4. Fairyverse
Ammara duduk termenung di bawah sebatang pohon besar. Kelopak matanya tertutup, seolah-olah sedang tidur. Padahal ia sama sekali tidak tertidur, peri perempuan itu sedang menikmati semilir angin yang berembus membelai wajahnya. Rambut pirang keemasan yang terjalin membentuk ekor kuda tersampir di salah satu pundaknya. Di sampingnya, seekor unicorn berwarna putih dengan tanduk keperakan sedang memamah rerumputan hijau tanpa suara.
Beberapa Pixie yang kebetulan terbang melewati peri perempuan itu melirik seraya berbisik atau mengikik menjadikannya lelucon. Pixie lainnya bahkan terang-terangan berusaha menjahili peri perempuan yang berpura-pura tertidur itu dengan memercikan serbuk peri mereka untuk mengejutkannya. Ammara tak peduli. Namun, unicorn yang setia mengawalnya selalu mendelik dan mengusir para pixie jahil itu.
Hampir setiap hari Ammara duduk di tempat yang sama untuk berpikir. Para pixie telah semakin terbiasa dengan keberadaannya dan semakin sering menjahilnya. Terkadang peri perempuan itu bahkan tertidur dan mendadak terbangun karena mimpi-mimpi aneh yang mengganggunya.
Saat bosan merenung, Ammara akan berjalan-jalan mengelilingi kebun buah Ailfryd. Ia akan memetik beberapa buah plum atau jeruk yang ranum dan manis, lalu membawanya ke bawah pohon itu dan membagikannya begitu saja pada para pixie kebun ataupun para dwarf pekerja yang kebetulan melintas di depannya.
Selama di Fairyfarm, Ammara telah berteman dengan beberapa makhluk. Salah satunya adalah unicorn yang selalu menemaninya duduk di kebun ayahnya. Ia menamainya Selly. Selly tidak pernah bicara, tidak seperti unicorn lain yang terkadang terlalu cerewet untuk ukuran seekor makhluk tunggangan. Selly memang tidak dapat berbicara, tetapi bagi Ammara itu tidak masalah. Makhluk indah berwarna putih itu selalu dapat memahami apapun yang ia katakan. Itu sudah cukup bagi mereka untuk dapat berteman baik.
Selain Selly, Ammara juga telah berkenalan dengan sesosok peri pixie kebun yang sangat ramah dan cerewet. Pixie itu bernama Marybell. Ukurannya sangat kecil, hanya sebesar kepalan tangan Ammara. Gerakan Marybell sangat lincah terlebih dengan sepasang sayap serupa sayap kupu-kupu berwarna kecokelatan di belakang punggungnya. Pixie itu selalu berbicara dan berkomentar tentang apapun. Gaun orange menyala milik Marybell yang hanya sepanjang lutut itu bergerak-gerak setiap kali ia berbicara.
Makhluk lainnya yang menjadi teman Ammara adalah sesosok dwarf tua yang umurnya telah mencapai 7 tahun. Menurutnya itu umur yang cukup tua bagi sesosok dwarf. Namanya adalah Tally. Seperti dwarf pada umumnya, Tally memiliki badan kerdil dengan janggut putih panjang yang memenuhi sebagian besar wajahnya. Menurut Ammara, Ia adalah Dwarf yang sangat baik dan ramah, walaupun terkadang sangat suka mengeluh.
Hari itu entah mengapa Tally dan Marybell tak kunjung menampakkan batang hidung mereka sejak pagi. Fairyfarm yang begitu indah seketika kehilangan artinya saat kedua makhluk yang selalu bertengkar itu kini tidak berada di sisi Ammara. Peri perempuan itu menghirup lalu mengembuskan napas berkali-kali berharap kebosanan yang mengungkungnya segera enyah. Ia ingin sekali melihat-lihat pemandangan di luar kebun Ailfryd. Namun, Ella sang ibu selalu memperingatkannya untuk tidak berjalan-jalan keluar dari kebun mereka.
