49. Awakening

Archibald meraih tubuh lunglai Chiara ke dalam dekapannya. Sementara Ella, Claude dan Elwood berbondong-bondong menghampirinya dengan wajah-wajah pucat yang menyiratkan kekhawatiran.

"Chiara?" Diguncangnya bahu gadis perempuan itu pelan. Namun, tubuh itu sama sekali tak merespon, bahkan salah satu lengan gadis itu jatuh terkulai di sisi.

Peri laki-laki itu terdiam sesaat dengan tatapan nanar, sementara lengannya merengkuh tubuh gadis manusia itu erat. Bahu kokohnya berguncang pelan, kemudian wajahnya terbenam di dalam lengkungan leher Chiara. Letupan emosi membuncah dari dada dan kepalanya, meluruh jadi air mata. Berkali-kali ia memanggil nama gadis itu, tetapi tetap tak beroleh jawaban.

"Dia akan baik-baik saja, pangeran. Anda tenanglah," bisik Ella yang berlutut di sisinya. Wajah peri perempuan itu sendiri tak kalah gundah.

Archibald mengangkat wajahnya dan mengendurkan pelukannya pada Chiara, membiarkan Ella dengan sigap memeriksa tanda-tanda vital gadis manusia yang terkulai lemas itu. Netra mereka bersitatap sekilas saat Ella kemudian mengangkat pandangan. "Ijinkan saya membawanya, Yang Mulia. Saya akan segera menyembuhkannya," ucap peri cenayang itu dengan suara bergetar.

Archibald mengangguk lemah. Betapa ia sangat ingin menahan keberadaan Chiara di sisinya saat itu, tapi tawaran Ella adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan gadisnya sekarang. Peri laki-laki itu hanya pasrah saat Ella yang dibantu oleh Claude dan Elwood membawa pergi tubuh gadis manusia itu dari pangkuannya.

Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Chiara, ia mungkin tak akan pernah memaafkan Elijah. Setelah mengusap air matanya sekilas, pangeran peri itu kemudian bangkit. Tatapan tajamnya tertuju pada sang raja yang terduduk lemas dengan wajah kuyu. Netra biru peri laki-laki itu menyiratkan kekosongan yang menyedihkan. Pada saat itulah, Archibald menyadari betapa besar arti Chiara bagi Elijah.

Rahang Archibald mengetat, saat pergulatan di dalam pikirannya terjadi. Di satu sisi ia sangat ingin menebas leher saudaranya itu atas semua kesalahan yang telah ia perbuat, tetapi di sisi lain hatinya menentang habis-habisan. Patutkah ia menghukum peri laki-laki yang telah terpuruk oleh rasa bersalahnya sendiri? Terlebih peri laki-laki itu adalah saudaranya sendiri?

Setiap makhluk berhak hidup dan mempertahankan kehidupannya. Setiap makhluk berhak mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya. Untuk saat ini, rasanya apa yang terjadi pada Chiara merupakan hukuman yang cukup berat bagi Elijah dan juga bagi dirinya sendiri.

Archibald berdecih, lalu mengayunkan pedang sihirnya pada udara kosong dengan frustrasi. Pedang itu terpelanting menghantam lantai marmer, membuat suasana balairung yang porak-poranda menjadi hening seketika.

Di saat bersamaan, Maurelle menerobos melewati pintu Balairung Istana Avery yang setengah terbuka. Pandangannya mengedar liar hingga netranya menumbuk pada sosok yang ia cari. Peri cenayang itu berlari dengan napas memburu, menghampiri Archibald.

Pangeran peri yang masih diliputi kecamuk emosi dan kesedihan itu menoleh dengan tatapan nanar. "Ada apa?" tanyanya dengan suara serak.

Maurelle membungkuk takzim sekilas, lalu mengulurkan sesuatu yang terbungkus kain beludru merah kerajaan kepadanya. "Ini milik Anda, Yang Mulia," ucapnya. "Maaf, setelah sekian lama, Hamba baru bisa memberikan apa yang sebenarnya menjadi milik Anda, Yang Mulia."

