17
Aeri dengan mata sayunya memandang Jimin yang tengah melepas kemejanya. Sekelebat Aeri merasakan bayang-bayang yang menghantuinya. Ia takut dan juga muak. Membayangkan kenyataan apa yang dilakukan Jimin pada wanita lain tentu membuat hatinya remuk redam. Kendati begitu, ia menginginkan Jimin, lebih dari apapun.
Usapan lembut jemari Jimin di pipinya, membuatnya berdesir. Jimin menempelkan labiumnya pada bahu untuk mengecup, dan memacu gairah Aeri untuk gerakkan tangan meraih surai sang suami dan meremasnya.
"Aku akan melakukannya dengan lembut." Jimin berucap lembut di telinganya. Menyalurkan deru napas panas yang membara. Aeri ingin menyangkal, namun ia tahu, ini adalah pertamanya. Ia meraih tengkuk Jimin untuk membawanya dalam ciuman panas. Persetan untuk menjadi lembut. Ia ingin membuat dirinya terlihat. Ia ingin membuat Jimin tahu bahwa ia adalah wanita yang akan menginginkannya walaupun berkali-kali dipatahkan.
"Jimin." Aeri terengah, ia menatap Jimin dengan lekat, setelah bertautan cukup lama. "Setelah ini, kau harus berjanji padaku. Apapun yang kuinginkan, kau harus menurutinya."
"Tentu saja." Jimin dengan suara seraknya. Ia menyelipkan poni yang jatuh ke telinga Aeri, lalu mengecup keningnya dengan lembut. "Semuanya. Untuk, Ratuku."
Aeri menyunggingkan senyum getir, pilu yang dirasakan ketika menatap manik jelaga Jimin menyiratkan ketulusan sudah tak berarti apapun untuk Aeri. Jemari Jimin yang menari-nari di atas permukaan kulitnya hanya menimbulkan rasa luka yang semakin mendalam. Begitu memuakkan. Tak apa, karena Aeri ingin lebih hancur daripada sekedar goresan luka yang tak berarti. Bulir-bulir keringat terjun ke segala sisi. Jimin telah memenuhinya dengan segala afeksi yang ia berikan, membuat Aeri meracau, sembari mencengkeram bahunya dengan erat.
Degupan jantung yang semakin kencang, Aeri merasa lelah, bagaimana jiwanya bagaikan tercabik, namun bisa pula terasa naim. Ia terengah-engah dengan putus asa. Jimin bahkan tak segan-segan menorehkan luka lain di manapun yang bisa ia beri. Aeri bahkan tak peduli berapa banyak Jimin memberi hak kepemilikannya, nyatanya kepada siapa hak milik itu tak bisa membuat Aeri percaya lagi. Walaupun patah masih bisa untuk singgah, tetap saja luka itu membuatnya harus berdarah-darah.
"Aku mencintaimu, Aeri."
Aku juga. Namun kenyataannya, Aeri tidak ingin mengatakannya, ia tidak ingin Jimin memanfaatkan perasaannya. Sedalam apapun rasa cinta itu, Aeri tetap pada prinsipnya.
Ia akan mencintai sekaligus membenci karena hatinya sudah lelah disakiti. Berkali-kali.
---oOo---
Jimin terbangun di pukul tiga pagi karena suara ponsel yang berdering. Dirinya yang tengah memeluk Aeri merasa terusik. Ia melepaskan tangannya dari Aeri sembari beranjak berdiri dari ranjangnya.
Ia mengerutkan kening, ketika nama Juhoon Mommy tertera di layar ponselnya, sedang meneleponnya. Ia tidak ingat kapan memberi nama nomor ponsel Seungyeon dengan panggilan seperti itu. Apalagi, ia tak pernah merasa menyimpan nomor kontak wanita itu.
Sesuatu yang tak ia sadari ini, apakah Seungyeon yang melakukannya? Untuk membuat Aeri merasa dikhianati lagi? Jimin memijat keningnya, merasa frustrasi. Apabila itu benar, apakah Aeri sudah mengetahui hal ini?
Lebih baik, Jimin mengangkatnya dahulu untuk mengetahui kebenarannya.
"Yeobㅡ "
"Apa lagi yang kau inginkan?"
"Ah, haha. Tenang, Park Jimin. Apa maksudmu?"
Jimin melirik Aeri yang masih tertidur dengan tenang, ia berjalan keluar dari kamar karena takut menimbulkan suara yang membuat tidur Aeri terganggu.
"Aku sedang berada di luar negeri, berbulan madu dengan istriku. Kurasa kau tahu perbedaan jam antara Korea dan Paris, Seungyeon."
Wanita di seberang sana agaknya pura-pura terkejut. "Omo! Aku mengganggu waktumu, ya? Aku tidak tahu, maaf."
"Sudahlah." Jimin membuka whisky yang berada di meja, lalu menuangkannya ke gelas. "Aku tahu kau sedang mengawasiku. Kau pasti sedang merencanakan sesuatu. Bukankah namamu di kontak ponselku juga adalah perbuatanmu? Kau ingin menghancurkan hubunganku lagi? Walaupun kau melakukan cara apapun untuk mendapatkanku, aku tidak akan kembali padamu, Seungyeon."
"Keterlaluan sekali. Tapi, tebakanmu meleset, Jimin. Aku hanya ingin meneleponmu. Bogoshipda." Suara wanita itu diseberang sana menjadi sensual di akhir. "Aku merindukan sentuhanmu setiap saat, kau tahu?"
