31. Pipis Massal
Apakah cinta itu buta,
Atau kamu yang sudah dibutakan oleh cinta?
*
OST. Faktor J
About a Boy - Ballads of the Cliche
(suara hati Runi untuk Tami)
***
2010
Jam pelajaran Pertama; Biologi. Latihan Praktik.
Alasan mengapa Runi menyukai Biologi adalah; belajar Biologi seperti bermain dan menelusuri diri sendiri. Seperti meneliti tubuh kita sendiri, atau bermain-main dengan alam. Apalagi kalau Ibu Fatma sering membawa mereka praktik di laboratorium. Terakhir, Runi bahkan mendapatkan nilai A untuk praktik tes golongan darah. Menusuk jari telunjuk dengan jarum atau membantu teman-temannya menusuk jari mereka. Runi sangat menikmati.
Tapi hari ini...
Di dalam kelas XII IPA 2, yang seharusnya menjadi pagi yang tenang menunggu bel masuk berbunyi, beberapa siswa berteriak histeris.
"APA?! Bawa sendiri-sendiri?"
"Aku nggak tahu soal itu!"
"Kau kok nggak ngasih tau sih!"
"Bukan gitu..."
"Ini dunia komunikasi men! Telpon dong, telpon!"
"Salah Bu Fatma tau! Seminggu yang lalu dia bilang latihan praktiknya per-kelompok. Jadi aku kira air kencingnya satu gelas satu kelompok doang."
"Ah kau ni gimana sih?! Kan kita mau neliti diabetes tiap individu. Kau kata kencing kita sama rasa sama warna? Beda tau!"
"Misscommunication, guys..."
"Bah! Mau kau bilang salah Bu Fatma kek, misscommunication kek, miss universe kek, mimisan kek, tetep salah kita. Kalo udah urusan tugas, itu guru enggak bakal ngasih ampun! Dia bakal nyekek kita. Killer begitu!"
"Lagian kalian sih nggak mikir. Nalar dikit kenapa? Jelas-jelas mau tes Diabetes-"
"DIAAAM...!" Rizal, si Ketua Kelas emosi juga. "Udah ya... mending kalian pada ke WC gih." katanya lagi, demi memotong perdebatan yang sepertinya tak akan pernah berakhir itu. Sekarang mereka mengerti mengapa tiga hari yang lalu Rizal minta jabatannya diganti. Cuprums tak lebih dari kumpulan siswa yang bisa membuat hilang akal sehat. Kecerdasan mereka sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk merasa diri paling benar. Mereka terkadang berlagak sok idealis, sangat ribut dan sulit diatur. Masalahnya, tak ada satupun anak laki-laki yang layak selain Rizal. Ia sempat mengusulkan nama Runi, tetapi option itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Runi. Alasannya masuk akal, Runi tak mau munafik, ia mengaku sendiri kalau ia ugal-ugalan dan khawatir akan menjerumuskan teman-temannya ke lubang neraka.
Tak butuh lama, 50% dari seluruh anak Cuprum, termasuk Runi dan kedua rekannya, Kaisar dan Baron langsung gedubrakan berlari-larian menuju toilet terdekat. Tubuh besar Baron yang bergelambir nampak bergoyang-goyang ketika berlari. Masalahnya, toilet terdekat ada di ujung seberang sana, melewati lapangan upacara. Sementara jam praktik biologi hanya tinggal menunggu waktu saja.
"WOI!! RUNI!"
Runi refleks menoleh. Tangannya yang sibuk mengorek tong sampah mencari gelas aqua-yang akan digunakan sebagai wadah esensi penting itu-berhenti bergerak. Ada Aldo dan kawan-kawannya berdiri di depan kelas mereka. Ical yang wajahnya memar bekas dikeroyok juga tengah berdiri di samping mereka. Runi mengangkat kepalanya sedikit.
"Jadi pemulung kau sekarang?!" kata Aldo, disusul gelak tawa yang lain.
Runi tersenyum masam. Di saat-saat seperti ini, ia tak akan sempat melayani teman-temannya yang rese itu.
"Kalian tunggu aja nanti! Ini bakal jadi the biggest gun for us!" Runi nyengir. Tubuhnya langsung berputar, melangkah masuk ke toilet ketika ia sudah menemukan wadah yang tepat. Meninggalkan teman-teman Majelis 13-nya yang saling tatap.