Iris mata Archibald melebar. Ia meraih benda itu dengan tangan bergetar. Tanpa bisa ia bendung, setetes air bening kembali bergulir di pipinya. Pandangannya kembali menjadi buram, saat jari-jemarinya berhasil menyibak bungkus yang menutupi benda itu. Tongkat sang raja. Kristal bulat yang bertakhta di atas tongkat perak kemudian memendarkan cahaya yang lambat laun menjadi terang. Tongkat sang raja telah menemukan pemilik sejatinya. Tampuk pimpinan Avery telah resmi berada di genggamannya sekarang.

Maurelle dan beberapa kesatria elf sontak jatuh berlutut dengan wajah tertunduk takzim saat cahaya terang dari bola kristal itu memecah membentuk garis-garis cahaya putih di sekitarnya, sementara para prajurit Unsheelie terpaku di tempat mereka masing-masing.

"Salam kepada Raja Archibald!"

"Hormat kepada Raja!"

"Selamat kepada raja yang baru!"

Seru-seruan itu seketika terdengar bergemuruh di dalam balairung. Beberapa prajurit Sheelie ikut bergabung melewati ambang pintu yang tak tertutup, kemudian berlutut dan menyerukan penghormatan mereka. Di saat bersamaan, jeritan jeri terhantar dari seluruh penjuru istana.

Tongkat sang raja menunjukkan kuasanya kepada para pengikut Elijah. Mereka tiba-tiba jatuh berlutut akibat sensasi panas yang menggelenyar pada tungkai-tungkai mereka.

Saat tongkat sang raja menemukan pemilik sejatinya, maka seluruh alam Fairyverse menunjukkan dukungan mereka. Harusnya ini terjadi beberapa saat setelah Raja Brian mangkat. Andai saja iri dengki dan keserakahan tak membutakan mata Elijah, perpecahan ini tidak akan pernah terjadi.

Archibald mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru balairung takjub. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi penguasa tertinggi di Fairyverse sebagai pengganti sang ayah. Ia dan Elijah kemudian bertemu pandang. Ketegangan di antara mereka seolah meluruh begitu saja. Tak ada perlawanan dari saudaranya itu. Sorot kebencian yang semula tersirat dari netra biru peri laki-laki itu kini telah menguap seutuhnya, menyisakan binar kepedihan dan penyesalan mendalam.

Mulut sang pangeran peri itu bergerak-gerak, meski tak sepatah kata pun yang dapat Archibald dengar. Tatapannya nanar, sebelum tubuh penuh luka itu akhirnya ambruk menghantam lantai balairung.

"Elijah!"

* * *

Kelopak mata Chiara yang tertutup berkedut, menandakan kesadarannya mulai terkumpul. Gadis manusia itu membuka matanya perlahan, memandang pada satu wajah yang menatapnya penuh harap. Ia mengerjap beberapa kali seraya menggeliat di atas dipan. Otot-ototnya terasa kaku. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Tunggu dulu, apa benar ia telah tertidur, atau ....

Chiara tersentak, lalu berusaha bangkit. Namun, sekujur tubuhnya terasa nyeri dan berat. 

Wajah sendu Ella yang tengah mengamatinya terlihat sedikit panik saat Chiara hendak bangkit. Peri perempuan itu lantas menuntun putrinya untuk kembali merebahkan diri. "Lebih baik kau istirahat, Nak," ucapnya lembut.

Chiara menggeleng pelan, merasa janggal dengan keadaannya. Kepalanya tiba-tiba diserang oleh rasa pusing yang samar, tetapi cukup mengganggu. Gadis itu menyentuh salah satu pelipisnya.

"Kau tak sadarkan diri selama tiga hari," ucap Ella lirih. Setetes air bening mengalir di pipinya sesaat setelah ia menatap putri angkatnya dengan sorot iba. "Aku sempat takut jikalau kau tak dapat kembali membuka mata."

