15. Panggilan-panggilan yang Tak Pernah Ia Dengar Lagi

"Memang gila tuh anak!"

"Seratus persen ambu-ambu*!"

"Aku jamin, Runi bakal pindah dari kelas IPA! Bahkan dari sekolah ini! atau mungkin dari kota ini!"

"Lebay!"

Kantin pada pukul sepuluh hari itu tampak riuh melebihi biasanya. Beberapa cewek Cuprums sengaja menikmati jam istirahat mereka dengan melahap nasi Uduk dan es tebu di bilik nomor tiga milik Bibi Minny alias Larmini.

Usai insiden karet gelang itu, Bu Fatma mengoceh panjang lebar soal hormat kepada guru, moral anak zaman sekarang lalu meninggalkan kelas dengan perintah mengerjakan 50 soal Biologi berjudul "Soal Ujian Akhir Biologi Kelas XI (Semester 1 dan 2)" di buku paket halaman terakhir. Anak-anak Cuprum langsung sakit kepala lantaran tugas itu harus dikumpul hari itu juga. Mereka bahkan belum lama di kelas dua.

Dan saat ini, Tami sedang berada di antara adu pandangan Lid dan Alya bersama Tiara dan Olin, salah dua dari anggota BBB di kelas, Grup vokal buah cipta Lid.

"Kalo dia ternyata pindah, aku rela potong rambutku!"

"Menurutku-"

"Hei, hei.. nggak boleh ah taruhan." Alya tiba-tiba menyela. Sepertinya jika dibiarkan, mereka akan semakin menjadi-jadi saja.

"Alya, menurutmu, Runi bakal pindah apa nggak?" Lid bertanya lagi.

Matanya berapi-api.

"Bisa iya, bisa tidak sih..."

"Kalo kamu Tam?"

Tami mengangkat wajahnya. Sejak tadi ia hanya sibuk mengaduk-aduk nasi rames miliknya. Hari ini entah mengapa Alya begitu keras kepala ingin makan satu meja dengannya lagi. Meskipun Tami berkata ia sedang tidak ingin makan, Alya terus memaksa. Dan sekarang, ia terjebak dalam perbincangan yang hari ini begitu heboh di Classic. Runi. Dan, ia tak akan sanggup kalau sampai peristiwa kirim-salam itu tersebar kemana-mana. Jangan sampai orang-orang tahu kalau seorang badung dan populer di kalangan IPS seperti Runi menyukai dirinya yang jelas-jelas kalah dari segi manapun.

Tidak, aku lumayan pandai. Tami membatin.

Tunggu, tunggu, menyukai?

Tami kaget dan menutup mulutnya. Ia menggelengkan kepala dan berkata dalam hati kalau anak itu tidak sungguhan suka padanya dan pastilah Runi sedang menjadikan dirinya lelucon seperti yang ia lakukan pada Bu Fatma hari ini.

"Tami?"

Tami menjengit ketika Alya menggoyang bahunya. Kini semua orang di meja panjang itu menatapnya heran. Sadar jawabannya ditunggu, Tami mengedikkan bahu. "Kenapa harus pindah?"

BRAK!

Lid memukul meja panjang kantin. Semua anak menoleh padanya. Kaget. Ini cewek memang terlalu ekspresif. "Ah, kau nggak perhatian sih, Tam, jadi orang..."

Tami cuek. Ia menyeruput air putih miliknya.

"Kau nggak tahu? Itu si Reno kan udah keluar dari kelas kita gara-gara Ibu Fatma. Sadis banget bibir Bu Fatma!"

"Masa sih?"

Lidya menghela napas. Alya dan lainnya mengikuti.

"Hastagaa... Tami, kamu inget nggak? Pas Ibu Fatma pertama kali masuk, Reno ketawa-ketawa di belakang kelas. Salah dia juga sih, ngobrol kok pakai ketawa-ketawa. Dan... kau bisa bayangin kan? Ibu Fatma langsung marah-marah. Dia bilang 'Kalau kamu merasa nggak sanggup di sini, pindah sebelum terlambat. Mumpung masih awal semester!'" Lidya menarik napas. Kemudian ia melanjutkan, "Dan besoknya, Reno udah jadi siswa IPS 2! Gila nggak tuh!!"

