Third Love [Extra Part]
Mungkin kisahku singkat, tapi aku yakin kisahku dengannya di masa depan tak sesingkat kisahku yang akan kuceritakan.
Namaku, Arvan Prasetya Isfahani. Aku baru saja lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan baru saja beberapa hari di Indonesia. Hari ini aku memutuskan untuk shalat berjamaah di Masjid Istiqlal. Aku sangat merindukan suasana Mesjid terbesar di Asia Tenggara tersebut. Dulu, bersama sahabatku, Ahmad Rian Shaydan. Kami sering menyempatkan diri shalat berjamaah di Masjid Istiqlal.
Saat hendak memasuki Mesjid, aku melihatnya pertama kali. Seorang gadis cantik yang juga hendak memasuki Mesjid. Wajahnya tampak senang. Dan hatiku seketika bergetar. Jika memang saat itu aku jatuh cinta, pasti dia adalah cinta ketiga dalam hidupku. Karena cinta pertamaku adalah Allah SWT dan cinta keduaku adalah wanita yang sudah melahirkanku, Ibuku.
Namun, Astaghfirullah! Aku beristighfar kemudian menahan pandanganku terhadapnya. Nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa wanita adalah aurat. Dan aku sebagai pemuda muslim seketika menyadari tentu saja gadis itu begitu mempesona karena dia adalah aurat. Gadis itu, yang pada saat itu aku belum mengetahui namanya, memang tidak berhijab. Tapi saat itu aku merasakan, kelak, dia akan berhijrah dan berhijab dengan sempurna. Setidaknya itu juga menjadi doaku.
Aku tak langsung mengajaknya berkenalan saat itu juga. Aku lebih memilih menahan pandanganku, menahan hasrat dan hatiku. Aku memilih bersabar sembari mengaguminya dari jauh. Semenjak melihat gadis itu, aku berdoa agar bisa dipertemukan dan diperkenalkan padanya. Aku bersabar, hingga tiga tahun yang cukup lama bagiku.
Selama tiga tahun itu, aku memupuk rasa kagumku padanya. Sedikit demi sedikit, berdoa untukku dan untuknya agar kelak bisa dipertemukan menurut kehendak Allah SWT. Dengan kesabaran hatiku, rasa kagumku padanya tak berkurang. Tetap pada usahaku mencoba menahan pandangan terhadapnya dan menahan diri dari hasrat yang menggebu.
Dia suka sekali menyempatkan diri shalat berjamaah di Istiqlal. Dia juga suka memandang ke arah Gereja Kathedral. Aku rasa dia mengagumi bangunan itu. Beberapa bulan setelahnya, aku melihat dia sering mengunjungi Gereja Kathedral bersama seorang pria. Aku rasa pria itu adalah pacarnya. Namun, tetap tak mengurangi rasa kagumku padanya. Aku semakin gencar berdoa dan tetap bersabar pada hatiku.
Setahun kemudian, aku masih tetap mengaguminya dari jauh, di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Sekali lagi, aku melihatnya dengan seorang pria mengunjungi Gereja Kathedral. Pria ini berbeda dengan yang sebelumnya. Aku melihatnya dia tampak bahagia dengan pria itu. Aku merasa mereka saling mencintai.
Aku tetap tidak goyah akan rasa kagumku pada gadis itu. Kali ini doaku bertambah, seandainya dia adalah jodohku maka persatukanlah kami kemudian aku berdoa untuk gadis itu agar terpanggl hatinya untuk berhijrah. Mungkin terdengar aneh, aku tidak mengenalnya, tapi aku dengan ketulusan hati mendoakannya yang terbaik. Mungkin inilah yang di namakan kekuatan cinta. Dan, Astaghfirullah! Aku mencoba bersabar, menahan hasratku.
Sampai akhirnya, doaku tak sia-sia. Allah menjawab semuanya. Aku dipertemukan pertama kali dengannya saat menemani sahabatku Rian Shaydan, menemui calon istrinya, Nirma Ardiana. Yang ternyata adalah sahabatnya. Namanya adalah Arisa Pramudya. Dan kini dia berhijab. Terlihat sangat cantik. Terlebih aku mendoakannya agar terpanggil hatinya untuk berhijrah.
Pertemuan kami selanjutnya adalah saat pernikahan sahabatku dan sahabatnya. Aku merasa Allah sudah sangat membantuku dan kini harus dengan usahaku mengenal lebih dekat dengannya, Arisa. Tetap dengan diriku yang harus menahan pandanganku terhadap hasrat kepadanya dan bersabar dengan hatiku. Aku mulai memberanikan diri menyapanya saat melihatnya di Stasiun Juanda. Kulihat dia baru selesai shalat di Mesjid Istiqlal.
Semenjak hari itu, kami mulai dekat, pada jarak yang cukup di pahami bahwa kami berdua bukan muhrim. Arisa baru saja memasuki kehidupan baru setelah berhijrah dan aku merasa perlu membimbingnya. Semakin kami saling mengenal, seperti ada rasa di antara kami yang tak bisa diungkapkan. Dan sekali lagi, aku bersabar pada hatiku.
Hari ini aku dan Arisa berencana ke rumah sakit untuk menjenguk istri sahabatku yang baru saja melahirkan.
“Assalamua’alaikum, Nirma.” Arisa mengucapkan salam begitu masuk ke dalam kamar pasien.
“Wa’alaikumussalam, Arisa. Eh ada Arvan juga.” sambut Nirma yang sedang menidurkan si kecil Shaydan.
“Gimana kabarmu Nir? Baik-baik saja kah?”
“Alhamdulillah baik-baik saja, Sa. Rafa juga sehat, aku melahirkan normal.”
“Oh jadi si kecil Shaydan ini namanya Rafa?”
“Iya Sa. Arafah Ibnu Shaydan, nama lengkapnya.”
“Namanya bagus Nir, Bapaknya yang kasih nama?”
“Iya Sa, siapa lagi?”
Arisa dan Nirma terlihat tertawa bahagia.
“Oh iya Arvan, suamiku mas Rian, sedang keluar, mungkin sebentar lagi balik. Kamu tunggu saja ya?”
“Iya Nir, aku akan menunggu dia.”
Aku pun beranjak keluar memilih menunggu Rian di luar kamar dan memberi ruang kepada Arisa dan sahabatnya bercengkrama. Beberapa lama kemudian sahabatku datang dan kami masuk ke dalam kamar. Rian dan Nirma begitu bahagia dengan kelahiran putra pertama mereka. Aku juga turut bahagia untuk mereka.
Diam-diam kulirik Arisa yang dengan begitu senangnya melihat keluarga kecil sahabatnya itu. Dalam hatiku kini berharap semoga kelak aku juga bisa memiliki keluarga kecil bersamanya. Arisa lalu menatapku. Dia tersenyum padaku dan kubalas senyumnya. Kurasakan jelas di balik senyuman kami berdua ada sepercik cinta dan sebuah ikatan yang akan mempersatukan kami kelak. Semoga saja. Aamiin.
- end of story -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top