44. Never Give Up

Maurelle berlari menyusuri lorong gelap dan sempit menuju sebuah pintu rahasia yang terhubung dengan Taman Peristirahatan Terakhir keluarga kerajaan Avery. Napasnya memburu, sementara keringat membanjiri pelipisnya. Bau pengap dan apak menyergap penciumannya hingga sesekali peri laki-laki itu batuk kecil. Bunyi cicit tikus dengan mata-mata menyala yang beraneka warna menyamarkan keberadaannya di dalam lorong itu.

Tak banyak anggota kerajaan Avery yang mengetahui tempat itu. Namun, jika salah satu pangeran atau putri tertangkap, sudah pasti para unsheelie akan mengetahui keberadaan tempat ini. Maka, Maurelle tak akan punya cukup banyak waktu sampai pintu keluar di taman pemakaman leluhur peri dikepung.

Maurelle mempercepat langkah. Ia memaksa tungkainya yang terasa sangat lelah itu untuk dapat mencapai ujung lorong. Luka-luka di sekujur tubuhnya berdenyut nyeri.

Sang peri cenayang membayangkan jika saat itu Elijah pasti telah menduduki singgasana raja. Hatinya seketika terasa perih. Bayangan ditusuknya Raja Brian seketika memenuhi kepalanya. Inilah akhirnya, akhir dari kehidupan sahabat karib yang ratusan lalu telah menghampiri penglihatannya sebagai sesosok cenayang peri. Ia tak dapat mencegahnya, tak dapat juga mengubah takdir. Namun, satu hal yang pasti, bagi seluruh rakyat Avery, hidup harus terus berlanjut dan perjuangan harus terus digaungkan.

Maka, saat tubuh sang raja ambruk menghantam tumpukan salju putih, Maurelle telah tahu apa yang harus ia lakukan. Pelupuk mata peri laki-laki itu seketika terasa perih. Setetes air bening mengalir begitu saja dari pelupuknya. Di sinilah ia sekarang, menjalankan misi terakhir dari Raja Brian.

Setelah berlari cukup lama di dalam lorong tersebut, akhirnya netra Maurelle samar-samar menangkap siluet sebuah pintu besi berkarat. Saat jaraknya dan pintu hanya beberapa jengkal saja, peri laki-laki itu lantas mengulurkan lengannya meraba permukaan berkarat itu untuk mencari daun pintu.

Bunyi tarikan daun pintu bergema dalam lorong sempit itu. Pintunya terkunci. Kabar baiknya berarti tak ada yang pernah melewati tempat itu dalam jangka waktu yang cukup lama.

Sementara itu, tangan Maurelle yang lainnya meraih anak kunci yang tergantung pada sabuk di pinggang. Mata menyala makhluk pengerat yang memenuhi tempat itu memberikan penerangan yang cukup baginya untuk mencocokan lalu memutar beberapa anak kunci.

Bunyi berderit engsel pintu yang berkarat bersamaan dengan cahaya temaram dari Taman Peristirahatan Terakhir kemudian memenuhi lorong lembab itu. Tikus-tikus yang berkeliaran di bawah kaki Maurelle sontak melarikan diri bersembunyi ke dalam kegelapan. Udara pengap lorong seketika menguap berganti dingin yang menggigit tulang.

Maurelle menghirup udara segar itu dalam-dalam seraya mendorong daun pintu lebih lebar dengan sedikit tenaga ekstra. Rupanya timbunan salju telah menutupi bagian depan pintu besi lorong rahasia. Tanpa membuang waktu, Maurelle segera berlari menuju gerbang keluar taman tersebut. Tempat itu lengang dan hening seperti biasa. Tonggak aneka warna yang merupakan tongkat sihir tertancap dalam barisan rapi sebagai penanda bahwa abu para peri anggota kerajaan Avery pernah disebar di tempat itu.

Peri laki-laki itu mengerling sekilas saat melewati sebuah tonggak dengan bunga matahari beku tertanam di sekitarnya. Maurelle mengenali itu sebagai tempat pembuangan abu Pangeran Albert palsu. Entah mengapa sudut bibirnya sedikit terangkat saat mengingat betapa cerdasnya siasat sang raja demi melindungi putra mahkota yang asli. Hatinya kembali teriris, tetapi segera ditepisnya kegundahan itu.

Maurelle menghunus pedang sihir dari sarungnya, lalu mengacungkannya waspada seraya terus berjalan mengendap di antara pepohonan. Dari kejauhan matanya menangkap beberapa sosok peri elf berbaju zirah yang sedang berjaga. Peri laki-laki itu kini telah mendekati pintu gerbang Taman Peristirahatan Terakhir.