"Ha..?"

"Halah, Reno-nya aja yang sensi."

"Aku kan sudah bilang, jangan banyak ulah sama Bu Fatma!" tiba-tiba Tiara menyela. "Daripada Bu Sinaga, Ibu Fatma lebih sensistif! Senior kan sudah wanti-wanti kita. Aku rasa, udah cukup deh guru-guru pada sensi sama kelas kita. Padahal ini masih awal semester. Kalian tahu? Kelas kita udah dicap sebagai kelas bermasalah!" Tiara menyambar. Ia ingat kelakuan Runi yang terlambat di hari pertama masuk sekolah usai liburan, atau ketika Runi, Baron dan Kaisar yang kepergok merokok di bilik 13 bersama rombongan Ical tempo hari. Semua itu sudah cukup memberi label hitam untuk kelasnya yang baru.

"Tiara, Cantix, kan aku sudah pernah bilang, jangan langsung telan bulat-bulat review orang sebelum kamu memastikannya sendiri." Alya berbicara sengit.

Tiara mengedikkan bahu.

Dengan berapi-api Olin ikut menimpali. "Iya, parah banget Bu Fatma. Malah ya, peraturan-peraturannya itu nyiksa aku banget. Kau bayangin, baru pertama kali masuk kelas, Bu Fatma sudah mendikte peraturan-peraturan selama belajar sama dia. Yang buku latihan harus disampul warna hijau lah, sediakan map khusus untuk laporan praktek lah, nggak boleh telat lah, kalo telat duduk di lantai lah, yang nggak boleh senyum-senyum kalo bahas materi alat reproduksi lah.. bayangkan! Masuk materi itu aja belom udah di wanti-wanti gitu. Aku heran, bener-bener heran! Ada ya guru seperti itu? Demi Tuhan!!" Olin menghentak-hentak kakinya di lantai kantin. Membuat nyaris seluruh orang di kantin fokus padanya.

"Iya bener. Kudengar Bu Fatma memang guru paling sensi di sini. Mungkin bawaan belum nik-"

"Ssh, Ssh! Untuk yang itu jangan disebut!" Alya meletakkan jarinya di bibir. Ia menyingkut Tami yang sejak tadi menunjukkan tampang seperti Charlie Chaplin.

Tami menghela napas. "Menurutku... kita yang harus adaptasi sama watak guru-guru kita. Karena nggak mungkin bagi guru yang harus ngikutin kita semua. Kita kan banyak banget jumlahnya dan kita juga yang akan pergi dari sini, sementara Ibu Fatma, Pak Zul dan guru-guru lain bakal nunggu siswa yang akan dateng lagi selanjutnya. Guru tetap tinggal dan murid yang justru pergi. Aku... nggak pernah menemukan hal paling sulit daripada melepaskan dan adaptasi terus-terusan. Yang jelas, Bu Fatma memang konservatif tapi dia tetep mama kita. Aku rasa peraturan kayak gitu masih bisa diterima, selama bukan sesuatu yang membatasi kreativitas. Peraturan bu Fatma justru bisa dibilang mendidik. Minimal melatih kita rapi dan disiplin."

Semua terdiam. Atau lebih tepatnya melongo.

"Gilo! Gilo! Gilo! Tami, hei, Juleha! baru kali ini aku dengar kamu ngomong banyak! Sembilan puluh dua kata woiii..!" Lidya berseru girang. Ia tergelak-gelak sendiri karena merasa bodoh sudah rela berletih-letih menghitung ucapan Tami.

Tami salah tingkah. Sekaligus bertanya-tanya mengapa Lidya memanggilnya Juleha. "Sori-"

"Kok minta maaf sih? Jangan minta maaf hanya karena menyampaikan pendapat yang bahkan nggak ada letak salahnya di mana."

