20. Faktor J

"Tami,"

Gadis itu menoleh. Runi sudah duduk di sampingnya. Menggantikan Alya yang sejak beberapa menit yang lalu izin buang air ke WC. Hari ini, akhirnya mereka duduk sebangku.

"I—iya" Tami mengangguk.

"Aku minta kertasnya, ya." ucap Runi pelan pada gadis di sampingnya. Tanpa menunggu respon Tami, ia merobek selembar kertas dari sebuah buku di samping Tami. Di tangan kirinya, tergenggam setangkai bunga matahari.

Mata Tami melebar. Ia memandang Runi dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ia lantas tersenyum dengan sungkan.

Selasa siang ini, setelah memberikan tugas membuat resume kewarganegaraan dalam selembar kertas, Ibu Rosde pergi ke luar kelas dan berkata akan kembali lagi 15 menit kemudian.

Beberapa hari yang lalu, Tami dan Runi sempat terpilih secara acak menjadi teman kelompok belajar. Hal itu membuat Runi memiliki kesempatan untuk lebih dekat dengan Tami. Dan, menemukan sosok Tami yang berbeda. Dia gadis yang ceria, sebenarnya. Meskipun kadang-kadang, sifat itu justru tenggelam kalau sudah berdiri di samping Lid dan Alya.

Selain itu, Tami sepertinya punya bakat cerewet. Runi pernah beberapa kali mendapati Tami yang mendadak menjadi sangat sewot soal penyelesaian tugas mereka. Tetapi, tabiat itu juga yang membuat Tami tak segan-segan memperlakukan Runi sebagaimana yang lainnya. Dia juga cerewet pada Runi, seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara mereka berdua selama ini. Hal itulah yang membuatnya memberanikan diri lagi.

"Kamu sudah selesai buat resumenya?"

Merasa gugup, Tami mengangguk dan berkata sebentar lagi akan selesai. Sudut matanya menangkap tatapan jahil Kaisar dan Baron. Ia juga memergoki Geng Nadia tersenyum curiga memandangnya. Mendadak, Tami lemas dan pucat. Ia tak pernah berada di situasi ini. Ia tak pernah berhadapan dengan pemuda yang terlalu terburu-buru seperti ini.

Tami tahu suasana yang ganjil seperti ini. Ia tahu Runi tidak benar-benar membutuhkan kertas. Dengan cepat, sebelum Runi mengatakan hal-hal lain lagi, Tami bangkit dari kursinya dan berjalan ke bangku paling depan sambil berceloteh soal pinjam tipe-ex. Ia meninggalkan Runi di sisi kursinya.

"Runi! Ngapain sih duduk di sini? Ini kursiku. Awas!" tiba-tiba Alya yang sudah datang memekik keras.

Tapi Runi sudah tak punya kalimat apapun untuk memberi alasan sejak ia ditinggal begitu saja beberapa menit yang lalu.

"Dan, ini? ini kan kertasku! Kok ngambil barang orang nggak izin dulu?" teriak Alya lagi. Runi gugup.

"Cieee... Runi alasan aja tuh!" Nadia yang menyaksikan sejak tadi berseru heboh. Seketika suara gemuruh tawa dan siulan menggoda datang bertubi-tubi untuk Runi dan Alya. Mereka berdua lupa kalau anak-anak kelas mereka tidak bisa menyaksikan hal-hal yang ganjil seperti tadi. Runi bangkit menuju kursinya. Ia hanya memandang kosong ke arah bangku depan, tempat Tami berdiri. Sikap Tami tadi telah menghancurkan semua sendi dalam tubuhnya. Dengan kedua matanya yang lelah, ia sempat bersitatap dengan Tami yang juga ikut menertawainya bersama yang lain. Tami ikut menyoraki dirinya dan Alya. Hanya sesaat, dan Tami sudah kembali ke kursinya duduk di samping Alya yang masih cemberut dan berwajah semerah tomat dalam waktu bersamaan.

"Apa kau lihat bunga di tangan kirinya?"

"Ha?"

"Ada bunga matahari di tangan kirinya."

Tami terdiam beberapa saat. Ia memandangi Alya yang sudah sangat merah wajahnya.

"Iya. Ada."

***

"Sudahlah Run, lampu merah buat kau!" Baron memulai percakapan. "Benar kata Kaisar, Tami itu keturunan batu. Tak satupun sinyal darimu ditanggapi."

