14. Insiden Karet Calok

"Nih. Sudah ya, aku nggak mau nanya-nanya Tami lagi. Dingin!"

Kaisar berbisik sambil menyerahkan sebuah catatan nomor ponsel Tami yang ia dapat dari Lid saat bermain QPQ di pensi kemarin. Saat ini jam Biologi tengah berlangsung. Suaranya di paksa sepelan mungkin. Khawatir ketahuan Bu Fatma yang sedang menerangkan membran sel.

"Kalau alamat rumahnya?"

"Nggak tahu. Aku sudah coba tanya ke Lid, tapi dia malah bilang Quid Pro Quo terus! Sial-dia pertanyaannya ngeselin. Terbongkar aibku. Kau juga sih! Pake bikin game QPQ segala!" ungkap Kaisar sambil melempar pandangan ke arah Lid dengan gemas.

Setelah ikut meneladani Runi yang kadang suka berbicara slang banci, Lid juga meneladani cara mengelak dengan QPQ. Lid bertanya aneh-aneh tentang masa lalu Kaisar, siswi yang Kaisar sukai, tentang Ical, atau tentang teman sekelas ical yang bernama Rangga. Terlebih Lid, kan memang tidak ingin rugi sama sekali. Kaisar punya hubungan tidak baik dengan Lid. Selain, belum bayar hutang pena, Kaisar jengkel saja dengan Gold Digger.

"Thanks ya, Bro." Runi nyengir.

"Lagian kenapa Tami, sih? Ada banyak rumor tentang dia. Kau tahu, nggak? Katanya, Tami pernah bully anak orang sampai masuk rumah sakit."

Runi menatap Kaisar. "Kata Siapa?"

"Ya, katanya..."

Runi tertawa kecil. "Sar... Sar. Kau kok jadi picik gini? Jangan biasakan percaya sama hal-hal yang masih 'katanya'. Itu bisa jadi jalan fitnah."

"Tapi..." Kaisar menghentikan omongannya. Biasanya, orang-orang yang melakukan bullying memiliki hal yang membuat ia merasa hebat. Beda dengan Tami. Gadis itu terlihat biasa saja. Memang, selama berteman dengan Tami di kelas X, Kaisar belum pernah melakukan pembicaraan yang panjang dengan Tami. Cewek itu cuma datang dan diam. Tami adalah generasi paling out-to-date. Penampilan nyaris culun, selera buku yang kuno dan hanya berbicara sekadarnya saja. Berbeda sekali dengan Nadia yang aduhai atau Daniar yang necis. Sangat tidak masuk akal kalau Tami pernah melakukan bullying. Meski rumor-rumor itu pun tidak bisa diabaikan begitu saja.

Runi sendiri kembali fokus menatap punggung cewek yang sudah membuat sistem imunnya melemah belakangan ini. Sesekali Tami terlihat menoleh ke belakang ketika Tiara menyentuh bahunya, menanyakan entah perihal apa. Ia tampak sabar menerangkan sesuatu. Tersenyum singkat, tertawa seperlunya. Tapi di saat seperti itulah, Runi bisa mendapatkan momennya untuk memandang Tami. Hari ini Tami tampak sama seperti sebelum-sebelumnya; sepasang mata yang sendu.

"Kenapa aku suka?" Runi menoleh ke Kaisar. Ia lalu menahan napas. "Dia nasib baik yang bisa aku temukan di kota ini."

"Wuidih...."

"Menurutku, dia itu misteri."

"Misteri...?" Kaisar menyeringai. "Kayak judul majalah."

"Beda. Misteri itu, saking banyaknya informasi, sampai kita tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Ya, itu namanya misteri. Dan... tulang pipinya bagus."

"Ha?"

Runi tersenyum. Anak itu tampak sibuk memainkan karet di jarinya, sesekali mengencang karena dua jarinya yang berjauhan.

Kemudian ia berkata kalau Tami itu unik; dia punya tulang pipi yang bagus seperti Nathalie Kelley pemeran Neela dalam Fast Furious: Tokyo Drift. Dan Tami punya senyum sangat manis, jika ia berbicara seolah sinar datang dari matanya. Jika ia diam, kebekuan di matanya terlihat indah. Berbeda dengan cewek-cewek yang selama ini ia kenal. Cewek-cewek yang kehilangan self-esteem mereka. Atau cewek-cewek yang kelebihan self-esteem.

