Perjalanan 5: Menuju Revolusi

Hari itu adalah hari yang besar bagi Raz. Setelah keputusannya untuk ikut misi ke Liberté, jalan kembali pulang seolah sirna. Ini adalah misi yang berbahaya, entah kenapa Raz mau-mau saja untuk mengorbankan nyawanya. Mungkin karena perkataan Owen tentang menyelamatkan keluarga dan banyak orang, serta titel pahlawan? Mungkin. Mungkin saja juga karena dia hanya sekadar suka menolong? Tidak. Raz tidak akan sampai seperti itu. Raz tidak yakin. Apa jangan-jangan karena ajaran sang ayah untuk menjadi "pribadi yang bermanfaat"? Sepertinya.

Raz memantapkan hati untuk yang terakhir kali. Dia berdoa kepada Tuhan sebelum keberangkatan.

Saat mobil pengangkut AYX tiba, Raz hanya pergi berdua dengan Ducky, selaku perwakilan dari Direland. Xi tidak ikut seperti katanya, tidak pula mengantar kepergian Raz. J? Raz tidak tahu. Absennya anak itu mungkin menunjukkan kalau dia juga tidak ikut. Apa dari enam rekrutan seperti kata Owen, hanya tersisa dua yang akan ke Liberté?

Mungkin itu lebih baik. Tidak akan ada lebih banyak korban jiwa nantinya.

Dalam mobil pengangkut milik AYX yang seperti mobilnya saat pertama kali diangkut, Raz memilih duduk agak jauh dari Ducky. Pemuda itu terus menunduk sambil terus merenungi apa yang akan terjadi.

Raz baru sadar lagi ketika Ducky bertanya.

"Uhh," gumamnya. "Pagi, tidurmu nyenyak?"

"Sejujurnya? Tidak. Banyak yang kupikirkan semalam," jawab Raz. Dia kemudian teringat kondisi Ducky. "Bagaimana dengan dadamu?" Ingatan Raz berkelana ke saat Ducky kepayahan dengan bawaannya.

"Rusukku masih retak, tetapi ada obat penghilang sakit dan suplemen, cukup ampuh resep dokter baru Rogue itu." Ducky menjawab.

Jawaban Ducky membuat Raz cukup lega. Tidak perlu khawatir padahal. Ducky kan, orang tua yang berpengalaman. Nasihat-nasihatnya dan cara ajarnya pada J seperti orang yang telah menikmati asam garam kehidupan. Ducky bisa menjaga dirinya sendiri, bahkan lebih dari Raz sendiri sepertinya.

Pernyataan Ducky selanjutnya membuat Raz cukup bisa membuatnya tenang. Si Pria Pemarah yang bilang di pertemuan pertama mereka bahwa dia tidak menyukainya, kini mulai melunak.

"Kau bilang semalam kurang tidur, kan?" Dia balik bertanya. "Kalau gitu istirahatlah. Biar aku dulu yang berjaga."

Raz tersenyum kecut. "Terima kasih pengertiannya, Om," jawab Raz. Dia kemudian menutup mata sesaat.

Baru beberapa saat Raz terlelap, sebuah gundukan batu terlindas oleh mobil menyebabkan guncangan. Raz yang kepalanya hampir menyentuh langit-langit terantuk seketika dengan pantat yang melayang beberapa senti dari tempat duduk. Ringisan tak dapat dia tahan.

Lanjut tidur? Tidak mungkin. Sudah telanjur terbangun dengan rasa sakit di kepala. Raz kemudian mengusap-usap kepalanya agar lebih baik.

Setelah merasa mendingan, Raz lalu memperhatikan Ducky yang sedang memoles senjatanya. Orang tua itu tampak cekatan dengan senapan dan revolver—oh, senjata api! Raz sudah lama tidak melihat mereka. Terakhir dia punya mungkin lima tahun yang lalu, sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-17 dari salah seorang pemburu yang juga sekaligus mentornya. Hanya saja senjata itu tidak bertahan lama. Usianya hanya tiga tahun. Hendy—nama handgun-nya itu—yang malang.

Dengan rasa ingin tahu yang besar, Raz bertanya pada Ducky. "Om dapat dari mana semua senjata api itu?"

"Aku tidak setua itu sampai perlu dipanggil Om oleh lelaki sebesar kau," gerutu Ducky sembari menyentak revolver hingga kembali dari posisi terbuka tadi, dengan suara klik.

Raz menelan ludah dengan respons Ducky. Ternyata sikap lunak yang Raz sangka di awal tidak bertahan lama. Untuk menenangkan tensi darah orang tua itu agar tidak tinggi terus, Raz menuruti saja apa kata Ducky. "Okelah ... Pak."