Setibanya di dalam toilet, terdapat lima bilik, dan di antaranya hanya ada tiga yang bisa dipakai. Sisanya sudah babak belur karena ulah siswa-siswa Classic itu sendiri. Dan tak ada satupun bilik yang menganggur. Siswa-siswa Cuprum sudah tak peduli lagi dengan toilet mereka yang harumnya seperti got dan septic tank itu. Berdesak-desak, mereka rebutan masuk bilik. Runi tidak kebagian. Dia panik. Jadi ia pun mengambil tindakan.
"PERHATIAN! RAZIA! RAZIA! WC INI KAMI RAZIA! YANG DI DALAM HARAP KELUAR DALAM KEADAAN SUDAH CEBOK!"
Teriak Runi sambil menggedor-gedor pintu.
Seorang siswa dari kelas sepuluh yang tadinya memutuskan untuk menuntaskan hajatnya hingga lega keluar dengan terheran-heran dan langsung cemberut ketika bersitatap dengan Runi.
Runi langsung masuk ke bilik. Acuh tak acuh. Kedua temannya sudah terlebih dahulu masuk di bilik yang lain. Mereka mulai melakukan ritual penting. Mereka membuka retsleting celana, mempersiapkan wadah, dan bisa ditebak.
Pagi itu, ada insiden pipis massal di Classic.
***
Bangunan laboratorium IPA di Classic mengingatkan pada bangunan-bangunan di masa kolonial. Besar-tinggi namun terletak di tengah bangunan lainnya, tertutupi oleh perpustakaan, koperasi dan ruang-ruang kelas yang tinggi. Karena pencahayaannya yang kurang, tidak kaget jika bangunan itu memberikan kesan angker seperti yang ada di kisah goosebumps! atau di film-film horor.
Seperti yang sudah direncanakan dua minggu yang lalu, hari ini anak-anak Cuprums akan latihan praktik tes kandungan Urine untuk meneliti apakah mereka terjangkit Diabetes Mellitus atau tidak. Maka saat bel pelajaran pertama berbunyi, satu-persatu pasukan Cuprum-yang tidak perlu ke toilet-sudah menenteng wadah berisikan urine. Mereka berjalan meninggalkan kelas menuju Laboratorium yang letaknya 40 meter dari kelas mereka.
Semua anak Cuprum, termasuk yang melakukan ritual di toilet sudah memasuki laboratorium. Hanya Runi, Baron dan Kaisar yang masih absen di dalam kelas itu. Ketiganya masih sibuk membicarakan suatu rencana gila. Kaisar yang paling protektif soal waktu langsung mengingatkan teman-temannya untuk bergegas. Mereka baru saja keluar toilet dan dengan langkah panjang menyeberangi lapangan upacara, menuju laboratorium, sambil membawa sampel urine masing-masing.
"Kau yakin Run?" tiba-tiba Kaisar menghentikan langkahnya.
"Iya. Meskipun agak kesel... Tapi aku mulai optimis lagi nih! Dia kemarin nyamperin sih. Coba mana sorakannya, guys!" Runi merentangkan kedua tangan.
"Bukan itu Run! Kencingnya Runi, kencing! Serius?"
Runi melotot. "Biasa aja ngomongnya. Nada lo kayak lagi nyuruh gue kencing di tengah lapangan. Iya, yakin!"
"Errrghh...! Jo bisa dendam kesumat!"
"Terserah dia. Yang jelas cecunguk itu perlu diberi pelajaran. Berani-beraninya-" Runi mengepalkan jarinya kuat-kuat. Ia kesal sekali. Semalam, sehabis menyusun rencana bersama Kaisar, Runi menjenguk Ical. Ternyata Jo memberikannya memo lewat Ical yang berbunyi;
HEI TUAN JAKARTA! NGGAK PERNAH MUNCUL TANDING BOLA LAGI. TAKUT HEH? KUDENGAR BAPAK MAMAKMU SUDAH PISAH? PANTAS ANAKNYA BELINGSATAN YA. URUS TEMANMU INI.
Runi menendang kerikil yang ada di depannya. Kaisar garuk kepala. Baron yang sudah setuju sejak semalam tersenyum jahat dan mendukung sepenuhnya.
