First Love [Extra Part]

Aku adalah Jonatan Rafael. Hari ini aku bertemu dengan seorang gadis yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Aku sedang berdoa seperti biasa sambil memandang Bunda Maria. Lalu tiba-tiba dia muncul dan mengatakan sesuatu yang membuatku jatuh hati seketika begitu melihat senyum indahnya yang sangat cantik.

Arisa Pramudya, dia memperkenalkan dirinya padaku. Dan aku tanpa sadar membalas uluran tangannya lalu berkenalan dengannya. Sungguh tak bisa ku bayangkan hari ini. Karena seumur hidupku, aku hanya mengenal tiga wanita yang aku cintai dan sayangi. Bunda Maria, Ibuku dan sahabatku, Bernadetta.

Kini, seorang Arisa muncul dalam hidupku dan singgah begitu cepatnya di dalam hatiku. Aku merasakan perasaan berbeda kepadanya untuk pertama kalinya. Yang membuatku bertanya-tanya apakah dia juga merasakan hal yang sama? Dia seorang muslim, tapi apakah berdosa bila aku jatuh cinta padanya?

Pertemuan kami memang tidak biasa, setidaknya bagiku. Arisa yang terjebak hujan terpaksa harus menunggu hujan reda di Kathedral, gereja yang biasa kusambangi ketika berdoa. Lalu dia dengan sikapnya yang polos menyapaku dengan sebuah kalimat yang membuatku bergetar “Aku suka mata kamu saat berbicara kepada Tuhan.”

Dia kemudian memperkenalkan dirinya dengan senyum indah yang terukir di bibirnya yang cantik. Arisa, sesungguhnya dia cantik sekali tanpa harus tersenyum sekalipun. Aku jatuh hati pada ungkapannya sekaligus jatuh cinta pada senyum indahnya di pertemuan pertama kami.

Arisa, ternyata dia suka sekali berbicara dan tertawa. Dia juga menyukai hujan. Dan aku juga mengetahui bahwa Arisa sangat mengagumi bangunan Kathedral. Kami mengobrol banyak sambil menunggu hujan reda di dalam gereja. Arisa mengatakan, dia sangat bersyukur hujan turun hari ini, karena membuatnya di beri kesempatan masuk ke dalam bangunan Gereja Kathedral dan bertemu diriku. Mungkin, aku yang sangat bersyukur karena bertemu dirinya.

Aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, sebenarnya, aku tak ingin berpisah dengannya. Arisa tidak menolaknya jadi aku antar dia pulang. Entah kenapa aku sungguh senang bertemu seorang Arisa Pramudya hari ini.

Saat di perjalanan, Arisa menanyakan sesuatu yang membuatku terhenyak dan ragu untuk menjawabnya.

“Jo, umur kamu berapa? Kalau aku baru 20 tahun dan sedang kuliah.” tanya Arisa kepadaku.

Aku bingung untuk menjawab, apakah jika Arisa tahu aku lebih muda 3 tahun darinya, dia akan tetap mau bertemu denganku lagi?

“Jo! Kok gak di jawab?” Arisa bertanya lagi kepadaku.

“Eh, iya Sa. Aku seumuran dengan kamu.” jawabku berbohong kepadanya.

“Wah kita seumuran ya? Baguslah kalau begitu.” kata Arisa senang

Aku sebenarnya tidak ingin membohonginya. Aku jadi agak menyesalinya. Tapi aku berjanji dalam hatiku, suatu hari nanti aku akan mengatakan yang sebenarnya.

Aku mengantar Arisa tepat di depan gang menuju rumahnya. Aku tidak tahu persis di mana rumahnya. Tapi bagiku itu tidak masalah, kami saling bertukar nomor ponsel dengannya, aku senang sekali, setidaknya aku bisa menghubunginya lagi nanti.

*****

Hari minggu ini aku berencana mengajak bertemu Arisa di Kathedral setelah misa, sudah beberapa minggu kami saling mengenal satu sama lain dan aku ingin Arisa bertemu Ibuku. Aku sudah bercerita banyak tentang Arisa kepada Ibuku. Beliau juga tahu kalau Arisa seorang muslim dan berbeda keyakinan denganku.

“Mah, kenalin ini Arisa.” kataku memperkenalkan Arisa pada Ibuku.

“Oh ini yang namanya Arisa? cantik loh Jo, manis.” ujar Ibuku.