Runi terpekur. Ia merasa menyedihkan. Padahal satu kelas tapi sedikitpun tak bisa bercakap-cakap sebagaimana normalnya teman sekelas. Tami sudah bersedia membuka suara untuk Kaisar, ia juga sudah semakin rileks bersama teman-temannya. Tapi entah kenapa, Tami tak pernah bersikap ramah pada Runi. Dan Runi kesal kenapa gadis yang hanya sekadar-lalu-lalang-di-koridor itu jadi mendadak yang paling menguras perhatian. Ini seperti gong perang dingin yang sengaja Tami tabuh. Seperti isyarat larangan untuk tidak menyukainya lagi.

Semua sinyal sudah Runi berikan. Tapi Tami selalu menghindar dan tidak menyadarinya.

"Mungkin nggak mau kali, jadi dia pura-pura membatu." Kaisar menimpali.

Runi menoleh cepat. Dipandangnya Kaisar yang duduk mengangkang bersama gitar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Sadar sedang jadi bahan pelototan, Kaisar langsung pura-pura tidak pernah mengucapkan satu kata pun sejak ia masuk ke gua temannya satu itu. Sedikit menyesal dengan ucapannya. Tapi Kaisar yakin Runi tahu itu.

Tami adalah tipikal cewek 'baik-baik' yang selalu duduk di depan dan rajin mengerjakan PR di rumah. Sementara mereka adalah laki-laki blangsatan yang terbiasa menempel di bangku paling belakang lalu seperti kesetanan pergi ke sekolah pagi-pagi sekali hanya untuk bisa saling mengerjakan tugas rumah bersama-sama di kelas. Oh, bukan. Lebih tepatnya saling menjiplak.

Tami juga luar biasa bebalnya. Runi pernah mencoba menelepon atau mengirim pesan ke Tami dengan nomor tak dikenal, tapi Tami tak pernah menggubris. Herannya, Tami tak pernah mengirim pesan semisal, 'Ini siapa?' sebagai tanda penasaran. Tidak sama sekali. Kalau saja yang ia telepon itu Nadia atau Stella, pasti mereka akan langsung mengangkat dan berkata, 'Halo? Ini siapa?!'

Runi menghela napas. Ia tak pernah menyangka. Ternyata sudah sekeras ini ia jatuh cinta.

"Sudahlah kau Runi, mending kau sama Alya itu. Sepertinya kalian serasi!" Baron membuyarkan lamunan Runi.

"Tau dari mana?" Kaisar melongo.

"Bunga matahari!"

Baron dan Kaisar tergelak-gelak di lantai. Menertawai nasib Runi yang selalu bertemu dengan Alya. Ingatan mereka berkejaran perihal peristiwa tadi siang ketika Runi dimarahi Alya. Celakanya, Runi yang sedang memegang setangkai bunga Matahari terlihat malu. Maka, terjadilah tradisi Cuprums yang suka merasa expert dalam hal percomblangan. Memang betul ungkapan Ical cs; Hati-hati kalau masuk lingkungan Cuprums, salah-salah bisa kena sasaran empuk ciee. Ical sendiri pernah merasakannya ketika berkunjung ke kelas Runi. Mendadak anak-anak tengik itu mencie-cie dirinya dengan Lidiya hanya karena bertengkar.

"Itu kan salah kau, Sar! Kau kan yang pertama kali masukin bunga ke laci Alya? He?!" sungut Runi sambil memiting kepala Kaisar.

"Eh, jangan salahin aku! Mana kutahu kalau Alya yang duduk di situ."

Runi masih memiting Kaisar.

"Mending kasih sendiri kenapa, sih?"

"Iya, atau kalau nggak berani, kasih ke Alya!"

"Kayaknya kalian berdua punya faktor J!" Baron dan Kaisar tergelak lagi. Di Cuprum, memang ada ungkapan yang sering mereka lontarkan saat menemukan sesuatu yang tepat dan pas. Faktor J.

Runi memiting kepala dua temannya. Gemas.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa mengganti orang yang disukai dengan semena-mena seperti itu. Hanya karena ia salah sasaran. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa mengganti hati secepat kedipan mata. Cinta tak mudah menghilang begitu saja secepat ketika ia jatuh.

Runi memijit kepalanya. Ia berpikir dalam, dan itu kali pertama ia menggunakan otaknya dengan sangat serius.

"Mungkin Tami cuma malu atau memang nggak nyadar, Run." kali ini Kaisar mengganti fatwanya.

"Aku yakin. Cinta akan datang kalau kita sabar menunggu."

