1. Kelas Baru

A place is only as good as the people in it. (Pittacus Lore, I Am Number Four)

*

2008

Setelah—seperti biasanya—memandang langit yang berwarna tembaga, Tami berdiri di depan pintu kelas yang akan ia tempati tahun ini. Tertulis di plang nama, huruf kapital; XI IPA 2. Dan di bawah plang nama itu, ada sebuah Seloko Jambi tertulis dengan warna hitam berjejer rapi berbunyi; Ambil tuah kepado yang menang, ambil contoh pado yang sudah*

Keningnya mengerut. Omong-omong soal contoh pado yang sudah, Tami merasa kalau dia harus bersikap baik agar ia tidak melakukan kesalahan lagi. Dia baru saja naik kelas dua SMA—di Classic—dan dia harus melakukan hal baru lagi di kelas ini, semisal memilih kursi, mencatat jadwal pelajaran baru atau menemukan teman baru—itu pun jika ia sungguh-sungguh ingin mendapatkan teman baru.

Sambil menunduk, Tami masuk kelas barunya yang sudah gaduh dan penuh dengan teriakan riang. Sehabis upacara tadi, pembagian kelas-kelas sudah ditempel di mading, dan seperti anak SD, semua siswa antusias berlari-lari mengejar bangku yang mereka incar.

Tami memilih untuk mengalah dan menunggu bangku sisa. Dia merasa perlu berhati-hati. "Dia Tami, kan?" seorang siswi berbisik dengan teman sebangkunya.

Seminggu lagi Tami baru tahu kalau nama anak itu Nadia.

"Iya, nggak sangka, kita sekelas dengan dia..."

"Dia bawa senjata tajam nggak ya?"

"Heh, senjata tajam? Seriusan?!"

"Ah, cuekin aja. Dia sepenuhnya telinga, dia nggak punya mulut." kata siswi yang lain dengan senyum, disusul tawa teman-temannya.

Tami bergeming. Ia pura-pura mencari tempat duduk. Ia melewati sekelompok gadis-gadis sebaya seperti dirinya. Berbincang, tertawa lalu saling memukul pelan. Tami sempat mendengar kalau gadis-gadis itu sedang membicarakan soal Phobia. Menurut salah satu dari mereka—Tami sempat menguping—Phobia hanya ketakutan yang sendirian. Jidat Tami mengernyit karena mendengarnya. Dan ia mencuri-curi pandang pada seorang gadis berambut sebahu mengembang dan berbicara menggebu-gebu. Sepertinya dialah yang baru saja berkomentar barusan.

"Tami!"

Sebuah suara lembut yang berpadu ketegasan terdengar dari arah depan. Tami menoleh. Tadinya ia ingin acuh saja tetapi ia masih cukup berakal sehat untuk mengangguk sopan dan berjalan mendekati sumber suara.

"Ya...?" Tami menjawab canggung.

Kecanggungan yang menular.

"Eh, oh... hai! Duduk denganku, yuk!"

Tami terpaku. Bukannya ia tidak mau. Tetapi mendengar Alya menyapa dan mengajak duduk bersama itu rasanya seperti mendengar kenyataan kalau ternyata kini jengkol ada saripatinya! dan tersebar di apotek-apotek terdekat.

Dulu mereka pernah sekelas. Yang Tami ingat Alya tak pernah mau berdekat-dekat dengannya. Alya selalu duduk di depan. Sementara Tami selalu duduk di belakang, tempat tersudut. Tempat paling nyaman untuk ada di dunianya sendiri. Bisa dibilang, Alya pintar dan pandai mencuri perhatian guru. Sedangkan Tami, ia berusaha biasa-biasa saja dan tak peduli pada perhatian siapapun.

Alya itu seperti Hermione kecil dalam Harry Potter and the Sorcerer of stone. Ia lembut, suka belajar tapi suka pamer. Banyak yang diam-diam jengkel dengannya yang kadang-kadang tidak bisa mengendalikan diri. Saking rajinnya, ia selalu berteriak, "Ibu, ada PR!" pada guru yang lupa. Atau berkata, "Pak, bukannya hari ini kita ulangan? Bapak lupa?".

Hasilnya, semua anak yang sudah sepakat tidak akan menyinggung langsung dongkol. Berjengit punggungnya seperti kucing kalau marah. Tapi bagaimanapun, keadaan Alya jauh lebih baik. Ia bisa dengan cepat menemukan teman. Otaknya yang encer akan membuatnya dikejar-kejar siapapun, setidaknya untuk menyontek PR. Tabiatnya yang ramah tentu juga tidak akan terlalu menyusahkan.

Tami? Dia hanya murid biasa di asrama Hufflepuff. Bukan spot-light.

"Gimana, Tam? Ayo! Kamu nggak capek berdiri terus?" kata Alya membuyarkan pikiran Tami. Tangannya menepuk-nepuk sebuah bangku di sampingnya. Tidak sabar, Alya langsung menarik tangan Tami dan berkata, "Sudah. Ayo! Lagian Pak Tendi belum bikin peraturan bangku."

Tami masih diam. Sesaat ia menoleh ke belakang. Ada dua bangku tersisa. Sekelompok anak cowok sudah menempati bangku kebesaran mereka masing-masing. Salah seorang cowok bertampang songong memandang Tami dari atas hingga ke bawah. Beberapa cowok sudah membunuh waktu dengan memukul-mukul meja. Bangku paling pojok baik kiri atau kanan yang sudah Tami bayangkan akan ia tempati, sudah diduduki seorang anak berbadan gemuk. Tami gemetar. Tami tak akan berani merebutnya, atau duduk di sarang penyamun itu.

"Hari ini saja." kata Tami akhirnya, ia meletakkan ransel. Alya mengangguk. Ia tersenyum dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

***

*Suri tauladan yang dapat kita contoh, mengambil contoh dari apa yang sudah terjadi.

A/N

halo! selamat membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top