“Pagi Tante, saya Arisa Pramudya.” Arisa menyapa Ibuku, dia juga menyalim tangannya.

“Arisa mampir yuk ke rumah? Tante pengen tahu banyak soal kamu.” Ibuku mengajak Arisa ke rumah, aku ingin menolak permintaan Ibuku tapi Arisa keburu meng-iyakan.

“Boleh Tante kalau enggak ngerepotin.” Arisa melirikku dan aku memberi kode untuk - menolak - permintaan Ibuku. Tapi Arisa merasa sungkan menolak permintaan Ibuku.

“Ah enggak ngerepotin. Yuk masuk ke mobil.”

Arisa dan Ibuku duduk di bangku belakang dan aku yang menyetir. Aku senang sekali ternyata Ibuku mau berkenalan dengan Arisa. Padahal status kami juga belum berpacaran.

Sesampai di rumah, aku meninggalkan Arisa dengan Ibuku di ruang tamu. Aku sendiri menuju ke kamarku sebentar.

“Arisa, kamu sekolah di mana?” tanya mamanya Jonatan.

Arisa tampak bingung dengan pertanyaannya kemudian dia menjawab, “aku enggak sekolah Tante, aku sudah kuliah.”

Kali ini Ibunya Jonatan yang tampak bingung, “Kamu kuliah?” tanyanya yang di jawab anggukan dari Arisa, “kalau boleh tau umur kamu berapa?”

“Umur saya 20 tahun Tante, sama kayak Jonatan.” jawab Arisa.

Ibunya Jonatan agak terkejut. Namun, tidak di sadari Arisa. Beliau hanya tersenyum ke arah gadis itu.

Aku kembali dari kamarku dan segera menuju ruang tamu. Kulihat Arisa dan Ibuku masih asyik mengobrol. Aku berencana mengajak Arisa pergi berdua, jadi aku berpamitan dengan Ibuku.

“Mah, Jojo mau ngajak Arisa keluar.” kataku.

“Kamu emang mau kemana? Kenapa enggak di rumah aja? Mama kan masih pengen sama Arisa.” ujar Ibuku seakan menolak permintaanku.

“Tapi Mah, Jojo pengen berdua aja sama Arisa.” jawabku agak kesal, aku mulai bersikap seperti anak kecil tapi kutahan karena ada Arisa.

“Jo, enggak apa-apa di rumah aja.” sahut Arisa.

Aku mulai memasang muka ngambek. Arisa tertawa geli melihatku dan aku agak malu di buatnya.

“Yauda, Arisa, sepertinya anak tante ini maunya sama kamu daripada sama Ibunya sendiri.” kini Ibuku yang ngambek.

“Tante, maaf. Arisa enggak apa-apa kok kalau di rumah aja.” Arisa kemudian melototiku.

Ibuku tertawa melihat tingkahku dan Arisa, “yauda kamu Jo, bawa Arisa jalan-jalan, Mamah mau istirahat. Inget ya, jaga anak gadis orang, jangan kamu apa-apain.”

Aku dan arisa tertawa mendengar perkataan Ibuku. Aku pun memeluknya.

“Makasih ya Mah. Jojo sayang sama mamah.” kataku lalu mengecup kedua pipinya.

Aku dan Arisa pergi jalan berdua, aku mengajaknya ke Starbucks, tempat favoritku, tapi ternyata Arisa tidak menyukai Starbucks. Katanya, di Starbucks tidak menjual jus alpukat, hanya menjual kopi saja. Arisa, dia enggak suka kopi, yang dia suka minum jus, terutama jus alpukat.

Beberapa kali kami pergi jalan berdua, aku mengajaknya ke Starbucks. Arisa tidak menolaknya, asal aku membelikan dia Jus Alpukat.

*****

Setelah pertemuan dengan Ibuku, aku ingin mengenalkan Arisa kepada sahabatku. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku begitu senang ingin mengenalkan Arisa dengan orang-orang yang ada di hidupku. Jadi, aku mengirim pesan pada Arisa.

Jonatan: “Sa, besok bisa ikut aku enggak?”

Arisa: “Kemana?”

Jonatan: “Aku ingin mengenalkan kamu dengan sahabatku.”

Arisa: “Oh bisa aja kok.”

Jonatan: “Aku jemput kamu di antara Kathedral dan Istiqlal ya besok!”

Arisa: “Hahaha. Maksud kamu Halte Kathedral?”

