12. Bertemu Masa Lalu
Senin, Desember 2009
Sewaktu Pak Zul bertanya; "Perasaan apa yang dimiliki pahlawan-pahlawan?"
Runi sudah terlanjur tenggelam dalam perasaannya sendiri.
Kepala sekolah yang memiliki kumis tipis itu masih memberi petuah kepada siswa-siswanya; siswa kelas X agar bisa menjadi anak SMA sebagaimana mestinya, bukan lagi siswa putih-biru yang masih harus selalu disuapi, kemudian tinggalkan mental-mental anak SMP, dan berhati-hatilah dalam fase yang mereka jalani saat ini karena itu adalah masa-masa pencarian jati diri.
Kepada siswa kelas XI, Pak Kepala Sekolah berpesan bahwa saat ini mereka sudah masuk zona fokus jurusan dan berhentilah bersikap seperti adik kelas. Kepada kelas XII, bersiap-siaplah, persiapkan pilihan pasca SMA dari sekarang. Lalu ia kembali menceritakan para pahlawan, terus mempertanyakan perihal perasaan para pahlawan ketika menyaksikan generasi mudanya terombang-ambing pada kebodohan yang mereka ciptakan sendiri.
Para guru mengangguk-anggukkan kepala. Entah apakah mereka mendengar atau malah ikut tenggelam dalam pikiran mereka perihal lembar ujian yang belum dikoreksi, anak yang sakit, kontrakan yang belum dibayar, atau status sebagai honorer yang tak juga diangkat-angkat jabatannya menjadi lebih baik. Entahlah, tapi tak ada satupun dari mereka yang terlihat tak memperhatikan. Terlihat khusyuk dalam kelelahan yang barangkali gentayangan di hidup mereka.
Sesekali Pak Zul mengeluhkan bagaimana pemuda pada masa dahulu memiliki kedewasaan yang lebih cepat ketimbang saat ini.
"Bayangkan, Buya Hamka masuk organisasi Sarekat Islam di usia 15 tahun. Muhammad Natsir masuk Jong Islamieten Bond usia 15 tahun, lalu Semaun, kalian tahu Semaun? Dia terpilih menjadi ketua Sarekat Islam Semarang di usia 18 tahun!" ucap Pak Zul bergelora. "Lalu bagaimana dengan kalian?" tanyanya lagi. Matanya nampak mengembara ke seluruh manusia yang berdiri di depannya.
"Runi juga ketua pak, ketua majelis bilik 13..!" celoteh Depa dari barisan. Meskipun Pak Zul tidak mendengar, tetapi celoteh itu cukup sampai di antara teman-temannya, dan menimbulkan tawa cekikian.
Di sudut kanan barisan, Tami memutar bola matanya. Kemudian ia kembali fokus dan tersenyum menatap Pak Zul. Tami hapal ceramah itu. Sejak kali pertama menjadi siswa Classic, Pak Zul yang sudah menjabat sebagai kepala sekolah selama lima tahun itu juga memberi kata sambutan dengan menceritakan sejarah pemuda. Dan, berkat guru itu juga, Tami amat menyukai sejarah.
"Menurut kamu, kapan Pak Zul berhenti membicarakan pahlawan di depan kita?" tanya Lid tiba-tiba. Ia berdiri di belakang Tami karena merasa tubuhnya lebih tinggi. Meskipun hanya beda setengah centi.
Tami terdiam. Lalu berkata, "Barangkali sampai ia sadar kalau itu sia-sia."
"Kalau begitu, dia tidak akan pernah berhenti."
Tami mengangguk pelan. Pak Zul memang menyukai sejarah. Guru itu juga tak pernah mau membaca teks ketika berpidato. Seolah-olah ia sudah mempersiapkan pidatonya jauh-jauh hari. Sempat ia pernah berkata, bahwa ia sangat mengagumi Bung Tomo. Tak heran jika ia berpidato, suka sekali membuat kaget seisi lapangan dengan teriakannya yang tiba-tiba.
"Hei kau...! jangan kau rakit bom di sini! Nanti salah setel, mati kita..!" teriaknya pada Hendri, Siswa XII IPA 1 yang ketahuan memainkan ponsel ketika upacara berlangsung.
Sontak semua kaget lalu tertawa.