Kebun Ailfryd sebenarnya adalah kebun buah yang sangat luas. Pemandangan yang disuguhkan kebun itu pun sangat indah. Selain pohon-pohon yang berbuah ranum sepanjang musim, kebun itu juga ditumbuhi bunga-bunga liar aneka warna yang sangat indah. Terlebih lagi, kupu-kupu serta serangga-serangga kecil beraneka bentuk yang tak kalah indah berterbangan di antara bunga dan buah. Langit di fairyverse juga ajaibnya selalu cerah dan berpelangi di siang hari, cuaca yang tidak pernah panas membuat Ammara merasa bagaikan tinggal di sebuah tempat tanpa cela yang bernama surga.
Hanya saja, setelah beberapa purnama terlewati, Ammara mulai menjadi terbiasa. Ia merasa sedikit bosan dan sangat ingin melihat tempat-tempat lainnya di luar fairyfarm.
Ammara tiba-tiba membuka kelopak matanya. Sebuah ide gila melintas di benaknya begitu saja. Ia harus bisa keluar dari kebun ini tanpa sepengetahuan Ella dan Ailfryd. Keluar sekejap saja pasti tidak akan menjadi masalah. Ia lantas melirik ke arah Selly.
Sementara, makhluk itu sontak menegakkan kepalanya dan membalas lirikan Ammara dengan waspada. Makhluk itu melambatkan kunyahan mulutnya seolah dapat membaca pikiran terselubung Ammara, bahkan sebelum peri perempuan itu mengutarakannya.
"Selly, bisakah kita bekerjasama kali ini saja," bujuknya pada unicorn itu dengan suara setengah berbisik. Ammara menegakkan punggungnya menanti reaksi Selly. Bagaimanapun Ammara merasa perlu berkompromi dengan unicorn itu mengenai rencananya.
Selly tak bereaksi. Ia melihat Ammara dengan tatapan ingin tahu.
"Aku ingin berjalan-jalan sebentar di luar Fairyfarm, Selly," sambung Ammara perlahan dengan nada memohon.
Selly yang mendengar permintaan Ammara itu, spontan mengibaskan kepala ke kiri dan ke kanan dengan cepat tanda bahwa ia tidak menyetujui rencana peri perempuan itu. Bagaimanapun, kedua orang tua Ammara telah menugaskannya untuk tidak melepaskan pengawasan sedikit pun dari Ammara.
Di sisi lain, Ammara sebenarnya sangat mengetahui hal itu. Ia hanya mencoba sedikit peruntungannya dengan membujuk Selly.
Ammara berdeham gugup. "Aku janji tidak akan pergi terlalu jauh. Aku hanya akan pergi sebentar. Kau tunggu saja di sini." Kali ini ia mengatakannya sambil membelai kepala Selly perlahan. Unicorn itu masih mengibaskan kepalanya tanda tak setuju. "Oh ayolah Selly, aku bisa mati bosan jika harus berada di sini terus-menerus ..." Ammara hampir merengek saat mengucapkannya.
Raut wajah Selly mengeras. Unicorn itu masih bersikukuh dengan sikap tidak setujunya.
Ammara belum putus asa. Netranya seketika melebar saat ide lain melintas begitu saja di kepalanya. Peri perempuan itu lantas mengambil keranjang rotan berisi buah plum yang terlihat sangat menggiurkan dan membawanya ke hadapan Selly.
Makhluk itu hendak meraih buah plum pada tumpukan yang paling atas dengan penuh minat, tetapi dengan liciknya Ammara menarik keranjang itu menjauhi jangkauan Selly. "Kau menginginkannya, bukan?" godanya sambil tersenyum.
Unicorn itu tampak menundukkan kepalanya lalu menelan ludah. Selly sangat menyukai buah plum. Tampaknya ia akan melakukan apa saja demi sekeranjang plum segar itu.