"Ah, sudahlah," gerutunya menyerah. "Panggil aku sesukamu, asal aku tahu kalau yang kau panggil adalah aku, tak masalah. Yang penting, kita tak boleh sampai salah memanggil atau salah mengira dipanggil di saat genting."

Ducky sepertinya tidak suka dengan panggilan yang Raz beri. Namun, sepertinya pria pemarah itu pasrah saja mau dipanggil apa pun. Memangnya seharusnya Raz panggil apa?

Ducky meletakkan revolvernya ke depan Raz. Pelurunya kosong.

"Kau tanya darimana aku mendapatkan pistol ini, kan?" Dia memulai. "Kalau kuberi tahu, apa kau bisa memastikan  informasi ini tidak jatuh ke tangan yang salah?"

Raz mengangguk mendengar pertanyaan Ducky. Memang bisa dari mana senjata-senjata Ducky sampai berpikir Raz orang yang keliru? Pasar gelap?

"Dari mana?" ulang Raz penasaran.

Sebelum menjawab pertanyaan Raz, Ducky kembali bertanya tentang suatu hal yang menurutnya penting.

"... Kau paham kenapa kita harus memastikan cara memanggil yang tidak akan salah didengar di saat genting?"

Raz menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kenapa Pak Ducky berputar-putar kembali ke awal?

"Oke, apa aku terlewat sesuatu?" tanyanya pada akhirnya.

"Saat situasi genting, aku harus bisa memanggilmu secepat dan sejelas mungkin. Sama halnya denganmu," Ducky menjelaskan. "Hitungan detik saja bisa menentukan hidup-mati seseorang."

"Raz," panggil si Pria Pemarah setelah menarik napas dalam-dalam, sehati-hati mungkin.

"Kalau ada monster mau menyerangmu, aku harus bisa memanggil namamu dan menyuruhmu menghindar secepat mungkin, kan?"

Raz mengangguk. "Tentu saja! Jadi, kau mau aku panggil apa? Yah, agar kita juga nyaman satu sama lain. Aku sejujurnya agak kurang nyaman bila langsung memanggil nama orang yang lebih tua."

"Kurasa kau kuizinkan memanggil Om saja, daripada Pak," jawab Ducky, terdengar agak lelah.

"Tapi bila kau merasakan ada bahaya, sebaiknya kau memanggilku dengan nama," dia menambahkan dengan nada lebih tegas. "Yang kumaksud dengan bahaya, bukan hanya monster atau serangan fisik. Bila ada hal mencurigakan yang ingin kau bicarakan denganku, langsung panggil saja aku, Ducky ... Ini berlaku juga untukmu. Saat aku memanggilmu Raz, berarti aku ingin kau waspada penuh."

Ducky seperti orang yang tegang menunggu jawaban Rwz

"Oh, seperti itu, ya," jawab Raz akhirnya. "Baiklah kalau seperti itu. Aku paham sekarang."

Raz kembali memperhatikan revolver milik Ducky. "Jadi, dari mana semua senjatamu berasal? Pemburu dan mercenary yang kukenal tidak banyak yang punya senjata api."

"Ah, soal pistol ini, ya ... Ini standar senjata petugas keamanan dalam kota di Liberté. Agak tua, model lima tahun yang lalu---sepertinya dijual oleh keluarga petugas keamanan yang pensiun. Aku juga tak sengaja menemukannya ketika melihat-lihat barang second dari Koloni itu."

Raz hampir terkejut dengan jawaban Ducky sebelum mendengar kelanjutan kalimat pertamanya. Raz kira, Ducky benar-benar dari Liberté. Kalau benar, ingin sekali Raz bertanya banyak hal tentang itu, semua rumor, semua gosip, semua kabar burung. Raz ingin memastikan semuanya.

Melihat Ducky yang berpengalaman itu, Raz tidak heran kalau Ducky benar-benar punya informasi tentang Liberté. Jadi, dia memutuskan untuk bertanya. "Om Ducky, apa saja yang kau tahu tentang Liberté dan ... kenapa kau mau ke sana dari awal?"

Ducky tak langsung menjawab. Malah mengambil kembali pistol di hadapannya, lalu membuka tuas dan menggeser silinder tempat peluru. Kosong.

"Aku ...," dia memulai. "Tahu sebatas yang diketahui penduduk asli Liberté."

Dia mulai mengisi kedelapan ruang yang ada dengan peluru dari sakunya. Satu-persatu, perlahan tetapi gerakannya mengalir seperti sudah sangat terbiasa. Kemudian dengan satu gerakan berikutnya, silinder penuh peluru kembali masuk dan pistol lurus kembali.