Jimin menggemeletukkan giginya, merasa amarahnya memuncak. Namun, ia harus berkepala dingin untuk bisa melawan kelicikan Seungyeon. Sejak pertama kali bertemu dengan wanita itu lagi, wanita itu memang tidak akan pernah berubah. Ia kira Seungyeon sudah bisa berdamai dengannya hingga ia tidak akan berbuat hal licik apapun karena ia mempunyai anak. Namun, ia malah memanfaatkan anak itu untuk kepentingan pribadinya.
Walaupun Seungyeon mengatakan bahwa itu anaknya, Jimin tetap ragu. Seungyeon akan melakukan hal licik apapun untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia tahu hal itu.
"Ini terakhirnya kau menghubungiku lagi. Aku bersimpati padamu karena anakmu, bukan menganggapnya sebagai anak kita."
Jimin menenggak whiskey-nya sampai habis, lalu meletakkan gelas kosong tersebut di meja hingga berbentur menyebabkan bunyi yang cukup nyaring. "Mungkin kau bisa mengelabuhiku dengan berbagai cara, tapi aku juga tidak akan tinggal diam."
"Jimin, kau begitu naif. Akuㅡ"
"Diam." Suara berat Jimin menyela membuat Seungyeon yang di seberang bisa merasakan getaran yang tak biasa di dadanya. "Dengar. Kau harus tahu ini. Aku benar-benar menyesal pernah memberikan cintaku yang tulus padamu. Aku lebih menyesal ternyata kau hanya terobsesi padaku. Memang dari awal itu salahku. Dan aku sudah membuang semua kenangan yang buruk itu. Aku harus menyesal untuk kesekian kalinya karena pernah bertemu denganmu. Kau harus tahu juga ... Bahwa aku bisa melukai seseorang. Kapanpun, dimanapun, jika kau berusaha lebih jauh daripada ini, aku tidak akan segan-segan melakukan apapun bahkan jika itu melukaimu."
"Kau keterlaluan sekali, Jimin." Suara Seungyeon berubah menjadi isakan di seberang sana. "Lihat saja nanti, kau akan datang padaku lagi. Kau akan memohon-mohon padaku dan memintaku untuk kembali padamu."
---oOo---
Aeri menyadari bahwa ada perubahan dari sikap Jimin setelah mereka menghabiskan hubungan yang sangat intim malam itu. Jimin membuat dirinya jadi istimewa oleh perlakuannya, namun pria itu terlihat frustrasi secara bersamaan. Ketika ia mencoba tidur lebih awal. Namun ia hanya berpura-pura tertidur, kurioritasnya terhadap perubahan sikap Jimin lebih besar, ia ingin mencari tahu apa alasan Jimin bersikap seperti itu.
Suasana Paris malam itu sebenarnya ramai. Namun, Aeri merasa kesepian. Eksistensi Jimin seperti biasanya sebelum tidur sambil membaca buku, kini hampa. Netranya bisa melihat samar dari jendela jika pria itu tengah berdiri di balkon, membelakanginya. Mengintip sedikit, sembari membuka pintu agar mendapat celah. Pria itu ternyata sedang meneguk wine juga di tangan kanannya yang menggantung di atas pagar balkon. Hingga suara telepon di saku celana pria itu membuyarkan lamunan Jimin yang memandang kosong ke depan, Aeri pun bersembunyi di balik dinding, takut Jimin mengetahui bahwa ia sedang mengupingnya.
"Apakah kau sudah menyelidikinya?"
"...."
"Sulit mendapatkannya? Yang benar saja?!"
Aeri yang mendengar suara Jimin yang meninggi sedikit terkejut. Baru kali ini ia mendengar suara Jimin yang dipenuhi amarah. Ini pertama kali melihat raut wajah Jimin yang memerah, walaupun samar, ia bisa merasakan getarannya.
"Pria? Apakah kau bisa menyelidikinya juga?"
"...."
"Aku akan menunggu informasi darimu segera. Lakukan dengan hati-hati."
Aeri segera kembali berbaring ke tempat tidurnya ketika Jimin sudah menutup teleponnya, untuk berpura-pura tidur kembali. Ia bisa merasakan suara langkah kaki yang mendekat karena pintu balkon terbuka dan menutup lagi. Entah apa yang dimaksud Jimin dengan seseorang yang berada di telepon, namun ia tahu Jimin sedang menyelidiki seseorang. Ia merasa ini berhubungan dengan wanita licik itu, Han Seungyeon. Masih menjadi tanda tanya besar, karena ia tak tahu dengan pasti.
Ia merasakan keningnya dikecup. Sudah pasti itu adalah Jimin, suaminya. Ia bisa menghirup aroma tubuh yang familier yang menguar dari suaminya.
"Maafkan aku, Aeri. Lagi-lagi aku menyakitimu."
"Bahkan kau tak mengatakan jika kau mengangkat telepon dari Seungyeon yang pastinya melukai hatimu tapi kau malah menyembunyikannya."
Deg.
Aeri tak menyangka bahwa Jimin mengetahui hal tersebut. Itu menimbulkan sesak di hatinya.
"Aku tidak akan segan-segan melukainya jika ia melukaimu lagi."
Jimin lalu mencium kening Aeri sekali lagi.
"Aku tidak akan berjanji untuk hal apapun lagi. Namun, aku mohon izinkan aku tetap di sampingmu. Aku ingin membayarkan semua kesakitanmu dengan kebahagiaan yang kupunya."[]
P.s. maaf ya dear, berbulan2 hiatus baru nongol TvT selamat membaca 😍😍 Jangan lupaaaa, komen yaw! Makasih excitednya yang udah nungguin cerita ini. Laffff banyak2 🤟🤟💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top