6. Avery Kingdom
Matahari baru saja terbit, kelopak bunga di Fairyfarm bahkan belum padam seluruhnya. Namun, sepagi itu Ammara telah sibuk memetik buah plum di kebun ayahnya.
Selly tampak masih berusaha keras menahan kantuk sambil sesekali mengintip Ammara memetik plum dari balik kelopak matanya yang berat. Biasanya, unicorn itu selalu bersemangat jika menemani Ammara memetik plum karena ia dapat dengan leluasa mencomot buah plum sesuka hatinya. Namun, pagi itu, entah mengapa, Selly masih sangat mengantuk. Aroma plum ranum seakan tak ada apa-apanya. Beberapa saat kemudian unicorn itu bahkan tampak telah mendengkur pelan di tempatnya.
Pagi itu, Ammara tidak sendirian. Ia juga ditemani dua sahabat perinya, yaitu Marybell dan Tally. Marybell tampak terbang dengan lincah memetik buah plum yang letaknya agak tinggi. Sementara Tally berdiri di samping Ammara menyambut plum yang dilempar peri perempuan itu, kemudian menempatkannya pada keranjang-keranjang yang telah tersedia. Dwarf itu tampak menggumamkan sesuatu yang tidak jelas selama ia bekerja.
"Untuk apa Avery Kingdom memerlukan buah plum sebanyak ini?" tanya Tally di sela-sela gumamanya.
"Tentu saja untuk dimakan Tally, kau pikir untuk apa lagi!" sahut Marybell asal dengan suara melengkingnya. Jawaban peri pixie ini sudah barang tentu akan mengundang perdebatan.
"Astaga! Demi leluhur para peri! Aku juga tahu kalau buah-buah plum ini untuk dimakan. Maksudku, apa kerajaan akan menyelenggarakan pesta atau apa." Tally mendengus kesal. Wajahnya yang separuh tersembunyi di balik kumis dan janggut tebal itu berubah masam.
"Memangnya kenapa kalau kerajaan akan mengadakan pesta? Apa kau pikir mereka akan mengundangmu? Kau sudah terlalu tua untuk berpesta, Tally. Lihat saja kumis dan janggutmu yang sudah memutih semua itu!" Tawa melengking Marybell memecah keheningan pagi di Fairyfarm. Ammara sampai harus menutup telinganya dengan kedua tangan.
Wajah Tally memerah seketika. Jelas jika Ia sangat jengkel dengan apa yang diucapkan Marybell. Ia menatap plum yang ada di genggamannya, kemudian melirik jahil ke arah Marybell. Saat peri pixie itu lengah, ia melancarkan aksinya. Setelah membidik dengan baik, ia lantas melempar buah plum itu pada Marybell.
Peri perempuan yang tidak siap itu hanya bisa terdiam saat plum menghantam tubuh mungilnya dan meninggalkan noda berwarna kemerahan yang sangat banyak pada gaunnya. Marybell menjerit marah.
Sementara, dwarf itu tertawa terbahak-bahak memegangi perutnya seraya berguling-guling di rerumputan. Hatinya terasa puas karena telah memenangkan satu lemparan.
Peri pixie yang kini berpenampilan mengenaskan itu menatap Tally sengit. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Ia harus membalas perbuatan makhluk kerdil itu. Dengan cepat Marybell mengambil plum, membidik wajah menyebalkan rekannya itu, lalu melemparkan plum tepat ke wajahnya.
Plum itu melesat cepat, kemudian menumbuk tepat pada hidung besar Tally. Kejadian itu sukses membungkam tawa Tally. Ia menyeka wajahnya yang bernoda merah dengan geram dan melotot marah pada Marybell yang kini menertawakannya.
Tally, menarik napas dalam-dalam, lalu kembali meraup beberapa plum sekaligus dalam genggaman. Ia melemparkan buah-buah itu ke arah Marybell bertubi-tubi. Namun, peri pixie itu terbang menghindar dengan lincah.
