48. The End of A Fairytale (2)
Maurelle yang memimpin penerobosan Kerajaan Avery melalui ruangan rahasia, melangkah terlebih dahulu melewati ambang pintu, begitu sesosok prajurit berhasil mendobrak pintu masuk alternatif itu. Tak ada pasukan yang berjaga di depan sana karena memang hanya ia dan Raja Brian yang mengetahui lorong rahasia tersebut. Peri cenayang itu membawa serta setidaknya sepuluh prajurit Sheelie begitu ia berbelok ke kiri, berlawanan arah dengan rombongan Archibald.
Mulanya koridor Istana Avery yang mereka lewati terlihat lengang karena hanya merupakan deretan kamar-kamar pelayan istana. Namun, pada sebuah persimpangan yang mengarah ke bekas kamar Ratu Serenity, beberapa peri Unsheelie yang sedang berjaga menghadang langkah mereka.
Denting pedang yang beradu lantas terdengar memecah hening tempat itu ketika pasukan Maurelle mencapai persimpangan koridor. Teriakan marah dan kesakitan sesekali terdengar di tengah pertarungan sengit yang sebenarnya tidak imbang itu. Sepuluh prajurit Sheelie bersenjata lengkap melawan enam prajurit Unsheelie.
Tak butuh waktu lama, prajurit Unsheelie yang kalah jumlah dan kalah persiapan itu langsung dapat diatasi oleh Maurelle dan pasukannya. Dengan setengah berlari, mereka melanjutkan perjalanan menuju bekas kamar Ratu Serenity. Sesekali langkah mereka dihadang oleh satu atau dua kesatria elf Unsheelie yang dapat dengan mudah mereka lumpuhkan.
Delapan orang prajurit Sheelie berjaga di depan bilik yang terlihat kosong, sementara Maurelle dan dua prajurit Sheelie lainnya masuk ke dalam bilik itu dengan langkah mengendap-endap.
Tepat seperti dugaan Maurelle, bilik itu memang tak berpenghuni dan tak terkunci. Barangkali empunya kamar sudah mati atau berada di ruang tahanan bawah tanah. Tak ada yang dapat memprediksi dengan pasti apa yang mungkin dilakukan para unsheelie kepada mantan ratu. Dengan gesit, peri cenayang itu menggeledah seisi kamar, mencari sesuatu yang diamanahkan Raja Brian padanya.
Pada sebuah lemari kecil yang letaknya tersembunyi di bawah pembaringan sang ratu, Maurelle mendapati apa yang ia cari. Sesuatu yang berukuran sepanjang bilah pedang sihir terbalut kain beludru merah menjadi satu-satunya barang yang tersimpan di dalam sana.
Pupil mata peri laki-laki itu melebar saat jari-jemarinya dengan cekatan membuka bungkusan kain tersebut, kemudian mengintip ke dalamnya. Sebuah tongkat yang terbuat dari perak dengan ukuran persis sepanjang bilah pedang sihir ternyata tersimpan di sana. Pada puncak tongkat tersebut, sebuah bola kristal berwarna bening bertakhta dengan anggun. Beberapa jenis batu mulia aneka warna menghiasi sekeliling pelat penyangga bola kristal itu. Sungguh sebuah keindahan yang sangat jarang ditangkap oleh penglihatan Maurelle.
Maurelle menimang-nimang benda itu sesaat penuh kekaguman. Jadi inilah tongkat sang raja yang dimaksud oleh Raja Brian. Misi pertamanya telah selesai, selanjutnya tinggal menjalankan misi kedua. Ia harus menyampaikan tongkat ini pada pemilik sejatinya.
* * *
Chiara tidak pernah menyangka jika ia akan dipertemukan kembali dengan Archibald dalam keadaan seperti ini. Pangeran peri yang merupakan sahabat kecilnya, bahkan pernah menjadi angan-angannya saat beranjak remaja itu sama sekali tidak berubah, laiknya bangsa peri dalam setiap dongeng yang pernah ia baca. Mereka selalu terlihat muda dan mempesona. Namun, tak satu pun dongeng itu yang mengisahkan kerumitan perebutan kekuasaan seperti yang dihadapinya sekarang. Dongeng yang rasa-rasanya akan berakhir tragis.