Otak Raz berhenti sejenak. Kenapa kata-kata Ducky seolah menyiratkan bahwa dia orang asli Liberté? Coba perhatikan. Penduduk asli Liberté pasti tahu seluk-beluk tempat mereka tinggal. Seperti halnya Raz di koloni. Orang luar tidak mungkin tahu seperti orang asli sana, kecuali kurir mungkin atau anggota AYX barangkali. Untuk Ducky, entah kenapa Raz tidak yakin. Hanya ada satu jawaban.

"Om, sebenarnya ... aslimu dari mana?" tanya Raz menghakimi.

Ducky mengacungkan revolvernya pada Raz, hanya sedetik, lalu memutar pistol hingga gagangnya yang di posisi terdekat lawan bicaranya.

"Kau bisa pakai pistol?" tawarnya. Seperti hendak menyerahkan revolver di tangan pada Raz.

Raz mengangguk. "Bisa. Aku sempat belajar dulu. Apa Om Ducky mau meminjamkannya?" Dia melihat senjata api di depannya dengan mata berbinar. Dia bahkan melupakan todongan Ducky sekejap yang lalu. Padahal, bisa saja kalau itu orang jahat, Raz sudah mati di tempat.

"Kau sadar kalau dalam sedetik tadi aku bisa melubangi jidatmu dengan sekali tekan?"  Akhirnya dia bertanya setelah menarik kembali pistol yang baru disodorkan.

"Eh?" Raz tersadar dari kekagumannya akan senjata api di genggaman Ducky. Pertanyaan pria pemarah itu berhasil membuat logika kewaspadaan Raz berputar kembali. "Ma ... maaf, maaf. Kau tahu, aku hanya sudah lama tidak melihat senjata yang keren." Raz tertawa malu. "Aku akan lebih waspada lagi."

Raz kembali memperhatikan Ducky. Untuk ukuran orang tua, Pria pemarah itu terlihat sangat bugar. Luka di dadanya seolah bukan apa-apa. Berbeda dengan Raz yang masih dalam usia produktif, luka-lukanya bisa sembuh dengan cepat. Raz penasaran. Sebenarnya, Ducky dari mana, sih?

"Kuharap kau benar-benar melakukan apa yang kau katakan tadi," desah Ducky, lalu bangkit untuk meraih tangan Raz dan menjejalkan revolver ke tangan lawan bicaranya.

Raz terbeliak bingung sekaligus senang saat Ducky menyerahkan revolvernya. Raz hanya kagum, tetapi sekarang dia memiliki senjata api lagi? Keren. Ducky lalu memberinya sedikit nasihat.

"Pelurunya ada delapan, kaliber kecil. Kecuali betul-betul terkena di tempat fatal, tidak akan langsung membunuh lawanmu tetapi cukup untuk memberimu waktu. Gunakan ini untuk melindungi diri ... Terutama saat aku sedang tidak bisa membantumu."

Dia berhenti sesaat untuk menatap lurus pada Raz.

"Kau pernah menembak manusia?"

Pertanyaan itu membuat Raz mematung. Selama jadi pemburu, dia hanya perlu membunuh hewan. Pun saat dia menjadi mercenary, Raz hanya membantu misi pengawalan, dan apabila bertemu musuh, paling parah hanya membuat lawannya pingsan.

Menembak manusia? Tidak ada sebelumnya dalam kamus Raz. Dan sekarang dia harus memasukkannya?

Dengan ragu sambil menunduk, Raz menjawab pertanyaan Ducky, "Belum pernah." Dia lalu melihat ke arah Ducky. "Om Ducky sendiri? Apa jangan-jangan sering, makanya punya senjata api seperti ini?" Raz mengacungkan revolver pemberian Ducky. "Pertanyaanku sebelumnya belum dijawab. Om Ducky berasal dari mana? Sebelum tiba di koloni di Direland."

"Bagus!" pujinya. "Teruslah waspada seperti itu," tambahnya seraya melemparkan sekotak peluru pada Raz.

Raz refleks menerima pemberian Ducky. Diintipnya peluru-peluru yang ada di dalam. Cukup banyak. Pantas saja berat. Raz tidak ada waktu untuk menghitungnya. Lebih tepatnya, Raz malas. Mengetahui ada banyak peluru saja sudah cukup baginya.

Ducky lantas kembali ke tempat duduknya lalu bersandar lagi. Seperti tak menganggap todongan pistol Raz mengancam.

"Untuk jawaban atas pertanyaanmu ... Ya, aku pernah. Sebagian kulakukan karena perintah, sebagian atas keputusan sendiri. Sebagian sisanya demi bertahan hidup," dia menjelaskan sambil melipat jari, seperti menghitung hari.

