41. The Prophecy

Entah mengapa belakangan jadi suka ngetik sambil dengerin musik-musik instrumental begini. Rasanya bisa memancing emosi aja pas nulisnya huhu Selamat membaca. Jangan lupa vote dan tinggalkan jejak-jejak cinta kalian di lapak ini yaa ...

Ammara terkesiap saat suara denting pedang beradu memecah kebekuan udara yang menyelimutinya. Gadis itu sekejap merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Saat netranya samar-samar memindai tempat di mana ia berada, Ammara sontak bangkit dari duduknya. Tepat di hadapannya seekor naga putih terbaring tak bergerak.

Mulanya Ammara sedikit takut dengan keberadaan naga putih itu, tetapi akhirnya ia menyadari jika naga itu pingsan. Tubuh besar itu masih bergerak teratur saat bernapas. Ammara lantas menepuk tubuh naga putih berkali-kali berusaha membangunkannya. Namun, sia-sia.

Ammara menggigit bibir bawahnya dengan kening berlipat, pandangannya menyisir liar ke sekitar mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk membangunkan sang naga. Netranya seketika menangkap pemandangan lain yang berhasil memecah fokusnya.

Dari balik punggung naga putih itu, ia melihat Archibald dan Albert yang sedang bertarung lincah melawan setidaknya sepuluh sosok berbaju zirah dengan persenjataan lengkap yang berbaris mengepung mereka. Ammara membelalak gusar demi menyadari pertarungan yang sangat tidak imbang itu. Ia harus melakukan sesuatu, apa pun itu atau nyawa Albert dan Archibald menjadi taruhannya.

Ammara kembali mengalihkan pandang pada sang naga putih lalu mengguncang tubuh makhluk itu lebih keras. Namun, lagi-lagi hasilnya masih nihil, sementara keringatnya mulai membanjiri pelipis. Ia tidak punya banyak waktu sebelum salah satu peri Unsheelie itu menyadari keberadaannya.

Gadis itu menemukan sebilah potongan kayu yang terletak di bawah kaki sang naga. Setelah susah payah mengambilnya dari bawah sana, Ammara segera saja memukulkan kayu itu pada permukaan kulit naga putih tanpa berpikir panjang.

Bunyi patahan kayu terdengar kala menghantam kulit naga yang keras. Kali ini usaha gadis itu lagi-lagi gagal. Potongan kayu jatuh menggelinding begitu saja, sementara sisanya masih tergenggam erat di tangan Ammara.

Gadis itu mengamati permukaan ujung kayu yang meruncing akibat hantaman tadi. Sebuah ide muncul begitu saja hingga membuat pupil mata Ammara melebar. Ia akan mencoba menyadarkan makhkuk itu sekali lagi.

Ammara mendekati bagian kepala naga putih. Wajah sang naga kini terlihat begitu besar dan menakutkan. Gadis itu sempat gentar, tetapi saat ekor matanya menangkap Archibald dan Albert yang mulai kewalahan menghadapi pasukan peri Unsheelie, mau tidak mau, ia harus memberanikan diri.

Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan ketegangan, Ammara mulai mengarahkan ujung patahan kayu yang runcing ke dalam lubang hidung naga putih. Sang naga menggeliat pelan meski kelopak matanya masih tertutup rapat.

Gadis itu tersenyum, usahanya mulai membuahkan hasil.

Sekali lagi ia mendorong patahan kayu itu masuk lebih dalam. Naga putih mulai menggeliat lebih kencang. Ammara sempat menarik kayunya lalu mundur beberapa langkah, tetapi sang naga tak juga menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

Baiklah, sekali lagi. Dengan sekuat tenaga, Ammara kembali membenamkan patahan kayu itu pada lubang hidung naga putih, kali ini lebih dalam. Sang naga terlonjak kaget, kelopak matanya sontak terbuka, lalu bersin dengan sangat keras.

Ammara terpental ke belakang, menghantam tembok balkon. Sementara efek bersin sang naga seketika membuyarkan pertarungan yang terjadi di balkon menara itu. Archibald, Albert, dan para peri Unsheelie terpelanting ke segala penjuru balkon.

Sekilas Ammara dan Archibald beradu pandang. Kelegaan terpancar jelas dari sorot mata sang pangeran peri. Sedetik kemudian peri laki-laki itu bangkit dengan cepat lalu menarik Albert ke sisinya.

Seolah telah memahami betul kehendak tuannya, sang naga putih yang telah sepenuhnya sadar lantas menyemburkan napas apinya yang besar ke arah para peri Unsheelie. Jerit dan raung kesakitan seketika terdengar saat napas api sang naga mengenai tubuh para unsheelie. Baju-baju zirah, tameng serta senjata-senjata mereka yang terbuat dari logam seketika meleleh terkena panas, lalu kulit mereka melepuh. Tanpa ampun, sang naga kembali menyemburkan napas apinya hingga tak satu pun peri elf Unsheelie yang luput dari serangan.