Chiara mengernyitkan alis seraya menggeleng pelan. Tangannya yang bergetar meraih pundak sang ibu, memberinya dukungan. "Maafkan aku ibu. Aku selalu membuatmu berada dalam masalah." Gadis manusia itu berkata pelan, nyaris tak terdengar. Perasaan bersalah seketika menerpanya. Gempuran memori mengenai peristiwa-peristiwa buruk yang berujung penangkapan Ella memenuhi pikirannya silih berganti. Dadanya terasa sesak. Terlebih saat ia mengingat kenangan terakhir tentang pertarungan kedua pangeran peri yang sama-sama berarti dalam hidupnya.

"Semua sudah berakhir, Chiara. Semua sudah menjadi lebih baik sekarang. Lagi pula kau tak pernah menjadi masalah buatku. Jangan pernah berkata begitu." Perkataan Ella seolah menyingkap keruh yang menyelimuti wajah pucat Chiara. Perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya seketika terangkat.

Gadis manusia itu merentangkan tangan dan disambut pelukan hangat oleh sang ibu. Untuk beberapa saat lamanya dua makhluk beda alam itu larut dalam tangis kelegaan dan kepedihan.

"Bagaimana dengan Archibald dan Elijah, Bu?" Chiara bertanya dengan suara serak setelah sang ibu mengurai pelukan mereka.

Ella membuka mulutnya hendak menjawab pertanyaan putrinya, saat suara ketukan tiba-tiba terdengar dari pintu bilik yang tertutup. Peri perempuan itu menoleh sekilas pada pintu, sebelum beranjak membukanya.

Bunyi derit pintu bergema di seantero ruangan bilik yang didominasi oleh warna putih itu. Pupil mata Chiara melebar saat mendapati sosok tamu yang berdiri di ambang pintu.

"Chiara baru saja siuman. Sepertinya dia akan baik-baik saja. Silakan masuk pangeran. Aku akan pergi menyiapkan makanan dan keperluan lain untuknya." Ella beranjak keluar dari ruangan tersebut seolah sengaja memberi ruang dan waktu pada Elijah yang baru saja melewati ambang pintu. Dua sosok kesatria Elf bersenjata lengkap berjaga di sana dengan wajah tegang. Sementara satu sosok lainnya mengekor peri laki-laki itu masuk ke dalam bilik.

Chiara mengernyit bingung. "Elijah, ada apa dengan mereka?" tanyanya seraya mengerling pada pengawal berwajah tegang yang berjaga di sudut ruangan. Tunggu dulu, bukankah tadi Ella menyebut Elijah pangeran? Apa yang sebenarnya telah ia lewatkan selama tiga hari tak sadarkan diri?

Elijah mengedikkan bahu. "Inilah aku sekarang," jawabnya seraya tersenyum miris. Peri laki-laki itu lantas mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi di samping pembaringan Chiara.

Chiara mengerjapkan matanya berharap agar Elijah memberinya penjelasan lebih, tapi peri laki-laki itu hanya menjawabnya dengan embusan napas berat. Akibat didera rasa penasaran yang semakin bertambah, ia lantas mencoba mengangkat tubuhnya agar duduk bersandar. Namun, rasa pening yang kembali menyerang kepalanya membuatnya urung.

"Berbaringlah," bisik Elijah lembut.

"Kau tak apa-apa?" Chiara mengerutkan alisnya. Sudah payah ia mendongak demi menatap netra sewarna samudera itu.

Elijah menarik salah satu sudut bibirnya. "Apa pertanyaanmu tidak salah? Harusnya aku yang bertanya begitu padamu," sahut peri laki-laki itu diiringi tawa renyah.

Tawa Elijah itu terdengar sumbang di telinga Chiara. Gadis itu sama sekali tak ikut tertawa. Hatinya justru merasa teriris. "Apa yang terjadi padamu setelah itu? Setelah aku---

"Kau mengkhawatirkan aku?" Elijah memutus ucapannya dengan satu pertanyaan telak. Netra biru sang pangeran peri menatap intens pada netra zamrud gadis manusia yang terbaring lemah di atas dipan itu.