Gadis manusia itu mengawasi punggung sang pangeran peri yang berjalan mendahuluinya dengan perasaan gundah. Ia sangat ingin mengatakan agar Archibald berhenti dan merelakan saja takhta itu untuk Elijah sehingga mereka tidak perlu perberang dan saling bunuh. Namun, hal ini bukan sekadar perkara takdir lagi. Setelah melihat sendiri kekejaman Elijah tempo hari, ia sepakat jika pangeran peri pujaan hatinya itu memang harus melakukan misi penyelamatan.
Bunyi berdebum menggema dalam lorong sempit minim cahaya yang mereka lalui. Sesosok peri elf yang terlebih dahulu tiba di ujung lorong mendobrak pintu batu itu dalam sekali tendangan.
Cahaya terang seketika menyerbu lorong sehingga mengakibatkan tikus-tikus bermata merah penghuni lorong panik bukan kepalang. Makhluk-makhluk itu lantas berlari berlawanan arah secara bersamaan. Beberapa kesatria dan penyihir elf terlonjak kaget untuk menghindari makhluk-makhluk kecil yang berdecit di bawah kaki mereka. Namun, beruntung hal tersebut tak berlangsung lama, Maurelle segera membawa sejumlah pasukan yang telah keluar dari lorong itu ke arah kiri, sementara Archibald memimpin pasukan yang berbelok ke arah kanan menuju balairung.
Chiara, sebagaimana hasil penugasan, berada pada rombongan Archibald di posisi paling belakang bersama beberapa penyihir peri. Baru saja beberapa langkah keluar dari lorong rahasia itu, pasukan mereka langsung dihadang oleh sekelompok peri Unsheelie yang sedang bersiaga di depan pintu gerbang balairung.
Bunyi denting pedang seketika beradu memenuhi udara bersuhu rendah di tempat itu. Chiara terpaku di tempatnya bersama dua peri penyihir yang sedang menyisir keadaan sekitar. Jika para unsheelie menggunakan sihir, maka mereka akan turun tangan.
Chiara seketika dilanda panik. Peperangan jarak dekat seperti ini sangat berbeda dengan pengalamannya menyaksikan pertarungan individual antara para pangeran dan makhluk kegelapan. Pertempuran saat ini juga jauh lebih mengerikan dan serius dari pada sekadar pengalaman menunggangi naga. Gadis manusia itu terlihat berusaha keras menekan kepanikannya, saat sesosok prajurit Unsheelie mendekatinya dengan ancang-ancang seolah siap untuk menyerang. Dengan gelagapan, Chiara mengeluarkan belatinya dari sarung yang tersampir di pinggang.
Tangannya gemetar saat ia mencoba menangkis serangan peri Unsheelie berwajah mengerikan di hadapannya. Pada tangkisan pertama, Chiara berhasil mendorong tubuh makhluk itu hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Namun, akibatnya peri itu kembali menyerang dengan membabi buta dan bertubi-tubi.
Saat ia merasa terdesak, Chiara seketika mengingat sekantung serbuk peri yang terikat di pinggangnya. Dengan cepat, gadis manusia itu merogoh ke dalam kantungnya, lalu meraup segenggam isinya. Saat peri penyerangnya berada pada posisi yang cukup dekat, ia lantas melemparkan serbuk peri dalam jumlah banyak itu ke arah matanya. Makhluk itu meraung jeri karena rasa pedih dan terbakar, tubuhnya langsung ambruk beberapa detik kemudian.
Senyum kemenangan seketika terkembang di bibir tipisnya. Namun, senyum itu meredup begitu saja saat sepasang netranya mendapati dua sosok penyihir Unsheelie berjubah hitam dengan wajah buruk rupa turut hadir menyertai pasukannya.
Chiara kembali gemetar. "Hei, tenanglah, kami akan membantumu!" seru salah seorang penyihir Sheelie, kala menangkap gelagat kegundahannya.
Gadis itu menoleh ke samping, lantas mengembuskan napas lega. "Baiklah, mari kita hadapi bersama."