Tanpa Tally sadari, sebuah plum yang paling besar menyasar menghantam pipi Ammara. Kedua peri yang tadinya sedang berseteru itu sontak terdiam, menanti responnya.
"Oh, tidak!" desis Tally.
Ammara menggeram tertahan seraya mengusap wajahnya kasar. Ia mendelik ke arah kedua makhluk itu. Wajah putihnya terlihat mengerikan, memerah dengan pecahan plum yang masih menempel di pipi.
"Kalian membuat kesabaranku habis!" teriak Ammara penuh penekanan.
Marybell dan Tally menggigil di tempat. Tally bahkan sampai harus menutup matanya karena tak ingin ditatap wajah seram Ammara saat itu. Marrybell tak jauh berbeda, tubuhnya seolah menciut di udara.
Dengan sigap, peri perempuan itu meraup sebanyak mungkin plum dengan kedua tangannya. "Rasakan ini!" Ammara melemparkan plum-plum tersebut pada kedua rekannya bergantian. Marybell dan Tally yang panik dan tidak siap tampak kewalahan menerima serangan plum yang bertubi-tubi itu.
Mereka membalas Ammara, te tapi tentu saja kekuatan mereka sama sekali bukan apa-apa jika dibanding dengan lemparan sng peri elf. Tally tersungkur di atas tanah sambil menutupi kedua wajahnya, sementara Marybell melayang liar di udara, tanpa sempat terbang menghindar lebih jauh. Tubuh kedua peri itu memerah berlumuran pecahan plum.
Demi melihat wajah dua sahabatnya kini tampak sama mengerikannya dengan wajahnya, Ammara tertawa puas. Marybell dan Tally yang awalnya kesal, kini juga ikut tertawa terbahak-bahak, terlebih saat melihat penampilan masing-masing. Fairyfarm kini menjadi riuh dengan suara tawa ketiga peri itu.
"Apa yang terjadi di sini?" suara Ailfryd yang menggelegar sontak menghentikan tawa Ammara, Marybell dan Tally. Perang buah plum mereka telah berakhir.
Wajah terkejut Ailfryd, membuat ketiga peri itu serempak menunduk menyembunyikan wajah. Remah-remah dan noda buah plum berserakan di mana-mana. Selly yang sedari tadi tertidur, langsung terlonjak kaget dan terbangun dari tidurnya.
"Kami sedang memetik buah plum," cicit Ammara seraya menyeka buah plum benyek di atas rambutnya. Matanya menyorot penuh harap pada sang ayah agar peri laki-laki itu tidak memarahinya.
Ailfryd menggeleng dengan mulut menganga. Dalam sekejap kebun indahnya terlihat mengerikan.
"Hai, Tuan Ailfryd!" sapa Marybell dan Tally hampir bersamaan setelah berhasil mengendalikan ketakutan mereka. Marybell menepis sisa-sisa plum di tangannya kasar. Tanpa ia sadari, pecahan plum yang kemerahan itu memercik pada pipi Ailfryd.
Ailfryd sontak mendelik, sementara Marybell yang gemetaran memasang gestur meminta ampun.
Kedua makhluk itu lantas bergerak menjauhi Ailfryd dan menyembunyikan diri mereka di balik sosok Ammara seraya mengintip ekspresi wajah Ailfryd.
"Kami sudah mengumpulkan hampir 10 keranjang besar buah plum, Ayah," bujuk Ammara lembut berusaha meredakan kemarahan ayahnya.
Ailfryd mengembuskan napas panjang, mencoba meredakan gejolak emosinya. Ia menghapus noda plum di pipinya dengan tangan dan melihat noda kemerahan yang tertinggal pada jari-jemarinya dengan frustrasi. Dalam hati, berulangkali ia membisikkan sugesti bahwa ia tidak akan marah. Tidak untuk hari ini.