Menyembul sebuah kepala dalam barisan putih abu-abu, Runi dengan tubuh tingginya tampak sedang memangil-manggil Anto yang berdiri di barisan paling depan. Rutinitas upacara bendera pagi ini beda dari biasanya, ia bermaksud ingin berdiri di barisan depan. Masih pukul 8 memang, tapi siswa yang harus berbaris menghadap tiang bendera, mendengarkan–entah apakah takzim atau lelah–dengan menghadap langsung kearah timur memang sesuatu yang paling menyilaukan pagi itu.
"Anto, Anto, Psst..!" Kaisar terdengar berbisik.
Anto yang tak juga mendengar tiba-tiba kaget ketika lengannya ditowel oleh Tio. Ia menoleh ke belakang, ekspresinya bertanya.
"Apaan?"
Tio mengarahkan telunjuknya ke belakang. Dilihatnya Runi memberi isyarat untuk pindah posisi. Ia mundur ke belakang, Runi pindah ke depan. Sebenarnya Anto heran karena Runi itu jangkung tapi dirinya yang sudah hitam eksotis karena sinar UV Matahari dengan pori-pori kulitnya yang sudah merembeskan keringat itu mengangguk setuju. Berbaris dan berlindung di balik tubuh Baron itu yang ia harapkan.
Berhati-hati sekali, dalam hitungan ketiga, keduanya tampak serempak berjingkat. Berpindah posisi. Misi terlaksana. Runi menunduk dan tersenyum. Diliriknya seorang siswi bertubuh mungil yang berdiri tepat di sebelah kirinya. Tami. Gadis itu tampak bersabar mendengarkan petuah Pak Zul sambil sesekali menutup kepalanya dengan telapak tangan dan menyipitkan kedua matanya yang bertemu langsung dengan Matahari pagi.
"Panas ya, Tam." Runi berbisik.
Tami menjengit. Kaget. Ia menunduk dalam-dalam. Wajahnya memerah. "Iya..." katanya pelan.
Mendengar itu Runi tersenyum. Ia juga bisa melihat Tami tengah tersenyum dalam tundukannya. Pertanda baik. Meskipun Tami selalu berusaha tidak bertemu mata dengannya, tetapi ia bersikap lebih ramah kepada semua orang (cenderung waspada) kecuali Runi. Ia sendiri bingung apakah Tami benar-benar menaruh perhatian besar kepadanya. Meskipun begitu, Runi tetap berusaha mendekati.
Setelah itu, tak ada lagi percakapan apapun. Keduanya tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Terdengar sekilas nasehat Pak Zul pada siswa-siswanya. Jangan tersesat pada kebodohan yang ia ciptakan sendiri.
Pak Zul, aku memang sedang merasa bodoh sekarang.
Selang menit berlalu. Dan, setelah amanat berapi-api milik pak Zul selesai, upacara berlangsung seperti biasa. Sampai ketika mengheningkan cipta dimulai, semua orang justru heboh karena ada seorang siswi yang ambruk di tengah upacara. Dengan cekatan, tim PMR membimbing gadis itu menuju UKS.
***
"Tamtam....!!"
Pintu UKS dibuka dengan sembrono, membuat Tami terlonjak sedikit. Ia familiar dengan suara barbar itu. Cuma satu orang yang bisa berteriak melengking dan dengan berani merusak namanya menjadi Tamtam. Padahal baru kenal.
"Lidiya?" dari balik tirai putih, Tami berbisik tak percaya.
Lid yang merasa namanya dipanggil itu langsung menengok ke kiri-kanan, mencari sumber suara. Di ruangan kecil itu, pihak sekolah hanya menyediakan dua tempat tidur yang hanya dipisahkan oleh tirai pembatas sepanjang 2 x 2 meter. Merasa yakin kalau Tami ada di bilik pertama, dengan kasar ia menyibaknya. Dan benarlah, orang yang ia cari-cari sejak tadi sudah ketemu.
"Ya ampuuuun.... kamu ngapain duduk di lantai?" Lid kaget. Di depannya Tami duduk bersandar sambil memeluk lutut pada kaki tempat tidur. Ia tercenung menatap Lid. Padahal tadinya ia tengah asik menggambar sebuah benua di buku maroon miliknya. Tami kaget Lid dan Alya—yang berdiri di sampingnya sambil membawa segelas susu hangat—menemuinya di tempat ini dan dalam keadaan seperti ini.