Pertarungan terbuka terjadi di tempat itu. Para prajurit Sheelie yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada pasukan Unsheelie menyebabkan pertarungan yang awalnya tak seimbang. Namun, tak lama kemudian, sepasukan peri Sheelie yang berhasil menembus benteng utama di bawah pimpinan Albert datang dan membantu mereka. Sementara di saat yang sama, Archibald dan beberapa peri Sheelie mendobrak pintu gerbang balairung Istana Avery.
* * *
Pintu Balairung berdebum keras akibat dihantam paksa dengan berbagai jenis senjata berat. Elijah dan beberapa petinggi kerajaan Avery ada di sana beserta para tawanan penting yang duduk berlutut dengan tangan dan kaki terikat. Peri laki-laki itu memang telah menantikan saudaranya datang untuk merebut takhta dari tangannya. Namun, penantiannya ternyata terlalu singkat, di luar ekspektasinya.
Kekalahan sebenarnya telah membayang jelas di depan mata sang raja. Kerajaannya telah dikepung, diserang dari berbagai penjuru secara mendadak. Ia harus mengakui jika kali ini ia kalah dalam adu strategi dengan saudaranya itu. Namun, tetap saja, Archibald tidak bisa naik takhta sebelum dirinya mengaku kalah atau tewas dalam perang. Maka, dirinya adalah pertahanan terakhir untuk menyelamatkan kejayaan Unsheelie yang baru seumur jagung di Avery.
Saat akhirnya pintu balairung berhasil diterobos, kedua saudara itu lantas berdiri berhadapan dengan aura saling menantang yang sangat kental. Elijah dengan pedang yang telah terhunus dalam genggaman bersiap menyerang, sementara Archibald berdiri dengan kondisi masih menenangkan deru napasnya seraya meraih pedang lain dari balik punggung.
Netra mereka beradu untuk sesaat. Kilatan penuh kebencian menyorot dari netra biru Elijah. Sengatan perlawanan yang kentara juga dipancarkan dari netra hazel green milik Archibald. Ketegangan di antara keduanya menguar dan menulari sekitarnya. Beberapa kesatria elf Sheelie dan Unsheelie sontak membentuk formasi perlindungan di sekitar pemimpin mereka masing-masing.
"Jadi, inilah akhir kita berdua, Archibald," ucap Elijah diiringi tawa getir.
Peri laki-laki di hadapan Elijah itu menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Kau yang memilih akhir seperti ini," balasnya dingin.
Elijah terkekeh getir. "Apa ... Aku masih punya pilihan lain?"
Sudut matanya lantas menangkap sosok Chiara yang terlihat berantakan dengan baju zirah yang sedikit kebesaran menutupi tubuhnya, baru saja memasuki ambang balairung. Gadis manusia itu mengedarkan pandangan ke sekeliling balairung mencari Archibald, tetapi netranya malah bertemu dengan netra sang raja.
Tatapan itu hanya berlangsung beberapa detik, sebelum Chiara menyelinap mendekati para tahanan yang terikat. Keseluruhan adegan itu sudah cukup untuk membuat luka yang pernah tertoreh di dalam hati peri laki-laki bernetra biru itu kembali berdarah. Jelas sudah, pada siapa gadis pujaan hatinya itu berpihak. Demi mengenyahkan rasa sakit itu, Elijah mendadak mengangkat pedangnya ke arah Archibald seraya berteriak nyalang.
Pangeran peri itu sedikit terkesiap dengan serangan rivalnya yang terlalu tiba-tiba. Namun, ia segera dapat menguasai diri dan dengan sigap menangkis serangan penuh emosi itu. Serangan berlanjut, sang raja kembali mengayunkan pedang dari arah berbeda. Tujuannya memang membuat sang pangeran kewalahan.
Seolah mendapat komando, para prajurit Sheelie dan Unsheelie juga mulai saling serang. Ayunan pedang, tebasan, dan tangkisan membuat ruangan itu nyaris porak-poranda. Suara gaduh dan denting pedang yang beradu seketika menjadi latar pengiring peperangan mereka.