"Ayah rasa itu sudah cukup, Nak," semburnya dengan suara bergetar, sembari merapikan dan memeriksa pakaiannya. Ia khawatir jika ada noda plum yang tertinggal di sana. Baiklah, ia terlihat masih cukup rapi.
Ammara menaikkan salah satu sudut alisnya, mengamati Ailfryd. "Ayah mau kemana? Apa ayah akan ikut mengantar plum bersama para dwarf pekerja?"
"Ayah akan mengantar langsung buah-buah ini ke Kerajaan Avery. Apa kau ingin jalan-jalan ke sana?"
Pupil mata gadis itu sontak melebar. "Mau, Ayah! Aku mau ikut!" Ammara memekik antusias.
"Baiklah, Nak. Cepat bersihkan dirimu. Ayah menunggumu di sini."
"Baik, Ayah." Ammara melesat pergi meninggalkan Tally dan Marybell yang masih bergeming.
Ailfryd menatap Tally dan Marybell yang kini menunduk canggung, tak berani menatap wajah sang pemilik kebun. Terlebih tak ada lagi tempat berlindung bagi mereka sekarang.
"Aku ingin meminta bantuan kalian," tutur Ailfryd beberapa saat kemudian.
"Te-tentu saja, Tuan," sahut mereka serempak seraya mengangkat wajah. Sudah pasti mereka akan mengiakan apapun keinginan Ailfryd untuk menebus kesalahan.
"Tolong, awasi para dwarf pekerja yang akan menyusun keranjang buah di dalam kereta. Ada 10 keranjang buah plum di sini dan 7 keranjang jeruk yang sudah ada di depan gerbang. Sementara aku akan mempersiapkan beberapa unicorn," jelasnya setelah menimbang sesaat. Ia tampak menerawang sebentar sebelum melanjutkan kata-katanya. "Jarak Avery terlalu jauh jika harus dilakukan dengan perjalanan darat. Aku akan meminta istriku untuk menyihir kereta dan para unicorn agar bisa terbang."
"Baik, Tuan," sahut keduanya serempak sebelum melaksanakan tugas.
* * *
Sebuah istana besar berdinding batu berwarna cokelat kemerahan berdiri kokoh di atas tebing yang dipenuhi oleh bunga lavender. Istana itu terdiri dari beberapa bangunan. Pada bagian undakan di bawah tebing tersebut terdapat sebuah benteng yang sangat luas dan tinggi, sementara di sisi lain tebing terhampar hutan yang berbatasan dengan lautan. Di dalam benteng terdapat rumah-rumah kecil dengan atap seperti kepala cendawan yang beraneka warna. Setelah melalui perjalanan udara yang cukup panjang, akhirnya mereka tiba di depan gerbang benteng Kerajaan Avery, kerajaan terbesar di Fairyverse.
Ailfryd mendaratkan kereta terbangnya tepat di depan gerbang. Sepasang peri elf dengan baju zirah yang merupakan pengawal kerajaan menyambut mereka. Ailfryd turun dari kereta dan menemui salah satu penjaga untuk menyampaikan identitas dan maksud kedatangan.
Setelah mendapat izin masuk, Ailfryd kembali ke kereta. Kereta yang ditarik oleh tujuh ekor unicorn itu terbang menuju tebing dan memasuki halaman istana utama yang dipenuhi lavender. Beberapa kesatria elf telah menantinya di atas sana. Begitu roda-roda kereta menjenjak halaman istana, Ammara langsung melompat dari kereta dengan antusias.
"Hati-hati, Nak," ucap Ailfryd mengingatkan.
"Ini luar biasa, Ayah!" jerit Ammara girang. Iris mata hijaunya membulat menatap istana megah yang menjulang tinggi di hadapan. Ammara dapat melihat setidaknya sepuluh menara lain yang menjulang sangat tinggi di balik benteng. Sebuah kubah berwarna keemasan yang melingkupi bagian atas istana memantulkan cahaya matahari, sehingga menampilkan visual seolah istana itu bercahaya.