"Baiklah," ucap Ammara senang. "Begini kesepakatannya. Kau harus membiarkanku pergi sebentar. Ingat, kau tidak boleh ikut. Tunggu aku di sini sambil menikmati buah plum-mu. Aku janji aku akan pulang sebelum kelopak bunga mengeluarkan cahaya. Kalau aku belum kembali saat kelopak bunga mengeluarkan cahaya, kau boleh mencariku. Kau mengerti?"
Selly tampak menimbang perkataan Ammara. Namun, bola matanya yang hitam pekat tak pernah lepas dari sekeranjang plum ranum yang dipegang oleh Ammara. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Selly mendengus tanda ia menyerah terhadap tawaran peri perempuan itu.
Ammara melonjak kegirangan. Ia langsung memeluk leher unicorn itu dan meletakkan keranjang yang berisi plum itu di hadapan Selly begitu saja. Selly yang memang telah tergiur oleh buah itu lantas mencomotnya dan membiarkan Ammara yang meninggalkan kebun Ailfryd dengan riang.
Sesampainya di luar kebun Ailfryd, Ammara berlari sekencang-kencangnya seakan ia takut jika Selly akan berubah pikiran, lalu mengejarnya. Ia sempat menoleh beberapa kali sambil terus belari sekadar untuk memastikan bahwa unicorn itu tidak mengikutinya. Sepertinya makhluk itu menepati janjinya.
Seulas senyum kebebasan terkembang di bibir peri perempuan itu. Ia bebas. Ia akan berpetualang, melihat tempat-tempat baru di Fairyverse, setidaknya sampai matahari terbenam dan kelopak-kelopak bunga mulai menyala. Setelah ia merasa berlari cukup jauh, Ammara berhenti seraya mengatur napasnya yang memburu.
* * *
Ammara terus berjalan dengan penuh semangat tanpa merasa lelah sedikit pun hingga ia mencapai sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan hijau lebat. Bunga aneka warna dan bentuk menyambut penglihatannya. Gadis itu tak henti-hentinya berdecak kagum terhadap pemandangan yang didapatinya saat itu.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, terbentang sebuah danau berwarna biru kehijauan yang sangat luas. Permukaan danau itu bagaikan cermin, memantulkan cahaya matahari yang menerpanya.
Ammara terpana untuk beberapa saat. Langkahnya melambat saat ia mencapai bibir danau. Baginya, danau itu tak hanya indah, tetapi juga magis.
Pada sebagian kecil permukaan danau, tanaman lili air berwarna putih yang terlihat mengambang memperelok pemandangan. Di atas tanaman itu, Ammara dapat melihat beberapa pixie kecil yang berterbangan riang.
Tanpa sadar sudut-sudut bibir gadis itu tertarik membentuk lengkungan senyum. Namun, tiba-tiba sebuah bayangan hitam besar berkelebat dari balik permukaan danau yang jernih dan tenang. Bayangan sekilas itu menghilang di kedalaman danau.
Ammara terkesiap. Sontak ia mundur beberapa langkah dengan panik. Apa itu tadi?
Dengan langkah gegas Ammara berjalan menjauhi tepian danau. Peri perempuan itu bergidik ngeri. Kepalanya dipenuhi berbagai pemikiran buruk mengenai makhluk besar yang mungkin saja mendadak keluar dari danau itu.
Tanpa peduli arah mana yang ia tuju, Ammara lantas masuk semakin dalam ke rerimbunan pepohonan. Sesekali peri perempuan itu menoleh ke belakang sekadar memastikan jika makhluk dari dalam danau tidak mengikutinya.
Ammara mengembuskan napas lega seraya menyeka pelipis yang dibanjiri keringat. Tengah hari telah terlewati, tetapi peri perempuan itu tak sedikit pun merasa lelah.
Pendengaran Ammara seketika menangkap sayup-sayup suara nyanyian yang sangat merdu. Sahut-menyahut dari kedalaman hutan.