Jonatan: “Iya Sa, di situ! Hahaha. Nanti kita ketemu sahabatku di Starbucks.”

Arisa: “Oke. Tempat favorit kamu ya Starbucks.”

Jonatan: “Iya Sa. Hehe. Enggak apa-apa kan?”

Arisa: “Iya Jo, enggak apa-apa kok. Sampai ketemu besok ya.”

Jonatan: “Oke. Selamat malam, Arisa.”

Aku mengirim pesan terakhir untuk Arisa. Senang sekali rasanya, sampai-sampai aku lupa memberitahu Bernadett, padahal besok aku ingin mengenalkan Arisa padanya.

Keesokan paginya aku langsung menghubungi Bernadett karena teringat belum memberitahu dia.

“Halo? Bear?”

“Iya, ada apa Jo?”

“Lo bisa kan ke Starbucks siang ini?”

“Bisa aja kalau siang. Ada apa sih? Penting banget?”

“Iya Bear, penting banget! Oke sampai ketemu di Starbucks ya!”

Aku mengakhiri panggilan dan bergegas mempersiapkan diri lalu menuju Halte Kathedral untuk menjemput Arisa. Begitu sampai di sana kulihat dia sudah menunggu di Halte. Aku pun menepikan mobilku.

“Sa! Yuk masuk mobil!” teriakku.

“Eh Jonatan.” ujar Arisa, dia pun langsung masuk ke dalam mobil.

“Maaf ya Sa, udah nunggu lama?”

“Enggak kok, baru aja.”

Kami langsung menuju Starbucks dan di sana sudah ada Bernadett. Aku memperkenalkan Arisa padanya. Lalu aku teringat lupa membelikan Jus alpukat untuk Arisa, jadi aku meninggalkan mereka berdua di Starbucks.

Aku tidak tahu apa yang di bicarakan Arisa dan sahabatku. Tapi begitu aku kembali suasana terasa canggung. Bernadett seperti tidak menyukai aku hanya membeli Jus Alpukat untuk Arisa. Aku tahu Bernadett juga menyukai Jus Alpukat tapi kulihat dia sudah memesan Caramel Machiatto jadi aku tidak membelikan untuknya.

Terjadilah perdebatan antara aku dan Bernadett, Arisa mencoba mencairkan suasana dengan menawarkan Jus Alpukatnya untuk Bernadett. Namun, entah kenapa sikap Bernadett sedikit kasar pada Arisa. Aku yang tidak enak hati pada Arisa akhirnya lebih baik menuruti kemauan Bernadett, membelikannya Jus Alpukat.

Hari ini, pertemuan Arisa dan sahabatku di luar dugaan! Aku masih tidak mengerti kenapa Bernadett terlihat tidak menyukai Arisa. Jadi kuputuskan mengajak Bernadett saat rencanaku mengajak Arisa jalan ke Kota Tua. Ku pikir karena status hubunganku dengan Arisa yang belum berpacaran dan ingin mendekatkan Bernadett dengan Arisa, jadi aku mengajak sahabatku itu.

Aku merasa tidak tenang dan kepikiran jika salah satu wanita yang aku cintai dan sayangi mempunyai hubungan yang buruk. Karena aku tidak mau memilih di antara mereka. Aku juga tidak ingin menyakiti mereka.

Sekali lagi, sepertinya sebuah kesalahan mempertemukan Bernadett dengan Arisa. Acara jalan-jalan ke Kota Tua bersama mereka jauh dari yang aku harapkan. Sepanjang hari aku melihat Arisa tampak kesal dan terlihat tak ingin bergabung denganku dan Bernadett.

Sungguh aku masih tidak paham dengan sikap Bernadett. Padahal seumur hidup aku mengenal dirinya, dia gadis yang supel dan menyukai siapa saja teman yang aku kenalkan padanya. Sampai beberapa hari setelah acara jalan-jalan di Kota Tua, Bernadett dengan jujurnya mengatakan bahwa dia tidak menyukai Arisa dan kulihat dari matanya ada pancaran cemburu dan sedih. Aku pun menenangkan dia, dan mengatakan padanya untuk tidak cemburu pada Arisa.

*****

Hari ini aku mengajak Arisa makan siang di sebuah restaurant yang cukup mewah, tapi kulihat Arisa tidak menikmatinya. Mungkin karena status hubungan kami yang belum jelas, dia menjadi tidak nyaman. Tapi ternyata dugaanku salah.