Ammara tak berkedip untuk beberapa saat lamanya terpana oleh pemandangan yang tersaji. Selain bangunan istana yang megah dan indah, istana itu juga dikelilingi oleh padang lavender berwarna ungu yang menebar aroma wangi menenangkan. Benar-benar perpaduan yang apik.
Ailfryd tersenyum melihat tingkah Ammara. "Inilah istana dari Raja kita, Ammara," tuturnya dengan nada bangga. Kebanggaan itu segera saja menular pada putrinya. "Bersenang-senanglah hari ini, Ammara. Kau bisa berkeliling dengan bebas di sini. Istana ini adalah tempat paling aman di seluruh Fairyverse. Ayah tahu kau pasti merasa sangat bosan karena hanya berdiam di Fairyfarm saja. Kau bisa tinggal di sini dan melihat-lihat sebentar, sementara Ayah mengurus buah-buah plum dan jeruk ini dulu."
"Baik, Ayah!" sahut Ammara semringah seraya mengangguk mantap.
Ailfryd dan para dwarf pekerjanya bersama-sama menurunkan keranjang-keranjang berisi buah dari kereta. Sementara Ammara berlari menaiki undakan tangga menuju pintu masuk istana. Ia sudah tidak sabar untuk melihat bagian lain dari istana yang mewah itu.
Begitu melewati pintu istana yang dijaga oleh beberapa elf kesatria yang berdiri berjejer, Ammara kembali terperangah melihat sebuah air mancur yang cukup besar. Kolamnya berbentuk lingkaran, sementara di sekelilingnya terdapat pahatan patung-patung peri bersayap yang mengeluarkan air berwarna-warni dari bagian mulutnya. Di tengah-tengah kolam, berdiri kokoh sebuah patung yang mirip sesosok Raja peri elf dengan mahkota, tongkat dan baju zirah lengkap tanpa sayap. Ammara menebak bahwa itu adalah patung Raja yang memimpin kerajaan Avery saat ini.
Di belakang air mancur terdapat bangunan istana dengan beberapa pintu besar yang terbuat dari emas. Pada pintu-pintu itu terdapat masing-masing dua sosok penjaga di sisi kanan dan kiri.
Para penjaga melihat ke arahnya dengan heran, saat Ammara melewati mereka begitu saja. Namun, tak satupun dari mereka yang bergerak dari posisi begitu melirik kalung tanda tamu undangan istana yang menggantung di lehernya. Ammara melemparkan seulas senyum sambil mengangguk, memberi salam kepada para penjaga.
Setelah puas melihat-lihat air mancur dan pemandangan di sekitarnya, peri perempuan itu melanjutkan langkah menuju ke arah kiri air mancur. Sebuah gerbang yang lebih kecil dari ukuran gerbang utama istana berwarna keemasan tanpa penjaga berhasil menarik atensinya. Dari kejauhan, Ammara dapat melihat samar-samar sebuah taman indah terhampar di balik gerbang itu.
Dengan langkah riang, Ammara melewati ambang gerbang yang tak terkunci. Ia kembali terperangah begitu melihat keindahan taman yang tersaji di baliknya.
Di hadapannya kini terhampar rerimbunan pohon dan tanaman merambat berbunga aneka warna yang sangat indah dan terawat. Di atas kelopak-kelopak bunga yang terbuka, beberapa peri pixie yang cantik dan bercahaya berterbangan. Sebagian peri pixie itu menoleh pada Ammara ketika ia memasuki taman, sementara sebagian lainnya bersembunyi di balik kelopak-kelopak bunga, menyorotnya dengan tatapan malu-malu.
Dari sela-sela rerimbunan tanaman itu, Ammara melihat sebuah danau yang tidak terlalu luas namun sangat cantik berwarna turquoise. Ammara penasaran untuk melihat danau itu dari dekat. Ia mencari jalan masuk di sela-sela pohon yang cukup lebar untuk dilewati.