Tetapi sekalipun sudah dijelaskan, Kaisar tetap saja menyebutkan satu persatu cewek-cewek lainnya, entah itu Alya, Nabila, Hani atau siapapun. Tapi tetap saja, selalu ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

"Lagian, kau pernah sekelas, tapi kenapa nggak tahu banyak tentang Tami?" Runi balik bertanya.

Kaisar memamerkan gigi-gigi serinya. "Kami nggak akrab, Run. Udah aku bilang, kan? Tami itu tersudut sekali. Andai dia bukan anak cerdas, tidak akan ada yang memandangnya." ujarnya. Tangannya yang cekatan mencatat konsep membran sel di papan tulis terhenti seketika. "Sepertinya ada yang bakalan betah di kota ini."

Runi mengernyitkan alis. Ditatapnya Kaisar lekat-lekat. Sampai-sampai Kaisar khawatir Runi akan menggamit tangannya lagi.

"Mending kau konsultasi dengan Baron saja. Baron sama Tami kan satu SD. Sedikit banyaknya dia tahu banyaklah dari pada aku yang sedikit dan tidak banyak."

"Orang gila."

Kaisar tertawa kecil. Ia lalu membidik leher Baron dengan karet. Bidikan Kaisar tepat mengenai tengkuk Baron. Mereka terkikik. Baron yang duduk di depan mereka-sudah dipastikan untuk selalu duduk di depan mereka demi menjadi dinding penghalang pandangan guru-langsung menoleh ke belakang.

"Heh, Bodat! Ngapain sih kalian?" hardiknya sambil mengusap-usap belakang kepalanya. Dari kepalanya, tampak ketombe berjatuhan ke meja Runi. Tatapan matanya sebal menelanjangi kedua temannya. Kaisar memberi isyarat sori-sori sambil terkikik.

"Kau tahu Ron? Hidup itu kadang kayak karet, mundur dulu sebelum melesat hebat."

Baron geleng-geleng kepala. "Eh, Ical tuh komplikasi, selain pilek sama masuk angin, sakit pula hati dia. Tanding bola melawan sekolah Jo kemarin kan kalah. Kurang ajar mereka ngeledekin sekolah kita banci. Siang ini Ical ngajak kita adu tanding lagi dengan Jo. Ikutan nggak?" katanya, sambil berusaha menaruh perhatian pada Bu Fatma yang baru saja meminta semua murid meletakkan buku PR mereka di atas meja agar ia bisa memastikan kalau semuanya mengerjakan.

"Beres..." Runi dan Kaisar tertawa-tawa tanpa suara. Mereka meletakkan buku PR-nya yang bersampul hijau (atas perintah Bu Fatma) dan melanjutkan lagi gaya membidiknya. Runi memicingkan matanya seolah-olah sedang memfokuskan diri untuk memanah. Kadang-kadang, sambil tetap menarik-kendur karetnya, ia mengobrol dengan Kaisar atau berpura-pura mencatat. Sampai tiba-tiba, tanpa sengaja jari Runi melepaskan karet yang membuat benda elastis itu meloncat tepat di pelipis wanita yang ada di depan. Ibu Fatma.

Runi ternganga.

Ia yakin itu tidak sakit. Tapi cukup membuat perempuan itu tersinggung dan merasa harga dirinya sebagai pendidik tercabik-cabik.

Ibu Fatma menghentikan aktivitasnya. Sesaat matanya terpejam, dan mengambil napas dalam-dalam, kemudian otot wajahnya mengencang dan dengan mimik paling tegang, ia memungut karet yang sudah terkulai di lantai. Dengan nada dingin dan geram, ia bertanya;

"Siapa pelakunya?"

Hening. Anak-anak Cuprum yang sedari tadi fokus mendengarkan, mencatat atau bergosip dengan surat-suratan-tak berani bersuara di kelas Ibu Fatma-kini melongo. Beberapa dari mereka juga tengah menatap Ibu Fatma ketika karet itu mendarat di pelipis ibu guru cantik itu. Tak terkecuali Baron yang kini tengah menahan napas. Hari ini, Ibu Fatma menghias bibirnya dengan lipstick berwarna merah tua. Suram.

