(4) Pintar
Adegan satu: Pantesan
Rasanya waktu itu masih SD, semuanya masih polos dan tanpa noda. Waktu itu aku belum berpikir macam-macam, dan malahan aku merasa sangat bersenang-senang dengan semuanya.
Oke, maaf, narasinya terlalu melantur.
Kalau tidak salah, waktu itu aku sedang mengobrol dengan seseorang. Pembicaraannya menyinggung tentang hasil nilai di kelas.
"Salma ranking berapa?"
"Ranking satu," jawabku sambil tersenyum bangga. Waktu itu adalah pertama kalinya aku meraih juara satu, kelas tiga SD.
"Oh, pantas. Mama kamu kan dokter."
Waktu itu aku terlalu polos untuk merasa tersinggung atau apa pun. Malahan aku anggap itu pujian.
Tapi kalau dapat itu sekarang, kayaknya aku bakalan mendongkol dalam hati.
Pernah enggak, kalian punya teman anak guru, terus dia juara atau dapat prestasi di sekolah, dan yang kalian pikirkan adalah, "Pantas, dia kan anak guru."
Anak guru pasti tahu rasanya. Tenang, Kawan. Anak dokter juga bernasib sama.
Adegan dua: Kayak Mama
Aku kurang begitu ingat bagaimana persisnya, tapi yang pasti waktu itu aku sedang mengobrol dengan orang dewasa dan sedang membicarakan tentang peringkatku di kelas.
"Salma ranking berapa kemarin?"
"Ranking dua," jawabku sambil tersenyum. "Selisih nilainya cuma satu sama yang juara satu." Aku menambahkan dengan ekspresi agak kesal, sebelum tersenyum lagi pada yang bertanya.
"Kan udah hebat, tu, juara dua."
Aku tersenyum makin lebar sambil mengangguk, bergumam, "Iya." dengan pelan.
"Salma pintar kayak Mama, ya!"
Dan kurasa sudut bibirku mulai berkedut karena tersenyum terlalu lebar dan lama.
Oke, aku enggak akan menolak fakta kalau Mama pas muda memang pintar SEKALI. Sampai-sampai Bang Zaki--abang sulungku--yang sekarang kuliah kedokteran di UI benar-benar dapat porsi besar dari kepintaran Mama.
Oke, jangan minta aku bicarakan kepintaran Mama ataupun Bang Zaki. Enggak ada habisnya. Hehe.
Memang sih, rata-rata dokter itu pintar. Aku bukannya mau mempermasalahkan fakta itu, juga mau protes karena dipuji seperti Mama. Aku bukan mau protes, oke? Aku malah bangga.
Cuma, kalau terlalu sering, ugh, ya, kurasa kalian tahu. Jadi, tidak usah dijelaskan.
Adegan tiga: Kok gitu?
Aku punya senior di klub debat di sekolah, namanya Bang Fiqi. Bang Fiqi sama sepertiku, juga anak dokter. Bedanya, kalau aku, Mama yang dokter. Kalau Bang Fiqi, yang dokter itu papanya.
Adegan ini tidak terjadi padaku. Tapi, saat aku sedang menanyakan padanya tentang fakta anak dokter, dia menyinggung soal ini. Jadi, kuanggap hal ini pernah terjadi padanya.
Menurutku, adegannya seperti di bawah ini:
"Fiqi, kok bisa remedi?" tanya salah satu guru.
"Ya, mau bagaimana lagi, Bu." Bang Fiqi menjawab seadanya.
"Kok gitu? Padahal Papa kamu dokter, masa remedi?"
Cengo. Titik.
Lah, itu nyambungnya ke mana coba?
Intinya, seperti itu. Hanya karena kami anak dokter, mendadak orang lain punya penilaian sendiri terhadap prestasi akademik kami.
Bisa-bisa, status kami sebagai anak dokter juga dipertanyakan.
Kebayang enggak, sih? Pas kalian udah belajar mati-matian untuk meraih sesuatu, dan ujung-ujungnya komentar orang cuma kayak.
"Oh, pantas. Dia kan anak dokter."
Ya, yang dokter itu orang tua kami! Kami sekarang pake otak sendiri, tahu!
Atau cuma gara-gara kami tidak diberi bakat untuk bisa menjadi juara kelas, atau teman sekelas kami monster belajar, atau sebagainya, muncul pernyataan:
"Kamu kan anak dokter, kok gitu?"
Sekali lagi, yang dokter itu cuma orang tua kami. Bukan kami.
Kurasa, karena stigma di masyarakat yang menganggap kalau dapat kuliah kedokteran itu cuma bisa buat orang pintar saja, dan dokter adalah profesi paling favorit, dan stigma lainnya yang berlebihan tentang dokter, mengakibatkan hal ini terjadi.
Mungkin, karena aku ada di kota kecil, stigma ini juga jadi terasa sekali.
Aku mengerti, mereka suka berkilah
dengan bilang, uang dokter kan banyak, jadi bisa beri kami makanan yang bernutrisi tinggi, sehingga bisa membuat kinerja otak kami menjadi maksimal. Oleh karena itu, kami pintar.
Oke, alasan itu, bisa diterima sebagian. Tapi kurasa, makanan kami enggak jauh beda sama yang lain. Dan pernah dengar cerita tentang anak yang kurang mampu tapi berotak cemerlang?
Aku ada quotes yang bagus banget dari Bang Fiqi tentang nasib kami ini.
"Seberapa bagus pun kamu, itu bukan kamu. Kalau kamu jelek, kok gitu?"
Ngerti maksudnya, 'kan?
Kuharap, enggak bakalan ada lagi anggapan begini:
Anak dokter pintar? Oh, wajar. Anak dokter, sih!
Anak dokter gak pintar? Eh, dia beneran anaknya, 'kan?
Sudahlah, aku jadi terkesan marah-marah. Hehe.
Kalian sendiri gimana? Pernah enggak hasil akademik kalian dihubung-hubungkan dengan pekerjaan orang tua seperti kami?
Hola hola!
13 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top