"Karena aku dulu anggota militer Liberté."

Raz terperangah dengan pengakuan Ducky. Pantas saja pria pemarah itu sangat mahir hampir segalanya dan terlatih. Diam-diam, Raz mulai kagum dengan Ducky. Mungkin dia bisa belajar banyak dari mantan anggota militer sepertinya.

"Apa kau bisa ajarkan aku satu-dua hal dari kemiliteran?"

"Pertama-tama, turunkan dulu pistol di tanganmu itu. Kau tembakkan juga tidak akan ada peluru yang bisa keluar, pengamannya masih terpasang ... ada di dekat roller." Dia menjelaskan sambil menunjuk pada bagian yang dimaksud.

"Lepaskan pengaman itu hanya saat kau betul-betul harus menembak."

Raz menuruti apa kata Ducky. Dia juga memperhatikan revolver di tangan kanannya. Pemuda itu hanya bisa mengangguk-angguk meendengar penjelasan mentor barunya itu.

"Lalu, bila kau butuh menembak seketika begitu pistol teracung, kau bisa tarik pelatuk di belakang terlebih dahulu. Pada saat jarimu menyentuh picu, seketika itu juga peluru akan terlepaskan, tak peduli kau betul-betul bermaksud menembak atau tidak."

Ducky menekankan kalimat terakhir, sekata demi sekata.

Raz hampir saja mempraktikkan apa yang Ducky bilang. Dia buru-buru menurunkan pistolnya sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Diusapnya senjata api itu seperti sebuah benda kesayangan. Kau hanya akan digunakan saat genting saja, batin Raz pada senjatanya. Revo. Senyum Raz tersungging ketika memikirkan nama pemberian barunya.

"Saat ada bahaya, tembakkan pistol itu untuk melindungi dirimu, apapun itu."

Ducky terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Siapa pun itu."

Raz meragu sesaat. Siapa pun itu, ulangnya dalam pikiran. Dia tidak yakin apa masih bisa melakukannya. Mereka memang akan menjadi orang yang mengadakan revolusi di Liberté. Raz harusnya ingat. Darah bisa saja tumpah dari siapa saja.

Tidak ada revolusi yang tidak memakan korban jiwa.

Raz menggenggam pistolnya erat-erat.

"Aku ... akan berusaha," jawabnya lemah disertai kabut hitam yang menggantung di wajahnya.

Guncangan kendaraan terasa berkurang, tanda roda truk AYX mulai menginjak jalanan yang lebih padat dan mulus daripada tanah gurun.

Perjalanan Raz dan Ducky yang memakan waktu hampir seharian itu akhirnya akan selesai. Namun, bukan hamparan utopia hijau yang mereka lihat, melainkan lautan manusia yang sedang memenuhi jalanan. Apa revolusi telah dimulai?

Di kejauhan, di antara gedung-gedung Liberté, asap membubung  tinggi. Gerbang yang terlihat tinggi megah jauh di depan sana tampak koyak di beberapa sisi bila dicermati lebih dalam. Kegaduhan menyertai koloni itu yang mungkin tidak lama lagi akan runtuh.

Teriakan dan dentuman terdengar di telinga Raz, membuat pemuda itu menelan ludah. Dia mengelus-elus senjata-senjatanya. Aku akan baik-baik saja. Raz meyakinkan dirinya sendiri.

Ketika Raz berdoa untuk kelancaran dan keselamatan, seseorang menghampiri. Langkah kakinya yang tegap terdengar datang dari arah ruang kemudi.

"Sebentar lagi kita akan tiba di perbatasan Liberté, kalian bersiap-siaplah," serunya pada Raz dan Ducky.

Mata Raz membulat. Itu adalah Owen, dengan baju pelindung dan sarung tangan kecokelatan.

Rupanya selama ini dia ikut dalam rombongan?!

Lambat laun, suara tembakan dan teriakan terdengar nyaring bagai alunan kematian yang menggelayuti telinga. Aroma amis darah samar-samar menguar dari mayat-mayat yang disembunyikan.

Untuk kesekian kalinya, Raz menelan ludah. Dia mengambil semua perlengkapan dan senjata-senjatanya. Masih dengan dada yang bertalu karena dia mungkin harus menghabisi satu-dua orang, Raz mengangguk.

"Aku ... siap," jawabnya.

Sementara itu, Ducky hanya mengenakan sepasang sarung tangan pelindung yang diambil dari balik mantelnya sendiri dan memastikan goggle terpasang di dahi.