“Jo, ini enggak terlalu mahal untuk makan siang?”

“Enggak kok Sa, kamu pilih aja menu nya.”

Kulihat Arisa hanya terdiam memandang daftar menu nya.

“Tenang aja Sa, aku yang bayarin.”

“Bukan masalah harganya, Jo,” ucap Arisa tidak nyaman “aku enggak bisa makan makanannya karena… sepertinya enggak halal.” lanjutnya sambil melirik kepadaku.

Seketika aku terkesiap! Jujur aku lupa Arisa seorang muslim! Dan aku malah mengajak dia makan di restaurant yang memang tidak ada sertifikat halal nya.

“Ya ampun, Sa! Aku minta maaf!”

“Enggak apa-apa Jo. Lebih baik kita makan di tempat lain aja ya?”

“Iya, Sa. Iya, kita ke tempat lain aja.”

Kami pun beranjak dari restaurant tersebut, niatku ingin memberi kesan pada Arisa, justru aku harus menanggung malu. Untung Arisa langsung jujur tadi dan tidak mempermasalahkan.

Dan insiden restaurant, membuatku semakin mengenal Arisa. Dia tidak suka makan di tempat mewah, ternyata Arisa lebih suka jajan bakso dan minum es kelapa. Arisa juga tidak terlalu suka jalan ke Mall. Dia justru lebih suka jalan ke Kota Tua atau Toko Buku.

Tiba-tiba aku berhenti di sebuah toko yang menjual Rosario, Arisa mengikutiku masuk ke toko. Dia mulai bertanya banyak tentang agamaku. Aku menyukainya ketika dia mulai banyak berbicara dan bertanya. Aku suka wajahnya yang cantik ketika penasaran dan ingin tahu. Jadi aku menjelaskan semua yang dia pertanyakan.

Selama beberapa bulan perkenalan kami, aku dan Arisa selalu tidak lupa saling mengingatkan untuk beribadah kepada Tuhan. Aku senang melihat Arisa beribadah ke Istiqlal, lalu mampir ke Kathedral untuk menungguku selesai berdoa, jika aku juga sedang berdoa di Kathedral.

Beberapa hari kemudian, sehabis dari toko yang menjual Rosario, Arisa memberikanku Rosario yang sama persis dengan yang di toko tersebut. Ternyata diam-diam dia membelikan untukku. Aku senang sekali, apalagi katanya dalam rangka “agar aku lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.”

Aku dan Arisa memang belum berstatus pacaran. Tapi aku merasa tidak perlu status untuk hubungan kami. Aku merasa sudah melebur menjadi satu dengan dirinya. Kami merasa seperti sudah sejak lama mengenal satu sama lain. Namun, aku tetap ingin mengatakan perasaanku padanya.

Malam itu aku melihat Ibuku di ruang keluarga. Aku menghampirinya dan merebahkan kepalaku di pangkuannya.

“Mah, Jojo berencana mengatakan perasaan Jojo pada Arisa.”

“Kamu serius, Jo?”

“Iya Mah, Jojo serius.”

“Kalau kamu serius, berarti kamu enggak boleh membohongi Arisa lagi.”

Aku kaget dengan perkataan Ibuku, lalu aku mengangkat kepalaku dari pangkuannya kemudian menatapnya.

“Arisa tidak tahu kan kalau kamu masih berumur 17 tahun?”

“Mah, bukan maksud Jojo membohongi Arisa. Jojo hanya takut Arisa tidak mau bertemu dengan Jojo lagi jika tahu yang sebenarnya.”

“Tetap saja, kamu harus jujur sama Arisa.”

“Jojo janji, Jo akan jujur sama Arisa. tapi tidak sekarang Mah. Bagaimana kalau Arisa menolak hati Jojo?”

“Lantas? Kamu mau membohonginya sampai kapan? Sampai dia sudah terlalu dalam perasaanya sama kamu? Bukankah itu akan menyakitinya nanti?”

“Mah….”

Baik Jonatan maupun Ibunya tak melanjutkan pembicaraan mereka. Diam-diam Ibunya Jonatan menghubungi Arisa mengajaknya bertemu. Dia paham dengan putranya, Jonatan pasti tidak akan berani jujur pada Arisa. Dia berencana sedikit membantu Jonatan. Namun, justru bantuannya ini membuat Jonatan maupun Arisa tidak pernah sama sekali saling memiliki dalam kisah mereka sendiri.