Butuh dua langkah lagi untuk bisa benar-benar masuk ke dalam Laboratorium, kalau saja Kaisar tidak muntah-muntah dan mengambil langkah undur-undur alias mundur ke belakang. Runi bahkan mengalami stroke lokal di hidungnya. Karena setibanya di depan pintu laboratorium yang masih terbuka lebar, wangi semerbak langsung kentara menyerang indra penciuman mereka. Baron terpaku sejenak di depan pintu, diam membisu lalu membatu. Tampaknya mereka belum siap mental menghadapi bau serangan urine yang tiba-tiba tersebut. Walang sangit saja bisa kena asma menghirup udara di tempat itu. Pesing!
"Tunggu apa lagi? Masuk." Bu Fatma yang menyadari keberadaan Runi dan dua kawannya langsung menegur. Sebuah masker sudah terpasang dan menutupi hidung hingga dagunya. Meski Runi tak bisa melihat warna lipstick Bu Fatma hari ini, ia bisa tebak pasti berwarna merah cherry. Itu artinya mood Bu Fatma sedang baik.
Setelah menguatkan iman dan menyiapkan stamina, ketiganya mulai melangkah masuk ke dalam kelas. Dan langsung kaget melihat sampel urine yang berjajar gagah di meja masing-masing siswa. Aromaterapi urine semerbak di mana-mana. Warna-warni urine terpampang jelas dalam kegagahan gelas maupun botol masing-masing siswa. Sementara Runi dan dua temannya memandangi kejadian itu, siswa-siswa lain malah tampak kasak-kusuk menyusun peralatan penelitian tanpa risih-barangkali mulai terbiasa-dengan aroma tersebut. Parahnya, mereka dengan PD-nya memamerkan urine mereka di atas meja!
"Geblek!" ketiga cowok itu ngakak abis.
Baron tertawa dengan tawa khas-nya. "Wuakakakakakakakakakaka...."
Bu Fatma hanya berdehem. Lipstick-nya berwarna merah cerah.
***
"Aku tidak terlalu percaya pada sejarah dalam dunia akademis." Rizal berkomentar. "Yang pernah aku dengar, sejarah itu 90% fiksi 10% fakta. Selalu ada yang ditutupi."
Tami hanya tersenyum. Dia suka Sejarah soalnya. Gadis itu tetap mendengarkan sementara Rizal melanjutkan, "Kamu pernah dengar soal History of Java karya Raffles? Jangan percaya pada buku itu langsung."
"Karena buatan orang Inggris?"
"Iya, tapi bukan itu. Seperti yang pernah dibilang Leonardo Da Vinci; Apalah sejarah itu, hanya tabel-tabel yang dikarang... kenyataannya Raffles menulis History of Java berkat merampok data dari kerajaaan Jawa."
"Tapi sejarah tetap perlu dipelajari. Semakin ditutupi, semakin seru jika terungkap." Tami menjawab.
"Kamu benar."
Tami dan Rizal berbincang dengan wajah yang bercahaya, dan tidak sadar kalau mereka sudah jadi bahan bisikan teman-teman sekelasnya.
"Oi! Sudahlah lagi, tetesin cairan Beuret ke urine kalian." sela Lidya dengan lagak 'peduli setan' apakah ia akan mengganggu dua temannya itu. Dengan cepat, Tami meneteskan Beuret ke urine. Rizal juga sudah sibuk dengan hasil uji cobanya.
Praktik biologi hari itu berjalan mulus. Hanya beberapa kejadian teatris yang justru dilakukan Depa. Yanti, yang akhirnya sembuh dari batuk, memiliki hasil urine yang berbau obat. Dengan jail, Depa berkata bahwa Yanti tidak akan batuk lagi jika ia meminum urinenya sendiri. Tentu saja bohong. Ia benar-benar senang menakuti. Berbeda dengan Bagas, si cowok kacamata. Depa menakuti cowok itu dengan teror Diabetes ketika sampel urine Bagas yang ditetesi cairan Benedict langsung berwarna merah dan memiliki endapan putih. Bagas sempat panik dan pucat pasi. Tapi Bu Fatma langsung menjelaskan kalau itu hanya pengaruh makanan manis.