Di meja sebelah kiri, paling depan, Tami terlongo karena tak tahu apaapa. Ia sedang menggarisbawahi istilah-istilah sulit di dalam bukunya dengan stabilo berwarna sejingga cahaya matahari sore ketika insiden itu terjadi.

"Siapa pelakunya?" Ibu Fatma mengulangi sambil memamerkan karet di tangan kanannya. Matanya mengembara ke penjuru kelas.

Suasana lebih mencekam. Semua siswa saling menoleh. Tak ada yang mengaku dan tak ada yang tahu siapa pelakunya. Tami segera mengerti maksudnya apa. Yang pasti, posisi duduk Tami tidak memungkinkan dirinya untuk membidik pelipis Ibu Fatma. Ia lolos jadi tersangka.

"SIAPA PELAKUNYA!"

Semua tersentak kaget.

"Kalau tidak ada yang mengaku, saya tidak akan masuk kelas ini lagi!"

Semua terlongo. Suara was-wes-wos terdengar. Depa yang berisik mulai berceloteh, "Siapa woi.. ngaku lah..." padahal hatinya girang karena Ibu Fatma yang terkenal judes itu tidak mengajar di kelas Cuprum lagi.

"Diam kamu Depa!" bentak Bu Fatma. Baginya, nada bicara Depa hanya memperburuk suasana hatinya. Ia memberikan tatapan paling menghujam. "SIAPA PELAKUNYA? Kalian ini... alangkah tidak sopannya kalian!"

Tami merasa mulas. Ia benci keributan. Ia benci tekanan. Selalu begitu, sekalipun bukan ia objek kemarahan itu.

"Ayo mengaku! Kalau tidak, saya benar-benar tidak akan mau mengajar di kelas kalian! OKE, kalau tidak ada yang mengaku! Saya yang akan keluar!"

Beberapa detik berdentang. Jam dinding bergambar mesjid biru yang tergantung di antara foto presiden dan wakil presiden itu seolah bergerak sangat lama. Tami mencoba tenang. Wajah-wajah cemas mulai tak pudar dari pandangan. Sesaat kemudian, semua perhatian ruangan tersedot pada satu arah. Seorang siswa berdiri dan menimbulkan suara bangku yang bergesekan dengan keramik karena dorongan kedua kakinya. Runi.

Semua terhenyak. Termasuk Tami.

Ya Tuhan, kok bisa-bisanya sih dia...

Dengan gagah, cowok itu maju ke depan kelas. Wajah tengilnya masih terlihat. "Saya, Bu."

Ibu Fatma menatap Runi dengan pandangan paling menakutkan. "Kamu rupanya?" kata guru anggun itu sembari berjalan mendekati Runi. "Kenapa kamu bidik saya? Kalau sampai karet ini kena mata saya, saya bisa buta! Kamu mau tanggung jawab?" cecar Ibu Fatma.

"Saya nggak sengaja, Bu-"

"Bohong! Beraninya kamu bermain-main saat saya mengajar ya!"

Runi menundukkan kepala. Tidak ada gurat senyum jahil yang terlihat di sana. Ia diam seribu bahasa.

"Kamu ini benar-benar ya... berandal. Kalau kamu merasa tidak sanggup di kelas ini, ya sudah, pindah dari sini! Kelas ini tidak butuh orang-orang tidak serius seperti kamu. Gara-gara kamu, teman-teman kamu nyaris kena getahnya. Sekarang, pilih siapa yang keluar? Saya atau kamu?"

"Tapi kan nggak sengaja Bu..."

"Saya yang keluar, atau kamu yang keluar?"

Semua terdiam. Kaisar memasang wajah paling dungu saat itu. Sementara Runi, masih dalam tundukan dan sesekali dengan garukan kepala, ia melenggang keluar. Sekilas dari sudut matanya, ia bisa melihat Tami menatapnya lalu menundukkan kepala dari bangku paling depan.

***

AN. Yang pernah diusir gurunya angkat tangan! Atau yang pernah mengalami situasi seperti ini. Atau yang pernah disukai cowok yang diusir dari kelas. heleh. ;D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top