*****

“Tante, maaf. Sudah nunggu lama ya?”

“Eh nak Arisa, enggak kok, Tante juga baru sampai.”

“Ada apa ya Tante? Katanya penting mau bertemu aku?”

“Iya Arisa, kita pesan minuman dulu ya.”

“Oh iya Tante.”

Keduanya pun memesan minuman kemudian memulai pembicaraan.

“Arisa, Tante ingin bertanya sama kamu, kalau boleh?”

“Iya Tante, boleh kok.”

“Gimana perasaan kamu sama anak tante? Jonatan?”

“Maksudnya?”

“Maksud Tante, apa kamu menyukai Jonatan? Atau hanya sekedar menganggapnya teman?”

“Ah itu…” Arisa terdiam kemudian menghela napas, “sebenarnya, Arisa sudah jatuh cinta pada Jonatan dari semenjak Arisa melihat Jonatan pertama kali di dalam Gereja Kathedral. Saat itu, Jonatan sedang berdoa dan Arisa jatuh cinta sama dia. Tapi Arisa ragu, karena kami berbeda keyakinan” lanjut Arisa dengan jujurnya.

“Oh jadi kamu jatuh cinta pada pandangan pertama?” tanya Ibunya Jonatan.

“Iya Tante.” jawab Arisa tersipu.

“Tapi perbedaan keyakinan adalah hal yang rumit. Tante berharap Jojo dengan yang sama keyakinannya.”

“Maaf Tante, udah jatuh cinta sama Jonatan.”

Arisa merasa Ibunya Jonatan tidak terlalu menyukai pengakuannya yang jatuh cinta pada Jonatan. Apalagi dia berbeda keyakinan dengan Jonatan.

“Tante bukannya benci sama kamu, Arisa. Tapi sepertinya kamu tidak tahu kalau Jonatan masih sekolah? Dia masih berusia 17 tahun. Bukan hanya keyakinan kalian yang berbeda.”

     Arisa terlihat cukup kaget mendengar perkataan Ibunya Jonatan.

“Tante mohon, maafkan Jonatan ya? Tante berharap kamu tidak mematahkan hatinya. Tante memberitahu kebohongannya ini untuk membantunya dan agar kamu tidak terlalu sakit hati karena merasa dibohongi. Maafkan Jonatan ya?” Ibunya Jonatan kemudian memegang tangan Arisa lembut tapi Arisa tak berkata apapun, dia hanya tersenyum tipis. Hatinya mungkin sudah tak karuan dengan kebenaran yang baru saja dia ketahui.

*****

Hari ini aku begitu senang melihat Arisa masih menungguku selesai berdoa di Kathedral. Aku berencana mengatakan perasaanku padanya. Hatiku sudah terasa melayang membayangkan Arisa akan menerima hatiku. Aku yakin dia akan menerima hatiku. Karena aku merasakan Arisa juga merasakan hal yang sama denganku.

Namun, seketika hatiku hancur lebur ketika Arisa ternyata menolak hatiku. Aku masih tidak mempercayainya. Aku tidak mau menerima penolakannya. Jadi aku bertanya alasannya. Dan dia memberikan alasan yang cukup menghujam hatiku.

     “Maafkan aku Jo. Meski aku jatuh cinta sama kamu hingga ribuan kali. Aku tetap tidak bisa menerima hati kamu. Karena satu alasan, kita berbeda keyakinan.”

     Aku hanya mematung mendengar alasannya “perbedaan keyakinan” dan ini cukup menamparku seketika. Aku membiarkan Arisa pergi. Aku tetap tidak bergerak di hadapan patung Kristus Raja. Aku memandang patung tersebut dan berkata dalam hatiku. “Apa ini karmaku karena telah membohonginya? Kalau memang ini karmaku, aku tidak pantas memilikinya.”

     Aku hanya bisa menahan airmataku. Ini kesalahanku. Seharusnya sejak awal aku tidak membohonginya. Seharusnya aku mendengarkan kata-kata Ibuku. Saking takutnya diriku, Arisa akan menolakku, sampai-sampai aku tetap ingin mengbohonginya. Pada akhirnya, Arisa tetap menolakku. Dengan alasan atas keyakinannya. Jadi, sudah pasti Tuhan ingin memberiku pelajaran, sesungguhnya, sesuatu yang di awali dengan kebohongan akan berakhir menyakitkan.

- still continued for second love -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top