Isi ranselnya jauh lebih ringan, tak membebani rusuk, dia hanya perlu mengalungkan shotgun dan meraih papan selancar yang bisa digunakan sebagai perisai.

"Aku sudah siap."

Owen selaku sopir yang kembali melanjutkan perjalanan, membawa berita dari balik kemudi.  Pandangannya bertaut dengan Ducky. "Tuan Ducky ... sepertinya yang kukhawatirkan benar-benar terjadi." Tangan kanannya menyodorkan ponsel kepada si Pria Pemarah.

"Tilia Branch telah ditawan oleh Kanselir."

Kening Raz mengerut keras mendengar pernyataan Owen. Siapa Tilia Branch? Siapa Kanselir? Apa hubungan mereka dengan Ducky? Dan kenapa pula Tilia harus ditawan Kanselir?

"Bisakah seseorang menjelaskan apa yang terjadi padaku sekarang? Semuanya?" tanya Raz kesal karena sepertinya hanya dia yang tidak tahu apa-apa.

Ducky melepaskan genggaman pada tali senapan di bahu kanan, untuk meraih ponsel yang disodorkan.

"Mengapa ....?" gumamnya dengan suara bergetar sambil membaca sesuatu di ponsel Owen.

Tidak dijawab. Raz jadi jengkel. Cih. Ducky malah bergumam seperti orang bego. Pria itu lalu malah meneriaki Owen di kursi kemudi.

"Apa ini?" tanyanya parau, nyaris seperti geraman hewan. "Kenapa namanya ada di sini, Owen?!"

Raz yang sudah tidak bisa bersabar karena mungkin saja itu berkaitan dengan misi lantas teriak, "Apa yang sebenarnya sedang terjadi?!" Lelaki itu menarik napas sebelum mengerahkan tenaga lebih banyak untuk menarik perhatian lawan bicaranya seperti yang orang itu sendiri ajarkan, "DUCKY!"

Owen terkesiap. Diaturnya napas, pelan-pelan, kemudian diembuskannya.

"Aku baru saja menerima berita ini dari kolegaku yang ada di Liberte. Jangan salah paham dulu. Sepertinya ada seorang pembelot Liberte yang membocorkan informasi ini pada berita. Kelihatannya seorang jurnalis bernama dari keluarga Phenix. Kemungkinan besar salah satu orang kesayangan Kanselir," ucapnya setenang mungkin.

"Kita belum bisa mengonfirmasi apakah berita ini hanya umpan untuk sebuah perangkap, atau fakta sesungguhnya. Karena kebetulan tempat yang kutuju melalui daerah itu, aku mungkin bisa membantumu untuk mengonfirmasinya sendiri," katanya sambil membentangkan tangan.

"Raz," gumam Ducky mulai terdengar normal. "Maaf, ini ... Sedikit tercampur dengan masalah pribadiku."

Raz mendengarkan dengan saksama apa yang akan dikatakan Ducky, lalu terkesiap oleh pertanyaannya.

".... Bagaimana dengan orang-orang yang ingin kalian selamatkan?" tanyanya, kali ini kembali menoleh pada Owen. "Apa mereka juga ada di tempat yang sama dengan Suster Tilia?"

Siapa orang yang benar-benar ingin dia selamatkan? Pemuda itu menunduk. Raz tidak tahu.

Owen menganggukkan kepalanya. "Tentu saja, setelah kita melampaui pemukiman penduduk, ada distrik penelitian dan pertanian di sebelah timur Liberte. Aku yakin di sanalah juga Tilia ditahan, kemungkinan besar bersama puluhan ilmuwan lainnya di lab utama," desahnya perlahan.

"Kami akan mempercayakan Nona Tilia kepadamu, jangan khawatir. Jika kau dalam keadaan terdesak, pakai saja ponselku kalau mau untuk mengirimkan pesan atau sinyal. Bantuan pasti datang," tegasnya seraya melangkah kembali ke ruang kemudi.

"Oh, ya, sepertinya, kalau kau tidak keberatan, aku menyarankan agar kau berkoordinasi dulu dengan rekanmu," kata Owen pada Ducky, dengan lirikan mata yang lembut pada Raz.

"Selamat berjuang, Prajurit. Semoga kalian selamat sampai tujuan. Kita akan bangkit bersama terbitnya matahari," ucapnya tanpa melirik kembali ke belakang.

===

A/N

Menuju klimaks!

Ducky punyanya Catsummoner

Owen nongol lagi! Punyanya NozdormuHonist

Xi dan J gak ada soalnya mereka memutuskan untuk gak ikut. Tapi, apa benar? Cek di akun mereka amelaerliana dan justNHA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top