3. Anak Ayam dan Koleksi-koleksinya

"Friendship ... is born at the moment when one man says to another "What! You too? I thought that no one but myself . . ."C.S. Lewis, The Four Loves

*

"Punya tissue, lap atau semacamnya?" tanya seorang siswi yang membicarakan soal phobia tadi. Ia berbicara penuh gaya pelan yang manja. Nada suaranya tebal dan lembut. Rambutnya yang sebahu tetapi sangat mengembang dan poni sebelah kanannya terlihat mencuat dan lebih mengembang lagi di kepala, meninggalkan kesan mirip anak ayam. Tetapi sangat otentik dan seolah berpesan "Kepala ini Hanya Satu-satunya di dunia!".

Gadis itu memang seperti anak ayam yang suka kesana kemari. Lima menit yang lalu Tami melihatnya sedang ngobrol di sudut kelas bersama sekelompok siswi, lalu ia berlari-lari mengejar seorang anak cowok sambil mengacung-acungkan sapu ijuk dan sekarang ia berdiri tepat di hadapan Tami.

"Halo? Hoi? Punya tissue?" gadis berkepala anak ayam mengulang pertanyaannya. Tami menggeleng.

"Namanya Lidiya. Kamu bisa panggil dia Lid. Kalau kamu nanya satu dia akan jawab seribu." jelas Alya tiba-tiba, seolah mengerti Tami sedang bertanya siapa lawan bicaranya. Dengan cepat Alya merogoh ransel merah hatinya dan mengeluarkan sebungkus tissue. Alya sudah dapat teman. Dia memang mudah beradaptasi.

"Makasih, Al," Lid mengambil selembar, kemudian menggosokgosokkan jari-jarinya yang berlumuran cairan putih tipe-ex. Kemudian ia mengambil selembar lagi untuk mengelap ke daerah pipi dan pelipisnya. Mungkin maksud dia ingin merapikan bedak. Alya terlihat saksama memperhatikan, mereka berdua memang sudah kenal karena satu kelompok ketika MOS.

"Kamu habis ngapain?"

"Tadi habis ngerjain Olin. Tapi aku yang kena."

Tami yang sedang fokus pada buku yang ia baca; Tak Putus dirundung Malang. Tak bisa tidak mendengar percakapan mereka.

"Eh, Aku belum pernah ketemu kamu, anak pindahan ya?" Lid bertanya penuh minat.

Tami mengangkat wajahnya. Lalu mengernyit. "Mmm... bukan."

"Masa?"

"Tahun kemarin Tami anak X4, hanya suka... memojok." Alya menjelaskan.

"Gitu ya? Aneh ya? Sudah setahun tapi kita nggak pernah kenal. Okay, kenalan dulu. Namaku Lidiya Massima. Nama itu diambil dari bahasa

Latin. Artinya kurang lebih perempuan remaja. Panggil saja Lid"

"Atau kamu bisa panggil dia anak ayam." Alya memberi usul.

Lidiya menyingkut Alya. "Lidiya-nya Pakai I ya, L-I-D-I-Y-A, dan Massima bukan Marimar seperti di film telenovela. Kamu suka telenovela, nggak? Katanya nonton telenovela bisa meningkatkan kadar romantis dalam diri. Selain itu-Uhuk. Oke. Nama kamu?

"Tami."

"Tami saja?"

"Swastamita J. Panggil Tami." Alya yang menjawab.

Lid menahan tawa. Ia nyaris berceletuk kalau Alya berbakat menjadi juru bicara presiden kalau Alya tidak segera melotot kepadanya. Dan dengan tatapan menghujam Lid bertanya,

"Swastamita artinya apa?"

Tami hanya tersenyum, menganggukkan kepala, dan kembali membaca. Itu biasa ia lakukan kalau sudah tidak nyaman dengan seseorang atau keadaan sekitar.

"Kok nggak dijawab?" Lid melirik Alya. "Oke, aku panggil kamu

Tamtam, biar akrab."

"Ha?"

"Kamu suka baca ya?

"...."

"Suka kan?"

"Suka."

"Aku punya koleksi buku. Aku juga punya koleksi ikan. Eh? Oke, aku punya buku dan aku punya koleksi ikan dan aku rasa kamu nggak punya buku ini. bukunya tentang anak perempuan yang trauma." kata Lid ceria. Ia kekurangan kosakata untuk menyebut kata disorder. "Ceritanya tentang Sheila, masih 6 tahun, menculik anak kecil usia di bawahnya, lalu dia mengikat bocah itu di pohon, terus dibakar hidup-hidup. Kisah nyata. Mau baca?"

Alya memekik. Dia benci hal-hal yang bersifat kekerasan. Tapi Tami malah tertarik. "Terus?"

