04
Aeri menutup laptopnya setelah berkutat terlalu lama dengan tugas dari kampusnya. Wajahnya terlihat lelah. Ia kemudian melepas kacamata bulatnya dan mengucek matanya pelan. Setelah ibunya menginap selama tiga hari, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada satu ranjang berdua, tidak ada sarapan pagi bersama, karena ia yang meminta. Itu sudah sebagai mestinya perjanjian Aeri dengan Jimin.
Apakah ia mulai terbiasa dengan kesehariannya yang singkat itu? Entahlah. Hati seseorang mana ada yang tahu.
Karena jenuh, ia lalu mengetik pesan untuk Yoongi.
Maaf mengganggumu, Yoong. Tapi, apakah kau sudah tidur?
Hm.
Bisa diperjelas apa yang kau maksud dengan 'hm' ?
YKWIM
Aku tidak akan selalu mengerti apa maksudmu, Yoong. Aish!
Ada apa menganggu tidurku?
Belum menulis pesan, untuk menjawab, Yoongi sudah menelponnya. Sahabatnya ini memang selalu peka.
"Ada apa menganggu tidurku?" Pria itu langsung melontarkan pertanyaannya tanpa basa-basi. Aeri sudah hafal sekali perihal kelakuan Yoongi yang seperti itu.
"Ck. Aku kan bisa menjawabnya di pesan. Kenapa malah menelponku?" Aeri pindah duduk di tepi ranjang, setelah mematikan lampu kamarnya.
"Aku malas mengetik." Terdengar suara berisik dari seberang sana. "Aku sedang meluangkan waktu untukmu, cepat katakan."
Aeri merebahkan badannya, "Tidak sabaran sekali." Lalu menggulingkan badannya sambil menatap ke langit-langit kamarnya. "Aku masih penasaran dengan omonganmu tempo hari di danau."
Ada hembusan berat dari seberang sana, sebelum Aeri meneruskan kata-katanya, Yoongi sudah menyela.
"Cepat tidur. Kau hanya akan merasa pusing jika kuberitahu. Otakmu tidak akan sampai."
"Ya!"
Belum sempat melayangkan protesnya, Yoongi sudah mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Kadang, pria itu memang membuat darahnya mendidih.
Satu pesan masuk ke dalam notifikasi ponselnya.
Good night, uri kang-a ji. [Kesayanganku]
Ini sedikit jenaka, tapi aku menyarankan, besok pakailah syal.
Aeri lalu mengetik balasan singkat dengan kalimat 'Ya, baiklah.' Karena ia sudah paham jika Yoongi mengingatkan, pasti akan terjadi sesuatu.
Tapi, kini ia bingung, walaupun ia menurutinya. Musim dingin masih lama, tapi apakah akan lebih cepat yang ia perkirakan?
Ia lalu menggeleng tak peduli.
❤❤❤
Setelah meletakkan cangkir bekas kopinya ke dapur, Jimin kembali naik tangga menuju ruang kerjanya. Tapi seketika ia melirik kamar utama tepat di samping ruang kerjanya.
Apakah Aeri sudah tidur, pikirnya.
Bohong jika Jimin tidak rindu. Walaupun mereka serumah, jarak yang diberikan Aeri terlalu jauh. Hingga ingin menggapainya pun teramat susah untuknya.
Karena menuruti kata batinnya, ia kini berada di depan kamar utama sekarang. Dengan gugup, ia memutar kenop pintunya dan masuk ke dalam. Bersamaan ia melihat pemandangan yang tidak ia duga.
"Astaga, padahal waktu itu tidak terlalu sulit utuk menaikㅡKyaaaaa!"
Jimin merutuk lalu membalikkan badannya ke arah pintu. Bodohnya ia masuk pada saat yang tidak tepat. Padahal, punggung terekspos gadis itu yang ia lihat, bukan yang lain.
"A-apa yang kau lakukan?!" Aeri bingung bagaimana menyembunyikan rona pipinya yang merah padam. Ia membalikkan badan, menyembunyikan punggung yang terekspos akibat jalan resleting yang macet.
Jimin yang bingung ingin menjawabnya terbata-bata. "A-ah, mianhae, Aeri. Aku tak tahu kau sedang berganti pakaian."
Aeri embuskan napas, sedikit lega. Sepertinya, dengan sedikit berat, ia memang membutuhkan pria itu untuk membantunya. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu melontarkannya perkataannya dengan ragu-ragu.
"A-aku minta tolong. B-bisa kau naikkan resleting gaun tidurnya? Sepertinya macet."
Jimin memandangnya dengan tatapan lamat. Bersitatap lebih lama, membuatnya memalingkan muka. Aeri tak sanggup menatapnya lebih dari apa yang ia sanggupi. Karena Aeri sudah benci.
"Jika tidak ingㅡ"
Aeri merasa membeku ketika merasakan jemari yang ia kira Jimin tak sengaja menyentuh punggung polosnya lalu menaikkan resleting-nya. Jimin menyudahinya dengan berikan kecupan di pipi Aeri dengan ringan. Sentuhan itu, Aeri membencinya. "Sudah."
