25. Pedihnya Melepaskan

"Cinta adalah rasa yang kuucap dalam setiap desah dan cuaca, tak sampai-sampai getarnya padamu."
(Helvy Tiana Rosa)

*

Lama Runi seperti itu; memainkan kompas, memelintir seltbealt-nya, dan menatap keluar jendela mobil yang terjebak lampu merah. Perjalanan menuju terminal untuk menghabiskan liburan di Kerinci kali ini terasa begitu lama. Runi sudah tidak sabar pergi ke sana sejak hari pembagian rapor berlangsung. Bujukan Marina untuk liburan di Kerinci berhasil lantaran Marina berjanji akan menemaninya hiking ke gunung dan menyaksikan sunrise dan sunset di sana.

Untuk beberapa saat, ia masih seperti itu, kadang diselingi dengan tangannya yang jahil memainkan kunciran rambut Rinda yang sibuk bercerita pada Marina tentang teman-teman sekolahnya. Sampai akhirnya ekor matanya menangkap sesuatu. Sebuah siluet dari seberang jalan, seseorang yang ia kenal sekali sedang berjalan keluar dari sebuah toko berlabel "Toko Pertanian Akiong".

Runi terkesiap. Alam bawah sadarnya sontak melakukan hal yang tak bisa ia kontrol. Ia langsung megubah posisi duduknya, lantas membuka kaca mobil.

"Tami?" Runi bergumam.

Di depan toko pertanian itu, berdiri Tami sambil mengelap tangannya ketika sosok satu lagi yang ia kenal menghampiri Tami. Mereka tampak asik mengobrol, dan saling melempar senyum. Sesuatu yang langka jika terjadi pada dirinya dan Tami.

Hatinya mencelos. Ada rasa tidak nyaman menelusup. Runi sendiri heran. Barangkali rasa iri karena tidak bisa diperlakukan seperti Rizal. Dan rasa yang ia gambarkan sebagai iri itu tiba-tiba membesar menjadi kata paling absurd yang bisa ia berikan ketika melihat Tami dengan malu-malu membonceng motor Rizal. Cemburu.

Runi mengawasi kepergian Tami dan Rizal dengan mulut yang memahit. Mereka persis melewati mobil yang dinaiki Runi dan mengambil jalan yang membelok ke kiri. Runi menatap mereka berdua hingga tak terlihat lagi.

Cowok berambut spikey itu mengusap wajahnya. Jika dipikir-pikir, Tami dan Rizal memang sepadan. Keduanya sama-sama anak yang diperhitungkan di kelas. Sama-sama punya arah yang jelas untuk masa depan mereka. Runi sering menyontek Rizal. Si ketua kelas itu juga cowok yang tampan, santun dan baik hati. Meskipun Rizal bukan anak perpus, tapi ia cowok yang suka menghabiskan waktunya dengan belajar. Bukan seperti dirinya yang sudah bisa ditebak, tak mungkin menyaingi Rizal.

Ingatannya berlabuh pada hari-hari perjuangannya mencuri perhatian Tami. Tak ada sekalipun Tami menanggapi. Sekalipun ia memasuki lingkungan dan mencintai apa yang Tami cintai, ia tak akan bisa mencuri perhatian Tami. Jangankan suka, melihat dirinya saja, Tami enggan. Dan terlintaslah penolakan diam Tami di hari-hari kemarin; di perpustakaan, di kelas, di Candi, di parkiran, di hutan kota, di manapun...

Barangkali sejak awal Tami memang sudah memberi jawaban 'tidak' sebelum ia bertanya. Hanya ia saja yang keras kepala dan memaksakan diri. Berusaha berapa kalipun, Tami tak pernah melihatnya. Runi mengangguk. Barangkali ia memang buta tanda... sejak awal Tami memang sudah berkata tidak. Kemudian terlintas kata-kata dua sahabatnya tentang berhenti menunggu.

Kapan kita berhenti menunggu?
: sampai kau sadar bahwa itu sia-sia.