Peri perempuan yang penasaran itu setengah berlari mencari sumber suara. Semakin ia mendekat ke arah suara nyanyian itu, semakin jelas terdengar pula bunyi lain yang mengiringi suara nyanyian tersebut, yaitu percikan air deras yang menghantam bebatuan.
Antusiasme seketika memenuhi dadanya. Ammara berlari lebih cepat agar segera menemukan asal suara itu. Napasnya memburu. Sesekali kakinya tersandung akar pohon yang menyembul di atas permukaan tanah hingga terjatuh. Namun, peri perempuan itu tak peduli. Bayangan air terjun dan aliran sungai memenuhi kepalanya, bahkan ketakutannya saat melihat bayangan hitam di permukaan danau tadi rupanya telah menguap begitu saja.
Setelah perjuangan yang panjang, akhirnya Ammara tiba di penghujung hutan. Sebuah celah terbuka menampakkan air terjun yang cukup tinggi dan jernih. Pelangi yang indah dan berkilauan bertakhta pada puncak air terjun yang sedikit berkabut. Iris mata peri perempuan itu melebar seketika. Ia tak menyangka akan menemukan pemandangan yang sangat mengesankan ini di Fairyverse.
Ammara mengedarkan pandangan pada aliran sungai deras di bawahnya. Sungai itu berwarna biru kehijauan serupa dengan warna danau. Namun, permukaannya sangat jernih hingga terlihat beberapa ekor ikan yang berenang di dekat permukaan danau. Di sepanjang tepi sungai itu terdapat tanaman mawar liar yang beranekawarna.
Ammara bergeming menatap semua keindahan itu. Ia terpesona. Mulutnya menganga dan mata hijaunya melebar sempurna. Apakah ia sudah menemukan surga? batinnya.
Namun, suara nyanyian indah yang sedari tadi seolah menuntunnya datang ke tempat itu mendadak menghilang. Ammara mengernyit heran. Peri perempuan itu mengedarkan pandangan untuk mencari sumber suara nyanyian tadi. Ia bahkan mendekat ke arah air terjun untuk sekadar mengintip apa yang ada di baliknya.
Dari balik tirai air terjun yang deras itu, Ammara melihat siluet makhluk indah yang ia duga sebagai pemilik suara merdu tersebut. Makhluk itu adalah peri perempuan yang sangat rupawan, dengan bagian bawah tubuhnya berupa sirip.
Ammara menggeser tubuhnya, memasukkan kepalanya ke dalam sebuah celah untuk dapat melihat lebih jelas di balik air terjun. Gaun selutut berwarna peach yang ia kenakan telah basah terkena percikan air. Ammara tak peduli, ia sangat ingin tahu siapa pemilik suara indah itu.
Usahanya membuahkan hasil. Ammara mendapati tiga sosok peri perempuan bersirip. Ekor ketiganya berwarna hijau tosca, berkilauan dalam minimnya penerangan di balik air terjun. Mereka adalah para nimfa. Ibunya pernah menceritakan makhluk peri lain yang bernama nimfa. Sosoknya mirip duyung, tetapi nimfa lebih sering memunculkan diri di permukaan air dan bernyanyi. Dua sosok nimfa langsung menerjunkan dirinya ke dalam air begitu menyadari keberadaan Ammara. Sementara satu di antaranya menatap Ammara beberapa saat, lalu mengulas senyum kecil, sebelum menyusul dua nimfa lainnya yang masuk ke dalam air.
Ammara tampak ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena ketiga nimfa itu telah pergi. Tempat ini benar-benar ajaib, pikirnya.
Ammara memutuskan untuk duduk sejenak di tepi sungai, menikmati pemandangan indah di hadapannya. Ia mencari batu sungai yang memungkinkan untuk duduk dengan leluasa. Ia menemukan sebuah batu yang cukup besar yang letaknya sedikit menjorok ke tepi sungai, kemudian duduk di atasnya dengan meluruskan kaki.