Kepulan asap memenuhi balkon menara Kastil Larangan disertai bau daging terbakar hingga membuat Ammara dan Albert batuk hebat. Bekas kehitaman terpatri pada dinding dan lantai batu yang terkena semburan napas sang naga.

"Terima kasih telah membantu kami," ucap Albert saat ia dan Archibald mendekati gadis yang masih meringkuk di belakang naga putih. Pangeran peri itu mengulurkan lengannya membantu Ammara berdiri.

"Harusnya aku yang berterima kasih pada kalian." Ammara tersenyum canggung sambil mengibaskan permukaan gaunnya yang lusuh. Senyumnya lenyap tatkala ia mengingat perihal Elijah dan apa yang terjadi di Kastel Larangan. "Mereka menyerang Avery. Elijah yang memimpin para unsheelie, kita harus segera kembali ke istana!" serunya panik. Gadis itu hendak bergegas menaiki naga putih.

"Kau pikir kau mau ke mana, Chiara Wyatt?" Archibald meraih pergelangan tangannya. Gadis itu seketika membelalak lalu berbalik menatap sang pangeran peri penuh tanya. Bagaimana mungkin peri laki-laki itu mengetahui nama manusianya.

Iris mata hijau Ammara kini beradu dengan iris biru sang pangeran peri. Sedetik kemudian, gadis itu menyadari sesuatu. Ia menemukan iris mata dan paras itu memang sangat familier. Kilasan memori masa kecil seketika menyetrum ingatannya tentang sesosok remaja laki-laki bertelinga runcing bermata biru seperti milik sang pangeran peri. Tentu saja, ia ingat sekarang!

"Archie?" Tanpa sadar mulut Ammara menggunakan nama itu.

"Iya, Chiara. Ini aku, Archie."

Mendengar jawaban itu, Ammara langsung menghambur memeluk Archibald. Demikian pula pangeran peri itu langsung menyambut gadis manusianya. Kerinduan dan kelegaan seolah membuncah di dada mereka. Untuk beberapa saat lamanya waktu seakan terhenti saat itu bagi mereka berdua.

Albert berdeham. Ammara dan Archibald sontak mengurai pelukan mereka dan menjadi salah tingkah. Semburat merah seketika muncul di wajah mereka. "Jadi kita mau ke mana?" tanyanya canggung.

"Ke Avery!"

"Ke Aethelwyne."

Ammara dan Archibald saling tatap dengan sengit. "Kau ingin bersembunyi, Archie, sementara para kesatria Elf dan keluargamu sedang diserang Unsheelie?" tanya gadis itu dengan suara melengking.

Archibald memutar bola matanya. "Kita harus menyusun rencana dan menghimpun kekuatan dulu, Chiara, atau kita akan mati konyol," kilahnya.

Ammara menggeleng cepat. "Jadi kau lebih memilih untuk membiarkan anggota keluargamu yang mati konyol, sementara kau tak melakukan apa pun?!"

"Bukan begitu--"

"Ammara, Archibald benar!" potong Albert cepat. Ia melanjutkan kata-katanya, "Kita tidak bisa pergi ke sana tanpa persiapan dan bala bantuan. Kami tidak hanya bertanggung jawab untuk menyelamatkan keluarga dan saudara, tapi juga menyelamatkan seluruh Fairyverse, Ammara. Ramalan tentang kehancuran Fairyverse telah terjadi dan untuk memperbaiki ini semua perlu persiapan yang matang. Oleh karena itu, kita akan kembali ke Aethelwyne, satu-satunya tempat paling aman untuk menghimpun kekuatan."

Ammara membuka mulutnya lagi hendak membantah perkataan Albert, tetapi urung mengingat situasi mereka yang memang cukup sulit. Dengan berat hati akhirnya gadis itu menuruti ucapan kedua pangeran peri.

Saat mereka bertiga telah berada di atas punggung naga putih yang siap terbang, Ammara tiba-tiba bertanya. "Putra Mahkota, kau berhutang penjelasan padaku. Bagaimana kau bisa hidup lagi?"

"Cerita yang panjang, Ammara. Aku akan dengan senang hati membagi kisah itu denganmu saat kita tiba di Aethelwyne nanti," sahut Albert dengan senyum semringah, sementara Ammara mengangguk pelan.

"Baiklah, kalian siap?" tanya Archibald.

"Siap!"