Peri laki-laki itu berhenti di balik sebatang pohon oak besar yang jaraknya hanya beberapa meter dari pintu gerbang. Ia mengamati keadaan sekitar dan jumlah para penjaga di depan gerbang itu sebelum memutuskan untuk melanjutkan langkah. Setidaknya ada lima orang peri elf berbaju zirah dengan tombak dan tameng di genggaman mereka masing-masing.

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Maurelle memutuskan untuk menyerang sesosok peri elf yang posisinya berada paling dekat. Dengan susah payah, peri cenayang itu berjingkat di atas timbunan salju guna meminimalisir bunyi langkahnya.

Dengan gerakan tiba-tiba yang terukur, peri laki-laki itu lantas menyergap dari ah arbelakang. Lengannya memiting leher peri Unsheelie yang tak sempat berbalik. Tubuh peri itu limbung dan terjengkang ke arah Maurelle. Saat peri elf berbaju zirah itu berusaha bangun, Maurelle telah lebih dulu menancapkan pedang sihirnya pada bagian perut peri malang tersebut.

Bunyi erangan sontak meyedot atensi keempat peri elf yang sedang berjaga-jaga di luar Taman Peristirahatan Terakhir. Para peri itu berdatangan mendekati Maurelle, bersiap untuk membalas kematian rekannya.

Dengan sigap, Maurelle bangkit lalu mencabut pedangnya dari tubuh peri yang telah bersimbah darah itu. Bilah pedang terayun padanya, tetapi dengan sigap segera ia tangkis. Suara denting pedang yang beradu lantas memecah hening tempat yang seharusnya jadi taman paling tenang di seluruh Fairyverse.

Tiga sosok peri elf penjaga taman itu bersamaan menyerang Maurelle, sementara satu sosok lainnya telah menghilang di balik gerbang taman yang setengah terbuka. Peri cenayang itu berasumsi jika tak lama lagi sepasukan peri Unsheelie akan berdatangan untuk menangkapnya. Maka, ia harus bisa secepat mungkin mengalahkan ketiga makhluk itu jika ingin selamat.

Maurelle tiba-tiba teringat akan sekantong serbuk peri yang dibekalkan Ella untuknya pagi tadi untuk peruntungan. Maka, ia akan menggunakannya sekarang. Semoga peruntungan itu benar-benar berada di pihaknya.

Akibat tidak fokus dalam menangkis serangan ketiga peri Unsheelie itu, Maurelle terjengkang. Pedang sihirnya terlempar sedikit jauh dari tempatnya berada. Berdasarkan perhitungannya, maka tidak akan cukup waktu baginya untuk bangkit dan mengambil pedang itu lalu membalas serangan. Kemungkinan besar ia akan terluka atau bahkan terbunuh.

Inilah saatnya serbuk peri beraksi! Maurelle merogoh kantung kulit yang tergantung di pinggangnya dengan tergesa. Saat dua sosok peri Unsheelie mendekat untuk menyerangnya bersamaan, dengan sigap Maurelle melemparkan segenggam serbuk peri ke mata mereka seraya merapal mantra kutukan.

Kedua peri penyerang itu sontak menjerit jeri ketika butiran serbuk peri mengenai bola mata mereka. Tubuh mereka saling bertabrakan hingga terjatuh akibat sama-sama kehilangan fokus.

Maurelle mengulum senyum sekilas merasa lega karena perhitungannya berhasil. Tak ingin membuang waktu, peri laki-laki itu lantas bergerak cepat menyongsong satu-satunya Unsheelie yang tersisa di taman. Ia merogoh lagi kantung serbuk perinya, lalu melempar serbuk bercahaya keemasan itu ke arah penglihatan peri Unsheelie. Peri elf kegelapan itu mengerang hebat sebelum akhirnya ambruk ke atas timbunan salju seraya memegangi kedua matanya.

Maurelle mengembuskan napas. Rasa lelah mulai menguasai dirinya. Namun, ia tak boleh berhenti. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, peri cenayang itu berlari keluar dari gerbang Taman Peristirahatan Terakhir. Setelah beberapa meter menjauh dari taman itu, Maurelle menghentikan larinya. Wajahnya pucat dan napasnya memburu. Ia menyeka pelipisnya yang bermandikan keringat. Aethelwyne masih terlampau jauh, bahkan bisa memakan waktu berhari-hari jika ia tetap melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki, belum lagi risiko tertangkap para unsheelie masih cukup besar. Serbuk peri yang membutakan dan menyakiti mata itu tak akan bertahan lama. Ia harus berpikir cepat dan mencari cara untuk pergi ke Aethelwyne secepatnya.

Tiba-tiba netranya menangkap sosok seekor burung Kolibri yang terbang rendah mengitarinya. Tanpa berpikir panjang, Maurelle lantas mengambil sisa serbuk peri dari kantung kulitnya. Segenggam keberuntungan terakhir yang ia harap akan membawanya ke Aethelwyne.

