27. Behind the Ciee Scene (2)
Runi melempar sepatunya ke sembarang tempat, melepas dua kancing pada seragam sekolahnya. Ia merasa suntuk luar biasa. Ia telah mengalami penolakan demi penolakan; penolakan gadis di sekolah, dan segala aral melintangnya. Termasuk kesalahpahaman teman-temannya yang menyangka ia suka Alya. Runi tertawa kecil. Lucu saja melihat Alya marah-marah pada seisi kelas lantaran mereka tidak berhenti menggodanya.
"Alya! Runi mana?"
"Mana kutahu!"
"Alya! Runi dihukum lagi tuh! Nasehatin coba."
"EGP! Emang Gue Pikirin?!"
"Alya! Kalian satu kelompok tugas Kimia? Faktor J nih!"
"Apaan sih?! Absen kami kan deketan!"
"Alya! Runi jomblo lama nih!"
"BUKAN URUSAN AKU!"
"Cieeee! Woiii... tengok na! Alya mukanya merah!"
"DEPAAAAA!!!!"
Lalu seisi kelas Cuprum tertawa riuh. Runi sendiri memilih stay cool saat dijodoh-jodohkan seperti itu. Ia suka sekaligus tidak suka pada Alya. Ia suka Alya. Sebab tidak ada yang perlu dibenci dari Alya. Ia juga tidak suka Alya. Sebab yang dia suka itu Tami.
"Alya... Alya, kayak nggak kenal anak Cuprum aja." ucap Runi setiap Alya ngamuk-ngamuk.
Runi tersenyum tawar. Jujur, dia lebih suka reaksi Alya yang judes. Itu sangat menggemaskan dan terasa kalau Alya menganggapnya ada. Ketimbang reaksi Tami tempo hari, saat ia mendekati cewek itu. Dingin dan beku. Sikap biasa itu terasa seperti benar-benar penolakan dari Tami.
Pun saat ia dijodoh-jodohkan dengan Alya, Tami tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Gadis itu bersikap biasa saja. Tami bahkan punya kerepotan sendiri karena seisi kelas juga sedang menjodoh-jodohkannya dengan Rizal. Dengan Rizal! Cowok cerdas, sopan, dan disukai semua guru, bahkan mungkin seisi dunia ini.
Runi sering memergoki Tami yang tersenyum malu saat seisi kelas menyorakinya dengan Rizal. Saat itu, Pak Tendi mengundi kelompok belajar secara acak. Tiba-tiba nama mereka muncul untuk bersama. Spontan seluruh kelas meneriaki;
"Uhuuuy!"
"Faktor J! Faktor J!"
"Cieeeee! Positif jodoh itu!"
Runi menghela napas. Dia nelangsa. Dan sikap Tami yang malu-malu itu kembali terasa seperti sebuah penolakan bagi Runi.
Cowok berkepala spikey itu geleng-geleng kepala. Ia kenyang ditolak. Bahkan setiba di rumahnya ini pun, ia merasa ditolak; Ketidakhadiran Mama, Penolakan Mama terhadap semua yang ia inginkan, penolakan Papa (ia menganggap ketiadaan Papa di keluarga termasuk penolakan). Dan jika ada satu penolakan lagi, Runi rasa ia siap menjadi relawan di daerah konflik.
Mama mendaftarkan Runi kursus di sebuah lembaga. Jadi ia akan mulai belajar sekaligus kehilangan waktu bermain dua jam setiap senin hingga kamis. Dan ia merasa Mama memang mama paling egois sedunia.
Sekali lagi (untuk kesekian kali di hari ini) Runi menghela napas.
Datuk sedang memainkan biolanya ketika Runi masuk ke ruang tengah. Seperti biasa, Datuk akan meminta Runi duduk untuk mendengarkan permainannya. Datuk pandai bermain biola. Menurut Datuk, hal itu yang membuat mendiang Nyai jatuh hati padanya.
"Datuk, Rinda mana Tuk?" sapa Runi sambil duduk di samping kakeknya. Tangannya sudah sibuk membuka-buka lembar sebuah buku.
"Di kamar..."
Runi memandang kakeknya. "Tuk, apa semua perempuan itu sama? Dingin dan membingungkan."
Datuk berhenti memainkan biolanya. Lalu ia tertawa dengan tawa khasnya yang terpatah-patah. "He-he-he"
"Kok ketawa sih?"
"Kamu naksir siapa?"