Pupil mata Ammara melebar, begitu tubuh rampingnya lolos menuju tepian danau. Netranya menyorot takjub pada danau turquoise yang sekelilingnya dipagari oleh tanaman mawar putih. Di seberang danau itu, beberapa peri rupawan sedang duduk bercengkrama di bawah sebuah gazebo yang dinaungi kubah berwarna keemasan, serupa dengan kubah istana.
Ammara bergeming, seolah tersihir oleh pamandangan di taman itu, ketika sesosok peri elf menghampirinya.
"Siapa kau?" Suara ketus muncul tepat di sampingnya.
Ammara terkesiap, lantas mengalihkan pandang pada sesosok peri yang menyorotnya dengan tatapan penuh selidik.
Ammara mendadak gugup. "A-aku sedang berjalan-jalan ...."
"Berjalan-jalan?" Apa kau pikir ini tempat umum?" Peri laki-laki itu menaikkan salah satu alisnya.
Tidak seperti para kesatria yang mengenakan baju zirah lengkap, peri laki-laki itu memakai kemeja putih longgar dengan aksen emas pada sejenis kain sutra yang tersampir dibahunya. Sebuah mahkota bulat berbentuk jalinan dedaunan bertengger ketat di keningnya. Jadi, kemungkinan besar, peri laki-laki tersebut bukan pengawal kerajaan. Entah mengapa, asumsi ini justru membuat Ammara semakin gugup.
Ammara menelan ludah dengan susah payah. Ia terlalu gelisah untuk memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan peri laki-laki itu. Mulutnya membuka hendak menjawab sekenanya. Namun, belum lagi suaranya keluar, sang peri telah memotong ucapannya.
"Apa para pengawal tidak ada yang mencegahmu masuk ke mari?" Ia masih menatap Ammara dengan sorot penuh penghakiman. "Lagi pula, kau terlihat sangat berbeda ...."
Peri itu terdiam. Ia mengamati sesuatu yang berpendar samar pada leher Ammara hingga membuat gadis itu sedikit risih. Peri laki-laki itu membuka mulut, tampak hendak melanjutkan kata-katanya.
"Ammara!" Sebuah seruan menginterupsi ketegangan di antara mereka.
Ammara dan peri laki-laki itu sontak terkejut dan menoleh ke arah suara. Elwood berdiri di sisi lain danau, yang tak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri. Peri laki-laki itu tersenyum sembari melambaikan tangan.
"Apa yang membawamu ke mari?" tanyanya riang sambil berjalan mendekati Ammara.
"Kau mengenalnya?" tanya peri laki-laki bersurai hitam yang berdiri tepat di samping Ammara. Keningnya berkerut dalam.
"Tentu saja, dia temanku dari Fairyfarm. Namanya Ammara," sahut Elwood riang. Peri laki-laki itu lantas beralih menatap Ammara."Dia saudaraku, Claude," ungkapnya sedikit canggung.
"Hai, Claude!" sapa Ammara sambil mengulas sebuah senyum tipis. Gugupnya perlahan mulai reda, sementara peri laki-laki yang bernama Claude hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Ia tidak tersenyum, tetapi wajah dan tatapannya tidak sedingin tadi.
"Baiklah, sepertinya tak ada masalah di sini, aku akan melanjutkan membaca kitabku," ucap Claude sambil menunjuk sebuah kitab keemasan yang ia genggam. "Kau bisa bergabung dengan kami di gazebo di seberang danau." Peri laki-laki itu lantas menunjuk sebuah bangunan indah yang terletak di seberang danau dengan ujung dagunya.
"Ti-tidak perlu ... aku hanya ...."
"Tentu saja. Aku akan mengajaknya ke sana," sahut Elwood cepat sembari menyunggingkan senyum yang rasanya terlampau lebar dan dibuat-buat. Claude menjawabnya dengan anggukan sekilas sebelum berjalan menuju ke seberang danau.