Peri laki-laki itu bergerak cepat mengikuti burung kecil yang seolah tak menyadari bahwa ia sedang diincar oleh sesosok peri elf. Saat jaraknya dan si kolibri berbulu jingga itu tak lebih dari lengannya, Maurelle segera melempar serbuk peri di genggamnya seraya meneriakkan mantra singkat pengubah wujud.

Dalam satu kedipan mata, kolibri kecil itu membesar seukuran naga. Maurelle melompat ke atasnya seraya menepuk punggung makhluk berparuh panjang dan lancip itu sebanyak tiga kali. "Kolibri kecil, bawa aku ke Aethelwyne. Setelah tugasmu selesai, maka kau akan terbebas dari mantra!" serunya.

Burung itu pun langsung membentangkan sayapnya. Tubuh besarnya yang indah terangkat perlahan ke udara, lalu dalam sepersekian detik, Kolibri itu membawa sang cenayang menembus langit kelabu Fairyverse.

* * *

Badai salju disertai gulungan angin bertiup kencang. Salju yang tak kunjung berhenti turun membuat jalanan, rumah maupun kastel, serta tanaman diselimuti salju tebal, membeku. Hewan-hewan dan peri Pixie yang biasanya berterbangan di langit Fairyverse kini tak terlihat lagi. Semuanya bersembunyi di tempat-tempat aman dan hangat agar dapat bertahan hidup.

Gadis manusia bersurai keemasan itu duduk bergeming pada salah sudut terjauh dari singgasana di Balairung Aethelwyne. Pandangannya berkelana ke luar jendela pada hamparan salju putih di luar sana. Embusan angin dingin tak membuatnya beranjak pergi dari sisi jendela.

Sebagaimana badai salju yang melanda sejak hancurnya segel perbatasan Hutan Larangan, seperti itu pulalah kecamuk yang ada di kepalanya. Penyesalan dan perasaan bersalah juga setia merundung hatinya, dan di sinilah ia sekarang, setelah Archibald dan Albert menyelamatkannya dari Kastel Larangan, ingatan akan jati diri dan masa lalu juga telah kembali hingga membuatnya merasa terasing di negeri yang ajaib ini. Hanya satu yang terasa sangat familier sekarang, yaitu peri laki-laki yang sedang memimpin rapat strategi perlawanan di depan sana, Archibald.

Chiara mengembuskan napas panjang. Telinganya mendengar samar-samar perdebatan sekumpulan peri elf yang duduk melingkar di dekat singgasana itu. Rasanya telah sangat lama ia berada di sana, mungkin berjam-jam lamanya, duduk mendengarkan rapat para panglima perang, para raja-raja dari kerajaan kecil di Fairyverse bersama Ratu Breena beserta jajarannya, Pangeran Albert dan tentu saja Archibald. Sementara, ia sendiri hanya akan menjawab jika ada pertanyaan yang diajukan padanya.

Sesekali netra hijau zamrudnya beradu pandang dengan netra Archibald. Ekspresi pangeran peri itu sangat sulit untuk ia artikan, begitu dalam dan sarat emosi. Mereka memang belum berbicara banyak sejak ia diselamatkan dari Kastel Larangan. Peri laki-laki itu duduk di samping sang ratu di atas tribun singgasana yang berwarna putih. Kini ia tahu, apa yang telah membawanya ke negeri ajaib ini. Tenyata sebuah takdir ganjil yang telah mengikatnya belasan tahun lalu.

"Terima kasih banyak atas dukungan dan kepercayaannya." Suara Archibald bergema lantang. Lamunan Chiara menguap seketika. Pandangannya kini teralih pada sosok peri laki-laki berbaju zirah dengan jubah merah marun yang kini telah berdiri di samping kursi singgasana. Gadis itu harus mengakui jika Archibald memang memiliki sesosok raja.

"Seperti yang kita ketahui, kudeta Unsheelie terhadap Raja Brian menyisakan trauma dan korban jiwa yang sangat banyak. Dengan kejam, para peri kegelapan itu membantai siapa saja yang tak mau mengakui rajanya." Peri laki-laki itu mengedarkan pandangannya menyapu seluruh balairung.

"Kerajaan Aethelwyne berjanji akan melindungi dan menyelamatkan peri mana pun yang mendukung perjuangan kami untuk kembali merebut Avery. Perjuangan yang kami lakukan bukan karena kami membenci Unsheelie, tetapi kami membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan yang mereka lakukan terhadap sesama peri. Satu hal yang kami usung yaitu penghapusan sistem pembagian peri Sheelie dan Unsheelie karena kami menganggap pembagian ini menyebabkan kesenjangan yang berujung pada perpecahan. Mari kita ciptakan kerukunan dan kedamaian serta saling menghormati antar sesama penghuni Fairyverse!" Archibald berorasi penuh keagungan.