Mereka kembali hening dengan pikiran masing-masing saat tubuh sang naga putih mulai terangkat. Sayap besar makhluk itu mengepak lalu terbang tinggi membelah langit menuju Aethelwyne.

* * *

Elijah menarik mata pedangnya dari leher sang ayah. Setetes darah segar bergulir hingga mengenai baju zirahnya disertai embusan napas lega dari Raja Brian. Luka di leher itu memang tidak seberapa sakitnya, tetapi sesuatu di dalam hati sang ayah telah terlanjur porak-poranda. Netra berairnya menyorot pangeran peri itu lekat seolah mencari kebenaran di kedalaman hati sang pangeran.

Elijah membuang pandangannya ke mana saja, menghindari kedua netra yang seolah menuntut penjelasan itu. "Jika ayah tidak mau menyerahkannya baik-baik, maka mari kita bertarung saja!" Peri laki-laki itu mendengkus seraya mengambil pedang lain di balik punggungnya lalu melemparkannya begitu saja ke hadapan sang ayah.

Hening seketika menyambut pemandangan yang mengiris hati itu. Pemandangan sesosok putra peri yang mengajak ayahnya berduel. Bunyi dentingan pedang lambat laun mereda. Para kesatria Elf dan para peri kegelapan yang masih bertahan setelah pertempuran sengit barusan seolah memberi ruang untuk sebuah pertarungan yang paling menentukan dari kerajaan terbesar di Fairyverse itu.

Setetes air bening seketika lolos kembali dari pelupuk mata Raja Brian. Pandangannya kini beralih pada sebilah pedang sihir yang tergeletak dalam jarak hanya beberapa jengkal dari jari-jemarinya. Sang raja mengerling sesaat pada putranya yang bahkan masih membuang pandangan pada langit kelabu Fairyverse yang l setia menjatuhkan serpihan-serpihan salju. Angin dingin seketika bertiup menggetarkan seluruh tubuhnya yang terasa mulai membeku. Kegamangan menggurat pada wajah pucat nan kuyu itu. Haruskah ia berduel mempertahankan kedudukannya dengan sang putra? Atau haruskah ia menyerah dan memberikan takhta ini begitu saja pada sang putra yang jelas-jelas sedang dimanfaatkan para peri unsheelie? Semoga para leluhur peri mengilhamkan jawaban atas kelanjutan takhta Avery hari ini.

Raja Brian mengepalkan tangannya kuat. Pikirannya masih berkecamuk menimbang-nimbang keputusan yang akan ia ambil. Jadi inikah ramalan yang diungkapkan Maurelle? Fairyverse benar-benar telah hancur dan kehancuran itu bermula dari Kerajaan Avery. Keseimbangan dunia peri telah terganggu, tidak ada lagi Sheelie dan Unsheelie. Akan tetapi, bukankah takdir akan segera menuntun kepada ketentuan yang sebenarnya?

Sang raja menyisir ke sekelilingnya, sorot matanya terhenti saat menemukan raut wajah Maurelle dengan tubuh tertahan todongan senjata di sekitar kepala dan tubuhnya. Pemandangan itu seketika mendidihkan darahnya.

Dengan cepat sang raja meraih gagang pedang yang dilontarkan putranya. Peri laki-laki itu susah payah bangkit dengan pedang tergenggam erat di tangan. Ia menyorot Pangeran Elijah tegas. Anggaplah saat ini kita sedang berlatih seperti ratusan tahun silam. "Lawan aku Elijah. Rebut apa pun yang kau anggap menjadi hakmu! Sebagai sesosok kesatria elf, tentu saja, aku tidak akan pernah menyerahkan milikku begitu saja," ucapnya dengan suara bergetar.

Di hadapan Raja Brian, Elijah menarik salah satu sudut bibirnya. Pengeran peri dengan senyum asimetris dan sorot mata penuh luka itu segera memasang kuda-kuda. "Dengan senang hati, Yang Mulia!" desisnya.

"Jangan Pangeran!" seru Maurelle yang langsung dihantam tendangan oleh salah satu peri unsheelie pada bagian perutnya. Peri laki-laki itu jatuh tersungkur pada permukaan salju di bawahnya. Ia hendak bangkit tetapi kedua lengannya kembali di kekang oleh para peri unsheelie.

Raja Brian mengayunkan pedangnya ke arah Elijah yang dengan sigap segera menangkis serangan itu. Suara denting pedang yang beradu kembali memecah keheningan arena perang. Permukaan tanah  dengan timbunan salju tebal cukup menyulitkan pergerakan keduanya hingga beberapa sabetan ataupun ayunan pedang tak lantas mengenai sasaran.

