(1) Cita-Cita

Adegan satu: Umum

Jawaban yang diharapkan

"Cita-citanya apa? Jadi dokter seperti mama, ya?"

"Iya, Tante. Mau lebih lagi dari mama!"

"Wah, hebat!"

Jawabanku

"Cita-citanya apa? Jadi dokter seperti mama, ya?"

"Enggak," jawabku seraya menggeleng.

"Kok gitu? Enggak mau nolongin orang kayak mama?"

"Hehe, semua profesi kan menolong orang, Tante." Aku cengar-cengir lebar.

Nah, kalau boleh jujur, rasanya enggak ada anak dokter yang enggak pernah ngalamin hal ini; ditanya cita-citanya apa. Dan seperti inilah responsnya. Aku rasa, kalian udah bisa nebak yang ini.

***

Adegan dua: Tidak umum

"Salma besok mau jadi dokter apa?" tanya guru olahraga SMP-ku suatu hari saat selesai jam olahraga.

"Alma enggak mau jadi dokter, Pak." Aku menggeleng tegas. "Alma mau jadi duta besar."

"Kenapa mau jadi duta besar?"

"Karena uangnya banyak, Pak," jawabku polos.

Dan akhirnya, aku kena ceramah dari Pak guru. Dia malah bilang kalau duta besar itu bukan pekerjaan terbaik untukku, dan seharusnya aku menjadi dokter saja.

Mungkin dalam beberapa kasus, hal ini terjadi. Akan ada beberapa orang yang maksa supaya kami jadi dokter. Padahal udah punya cita-cita lain. Kalau udah begini, pandai-pandai saja berkilah dan bersabar.

***

Adegan tiga: Mama ikut-ikutan

Sore itu aku pergi ke klinik tempat mama praktik, karena aku mau pulang. Seperti biasa, aku ngeloyor masuk ke ruangan mama, mengabaikan pasien-pasien yang sedang mengantre.

"Mama!" Aku tersenyum semringah pada Mama dan tanpa tahu malu sedikit bermanja-manja. Padahal ada pasien di depan Mama. Mama sudah selesai memeriksa dan baru akan menulis resep, jadi tidak masalah.

"Baru pulang? Salam dulu sama tante."

Aku tersenyum malu pada seorang wanita yang duduk di hadapan Mama dan segera menyalaminya.

Dan sebuah pembicaraan yang sudah tertebak pun tercipta.

"Anak Ibuk?"

"Iya, yang paling kecil. Abangnya dua sudah kuliah."

"Lah gadang, yo. Kelas bara?" (Sudah besar, ya. Kelas berapa?) tanya tante itu.

"Kelas dua SMA," jawabku masih tersenyum.

"Kamek yo, Buk! Besok mau jadi dokter juga kayak Mama?" (Cantik ya, Bu!)

Aku segera menggeleng pelan. "Enggak mau jadi dokter."

"Inyo ndak nio jadi dokter, do. Wak bujuak-bujuak pun ndak nio. Inyonyo jadi duta." (Dia enggak mau jadi dokter. Dibujuk-bujuk pun enggak mau. Maunya jadi duta.) Mama segera berkata, sebelum tante itu bertanya lagi. "Abangnyo se yang katuju jadi dokter. Iya, Alma?" (Cuma abangnya yang mau jadi dokter.) Mama mengerling menggodaku.

Tante itu tertawa. "Oh, bantuak tu! Karena udah ada abang, jadi ndak mau jadi dokter lagi?" (Oh, jadi begitu!)

Aku mengangguk saja. Dan tante itu pun pergi setelah mama menyodorkan kertas resepnya.

Rasanya otot bibirku pegal karena senyam-senyum terus. Kalau dibilang kesal, enggak juga sih. Tapi, enggak kesal juga salah. Antara kesal dan enggak. Rasanya, kayak aku anak durhaka yang enggak mau menjadi seperti Mama.

Well, untungnya sih, pembicaraannya berhenti sampai di sana. Kalau enggak ....

Adegan empat: Bikin kesal banget

Karena Mama ingin aku tidak pergi jauh-jauh, beliau mulai menawarkanku jurusan-juruan yang mengarah pada bidang kesehatan. Seperti kesmas (kesehatan masyarakat), bidan, dan farmasi.

Aku, tertarik pada opsi terakhir. Dan Mama sepertinya senang karena hal itu.

Suatu hari, aku dan teman-teman sekolah sedang belajar kelompok. Kami mengobrol dan sampailah pada topik cita-cita.

"Mungkin, kalau aku enggak jadi duta, aku bakal jadi apoteker," kataku pada mereka. "Nilai kimiaku lumayanlah, Mamaku juga lebih dukung itu."

"Eh? Iya?" Salah satu teman laki-lakiku terlihat kaget. "Bukannya cita-cita itu harus lebih tinggi daripada orang tua, ya?"

Oke sip, aku kesal bukan main. Jadi maksudnya, apoteker itu lebih rendah daripada dokter?

"Ya, enggak, lah! Apoteker juga uangnya banyak, tahu!"

Pernah lihat adegan di komik-komik yang uratnya kayak putus, terus si tokohnya meledak marah? Nah, hal itu benar-benar terjadi sama aku.

Aku enggak yakin apa anak dokter lain pernah seperti ini, tapi, menurutku, sebelas-dua belas. Pasti ada saja satu atau dua teman yang berkomentar seperti itu.

Empat adegan di atas, pernah aku alami. Tapi, untuk "jawaban yang diharapkan", aku lupa apa aku pernah jawab begitu atau tidak. Mungkin pernah, sebelum aku menukar cita-citaku.

Adegan-adegan itu, hanya sedikit dari berbagai macam adegan yang pernah terjadi.

Itulah salah satu derita kami anak dokter! Orang-orang pasti ngira kami mau jadi dokter juga. Iya, sih. Banyak orang yang mau menjadi seperti orang tuanya, tapi TIDAK SEMUA.

Memang, banyak yang bilang, jadilah orang yang lebih hebat dari orang tua. Jangan mau sama, apalagi lebih rendah.

Tapi, bukan berarti dokter adalah puncak segala profesi! Anak presiden gimana? Mereka juga harus jadi presiden, gitu?

Enggak, 'kan?

Nah, sama aja sama dokter!

Sejujurnya, untuk kami yang cita-citanya bukan dokter, udah lumayan tahan banting sama perkataan orang-orang. Meskipun kadang masih kesal. Tapi, usap dada aja biar sabar.

Kalau kata Bang Sopo,

So, cita-cita kalian apa? Apakah sama dengan pekerjaan orang tua? Atau mau lebih? Boleh dong, kasih tahu aku. Apakah kita senasib?

Hola hola!

Ini fakta pertama! Aku mulai dari yang paling umum, hehe.

4 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top