"Kau selalu punya pilihan, Elijah. Setiap orang punya pilihan!"v sahut Archibald di tengah napasnya yang memburu. Pelipis pangeran peri itu dibanjiri keringat. Serangan Elijah yang bertubi-tubi nyaris membuatnya kehabisan napas. Ia mulai kelelahan sehingga beberapa serangan baliknya pada sang raja baru seringkali meleset dari sasaran.
Elijah tersenyum miring. "Kau ... telah mengambil semua pilihanku!" teriaknya berang. Peri laki-laki itu lantas melakukan sebuah lompatan tinggi untuk kemudian menghunjam turun dengan mata pedang mengarah pada Archibald.
Pangeran bersurai keemasan itu tak dapat menghindar. Namun, tusukan pedang Elijah yang harusnya mengenai dada lawan, sedikit meleset hingga hanya mengenai bahu Archibald. Darah segar seketika merembes dari luka tersebut, terlebih saat Elijah mencabut pedangnya dengan kasar.
"Tidak!" Chiara yang baru saja selesai membebaskan ikatan para tawanan, langsung menghambur ke arah Archibald. Dengan sigap gadis itu membubuhkan serbuk peri pada luka dalam itu agar darah segar berhenti mengalir.
Elijah yang melihat perlakuan Chiara terhadap Archibald tersebut semakin tersulut amarah. Sang raja kembali hendak mengayunkan pedang peraknya yang masih bernoda darah pada peri laki-laki itu.
Archibald yang belum sepenuhnya pulih sontak kembali bangkit dan menepis rengkuhan Chiara pada lengannya. Susah payah, ia menangkis serangan sang raja yang tengah diliputi kemarahan. Luka yang belum mengering sepenuhnya itu cukup menyulitkan pergerakannya.
Setelah serangannya berhasil ditangkis oleh Archibald, Elijah lantas mengayunkan bogem mentah dengan satu tangan yang tak menggenggam pedang. Pangeran peri itu lantas jatuh terhuyung menghantam lantai marmer balairung. Bekas kebiruan samar-samar tercetak di salah satu pipinya.
"Elijah hentikan!" seru Chiara dengan suara lirih begitu ia melihat Elijah kembali hendak mengayunkan pedangnya pada Archibald.
"Jangan halangi aku," sahutnya dingin. Fokus netranya tetap menyorot tajam pada Archibald.
"Kau tidak seperti Elijah yang kukenal," lanjut gadis manusia itu seraya berjalan mendekati Elijah. Pelupuk matanya mulai terasa berat karena air mata yang nyaris tumpah. Kedua pangeran peri yang pernah ia kenal harusnya tak seperti ini.
"Minggir!" Elijah menggeram tertahan.
"Tidak." Chiara menggeleng. Gadis manusia itu merentangkan kedua lengannya di depan sang raja dalam jarak sepanjang dua lengan peri elf. Dua sosok prajurit Unsheelie mendekatinya, tapi kalah cepat dengan Claude dan Elwood yang telah terbebas, kemudian langsung menyergap kedua prajurit itu demi menolong Chiara.
Elijah menatap gadis itu tajam. Rahangnya mengeras. "Apa maumu, hah?! Kau tak memilih tinggal di sisiku dan sekarang kau malah menghalangi langkahku. Apa yang kau inginkan?"
Belum sempat Chiara membuka suara, Archibald telah lebih dulu bangkit dan mendekati mereka. "Menjauhlah, Chiara. Jangan ikut campur. Ini urusan antar saudara, jadi biar kami yang menyelesaikannya."
Gadis manusia itu menggeleng tegas. Tetap keras kepala seperti biasanya. "Justru karena kalian adalah saudara, kalian tidak seharusnya seperti ini. Kalian jangan sampai saling membunuh. Ini tidak benar!" jeritnya seraya melempar pandangan kepada Archibald dan Elijah bergantian.
"Minggir!" bentak Elijah yang lantas mendorong tubuh Chiara hingga terjengkang. Peri laki-laki itu bersiap untuk kembali menyerang Archibald.
Archibald yang merasa tidak terima atas perlakuan kasar Elijah terhadap Chiara mulai tersulut emosinya. Ia lantas mengusap bilah pedangnya dari pangkal hingga ke ujung. Pedang perak itu kemudian memendarkan cahaya putih. Sang pangeran peri kemudian melompat ke udara dan menitik turun menyerang sang raja lebih dulu.