Kata-katanya lantas disambut oleh seruan-seruan penuh penghormatan serta pujian. Semua peri yang ada di Balairung itu tampak mengakui kelayakannya menjadi raja. Perkataan sang pangeran peri barusan seolah sebuah lecutan semangat untuk melanjutkan perjuangan mereka di bawah penindasan para unsheelie.

Di tengah keriuhan itu, tiba-tiba pintu Balairung Aethelwyne berderit terbuka. Langkah cepat dan tegap bergema di ruangan yang mendadak hening itu. Seluruh mata teralih pada sosok peri bersurai gelap dengan penampilan berantakan dan berlumur darah kering.

"Maurelle?!" seru Archibald dan Ratu Breena nyaris bersamaan.

Peri elf itu berlutut di hadapan singgasana Ratu Breena. "Salam sejahtera, Yang Mulia Ratu. Hamba ingin membawa kabar duka. Raja Brian telah mangkat," ucapnya lirih.

Bisik-bisik lirih seketika kembali memenuhi balairung. Wajah-wajah mereka seketika diliputi iba dan gusar.

Netra Ratu Breena berkaca-kaca. Peri perempuan bersurai keemasan itu menggigit bibir bawahnya kuat hingga rasa asin darah dikecapnya. Sekuat apapun ia menahan, peri Elf lainnya dapat menyaksikan kesedihan mendalam yang terpancar di matanya."Bagaimana keadaan Avery?" tanyanya dengan suara bergetar. Sementara di sisinya, Archibald tertunduk pilu begitu mendengar berita wafatnya sang ayahanda.

"Anggota keluarga kerajaan Avery dijebloskan ke penjara bawah tanah. Peri yang tak bersedia mengakui Pangeran Elijah sebagai raja akan dihukum mati dalam waktu dekat, Yang Mulia," sahut Maurelle dengan kengerian yang terdengar kentara.

Ratu Breena menggeleng pelan. Setetes air bening bergulir di pipinya.

"Kita tidak punya banyak waktu, Yang Mulia. Bagaimana kalau besok kita serang Avery. Sebelum nyawa tak berdosa lebih banyak berguguran!" usul salah seorang Raja yang berdiri pada barisan paling depan tepat di hadapan singgasana.

"Kita harus memperkirakan kekuatan musuh yang akan kita hadapi terlebih dahulu," tukas sang ratu.

Maurelle berdeham. "Untuk itu, hamba bisa membantu, Yang Mulia. Hamba tahu persis seberapa besar kekuatan lawan karena hamba telah menghadapinya."

Iris mata sang ratu melebar. "Kau benar!" serunya. Belum sempat sang ratu melanjutkan perkataannya tiba-tiba sebuah anak panah melesat dari jendela balairung yang terbuka.

Chiara terkesiap karena anak panah yang melesat itu hanya berjarak satu jari dari kulit wajahnya. Lesatan anak panah itu juga melewati Maurelle hingga menancap pada dada seorang kesatria Elf. Suasana sontak menjadi kacau dan gaduh. Para hadirin berlarian meninggalkan tempat duduk mereka, sementara sebagian lainnya menuju bingkai jendela.

Sesosok penunggang unicorn bertopeng dilengkapi dengan baju zirah menuntun tunggangannya berlari meninggalkan halaman istana Aethelwyne. Beberapa sosok kesatria elf sontak mengejar penunggang misterius itu.

"Sepertinya kau telah diikuti, Maurelle," desis Archibald. Peri laki-laki itu lantas menghambur turun dari singgasana hendak memburu pemanah misterius yang mengacaukan Aethelwyne.

"Archibald, jangan pergi!" cegah Ratu Breena.

Namun, putranya telah menghilang di balik daun pintu balairung yang terbuka. Albert dengan gesit mengekor saudaranya. "Jangan khawatir, Yang Mulia. Aku akan menjaganya," ucapnya sebelum meninggalkan balairung.

Tanpa mereka sadari, Chiara pun menyelinap keluar dari balairung. Diam-diam, ia mengikuti kedua pangeran itu keluar dari Aethelwyne memburu si pemanah misterius.

Hai...  Maaf aku telat up terus belakangan ini. Aku sangat keteteran hehehe. Siapa yang masih bertahan baca Fairyverse sampai bab ini, ayo angkat tangan✋, aku pengen tau?? 😚
Terima kasih banyak yaa karena sudah mendukung cerita ini. Jangan lupa vote dan komentarnya selalu. FYI, Fairyverse tinggal 4 bab lagi jika tak ada perubahan huhuhu aku sangat sedih. Walaupun karya ini banyak kekurangan, tapi aku sangat sayang dan sedih jika ini harus selesai. Maaf atas curhatan gajeku 😭😭♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top