Chiara bungkam. Jantungnya bertalu kencang di balik gaun putih polos yang ia kenakan. Ia merasa begitu terintimidasi dengan tatapan dan pertanyaan Elijah.

Peri laki-laki terkekeh, seolah menyadari aura kecanggungan di antara mereka. "Aku hanya bercanda," cetusnya cepat. Ia menjeda kalimatnya sesaat dengan tatapan yang tak teralih sedikitpun dari Chiara. "Aku minta maaf atas ... semuanya. Terutama karena aku telah melukaimu."

Peri laki-laki itu tertunduk. Namun, saat ia mengangkat wajahnya, Chiara tahu hanya kesungguhan dan kesedihan yang membayang di sana. Entah mengapa, pemandangan tersebut membuat dada gadis manusia itu justru terasa sesak.

Chiara menggigit bibir bawahnya, lantas menggeleng pelan.

"Terima kasih sudah pernah bersedia menjadi temanku ... Terima kasih karena sudah menerimaku apa adanya waktu itu. Ternyata ... memiliki teman itu menyenangkan." Setetes air bening menyembul dari pelupuk matanya. "Maaf, jika pada akhirnya aku mengacaukan pertemanan kita." Ia menggeleng tanpa mencoba menutupi ekspresi sesalnya.

Gadis manusia itu terpaku menatapnya nanar. Elijah yang pernah ia kenal telah kembali. Peri laki-laki yang waktu itu menyelamatkannya di Hutan Larangan, sesosok peri yang terlihat percaya diri, tapi ternyata penuh luka dan kesepian. Tak ada lagi kemarahan dan dendam pada netra sebiru lautan yang menyorot lembut itu. Yang tersisa hanyalah penyesalan dan luka.

Andai saja ia bisa menyembuhkan luka itu. Susah payah, Chiara menopang tubuhnya untuk duduk agar ia dapat melihat sosok sang pangeran lebih jelas. "Kau teman terbaik yang pernah kumiliki ..."

"Hanya teman?" Entah mengapa, Chiara mendengar nada kecewa pada pertanyaan Elijah barusan.

Gadis itu mengernyit sesaat, lalu menggeleng pelan. "Kau teman terbaikku. Lagi pula, kau memiliki saudara-saudara yang begitu peduli padamu, sementara aku tidak. Kau memiliki keluarga yang menyanyangimu, sementara aku hanya memiliki Max dan nenek, tetapi itu cukup bagiku. Seharusnya kau sadar bahwa kau tidak pernah sendirian, Elijah. Saudara dan keluarga selalu ada untukmu."

Elijah menunduk pilu. "Ya, aku tahu. Aku begitu ingkar dengan kesempurnaan yang telah kumiliki. Aku menginginkan lebih ... Menginginkan apa yang seharusnya tak menjadi milikku. Takhta ..." Peri laki-laki itu kembali memerangkap sepasang netra Chiara dengan tatapan intensnya. "Dan kau!" lanjutnya dengan suara tegas.

Gadis manusia itu mengedip tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Tatapan biru itu membuatnya tertunduk dan  kehilangan kata-kata. Jadi putra kegelapan itu benar-benar menaruh hati padanya.

"Hatiku sakit saat mengetahui jika kau telah terlebih dahulu merajut takdir dengan Archibald. Lagi-lagi aku menginginkan apa yang seharusnya tak menjadi milikku. Dan, lagi-lagi aku berpikir kenapa harus Archibald. Kenapa bukan aku. Seberapa besar pun usahaku, aku tak akan bisa melawan suratan takdir," tuturnya getir. Baru kali ini Chiara melihat air muka Elijah yang begitu nelangsa.

Hening merambat perlahan pada udara yang melingkupi mereka. Elijah tertunduk dengan hati yang retak, sementara Chiara tergugu. Mereka berhadapan, tetapi kini tak saling menatap.