"Kau belum menjawab pertanyaanku." Elwood menaikkan salah satu alisnya, menuntut jawaban Ammara setelah Claude berlalu dari hadapan mereka.
"Ayahku membawa banyak plum dan Jeruk ke mari. Aku ikut dengannya untuk melihat-lihat Avery. Tempat ini benar-benar luar biasa!" sahut Ammara sambil melemparkan tatapan kagum ke sekelilingnya.
Elwood mengangguk. "Ah, ya, jadi buah-buahan yang tampak menggiurkan itu berasal dari kebun ayahmu di Fairyfarm?" ulangnya meyakinkan.
Ammara mengangguk mantap. "Jadi kau tinggal di sini? atau keluargamu yang bekerja di sini? atau ... kau yang bekerja di sini?"
Elwood tampak berpikir sejenak, seolah menimbang sesuatu dan akhirnya menjawab dengan kurang yakin. "Bisa dibilang begitu."
"Begitu bagaimana? Kau belum menjawab pertanyaanku." Ammara memicingkan mata, menyorot Elwood penuh selidik.
Elwood terbahak, mengalihkan pembicaraan mereka. "Lebih baik kita temui saudara-saudaraku yang lain. Mereka ada di gazebo sana. Mari," ajaknya sembari meraih pergelangan tangan Ammara dan menuntunnya menuju ke seberang danau. Ammara menuruti Elwood tanpa bertanya lagi. Ia pikir ia akan segera mendapatkan jawaban ketika mereka sampai di gazebo.
Mereka sampai di gazebo beberapa saat kemudian setelah menyusuri pinggir danau yang tidak terlalu luas. Ammara melihat lima peri lain yang sedang bercengkrama di bangunan indah berkubah emas dan permata itu. Salah satu di antara mereka adalah peri perempuan yang sangat cantik. Peri perempuan itu sedang memegang sebuah alat musik yang mengeluarkan alunan suara yang sangat indah. Ia menghentikan permainan musiknya dan menatap Ammara, saat Ammara dan Elwood memasuki gazebo.
"Sepertinya kita kedatangan tamu," ucap peri cantik itu sambil menyunggingkan seulas senyum pada Ammara. Rambut platinumnya yang berkilauan tampak dihiasi sebuah mahkota kecil bertakhta batu mulia berwarna safir, sangat kontras dengan warna matanya yang kecokelatan. Beberapa kuntum bunga mawar putih terselip pada rambutnya yang terjalin berbentuk sayap malaikat. Sementara gaun berwarna lilac yang panjang tampak berkelip dengan taburan permata di permukaannya. Peri perempuan itu adalah peri tercantik yang pernah Ammara lihat seumur hidupnya.
Demi mendengar perkataan peri cantik itu, tiga sosok peri lainnya sontak menghentikan aktivitas mereka masing-masing, lalu menatap ke arah datangnya Ammara dan Elwood. Sementara sesosok peri lainnya tampak sedang sibuk membersihkan sebilah pedang perak miliknya, enggan mengangkat wajah untuk sekadar beramah-tamah.
"Wah, kau peri cantik yang waktu itu ya?!" Seru salah seorang peri dengan tindik di bibirnya. Iris mata birunya menatap Ammara terpesona. Senyum mengembang di bibir sang pangeran peri.
"Pangeran Elijah, jaga sikapmu. Tampaknya dia adalah kekasih pangeran Elwood," sela peri cantik itu seraya meletakkan alat musiknya di atas sebuah meja batu yang terletak di tengah-tengah gazebo. Ia mendekati Ammara untuk menyambutnya.
"Tidak ... !" Bantah Elwood dan Ammara gelagapan, hampir bersamaan. Wajah keduanya seketika memerah.
Pupil mata cokelat peri cantik itu melebar, menunjukkan ketertarikan. "Jadi Pangeran Elwood belum menyatakan perasaannya?"