Dalam sepersekian detik, Elijah yang tak menyangka jika Archibald menggunakan sihir pada pedangnya, tak ayal menjadi gelagapan. Raja Avery itu mencoba menangkis serangan dengan bilah pedang peraknya. Pedang itu patah seketika akibat tak kuat menahan energi yang begitu besar, sementara ia sendiri terlempar jauh menghantam dinding singgasana.
Elijah merosot dari dinding, lalu jatuh menghantam lantai. Darah segar mengalir dari salah satu sudut bibirnya. Peri laki-laki itu memegangi dadanya yang terasa nyeri bukan main. Dalam sihir, ia harus mengakui jika ia memang kalah selangkah dari pangeran Aethelwyne itu. Namun, ia tak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak setelah berjuang sejauh ini.
"Tidak!" teriak Chiara dengan suara melengking. Air mata menggenangi pipi gadis manusia itu. Pemandangan barusan benar-benar membuat hatinya sakit. Ia tak ingin kedua saudara itu saling membunuh.
Elijah mengerling sekilas pada gadis manusia yang sedang menatapnya pilu. Hatinya yang hancur sedikit menghangat saat menerima sedikit atensi dari pujaan hatinya. Hal sederhana itu membuat semangatnya kembali terpompa. Ia lantas bangkit, meski harus tertatih. Pandangannya menatap lurus pada sang rival yang sedang mengatur napas. Sihir yang telah digunakan oleh pangeran peri itu sepertinya sangat menguras tenaga.
Andai saat ini ia memiliki tongkat sang raja, maka kekacauan seperti ini tak perlu terjadi. Semua akan terkendali, ia akan bisa mengalahkan Archibald dengan mudah. Sayangnya, Maurelle melarikan diri dan bersekutu dengan Aethelwyne untuk melengserkannya. Peri cenayang itulah yang mengetahui keberadaan tongkat Raja Avery.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Elijah merentangkan kedua tangannya hingga sejajar dengan bahu, berusaha membangkitkan kekuatan sihirnya. Telapak tangannya terbuka menghadap langit-langit balairung.
Beberapa detik kemudian, bola cahaya berwarna ungu muncul di kedua telapak tangannya. Dengan gerakan menyerupai kuda-kuda, Elijah menggerakkan kedua lengannya ke atas. Kedua bola ungu itu menyatu menjadi sebuah bola cahaya besar. Sang raja membawa bola itu ke depan dadanya, lalu secepat kilat melepaskannya ke arah Archibald.
Di ujung balairung, Archibald bersiap untuk menangkis serangan dengan pedang perak yang memendarkan cahaya putih. Namun, di luar dugaan, dengan gerakan yang jauh lebih cepat, gadis manusia itu entah bagaimana mendadak telah berdiri di antara mereka.
Elijah dan Archibald sontak membelalak. "Chiara!"
Bola cahaya ungu yang telah kadung melesat itu tepat mengenai tubuh si gadis manusia. Tubuh Chiara terdorong ke belakang saat bola cahaya ungu itu memecah menjadi garis-garis cahaya ketika menghantam tubuhnya.
Archibald berlari cepat, kemudian menyambut tubuh gadisnya pada saat yang tepat. Namun, kelopak mata Chiara telah tertutup dan tubuhnya terkulai lemas dalam pelukan peri laki-laki itu.
Dari kejauhan, Elijah bergeming. Ia menatap nanar pada Chiara sejak tubuh gadis manusia yang tiba-tiba muncul itu dihantam oleh bola cahaya ungunya. Hatinya remuk untuk kesekian kali. Tungkainya mendadak lemas hingga tubuh peri laki-laki itu terjatuh di atas lututnya sendiri. Sesuatu yang besar dan keras seolah menghantam kesadarannya. Apakah ia telah membunuh orang yang dicintainya lagi?
Terima kasih telah membaca, jika berkenan tinggalkan vote dan komentarnya yaaa, kalau ada saran dan masukan untuk adegan juga jangan ragu untuk kasih tau, soalnya akan aku perbaiki setelah cerita ini tamat, salam hangat dari ,Zu😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top