"Kamu sudah baikan, Tam?" Lid beringsut mendekat. Menyentuh kening Tami dengan punggung telapak tangannya. "Hangat sih. Tapi kamu kalau masih nggak kuat jalan, pulang gih." kata Lid yang langsung disambut gelengan kepala Tami.
"Kamu harus minum ini untuk nambah energi." potong Alya sambil menyodorkan segelas susu hangat ke arah Tami.
Tami tersenyum tipis dan mulai minum. Ia memang belum makan apa-apa sejak semalam. Sejak ia mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Fokusnya kini berpindah dari lantai ke makhluk-makhluk di depannya yang berhasil menemukan dirinya di tempat sepi ini. Sendirian.
"Kalian kalau gemetar saat sedang apa?" tanya Tami pelan.
Lid dan Alya bersitatap. Tapi Lid segera berkata, "Kalau aku sih saat sedang mengejan di kakus tapi tidak keluar-keluar. Oh ya satu lagi, saat Bu Sinaga mulai membaca absen dan memanggil secara acak siswa untuk mengerjakan latihan di papan tulis. Itu rasanya seperti menunggu detik-detik sebelum hal buruk terjadi dalam hidupmu. Kalau Alya, kau kan sudah tahu dia phobia kecap."
"Memang kenapa?" Alya memajukan badannya lebih dekat ke Tami. Tami hanya tercenung. Ia tak mau bilang.
Setelah menunggu beberapa saat tanpa jawaban, Alya menghela napas.
"Kamu kehilangan jam pelajaran pertama, Tam. Tapi aku sudah buat salinannya buat kamu." katanya sambil menyerahkan buku catatan.
Tami tertegun. Dua cewek di depannya ini sebenarnya sedang apa? Sejak kapan Alya yang hanya peduli pada nilai-nilainya, memedulikan nilai Tami. Sejak kapan Lidiya yang materialistis begitu mengkhawatirkannya? Apa setelah ini, Lidya akan meminta tarif untuk waktu yang terbuang sia-sia karena menjenguk Tami.
"Makasih..."
Tak berapa lama, mata Lid langsung berbinar. Ia teringat sesuatu. "Sehat kan, Tam? Ya udah, yuk cabut! Kita ambil jalan muter ya! lewat kelas IPS."
Kedua mata Tami melebar. Itu ibarat pergi ke timur dulu baru ke barat. Dan lagi, ia alergi dengan zona itu. "Ngapain? Kelas kita kan nggak lewat situ."
"Soalnya..." Alya memutar bola mata.
"Soalnya, soalnya, soalnya..." Lid menyela. Ia ingin ia yang bilang. Kedua tangannya mengibas-ibas seperti kepedasan. Jiwa fangirl-nya mulai menyeruak. "Soalnya... di sana ada Rangga!" Lid berseru riang. "Tam-tam..! Rangga dari kelas IPS 1 yang pernah aku ceritakan kereeen banget...!" pekik Lid. Tangannya sudah memukuli punggung Tami tanpa peduli bahwa Tami bukan bedug. Tidak peduli pada Tami yang sudah kesakitan.
"Nggak... Alya saja. Aku lewat jalan biasa."
"Ah, kalo Tami nggak mau aku juga nggak mau."
Bibir Lid mengerucut. "Lewat doang Tam, aku rela deh jalan di sisi pintunya."
Tami mengernyit. Memang itu kan yang dicari Lidiya? Berjalan di koridor kelas IPS dan berusaha mencari wajah seseorang. Jendela kelas IPS yang berupa kaca dan dengan langkan yang lebar memungkinkan mereka bisa melihat isi dalam kelas.
"Aduh...." Tami menggaruk lehernya. Tami benci sekali dengan cowok nakal. Kalau boleh keterlaluan, ia mungkin juga bisa benci dengan semua jenis cowok. Menurut Tami, cowok itu jarang piket, kasar, berandalan dan segala hal yang bisa membuat onar. Oke, memang benar kalau tanpa peran makhluk berkromosom XY itu Tami tidak mungkin ada di dunia. Tapi bagi Tami, Ayah itu bukan cowok. Tapi lelaki.
Dan, 'Cowok' beda dengan 'lelaki'. B-e-d-a.