Tiba-tiba suara derit pintu yang membuka berat bergema memecah kebisuan di antara mereka. Sesosok kesatria elf yang tadi berjaga di luar bilik muncul di ambang pintu.

"Waktu Anda sudah habis, Pangeran." Ia berkata dengan formal dan penuh penekanan. Ekspresinya masih setegang saat ia mengantar Elijah masuk ke bilik ini.

Pangeran peri itu mengangguk pasrah pada sosok yang lantas kembali menghilang di balik pintu. Elijah mengusap sudut matanya sekilas, lalu beranjak menjauhi sisi pembaringan.

Chiara meraih pergelangan tangannya seraya terisak pelan. "Kau mau ke mana?"

Elijah tersenyum. Ekspresi pilu pada wajah peri laki-laki itu telah menguap. "Aku akan memperbaiki semua kesalahanku," ucapnya pelan.

Peri laki-laki itu lantas kembali mendekati Chiara, menatap mata gadis itu dalam-dalam. Jarak mereka kini tak lebih dari dua jengkal peri elf. "Aku berharap kita tak pernah bertemu lagi, karena jika kita kembali bertemu, aku tidak yakin bisa melepaskanmu," bisiknya.

Tanpa sempat Chiara sadari, peri laki-laki itu mendekat dan mendaratkan sebuah kecupan di keningnya.

Gadis manusia itu terkesiap saat Elijah telah beranjak menuju pintu bilik. Sebelum melewati ambang pintu, Elijah menoleh sekilas pada Chiara yang memelototinya. Salah satu sudut bibir peri laki-laki itu tertarik ke atas, kemudian tanpa kata ia menghilang di ambang pintu.

Chiara masih terdiam. Gadis itu berusaha menenangkan debar samar di dadanya, sementara rona merah perlahan muncul pada kedua belah pipinya. Entah mengapa hatinya terasa sakit saat punggung peri laki-laki itu menghilang di balik pintu.

* * *

Untuk pertama kalinya setelah segel Hutan Larangan hancur, salju berhenti turun. Timbunan putih yang dingin itu sebagian besar telah menipis. Beberapa tunas tanaman baru terlihat menyembul dari lapisan es yang mulai mencair.

Serangga-serangga kecil aneka warna dan para pixie kembali terbang riang di antara kuncup bunga yang tak lagi beku. Nyanyian samar dari balik bukit dan kedalaman hutan Fairyfall kembali menggema samar-samar dalam tiupan angin. Rupanya para peri pohon dan nimfa sangat bersukacita atas berlalunya musim dingin dan kesedihan di Fairyverse.

Chiara duduk diam di atas gundukan tanah serupa bukit kecil yang tak lagi tertutup salju pada tebing di belakang Kerajaan Avery. Pandangannya menerawang pada laut lepas nun jauh di balik sebuah hutan yang terhampar di kaki tebing Kerajaan Avery. Tatapannya terpaku pada dua buah kapal layar besar yang bergerak menjauh dari bibir pantai dengan umbul-umbul berlogo kerajaan Avery.

Chiara mendesah masygul. Separuh hatinya terasa turut melaut bersama dua kapal itu

Raja Avery yang baru menolak untuk menghukum mati para peri Sheelie dan Unsheelie yang enggan tunduk pada kedaulatannya. Sang raja lantas memutuskan untuk mengasingkan mereka ke sebuah pulau di tengah-tengah samudra yang membentang di luar Kerajaan Avery. Minerva, Elijah dan para pengikutnya berada di atas kapal layar itu menuju pulau pengasingan.

Beberapa kali gadis manusia itu mengembuskan napas panjang. Elijah adalah sumber kegundahannya belakangan ini, selain kerinduannya untuk pulang ke rumah. Ya, ia begitu merindukan sang nenek. Ia berharap perempuan berusia lebih dari setengah abad itu baik-baik saja. Raut wajah khawatir sang nenek selalu muncul dalam mimpinya setiap malam belakangan ini.