"Ah kalau Tami dan Alya sih anak baik ya, kita-kita ini mana bisa digituin!" Olin menyela. "Tapi pengecualian buat Pak Tendi, ya. itu guru kok bisa ya sabar banget hidupnya..."

"Bener, bener. Kayaknya Pak Tendi mesti ikut pemilihan guru teladan se-provinsi, deh." Alya antusias.

"Nah kembali ke kasus Runi ini...." Olin memutar kendali lagi. "Di mana dia sekarang?"

"Bu Fatma nyuruh Runi menghadap jam Istirahat ini. Kira-kira itu bocah bakal diapain ya?"

"Skorsing?"

"Nggak mungkin, gitu doang kok skors sih."

"Mungkin dinasehatin buat pindah kelas. Hahaha!"

"Yang benar saja...!" Tiara mendorong bahu Lid. Tapi kemudian ia menerka-nerka. "Kalo aku sih yakin dia pindah. Cowok urakan kayak Runi, mana betah dia sama peraturan gila itu! Aku aja udah muak dengan ceramah bu Fatma kalo anak IPA tuh mestinya gini, anak IPA tuh harusnya gitu... Menurut kalian?"

"Kayaknya Runi nggak bakal pindah." Lid berkomentar.

"Aku juga. Dia memang urakan. Tapi dia itu gentle banget, tau..." Olin menambahkan.

"Gentle apanya?! "

Olin mengangguk. "He is smart but lazy, huh?" katanya lagi sambil menirukan gaya berbicara Dr. Octopus di Spiderman. "Dan dia juga bukan siswa golongan monyet!"

"Maksud kamu?"

"MONYET? MO, MONYET?!" tanya Lid heboh. Ia menatap teman-temannya seolah-olah mereka monyet semua.

"Anak ayam, please. Maksudku-" Olin mengunyah bakwannya, dan melanjutkan, "Kalian tahu sifat monyet gimana? Kalau dia ganggu ladang atau semisalnya, terus kita usir, monyet bisa balik marah sama kita. Ini persis kayak... kalian dimarahin sama guru karena salah, terus nggak terima, lantas besoknya orangtua kalian datang sambil marah-marah. Itu rendah banget, tau nggak?"

"Iyep!" Semua mengangguk setuju.

"Kalo kamu Tam? Menurut kamu Runi bakal pindah nggak?" Tiara bertanya lagi. Semua mata tertuju pada Tami.

"Terserah dia sih..."

Semua diam. Tami telah kembali ke asal muasalnya.

"Tapi jangan pindah deh..." kata Lid.

"Kenapa?"

"Kelas bakal sepi."

"Tapi tadi Runi memang kelewatan sih bercandanya."

"Kan katanya nggak sengaja, Alya!"

"Iya, tapi aku nggak kaget dia seperti itu. Dia kan memang sering bermasalah di sekolah ini. Ya ngudut, bolos, ngerokok, duh... banyak!"

"Betul juga ya... Tapi dia kan begitu, pengaruh lingkungan...." Tiara berdecak.

Tami memutar bola mata. Saat ini dia berada di lingkungan gosip dan dia khawatir akan kelanjutan hidupnya. Tapi Tami pikir tak masalah mengizinkan dirinya menjadi pendengar dan membatalkan rencananya hari ini ke perpustakaan demi menghadiri zona cewek itu. Ia ingin mencoba terlihat normal. Walau ekspresinya masih sangat datar.

Bukankah punya teman itu normal? Setidaknya berusahalah terlihat normal.

***

Runi pikir ada dua ucapan yang masih bisa dia banggakan, selain dicap sebagai berandal, tukang buat onar dan si Bodoh yang nyasar di kelas cerdas. Dia suka kalau Papanya berkata "Jagoan Papa" kalau dia melakukan hal baik (meskipun itu agak memuakkan jika diucapkan Papa sambil mengeluskan jenggotnya ke pipi Runi yang sudah berusia 16 tahun!). Runi juga suka sekali jika Mama akan memanggilnya "Abang" dengan nada lembut dan tidak seperti saat ini, penuh tuduhan seperti guru-gurunya di sekolah.