Mereka yang kebetulan menginap di rumah Runi langsung terbahak-bahak mendengar petuah Runi. Jujur baru kali itu mereka melihat Runi seserius itu. Jujur mereka sangat prihatin.

Tapi sejenak, dua jenak, keduanya langsung terdiam begitu melihat Runi menunduk sangat dalam. Kamar yang penuh dengan suara petikan dawai gitar itu tiba-tiba saja menjadi sunyi senyap. Dan saat itu juga mereka sadar, betul kata Jalaludin Rumi, bahwa cinta bisa membuat setan menjadi malaikat, bahwa cinta rupanya bisa mengakibatkan luka sedalam ini. Sebab, di hadapan mereka, seorang cowok sekelas preman sekolah menjelma jadi ulat keket.

"Jangan kebablasan, Run.."

"Jangan melampaui batasan kau!" timpal Baron.

Runi terpekur bersama gulingnya. "Kapan kita berhenti menunggu?"

Hening sejenak.

"Sampai kau sadar kalau kau melakukan hal yang sia-sia." Kaisar bergumam.

Runi dan Baron terhenyak. Si Physic-holic ini sentimentil juga ternyata. Baron mencoba memeriksa susu coklat Kaisar. Barangkali Yuk Jum tidak sengaja memasukkan kecap asin, Minyak ikan Cod, atau larutan untuk stimulasi saraf otak. Atau mungkin itu pengaruh Kaisar yang konon pernah menaruh perasaan pada Stella tapi tak kunjung terbalas.

"Kalo aku sih punya pembatas versi aku sendiri." Baron bangkit dari rebahannya.

"Apa?"

"Tiga kali cukup kalo kataku, ketok rumah aja maksimal tiga kali. Kalo sekali lagi Nadia nggak melirik, aku ngejer yang lain. Cewek masih banyak Run!"

Runi dan Kaisar bersitatap. Keduanya meringis. Cewek memang masih banyak. Masalahnya, apakah mereka mau sama Baron?

Giliran Kaisar yang memberi gagasan, "Kalo aku, tujuh kali. Siti Hajar keliling cari minum buat Nabi Ismail baru dapet setelah mondar-mandir tujuh kali."

"Bah! Calon ustadz..." Baron melengos.

Kaisar membusungkan dada.

"Atau kalo kau sanggup sih, macam Thomas A. Edison juga boleh. 2000 kali cuy...! Wuakakakaka!"

Kaisar refleks menoyor kepala Baron. Tatapannya mewakili perkataanya yang tak sanggup untuk dilontarkan, bukan saatnya bercanda, bro. Begitu katanya, dalam hati.

"Nah, dalam kasus kau, udah berapa kali kau usaha?" Runi mendecak kesal. Ia menggosok-gosok kepalanya.

"Dari ekspresinya sih, udah lebih dari 7 kali..." Baron menatap Runi prihatin.

"Dan reaksinya nggak pernah bagus..." Kaisar sama saja.

Hening sesaat. Hembusan napas tertahan Runi terdengar jelas.

"Aku belum bisa berhenti. Sudah! Sono lu!" Runi memaki. Ia langsung memeluk guling, sengaja ia palingkan tubuhnya menghadap dinding, meninggalkan Kaisar dan Baron yang saling pandang. Ada sesuatu yang remuk di dalam dirinya, kemudian menyebar ke setiap inchi dalam tubuhnya. Kedua temannya memang benar. Ia tak bisa begini terus-terusan. Bagaimana mungkin ia sanggup melihat gadis yang ia sukai bersama dengan orang lain? Bagaimana bisa terus menyukai seseorang yang selalu acuh? Tami bahkan tidak menganggap perasaannya ada. Tapi tekad melupakan itu selalu kalah setiap kali ia melihat Tami. Apa belum saatnya berhenti?

"Heh, Run. Menjelang liburan nanti, kita pigi jalan-jalan ke candi saja. Bukan ke hutan pinus atau hutan kota kayak biasanya. Kita cuba lagi." ucap Baron sambil menepuk bahu Runi.

Runi terdiam cukup lama. Tak mau berkomentar atau bersuara lagi. Hanya suara-suara di otaknya yang terus berkata,

"Ternyata lingkungan yangsama saja tak cukup membuat kita dekat.."

***

AN. Selamat membacaaaa. btw, dari Runi aku belajar cara deketin cewek pura-pura minta kertas selembar hha. vote comment ya please :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top