Dan bagi Tami, kelas IPS itu sarangnya cowok.
Belum sempat Tami memberikan jurus menghindarnya, Lid yang seperti tersambar roh fangirl garis keras langsung merenggut lengan Tami, kemudian menariknya keluar UKS.
Saking rusuhnya, mereka menabrak seorang siswa. "Oi!"
"Sori! Sori..!" Lidya melambai asal tak peduli siapa yang ia tabrak.Tami sempat melihat. Runi, dengan rambut spikey hair itu menatap mereka sambil membawa sebotol minyak kayuputih dan segelas teh hangat.
***
Sesampainya di koridor kelas IPS.
Tami menahan napas. Seharusnya ia tidak menuruti keinginan Lid. Seharusnya ia tidak di sini! Dari zaman dahulu hingga sekarang, tidak ada siswa yang tidak menikmati jam kosong. Bahkan di saat-saat pergantian jam pelajaran, masa-masa kekosongan itu akan dimanfaatkan sedapat mungkin.
Dari kejauhan, Tami dan Lid bisa melihat siswa-siswa kelas XI IPS 1 terserak-serak di depan kelas. Beberapa anak cewek duduk melingkar dan asik bergosip, seorang cewek berpita merah membawa sapu dan mengejar teman cowoknya. Dan, Tami mulai menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Tepat di depan pintu kelas target, Lid langsung memberi kode. Alya segera mengerti. Ia langsung pura-pura memasang tali sepatu. Di sebelahnya, Tami berdiri seperti orang linglung.
"Kamu ngapain gitu, Tam?" Alya mengernyit. "Ayo jongkok juga."
"Aku?" belum lengkap ia menjawab, Alya sudah menariknya ikut berpura-pura mengikat tali sepatunya. Konyol sekali. Tami mendongakkan kepala dan melihat Lid yang sedang mencuri-curi pandang, berjalan sambil kepalanya tetap menoleh ke kaca jendela kelas di depannya. Sesekali ia berceloteh, "Aduh, buruan dong. Lama banget pasang tali sepatunya."
Padahal Lid berharap Alya dan Tami berlama-lama.
Lid terus mondar-mandir sambil memandang lekat jendela kelas IPS 1. Sampai-sampai ia tak sadar sudah menginjak kaki cowok di depannya.
"ADUH!"
Yang diinjak langsung memelotot. Ia merasa sial, pantatnya masih perih sehabis dipukul Pak Zul karena bolos upacara. Sekarang kakinya diinjak. Ical. "Heh!"
Tapi mata Lid masih sibuk menyapu isi kelas IPS.
"Hoi!"
Lid terlonjak. "Apaa?!"
"Mata! Mata! Sayang aja kau cewek ya, kalo cowok—"
"Kalo cowok, KENAPA? APA?" Lid langsung maju menantang. Cowok itu sampai mundur dan menabrak Edi dan Aldo.
"Biasa aja, dong." Ical balik menantang.
"Aku biasa aja!"
Aldo, yang sejak tadi hanya menonton mulai jengah dengan keributan di depannya. Ia pun mulai nyeletuk, "Lagian kau sih, Lid. Aku perhatikan kau sering lewat sini. Bukannya kelasmu di ujung? Jangan-jangan... kau sengaja mau lihat Ical?" Aldo tertawa geli dengan kesimpulannya sendiri.
"Idih! Lihat dia? NO WAY!"
"HEH!! Siapa juga yang sudi dilihat olehmu!" Ical mengepalkan tangan.
Lid menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Kemudian mengepalkan tangan hendak menonjok. Alya yang masih jongkok langsung berdiri menghentikan.
"Udah, Lid, udah! Ayo..." Alya menarik tangan Lid.
Tami sempat bersitatap dengan Ical. Dan, seperti melihat setan, ia langsung menunduk dalam-dalam. Ical tercenung.
"MINGGIR!" bentak Lidya. Tami buru-buru berjalan sambil mengekor Alya yang memegangi Lidya yang masih terus mengomel karena misi curi pandangnya gagal total. Dalam hatinnya, ia berjanji tidak akan pernah mau lagi ikut jika Lid mengajaknya ke tempat ini.
Ia tidak mau bertemu Ical. Teman SMP-nya dulu.
***
A.N. Hai, selamat membaca! :) Vommentnya boleh?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top