Elwood mendelik, menatap tajam pada saudara perempuannya. Sementara peri cantik itu terkikik geli.
"Tidak ... Kami hanya berteman." Ammara kembali menegaskan dengan canggung. Elwood menggeleng sambil menatap sang putri peri dengan sorot memohon, sementara Putri Tatianna membalas tatapannya dengan senyum mengejek.
Elijah terbahak melihat tingkah Ammara dan Elwood yang menjadi bulan-bulanan saudara perempuan mereka. "Kalau begitu tampaknya aku masih punya kesempatan," timpalnya dengan senyum menggoda.
"Sudahlah Pangeran Elijah, jangan menggodanya. Dia adalah tamu kita," sergah sang putri peri setelah tawanya mereda. Ia lantas beralih pada Ammara. "Perkenalkan, aku adalah Putri Tatianna. Kau bisa memanggilku Tatianna saja. Siapa namamu?"
"Ammara," sahutnya singkat.
Peri laki-laki yang sedang membersihkan pedangnya sontak mengangkat wajah. Netranya bertemu dengan netra Ammara. Kini mereka saling tatap dengan mata membelalak.
"Kau juga mengenal Pangeran Archibald?" tanya Tatianna penuh selidik saat ia memperhatikan reaksi keduanya.
Archibald mengembuskan napas panjang sembari meletakkan pedang yang sedang ia bersihkan di atas meja batu dengan kasar. "Aku bertemu dengannya di Fairyfall. Peri ceroboh yang dengan mudahnya terkena tipu muslihat para nimfa," sahutnya dingin.
Sontak seluruh peri yang ada di gazebo itu terkejut mendengar penuturan Archibald. Sang pangeran peri yang terkenal sangat dingin dan irit bicara itu membuka suara hanya untuk menjelaskan pertemuannya dengan Ammara merupakan sebuah kejadian langka.
Ammara membelalak, mendengar jawaban Archibald barusan. Emosinya kontan tersulut. Ia membentak Archibald. "Aku tidak pernah meminta pertolonganmu saat itu. Jadi jangan pernah mengataiku ceroboh!"
Suasana menjadi hening seketika. Semua peri yang ada di gazebo itu tampak tegang menantikan reaksi Archibald setelah dibentak oleh Ammara. Peri perempuan itu terlalu berani. Tidak ada yang pernah berlaku demikian kepada Archibald sebelumnya. Putri Tatianna yang terkejut bahkan menutup mulutnya dengan tangan.
"Mengapa aku harus selalu bertemu denganmu?! Bertemu denganmu membuatku selalu bermimpi buruk," desis Archibald dengan nada dingin. Ia berdiri dan memasukan pedang perak ke dalam sarung kulit yang tersampir di pinggangnya dengan kasar. Ia hendak pergi meninggalkan gazebo itu. Namun, Claude menahan langkahnya.
"Apa?! Dasar peri kurang ajar! Aku juga tidak suka bertemu dengan peri sombong sepertimu!" Ammara membalas dengan sengit. Ia nyaris menghampiri Archibald, andai saja Elwood tak menahan pergelangan tangannya.
"Maafkan saudaraku, Ammara. Dia sedang tidak enak hati. Belakangan dia memang sering bermimpi buruk. Kami tidak menyangka bahwa ia akan melimpahkan kekesalannya padamu," bujuk salah seorang peri yang belum pernah Ammara lihat sebelumnya. Warna rambutnya pirang keperakan seperti rambut putri Tatianna. Iris matanya yang tajam dan bijak berwarna abu-abu. Ia tersenyum kepada Ammara, "Perkenalkan, Aku adalah Putra Mahkota Albert. Selamat datang di kerajaan Avery."
Ammara terperangah. Jadi, para peri yang sedang berkumpul di gazebo ini adalah Putri dan para pangeran kerajaan Avery. Bahkan, pemuda yang kini berdiri tepat di hadapannya adalah putra mahkota kerajaan Avery. Ammara tidak tahu harus bersikap bagaimana, suasana jadi begitu canggung baginya.