"Teeeruuuus, dia dikirim ke sebuah sekolah paling jelek dan bertemu dengan seorang guru bernama Torey yang-aku yakin bu Fatma harusnya bisa belajar dari guru itu, apalagi kalau dia kepingin jadi guru yang bisa dicintai anak-anak semacam Depa." cerocosnya sambil melirik ke arah seorang anak cowok yang tadi ia kejar-kejar dengan sapu dan kemudian ia melirik ke arah jendela. Di luar, seorang guru bernama Fatma yang terkenal killer sedang melewati kelas mereka menuju kelas IPA 1. Lalu dalam sekali hembusan napas, ia berkata lagi;

"Nah dia ini penulisnya, yang akhirnya mendidik anak itu.."

Mendengar ada seorang siswa berkomentar soal guru,

Tami mengerutkan dahi.

"Oke. Jangan diteruskan." Alya memotong. Ia melirik Tami dengan cemas.

Tapi dengan cuek, Lid melanjutkan, "Kalau dari buku, yah, hmmmm... duh kayaknya baca sendiri aja deh. Yang jelas dia ditinggal pergi Ibunya di jalanan, dan di siksa ayahnya setiap hari. Tapi menurutku, dia kesepian."

Lidiya memainkan bibirnya. "Tapi ada juga loh, di buku itu aku ketemu tokoh yang phobia kertas, eh, cenderung phobia 'dikoreksi'. Jadi dia selalu histeris kalau tugasnya dikoreksi. Hati-hati kamu Al, kamu berpotensi besar kena penyakit itu!"

"Apaan sih!"

"Omong-omong, aku tadi lagi ngobrolin soal phobia sama geng BBB dan coba tebak? Ternyata Tiara phobia bakso! aneh banget, kan? Aku saja ngakak dengarnya. Dan ada lagi, Olin bilang dia phobia cowok ganteng. Jadi tiap lihat cowok ganteng, dia pingsan. Berhubung kelas ini, sekolah ini, nggak ada yang ganteng, jadi dia nggak pingsan-pingsan. Dia sedih masuk sekolah ini-selain nggak ada yang ganteng. Katanya dulu dia pengen lanjut ke Jakarta tapi nggak dibolehin. Aku juga sedih, Rangga lebih memilih masuk kelas IPS. Kenapa ya-"

"HALAH!" Alya menyela. Lalu dia teriak-teriak soal "Percaya saja omongan Olin dan... BBB APAAN SIH?!"

"Bukan Batak Biasa. The Miracle can do things to can do...." Lid menyanyikan bait lagunya grup vokal BBB (Bukan Bintang Biasa) yang sedang hits. Kemudian tanpa menyilahkan Alya untuk berkomentar betapa seenaknya melakukan hal itu, Lid menatap Tami lurus-lurus, dan berkata, "Tami, kamu mesti tahu kalau Alya phobia hal-hal berbau kekerasan apalagi dar-kecap. Jadi kalau kamu mau nyebut kamu-tahu-apa di depan Alya, kamu harus ganti kata itu dengan 'kecap', soalnya kalo ngotot sebut kata itu, Alya bisa muntah-muntah. Tapi kalau kamu mau, sebut saja. Aku nggak larang sih. HAHAHAHA!"

Alya menimpuk Lid dengan buku Matematika. Selagi Lid mencoba balik menimpuk Alya pakai kamus bahasa Inggris-Indonesia Hassan Shadily, mata Tami sejak tadi telah melebar karena tertegun. Pertama, karena untuk kali pertama ia bertemu dengan orang yang kalau berbicara ngelantur kesana kemari padahal baru kenal dua menit yang lalu. Kedua, kenapa ada orang sesantai ini di kelas seserius ini? ketiga, karena kepalanya memang mirip anak ayam, keempat dia suka buku, kelima karena bukunya bagus dan kalau ada kosakata yang membuatnya langsung merasa terluka sekaligus tertarik, itu adalah kesepian.

"Aku boleh-" Tami menyela pelan.

"Pinjam, kan? Pasti pinjam kan?"

Salah tingkah, Tami tersenyum kecil dan mengangguk. Tami baru ingat kalau Ibu Esna, guru ekonominya saat kelas satu dulu, pernah menyebutnyebut sorang siswi bernama Lidiya dari kelas X-2. Dengan bangga, Ibu Esna berkata kalau siswi itu telah berhasil mempraktekkan ilmu ekonomi dalam kehidupannya dengan baik. Entah apa maksudnya. Tapi Tami yakin, gadis yang berdiri di depannya pastilah yang dimaksud Bu Esna. Tami kira Winda benar soal berusaha menjalin pertemanan. Gadis di depannya suka buku, dan Tami suka buku. Serasi. Walau dia cerewet sekali. Tapi dia tentu anak yang baik dan tulus.

"Iya. Boleh aku pinjam?" Lidiya berdehem.

"Boleh pinjam tapi nggak gratis. Sehari seribu."

**

A/N

Terimakasih sudah mampir! boleh kasih vote dan commentnya ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top