"Kalau begitu terima kasih, kau boleh pergi." Aeri tanpa membalikkan badannya. Ini karena pipinya masih terasa panas.
Jimin membalikkan badannya, hingga ia menubruk dada bidang pria itu. Tapi dengan refleks, kedua tangannya yang menahan agar tak terlalu menempel pada pria itu.
"Aeri-ya." Jimin memakukan pandangannya pada netra indah Aeri. Kedua tangannya memeluk punggung gadis itu.
“Bisakah aku tidur di sini, lagi?”
Aeri memberontak lalu mendorong badan Jimin menjauh. "Kemarin-kemarin hanya bentuk kebohongan di depan ibu, Jimin. Kau tahu itu."
"Apa salahnya memulai dari sekarang?" Jimin bergumam. "Bukankah kita suami istri?"
“Kau yang melamarku. Seandainya aku tidak ingin, kau akan tetap memaksaku, Jimin.”
Jimin memandang sendu. "Aku mencintaimu, Aeri."
Aeri eratkan kepalan. Memori itu kembali pada masa lalu, membuat ia terpuruk begitu lama, perosokkan diri dalam lubang kesedihan yang penyebabnya adalah pria dihadapannya ini.
“Tidak ingat bagaimana mesranya kau dan Han Seungyeon di belakangku, Jimin? Apa bagimu belum cukup puas?”
"Aku sudah mengakhirinya."
Jimin merasakan sakit ke ulu hatinya ketika gadis itu mengucapkan nama yang memang menjadi masa lalu mereka. Ah, atau masih sekarang?
"Semudah itu? Meninggalkannya kemudian kembali padaku itu yang kau sebut mencintaiku, Jimin?"
Jimin menggeleng. Kepalanya mulai berat, ia menatap sendu pada Aeri. "Aku memang melakukan kesalahan besar. Tapi, aku tak pernah melakukan apa yang kau tuduhkan."
"Aku tidak melakukannya, aku tidak pernah melakukannya! Tidak, maafkan aku, Aeri." Suara Jimin memelan di akhir kalimat.
Wajah Aeri berubah pias melihat Jimin yang menutup kedua telinganya dengan air mata membasahi pipinya. Wajah itu, wajah bak malaikat yang sering ia lihat diam-diam dengan begitu mudahnya seperti anak kecil yang merindukan ibunya.
Ia berjongkok, dihadapan Jimin yang masih menggumamkan kata-kata itu. "J-jimin. Iya, kau tidak melakukannya, ya. Sudah, ya. Uljima." Suaranya bergetar ketika wajah Jimin memandangnya dengan tatapan yang takut dan rapuh. Apa yang ia lewatkan tentang pria ini? Suami-nya memang terlihat begitu rapuh, berbeda sekali jika berada di kantor. Pribadi murah senyum dan jarang marah.
Aeri membawa Jimin ke tepi ranjang. Ia sekarang akan bersikap lembut melihat Jimin seperti ini. Entahlah, agar pria itu membaik keadaannya, mungkin.
Untuk malam ini, sepertinya ia membiarkan Jimin tidur dengannya. Karena perasaannya mulai melunak ketika melihat Jimin menangis untuk kali pertama. Apalagi penyebabnya adalah ketika mereka membahas masa lalu. Jimin kemudian membaringkan badannya, disusul Aeri masuk ke dalam selimut. Ia sedikit menjaga jarak dari Jimin.
Tapi tak disangka, Jimin menariknya, mendekapnya dengan hangat. Jimin menaikkan selimutnya sampai dada, lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Aeri.
"Kuharap ini bukan terakhir kalinya, Aeri." Jimin berbisik pelan. "Tak peduli dengan Seungyeon, dia hanya masa lalu. Akan kuberi tanda bahwa kau milikku."
Jimin memang egois. Kendati ia menyakiti Aeri, ia tak ingin membuat Aeri pergi darinya lagi.
Aeri tak dapat memberontak, walaupun kini dirinya ingin sekali melepas dekapan erat Jimin. Karena embusan napas hangat yang menerpa lehernya membuat debaran hatinya meningkat.
Kini Jimin menunduk, mencecap leher Aeri lalu menghisap kuat sehingga kulit putih itu membekas ruam merah keunguan.
"Ssh, Jimin. Aku...." Aeri sudah blank. Pikirannya melayang bagaimana nikmatnya bibir Jimin terus mendarat di lehernya dengan kecupan-kecupan yang membuat gairah. Jimin mengangkat badannya, memandang wajah Aeri yang menawan dengan sepasang mata yang menutup. Nafasnya sedikit tersengal akibat ulahnya.
"Aku mencintaimu, Aeri."
Jimin langsung mendaratkan ciumannya di bibir Aeri.[]
Yo, hitman bang. Wkwk
Kembali dengan episode baru, apa tanggapan untuk chapter ini?
Semoga bisa menebak alurnya. H3h3. See you again.
Ig. Its.yourscrittlare
November 10, 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top