Namun, jika ia berhasil kembali ke dunianya, lantas bagaimana dengan hatinya? Chiara tak dapat memungkiri bahwa ia telah jatuh cinta pada Archibald, teman perinya itu, bahkan sejak mereka pertama kali bertemu di Cottingley. Bagaimana ia dapat  hidup dengan hanya berbekal kenangan dengan kekasih perinya? Pikiran semacam itu terus berseteru dalam benaknya, membuat hari-harinya belakangan ini dirundung kegundahan. Cepat atau lambat, gadis itu harus memutuskan untuk pulang atau tetap tinggal di Fairyverse.

"Kau masih di sini?" Sebuah suara yang familier menyapanya. Lamunan gundahnya seketika buyar.

Gadis itu menoleh dan mendapati Archibald yang datang mendekat. Peri laki-laki itu membawa selimut yang terbuat dari bulu beruang, kemudian menyampirkannya pada bahu Chiara begitu saja. Perempuan itu tersentak hingga semburat merah muncul di kedua pipinya.

"Dia akan baik-baik saja," ucapnya seraya melemparkan tatapan menerawang pada iring-iringan dua kapal yang bergerak ke tengah lautan. Kata-kata itu seolah menjawab tanya yang mengambang dalam benak Chiara.

Peri laki-laki itu mendudukkan bokongnya pada gundukan tanah di samping Chiara, turut bergabung merasakan embusan angin yang menerpa tebing. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam hingga dua kapal itu menghilang pada garis horizon.

Archibald mengembuskan napas panjang. "Semoga keputusanku kali ini benar. Seberapa besar pun kesalahan mereka, aku tidak akan membunuh. Sudah terlalu banyak darah yang tumpah dan nyawa yang melayang akibat perebutan kekuasaan di Avery, aku tidak ingin menambahnya lagi."

Chiara menoleh, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. "Kau sudah melakukan sesuatu yang benar. Aku yakin kau akan menjadi raja yang baik."

"Benarkah?" Archibald terkekeh, sementara gadis itu menjawab dengan anggukan. Peri laki-laki itu lantas menoleh pada Chiara, mengunci tatapannya. "Kau sudah membantuku sejauh ini, meski hanya dengan berada di sisiku. Kau berhak mendapatkan sesuatu. Katakan apa permintaanmu?" bisiknya bersama tiupan angin yang membelai surai mereka.

Pupil mata gadis manusia itu melebar demi mendengar tawaran yang diajukan sang raja baru kepadanya. Inilah kesempatannya untuk meminta pulang. Di tengah-tengah pemikiran dilematis yang mengungkungnya, akhirnya ia memutuskan untuk kembali pada sang nenek.

"Benarkah?" tanya Chiara yang masih diliputi keraguan.

Archibald mengangguk mantap. "Katakanlah."

Chiara menatap netra hazel green peri laki-laki itu dalam-dalam, mencari kesungguhan dalam kata-katanya. "Aku sangat merindukan nenek ... aku ingin pulang ke Cottingley," tuturnya dengan suara serak dan ragu kala menimbang reaksi sang raja.

Air muka Archibald seketika berubah keruh. Senyum tipis yang tersungging pada bibirnya mendadak lenyap. Permintaan gadis itu seolah menyadarkannya kembali bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda.

Beberapa detik ia menimbang dalam diam. Ekspresinya sungguh tak tertebak. Sementara, Chiara menanti jawabannya dalam pengharapan dan kecemasan yang sama besarnya. Meski, jauh di dalam lubuk hatinya, ia berharap Archibald akan memintanya tinggal.

Peri laki-laki itu menatapnya nanar. "Aku akan mengabulkannya jika memang itu yang kau inginkan."

2804 kata 😱🥺
Aku sedih sebenarnya nulis ini tapi yaa mau gimana lagi, sambil dengerin lagunya coba 🤧
1 chapter lagi ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top