24. Bunga Matahari Tami (2)

Liburan semester kenaikan kelas tiga baru berjalan dua hari. Tapi Tami sudah merasa pengap berada di dalam rumah saja. Jadi ia memilih menyibukkan diri di dalam markas sun-sun miliknya. Memang, di halaman belakang rumah Tami, ada sebuah kebun bunga matahari yang sudah menyubur sejak lama. Meski luasnya hanya 2 x 2 meter, kebun itu sempurna dipenuhi bunga yang terkenal dengan sifatnya yang heliotropis. Kebun kecil yang indah untuk atmosfer kota Jambi.

Tami ingat betul mengapa ia menyukai bunga Matahari. Waktu itu ia masih kecil, kesukaannya memandang matahari yang baru terbit membuatnya merengek pada ibunya untuk mengambil matahari supaya bisa di bawa pulang. Ia ingin meletakkan matahari di rumah mereka. Bapak membeberkan rahasia kecil tentang cara memeluk matahari tanpa harus mati terpanggang. Bapak bilang, bunga matahari bisa menyampaikan pesan-pesan pada matahari karena tingginya yang melebihi rata-rata dengan tanaman lainnya.

Jadilah Tami yang akhirnya dibelikan benih bunga matahari sebagai kompensasi dari obsesinya memiliki matahari untuk dirinya sendiri. Sejak itu, ia mulai membangun kerajaannya sendiri di belakang rumah. Kerajaan Sun-sun namanya.

Gadis itu juga sengaja sedikit mengosongkan bagian tengah kebunnya agar ia bisa berbaring di tanah sambil menatap langit dan tentunya, dikelilingi bunga matahari. Sebuah tempat paling sempurna untuk bersembunyi. Hari ini pun sama, ia menghabiskan waktu dan tanpa sadar membayangkan hal-hal yang sudah ia lewati.

Harus Tami akui, ia rindu dengan segala hal tentang Classic. Terutama anak-anak cuprum. Bagaimana tingkah mereka, dan segala hal yang bisa mengisi kehampaan dalam dirinya. Kelas yang hiruk pikuk, terkadang hening kemudian tawa berderai. Andaipun ada kejenuhan kelas, itu tak masalah sama sekali. Karena kekosongan-kekosongan seperti itu, hanya Runi yang bisa mengisinya.

Tami menghela napas. Kalau dipikir-pikir dia jahat sekali dengan cowok itu. Sikap dinginnya di Candi tempo hari memang keterlaluan. Tapi Runi tidak pernah marah. Dia hanya tersenyum. Dan itu menyakitkan.

Tunggu dulu. Runi?

Tami merasa melantur. Ia menggapai karung pupuk yang tergeletak di sudut ladang. Kosong.

Inisiatif untuk membeli pupuk muncul seketika. Tanpa berganti pakaian, Tami langsung menghambur ke jalan dan menghentikan sebuah angkot yang baru saja lewat.

**

Tami mengelap telapak tangannya yang basah ke kaosnya yang lecek, kemudian mulai mengangkat lagi sekarung pupuk dan mendekapnya di dada. Ia sudah mengantisipasi kesulitannya dengan sengaja memakai pakaian ala kadar untuk mengangkat pupuk dari toko pertanian langganannya ke rumah.

Cahaya khas langit sore mulai menyebar, awan-awan mendung sudah menutup separuh langit kota dan menurunkan gerimis yang kecil-kecil. Namun, dilihatnya aktivitas lalu lintas masih berlangsung. Bahkan, beberapa tukang ojek masih bertahan di pangkalan mereka.

Baru saja Tangannya melambai ke arah angkot jurusan K-a-a, ketika sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya.

"Tami?"

Tami menatap canggung. Senyumnya langsung merekah saat tau siapa yang ada di depannya.

"Rizal?"

"Hai, kamu ngapain di sini?" Rizal menepikan motornya dan berdiri di samping Tami.

Tami menyodorkan sedikit bawaannya ke depan. "Beli pupuk..."

"Wow. Liburan yang menyenangkan."

Tami tersenyum. "Nggak juga. Liburan atau nggak, tetep ngurus kebun." kata Tami malu-malu. "Kamu sendiri?"

"Aku baru beli ini." Rizal memperlihatkan sebungkus jerami dalam kantong plastik. "Buat hamsterku."

Mendengar kata hamster, Tami langsung tertarik. "Kamu punya hamster?"

"Iya, katanya punya peliharaan itu bisa melatih kita untuk nggak egois. Aku pikir hamster bisa dijadikan referensi untuk dipelihara."

Tami mengangguk-anggukkan kepala saking setujunya. Sumpah baru kali ini ia bisa antusias mengobrol dengan seorang cowok. Tapi Rizal memang beda, ia santun dan terlihat sangat lembut.

"Itu pupuk buat apa?"

Tami membulatkan matanya. "Ini? Buat bunga matahari."

"Oh! Iya kamu kan yang bawa bunga matahari ke sekolah itu ya? Pas Pensi juga kan?" Rizal mengingat-ingat sesuatu. Saat class-meeting kemarin, Tami datang pagi-pagi sekali sambil membawa dua polybag berisikan bunga matahari yang sudah merekah. "Gara-gara bunga yang kamu bawa, kelas kita juara umum keindahan kelas loh. Makasih ya..." ujarnya lagi sambil tersenyum. Senyum paling lembut yang pernah Tami dapatkan.

Tami merasakan wajahnya bersemu merah. "Eh, nggak.. cuma gitu doang.."

Rizal mengedikkan bahunya. Kemudian dengan gesit langsung merenggut karung pupuk yang sejak tadi digamit Tami dengan susah payah. "Sini aku aja."

"Nggak, nggak usah. Aku naik angkot kok. Jadi nggak masalah."

"Aku bawa motor. Ayo, aku anter."

Tami bengong sesaat. Tapi Rizal sudah menyalakan motornya dan menunggu. Pikir Tami mungkin tak apa. Buktinya, tak ada adegan perut melilit atau panas dingin seperti biasanya.

***


AN/ Aku tengkyu banget kamu masih betah baca tulisan ini... :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top