Jadi, peri sombong itu adalah seorang pangeran juga. Berarti Elwood juga seorang pangeran. Ammara menoleh ke arah Elwood dengan tatapan meminta penjelasan. Sementara, di sisinya Elwood hanya menyunggingkan senyum tidak enak, tetapi ia tak mengatakan apa-apa.
"Senang berkenalan denganmu Putra Mahkota," tutur Ammara pelan. "Maaf, Aku... sepertinya ini bukan tempatku. Aku harus mencari ayahku."
Ammara hendak beranjak dari tempat itu, ketika seseorang meraih tangannya. "Kau tidak salah, Ammara. Selalu ada tempat untuk peri secantik dirimu disini," ucap Elijah seraya mengarahkan jari telunjuknya di dadanya.
Ammara tersenyum sambil menggeleng pelan, "Terima kasih sudah menghiburku," gumamnya pelan.
"Ammara, sebagai ucapan permintaan maafku atas perlakuan buruk saudaraku, aku ingin mengundangmu ke pesta ulang tahunku besok. Aku sangat berharap kau bisa hadir. Aku ingin kita menjadi teman." Tatianna akhirnya kembali angkat suara seraya merangkul pundak Ammara.
"Baiklah, akan aku mempertimbangkannya, terima kasih Putri Tatianna," sahut Ammara. "Aku harus mencari ayahku, aku permisi dulu."
Setelah berpamitan, Ammara melepaskan diri dari rangkulan Tatianna dan berjalan menjauh meninggalkan gazebo. Ia keluar dari taman kerajaan Avery dengan setengah berlari. Arthur, Elwood, Elijah, Claude dan Tatianna mengiringi kepergian Ammara sampai peri itu menghilang di balik gerbang kecil menuju taman istana Avery. Sementara Archibald hanya tertunduk menyesali sikap kasarnya pada Ammara.
* * *
Jauh di pelosok Hutan Larangan, seorang peri perempuan dengan jubah hitam menyeret sebuah tongkat bermata kristal ungu. Surai hitamnya tergerai menutupi kedua pipinya. Mata peri itu tampak bercahaya di dalam kegelapan Hutan Larangan menampakkan bola mata yang keseluruhannya putih. Bibir merahnya tampak bergerak-gerak merapalkan mantra.
Beberapa saat kemudian, cahaya di matanya meredup dan hilang. Matanya kembali memunculkan iris berwarna hitam pekat. Bersamaan dengan itu, suara tawa peri itu menggelegar memecah keheningan hutan Larangan yang sunyi senyap.
"Apa yang kau lihat, Minerva?" tanya Lucifer ingin tahu.
Tawa peri itu seketika reda."Gadis manusia itu telah berhasil memasuki istana. Aku tidak sabar ingin menyaksikan kehancuran kerajaan itu, Lucifer."
"Jadi ramalan itu memang benar adanya," desis Lucifer. Seringai di wajah mengerikannya tampak mengembang .
"Tentu saja," sahut Minerva. "Besok kerajaan Avery akan mengadakan pesta untuk Putri Tatianna, segel istana pasti akan melemah. Aku ingin memberikan sebuah hadiah. Lucifer, cepat siapkan sesuatu yang sangat istimewa untuk kerajaan Avery."
"Baik, Minerva." Sahut makhluk hijau dengan wajah mengerikan itu. Seketika sebuah kepulan asap menghitam muncul menyelubungi sosok Lucifer, bersamaan dengan itu ia pun merubah wujudnya menjadi seekor rajawali. Burung itu mengepakkan sayapnya dan terbang menjauh meninggalkan Minerva, menembus kegelapan hutan Larangan.
To be continue....
Dear readers terima kasih sudah membaca Fairyverse sampai sejauh ini. Semoga suka
Jangan lupa vomentnya yaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top