Setelah duel panjang, akhirnya Raja Brian terlempar hingga tubuhnya menghantam tembok istana. Darah segar mengalir dari sela-sela bibirnya. Ia mengusapnya tak acuh dengan punggung tangan. Netra sang raja berkilat oleh amarah yang memuncak. Sorot matanya tak lepas dari wajah Elijah. Sang raja terkekeh getir. "Tahta ini bukanlah milikmu, seberapa keras pun kau berusaha. Takdir akan segera menuntunnya pada sang pemilik sejati!"

Kata-kata itu bagai lecutan yang memacu Elijah untuk kembali menyerang ayahnya. Ia berteriak sekuat tenaga sebagai bentuk sangkalan pada ucapan itu. Sabetan pedang yang ia layangkan nyaris memotong salah satu lengan ayahnya jika saja peri laki-laki itu tak segera berguling ke samping.

Pangeran peri yang semakin gusar itu kembali mengayunkan pedangnya tanpa ampun. Mata pedang tajam itu menghantam permukaan salju tebal hingga menimbulkan bekas yang cukup dalam, ketika sang raja dengan lincah kembali berguling menghindar.

Elijah menjerit berang. Untuk menyalurkan emosinya yang memuncak peri laki-laki itu menyabetkan pedangnya ke segala arah hingga mengenai beberapa kesatria Elf naas yang lengah.

Raja Brian balas menyerang ketika mendapati kelengahan putranya. Sebuah sabetan lantas mengenai salah satu lengan sang pangeran peri hingga pedang di dalam genggamannya terlepas begitu saja. Sang raja tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung melemparkan pedangnya lalu melayangkan beberapa tinjuan dan pukulan  pada wajah Elijah.

Demi melihat keterdesakan pemimpinnya, beberapa peri Unsheelie maju dan langsung menahan lengan sang raja. Tindakan itu memicu para kesatria Elf kaum sheelie melakukan hal yang sama untuk membantu sang raja. Pertarungan kembali diqmulai. Suara aduan pedang dan teriakan marah kembali memenuhi arena perang.

Elijah yang nyaris babak belur, berdiri kepayahan seraya meraih pedangnya yang lain. Demikian juga halnya dengan sang raja yang telah terbebas dari kekangan kembali meraih pedangnya. Namun, di luar dugaan, sesosok peri unsheelie dengan topeng baja bergerak cepat mendekati sang raja. Nyaris tak terlihat. Sosok itu dengan gesit menancapkan sebilah belati tepat di dada Raja Brian lalu menghilang begitu saja.

Sang raja ambruk seraya memegangi belati yang menancap di dadanya. Darah kental merembes tanpa henti dari luka itu. Pedang di genggaman peri laki-laki itu seketika terlepas.

Elijah terkesiap lalu menghampiri sang raja. Kengerian jelas terpancar dari sepasang netra birunya. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh gagang belati yang bernoda darah itu.

Tatapan matanya beradu dengan tatapan sang ayah. Bulir air mata meleleh di pipi sang raja tanpa henti. Napasnya tinggal satu-satu. Mulutnya membuka seolah hendak mengatakan sesuatu.

"Ayah?" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Elijah.

Mulut sang raja kembali bergerak pelan, tetapi tak sepatah kata pun yang berhasil lolos dari tenggorokannya. Ia menyorot netra putranya lekat.

"Ayah ..."

Lalu sang raja menghembuskan napas panjangnya yang terakhir dalam dekapan Elijah.

"Ayah!"

Elijah meraung meski tak setetes pun air mata yang keluar dari pelupuknya. Tentu saja sebagai anak hatinya hancur. Rasa sesal memang selalu muncul di akhir.

"Kuatkan dirimu, Elijah. Kuatkan tekadmu! Kau adalah raja sekarang." Bisikan itu bagaikan mantra pelipur lara yang langsung menarik dirinya dari seluruh kesedihan dan seketika memenuhi hatinya dengan kehampaan. Peri laki-laki itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat agar sisa-sisa perih kehilangan itu segera enyah.

Elijah lantas melepaskan pelukannya dari tubuh kaku sang ayah, membiarkan tubuh itu terbaring di atas dinginnya salju. Ia kemudian melangkah limbung memasuki gerbang Istana Avery yang telah dikuasai oleh Unsheelie sepenuhnya. Sebelah tangannya menyeret pedang bernoda darah yang menimbulkan bunyi berderit saat beradu dengan permukaan, sementara tangan satunya menggenggam bilah belati yang telah merenggut nyawa sang raja.

Di belakangnya, peri perempuan bersurai gelap penguasa kegelapan itu tersenyum. Senyum yang selama ini ia simpan hingga kemenangan seperti ini berhasil diraihnya. Minerva menyeka salah satu sudut matanya yang berair. "Maafkan aku, Sayang," lirihnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top