Sementara Runi, dia sedikit diam. Tapi tetap saja, sesekali Runi bertingkah dan berceloteh kecil yang memancing seisi kelas tertawa. Semua tertawa dengan tingkah Runi. Tak ada yang tidak tertawa. Jika ada yang tidak tertawa itu pasti Tami. Entah kenapa, Runi selalu tahu hal itu. Dia memang terlalu banyak cengengesan. Berbeda sekali dengan Rizal yang memiliki wibawa.
Dua jam berlalu,
Kelas Biologi berakhir. Bu Fatma sudah pergi. Dan sebelum Rizal mulai bersuara, Runi mulai mengambil alih forum.
"Guys... ini ember, buat kalian taruh urine kalian di sini." Runi maju ke depan seraya mengangakat ember ukuran dua liter tinggi-tinggi. Suara sorak-sorak bersahutan. Bermacam respon langsung mencuat.
"Hah? Buat apa Run?"
"Gila kau ya?"
"Demam, ya Run?"
Runi berdehem.
"Aku ngajak kalian semua buat mempersatukan air-air kencing kita di dalam ember ini. Anggap saja sebagai tanda persaudaraan Cuprums" katanya diplomatis.
Semua anak ngakak. Ini orang kok udik banget. Biasanya kan pake darah ya?
Beberapa cewek berseru jijik. Alya sendiri menyilangkan dua jari di jidatnya. Sementara Runi yang sudah memakai masker tiga lapis dengan cuek menghampiri setiap bangku, meminta sisa-sisa urine mereka yang warnanya bermacam-macam itu.
Setiap bangku, ada-ada saja komentar mereka.
"Eh, makasih ya Run. Aku bingung kau baek apa bego." Nadia berceloteh pedas.
"Nggak perlu ke toilet lagi deh..."
"Mau kau apain urine kita Run? Pelet ya?" Si cantik Stella tak mau ketinggalan berkomentar.
Runi nyengir tak peduli. Amit-amit!
Selesai menampung, cowok itu kini fokus pada ember hitam yang sudah berisi urine. Tampangnya terlihat sangat antusias.
"Kaisar, Baron?"
Kaisar dan Baron datang tergopoh-gopoh sambil membawa seember air.
"Ini air sucinya!" seru Kaisar dengan ekspresi serius. Padahal itu air dari kolam ikan Classics.
"Dan ini penawar racunnya!" Baron yang bicara. Lebih menggelegar. Cowok itu menyerahkan 10 botol parfum seharga 10ribuan yang dia beli semalam. Merek parfum itu; Malaikat Subuh.
"Ngapain sih kalian?" Rizal yang sejak tadi memerhatikan mulai sakit kepala melihat tingkah tiga cowok aneh di depannya.
Tapi, harap maklum, tiga serangkai itu kini sedang mencampurkan semua cairan di depan mereka. Lalu tertawa-tawa sendiri. Mengabaikan teman-temannya yang masih melongo.
"Tuh anak kenapa sih?" Alya mendelik dari bangkunya.
"Mungkin dia terjangkit Urolagnia*. Nggak ada hubungannya sama film Narnia kan?" Timpal Lid, yang langsung disambut tabokan keras Alya.
"Cieee Alya meratiin banget!" Suara Olin dan Tiara kini terdengar. Dengan malu, Alya mulai memukuli teman-temannya.
Tami, yang sejak tadi sibuk menulis laporan hasil penelitiannya, terpancing juga. Dia menatap Runi yang berdiri di depan kelas. Cenderung penasaran, tapi kemudian melengos tak peduli.
***
*Urolagnia : Praktik meminum air seni
***
AN
Maaf part ini panjang.
Maaf, telat update. Author sedang terjangkit penyakit mental: minder
Oya aku merasa ada plot hole tentang Runi yang "betah atau tidak di kota ini", soal pekerjaan Marina, dan tentang Rinda. Ternyata gak ke publish. Tapi sudah kurevisi dan kupublish kok di Bab 6. Ngasih tau aja :')
Vommentnya ya...
**
12/8/2019
Halo, jumpa lagi jumpa lagi di sini. Faktor J aku update lagi. Syeneng gak?
Jangan lupa kunjungi IG aku juga ya.
@ikaysuryadi untuk info tulisan, dan @ikanuila untuk semua hasil. Ilustrasi buatan aku. Aku juga terpikir pengen bikin ilustrasi untuk novel Faktor J ini. (baru terpikir aja sih wkwk)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top