Runi termangu. Barangkali ia memang sudah sampai pada titik untuk berhenti menunggu. Runi kembali mengangguk. Kemudian terlintas lagi sikap Tami yang tak pernah bersahabat dengannya, bertolak belakang dengan sikapnya yang santai jika berhadapan dengan Rizal.

Dalam satu hembusan napas, satu hal yang Runi sadari. Selama ini ia hanya sebatang bunga matahari.

"Sudah sampai," Marina memecah lamunan.

Runi sempat melongo. Kemudian mimik wajahnya kembali seperti biasanya, tengil. Ia membawa ranselnya, mengikuti Marina yang sudah lebih dulu berjalan ke arah lobi sambil membawa ransel besar. Ia menjejakkan kaki dengan mantap seolah narapidana yang baru bebas dan siap dengan hal yang akan ia hadapi selanjutnya. Menyambut seorang perempuan berkerudung merah maroon yang sejak tadi celingukan di lobi terminal. Ia juga akan ikut liburan bersama.

Usai memberi salam, perempuan berkerudung itu segera meraih tubuh Marina dan merangkulnya hangat. "Udah lama nunggu, Win?"

"Nggak juga, Mbak..." ia tersenyum. Pandangannya beralih pada dua remaja di hadapannya. "Runi, Rinda? Siap?"

"Siap!" Rinda berteriak. Sementara Runi hanya diam. Membuat Rinda gemas dan menggoda Abangnya dengan colekan-colekan di perut.

Mereka mulai berjalan ke bangku tunggu penumpang. "Oh ya, Rinda mau lanjut ke SMA mana nanti?" tanya Winda ingin tahu.

"Dia nggak SMA, Tante." Runi yang menjawab.

"Dia mau magang di Star Wars atau jadi pembantu di keluarga Cullen."

Rinda terbahak-bahak. Tapi, tak berapa lama ia memukul bahu Abangnya dengan keras. "Berisik! Masuk mana ya? Yang jelas bukan Classic... aku mau masuk sekolah favorit soalnya." jawabnya sambil menjodongkan bibir ke arah Runi.

"Oh ya? Masuk mana?" Winda tersenyum-senyum.

"SMA favorit di sini sih... tapi kalau bisa yang di Jakarta." ujarnya pelan, mencuri pandang ke Marina yang entah sejak kapan malah sibuk menyanyikan lagu Ike Nurjanah lagi.

Winda mengelus kepala keponakannya. Menganggukkan kepala seolah berkata; iya, semoga bisa ya.

Liburan semeter ini tak akan Runi sia-siakan. Ia memang butuh sedikit waktu yang lama sebelum tahun ajaran baru dimulai lagi. Ia tidak hanya menjadikannya sebagai sarana bersantai-santai, tapi juga sebagai semedi Runi untuk melepaskan perasaannya. Sebelum ia bertemu lagi dengan gadis itu dengan hati yang sudah ia pulihkan. Hati yang sudah ia bersihkan.

Selagi menunggu jadwal keberangkatan bus, Runi membuka buku puisi yang ia pinjam di perpustakaan. 

Tak Sepadan

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkak dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

(Februari, 1943/ Chairil Anwar )

***

[INTERLUDE]



AN// Interlude loh! kayak di film-film India itu loh! Yeeay! Well, selamat menuju gerbang klimaks!  Tapi aku bikin klimaksnya ngalir aja kok. BTW, ini adalah chapter yang paling aku suka. Ada puisinya. Bagiku ini puisi terbaper dari Bung Chairil :')

Makasih sudah baca tulisanku ya. 

Oya, selama interlude ini aku kasih lagu deh (cek mulmed). Lagu zaman anak 2000an. Legend banget itu lagu buat yang patah hati. Ya sekarang masih lingkup 2000 sih tapi dulu tuh gak secanggih sekarang...sekarang zaman penyanyi solo berkiprah. Hmm..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top