"Surat perjanjian?!" pekik Mama.

Pada malam hari sepulang dari Muaro Jambi, Mama, yang sedang memandangi tulang ikan gurame sisa makannya dan menganggap kalau usia ikan itu pastilah 100 tahun, langsung berjengit ketika mendapati Runi menyodorkan sebuah surat neraka itu.

"Runi, kamu ngapain aja sih?! Kamu tuh disekolahin biar pinter bukan jadi gini!" katanya sambil mengibar-ibarkan selembar surat. "Mama nggak mau tandatangan!"

Runi memasang ekspresi defensif. Ia hanya berkata, "Ya sudah." Lalu bangkit dari meja makan untuk masuk kamar.

"Mama belum selesai, Runi!"

Runi duduk kembali. Rinda masuk kamar dengan gontai. Datuk memainkan biolanya dengan santai.

Runi pastikan dia tidak pernah mendengar dua kata itu lagi, jagoan papa dan Abang. Karena yang satu tidak ada dan tidak berusaha untuk ada. Dan yang ada, bahkan ada di hadapan, Mamanya, terasa tidak ada dan membuat yang tidak ada menjadi benar-benar tidak ada.

Runi melamunkan hal-hal yang pernah ia lewati dulu sementara Marina sibuk mengoceh panjang lebar soal sekolah dan menjaga nama baik keluarga. Tak lupa Marina sandingkan dengan cerita heroik bagaimana Datuk bisa menyekolahkan dirinya sampai ia bisa menjadi seorang arkeolog seperti sekarang.

Bagi Runi, ceritanya tidak ada yang salah. Hanya cara penyampaiannya saja yang membuat ia mengerang diam-diam. Dan juga keadaannya. Pertama, Mama tidak berhak bicara soal sekolah padahal dia tidak pernah berusaha ingin terlibat. Kedua, nama baik keluarga sudah dihancurkan sendiri oleh Mama. Dan soal perjuangan Datuk, Runi sayang Datuk. Tapi ini lain cerita.

Jadi, Runi tidak peduli sama sekali. Sampai Mama memukul meja dan suasana semakin kelam.

"Sekali lagi kamu dapat surat semacam ini, Mama benar-benar akan mengirim kamu ke kota yang lebih jauh dari Jakarta!"

"Sekalian ke alam barzakh..." seloroh Runi.

"Runi! Kamu nih nggak ngerti kalau lagi diperhatiin-"

"Mama meratiin aku? Meratiin kita? Mama di mana waktu kami butuh?"

"Runi..." Marina mendesah. "Mama tahu kamu begini biar bisa balik ke Jakarta kan?"

"Iya. Mama salah sangka kalau aku sudah betah di sini. Aku cuma nggak mau mati menyedihkan di sini. Bagaimanapun, aku tetap mau balik ke Jakarta. Aku mau tinggal sama Papa."

Sebuah tamparan mendarat di pipi Runi.

"Masuk kamar! Jangan coba-coba keluar hari ini!"

Untuk beberapa saat, Runi memegang pipinya.

Marina menarik tangannya. Ia terlihat frustasi. Di matanya, tidak ada bulir air mata yang menetes sedikitpun. Marina benar-benar tidak tahu apa itu menangis. Dengan histeris, Marina meraih tubuh Runi dan memeluknya erat, mengusap-usap kepala putranya, menciuminya, masih dengan mata yang jauh menembus lantai.

"Runi... Runi..."

Runi tak peduli. Ia merasakan jantungnya berdentum-dentum kencang. Ia masuk kamar, membanting pintu.

"Runi! Runi! RUNI!!" pekik Marina. Tapi Runi tidak ingin dengar apapun.

Sementara di seberang kamarnya, Rinda menangis sesegukan. Datuk memainkan biola dengan gelisah.

***

*Ambu-ambuberarti bodoh. Berasal dari bahasa Kerinci, salah satu kabupaten di ProvinsiJambi

AN. Hai! Happy Reading! Vommentnya jangan lupa ya jehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top