu.

Dengan jijik, Runi membuka kausnya yang lengket dan kuyup. Menampakkan otot-otot bisepnya yang belum sempurna terbentuk tapi cukup memesona. Karena gugup, telapak tangan Runi ikut basah oleh air seni yang menempel di bajunya.

"Ka-Kalian ngapain sih?!" Tami terbata-bata. Lantas Ia menjerit. Gadis itu tampak membaui tubuhnya. Ia terlihat ingin muntah. Runi sampai kaget. Ternyata Tami bisa ekspresif. Tapi dia suka. Memang seperti itulah seharusnya sikap orang normal.

Tami terus mencoba membersihkan jemarinya yang kena cipratan dengan menggosok-gosokkan ke roknya. Tapi tidak lama, sebab ia langsung menunduk begitu melihat Runi bertelanjang dada.

"Maaf ya Tam..." Runi berkata pelan. Tami menatapnya balik. Begitu menghujam sampai ke jantungnya. Sinis dan beku. Seolah-olah Tami ingin berkata, "Berhentilah bertingkah bodoh!"

"Iya, maaf ya Tam. Jangan adukan kami ke sekolah ya... please?" Kaisar yang berbicara.

"Biasa aja lah. Kayak nggak pernah kena yang lebih sadis aja." Ical berkomentar.

Tubuh Tami menegang. Dia seperti dicambuk.

"Eh, Kau tinggal di sini Tam?" Baron memecah suasana. Ia masih memegang perutnya karena tertawa. Tapi dia juga ingin marah karena ucapan Ical. Wajahnya jadi terlihat aneh.

Tami langsung kikuk. Tatapan matanya langsung berubah menjadi lebih santai. Dalam hati, Runi berterimakasih pada Baron karena sudah menyelamatkannya dari situasi ini.

"Aku baru tau kau tinggal di daerah ini. Jauh banget dari sekolah, Tam. Kok malah dekat dengan Smanpa ya?" Baron celingukan. Kaisar dan Aldo mengedarkan pandangan ke sekitar. Sementara Ical terus menatap Tami dengan pandangan yang sulit dijelaskan.

"Kamu tinggal di mananya?" Runi yang sekarang bicara.

Tapi Tami hanya diam dan menunduk. Runi tersenyum miris. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Ia kadang membenci sikap Tami yang tak pernah memedulikan siapapun. Tak pernah menjawab jika ditanya. Hanya menggeleng dan mengangguk. Ia benci sikap Tami yang itu. Tapi kenapa Tami masih saja bisa meruntuhkan satu persatu pertahanannya. Tuhan ...

"Iya, kau tinggal di mana?" Baron mencoba bertanya. Menggantikan Runi.

"Ada... Sekitar sini."

Sebuah suara pelan khas perempuan terdengar. Suaranya lembut. Jemarinya mengarah pada tembok yang jelas-jelas itu jalan buntu. Semua mata terpukau menatapnya. Antara takjub dan bingung. Runi terperangah.

"Oh!" Baron antusias. Air mukanya tampak maklum.

Kaisar menyikut Runi. Seolah menjelaskan kalau Baron itu teman SD Tami. Runi sudah tahu. Tapi ia tak merespon apapun.

Ia tak berbicara sama sekali bahkan ketika Tami kembali menatapnya kesal. Runi tetap bisu bahkan ketika Tami mohon diri dan berlalu begitu saja tanpa memedulikan sosok Runi di depannya.

"Hati-hati ya Tam!" Baron melambai ramah. Runi memandangi punggung Tami yang kecil dan ringkih hingga titik terjauh. Hingga Tami menghilang dari sebuah gang di ujung sana.

"Run?"

"WOI, RUN! Ayo pulang! Mandi!"

Runi berjengit sedikit. Kemudian mengangguk. Ia tak memedulikan Baron dan lainnya yang sibuk menceritakan bagaimana aksi mereka tadi. Menyayangkan mengapa Runi dan Tami berada di saat yang paling klimaks. Runi tak peduli.

"Dia pasti ilfeel." Runi bergumam.

"Setauku, cinta sejati itu nggak ada kata ilfeel." Kaisar menepuk bahu Runi, tapi langsung memekik lantaran tangannya jadi ternoda.

"Masalahnya, dia nggak cinta."

"Itu tau." Ical bicara sambil lalu.

Runi diam. Ia cukup ingat sikap Ical pada Tami barusan. Memandang punggung Ical yang menjauh, Runi berpikir.

Apa ada yang aku lewatkan?

Tapi Runi menggeleng. Ical hanya alergi cewek tipikal Tami, yang cuek saat ada yang naksir. Dia pernah bilang.

Sore itu, Runi merenungkan hal itu lagi. Dirinya yang pandai bicara, mendadak bungkam ketika berhadapan dengan Tami. Keinginannya untuk melepas gadis itu, sering datang dan pergi.

Lagipula, bagaimana mungkin bisa menyatakan perasaan? Sementara orang yang spesial itu bahkan membuat jarak yang sangat lebar.

***

-----------------------------------
AN
Ini Part terpanjang. Maaf gak bisa aku potong, soalnya nanti feel-nya jadi beda. Next fokus ke Tami. Oya, Jangan tiru adegan dan ucapan kasar di Faktor J ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top