Runi menghela napas. "Ada. Temen sekolah..."
"Perempuan itu..." Datuk bergumam. Sekilas ia melirik kamar putrinya, Marina. Kemudian matanya berpindah pada tangan Runi yang sedang memegang sebuah buku puisi. "Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang harus disembunyikan."
Runi melirik bukunya. Lalu mendesah. "Sulit ya,"
Datuk mengangguk. "Memangnya kalau kamu bisa menaklukan dia? Kamu mau apa?"
"Ya kayak nggak tau aja, Tuk..." Runi menaik-turunkan alisnya, lalu berkata; "Pacaran."
"Kalau sudah pacaran mau apa?"
Runi menggaruk kepalanya. Kesal. Tapi Datuk hanya memandangnya geli dan melanjutkan lagi permainan biolanya. Membiarkan Runi masuk ke kamarnya dengan jengkel.
Kalau tidak dengan seperti itu, dengan apa ia harus mengikat Tami? Kalau tidak pacaran, Runi tidak akan tahan terus-terusan melihat Tami membagi senyum pada Rizal. Kalau pacaran, Runi akan tahu kalau Tami juga punya perasaan yang sama. Meskipun Mama pernah berkata, apakah cinta selalu harus dibuktikan dengan pacaran? Tapi masa bodoh. Tidak ada yang mengerti bagaimana perasaannya teraduk-aduk selama ini. Runi ingin bisa mendapatkan hari ketika Tami jadi miliknya.
Ia duduk begitu saja di dekat pintu. Lalu perasaan kesal yang bercokol di dadanya karena berada di kota ini muncul begitu saja. Runi lantas menonjok lantai. Sebuah kota, baginya, bukan hanya tempat tinggal. Tapi juga rumah. Sekarang ia kehilangan rumahnya. Konsentrasinya, juga ayahnya.
Tiba-tiba, suara bip dari ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Baron;
Quid pro quo
Runi membalas : Mau nanya apa?
Pesan dari Baron muncul; Kalau kau ketemu bapakmu, kau akan apa?Jadi pulang ke Jakarta?Atau tetap tinggal?
Runi membalas lagi;
Meluk Papa. Minta Papa bawa kami ke Jakarta... Sorry berandalan juga bisa sentimentil. Quid pro quo. Kau ini mau ngomong apa, sebenarnya?
Lama Runi memandang ponselnya, tapi balasan Baron belum juga datang. Suara ketukan terdengar dari pintu kamar. Datuk yang mengetuknya. Datuk tidak ingin Runi membuka pintu. Ia hanya berkata,
"Runi, ingat hari ini kamu les."
Hening.
Tak lama kemudian, suara biola Datuk terdengar lagi. Runi fokus ke ponselnya lagi. Sebuah pesan dari Baron baru saja masuk.
Runi! Ini soal Papa kau.
**
"Kau ni sinting ya, sempet-sempetnya ngajak main QPQ."
"Aduh, sori! Nggak kebayang saja."
"Ini beneran?!"
"Aku sumpah Runi! Orang itu mirip kali dengan yang di foto."
"Oke, kau lihat di mana?"
"Di resto Maestro. Sekarang!"
"Aku ke sana."
"Tapi Run-"
"Kenapa?"
"... Kau datang saja dulu."
Runi menutup telepon. Ia memacu motornya dengan kencang. Entah mengapa ia kesal dengan nada suara Baron saat mengatakan Kau datang saja dulu. Jadi baginya, ia harus tiba secepatnya untuk memastikan semuanya.
Lima belas menit membelah jalan H. Agus Salim, Runi tiba di resto. Ia baru saja meletakkan helm ketika Baron tergopoh-gopoh berlari ke arahnya.
"Ikut aku. Dan janji jangan buat masalah."
Runi mengangguk. Baron menyeretnya ke bagian dalam resto, lalu duduk di meja yang tertutupi oleh pilar-pilar. Wajahnya gelisah ketika menatap Runi yang menatapnya balik.
"Itu bapak kau?" kata Baron sambil telunjuknya mengarah ke meja seberang. Di sana duduk keluarga kecil. Seorang wanita yang sedang tersenyum sambil menyuapi anak sekitar usia 5 tahun, seorang pemuda yang sering Ical ceritakan, Jo.
Dan Papa.
***
AN/ Hai! BAB ini lanjutan BAB sebelumnya. Papa sudah dimunculkan. Makasih sudah baca. please comment dan/atau vote-nya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top