Tiba-tiba Ammara melihat sebuah pergerakan ganjil di permukaan sungai. Gerakan itu tampak mencoba melawan arus sungai yang mengalir deras. Ammara memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas. Ia terkesiap saat menyadari bahwa ada makhluk yang sedang berjuang untuk tidak tenggelam. Makhluk itu berukuran kecil, Ammara tidak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi dari ukurannya, makhluk itu agaknya sebangsa dwarf. Lambat-laun makhluk itu semakin tenggelam dan tak bisa berteriak lagi. Sepasang tangannya yang menggapai-gapai ke permukaan sungai merupakan satu-satunya penanda keberadaan.
Ammara segera bangkit dari duduknya. Dengan sigap ia mencari ranting yang dirasa cukup panjang untuk mencapai tengah sungai, ke tempat makhluk yang tenggelam tersebut. "Bertahanlah! Aku akan menolongmu!" Jeritnya. Ammara kemudian mengulurkan ranting kering terpanjang yang dapat ia temukan di sekitar tepian sungai. Sayangnya, ranting itu belum cukup untuk dicapai makhluk yang tenggelam itu. Ammara menggeser kakinya agar posisinya dapat memanjangkan ranting yang diulurkannya ke arah sungai. Sedikit lagi. Ammara terus menggeser kakinya hingga akhirnya ia terpeleset dari atas batu dan terjatuh ke sungai.
Ammara bisa berenang. Namun, berenang di sungai dengan arus yang sangat deras seperti saat itu adalah hal yang berbeda. Ammara sama sekali tidak siap. Ia tidak menyangka bahwa ia akan jatuh ke dalamnya. Tangannya berusaha menggapai-gapai, tetapi tepi sungai terasa jauh. Setelah dapat berenang dengan sedikit stabil, Ammara teringat pada makhluk yang akan ditolongnya. Akhirnya ia berenang ke tengah sungai di mana seharusnya sesosok makhluk tampak sedang berjuang untuk tidak tenggelam. Namun, Ammara tidak dapat menemukan sosok itu lagi. Akhirnya, Ammara memutuskan untuk kembali ke tepian dengan susah payah.
Tiba-tiba, sesuatu menarik kakinya hingga ia merasa sulit bergerak. Ammara menjadi panik, ia tidak bisa melanjutkan berenangnya, terlebih lagi arus sungai menerpa tubuhnya. Ia merasa akan segera tenggelam.
"Tolong! TOLONG!" jeritnya sekeras mungkin. Suaranya teredam air sungai. Ia berharap siapa pun dapat mendengarkan jeritannya. Ammara menggerakkan kakinya keras-keras agar ia dapat lepas dari apapun yang menarik kakinya. Beberapa saat kemudian Ammara merasa jerat pada kakinya mendadak lepas hingga dia dapat bergerak sedikit leluasa. Namun, sesosok makhluk mengerikan mendadak muncul tepat di depan wajahnya sambil mendesis.
"Aakkkkkhhh...!" Ammara berteriak panik. Gadis itu bersusah payah berenang menjauh dari sosok dwarf berwajah mengerikan. Namun, arus sungai yang sangat deras menyeret tubuhnya.
"Tolong ...!" jeritnya parau. Tubuhnya yang mulai melemah beberapa kali membentur pada bebatuan sungai. Ammara merasa napasnya akan segera menghilang. Dari balik tirai air terjun yang telah ia lewati, ia dapat melihat samar-samar tiga sosok nimfa sedang menertawai kemalangannya. Ammara mulai kelelahan, gelap mulai menguasai penglihatannya.
Tiba-tiba sebuah tangan yang kokoh meraih tubuhnya dari sungai. Sesosok makhluk telah menyelamatkannya.
* * *
Ammara memuntahkan begitu banyak air bersamaan dengan batuk hebat yang dialaminya begitu tersadar dari pingsan. Seseorang menepuk punggungnya pelan membantunya mengeluarkan air yang tertelan saat ia hampir tenggelam. Setelahnya, Ammara menggigil. Seseorang menyelimuti punggungnya dengan selimut dari bulu beruang yang seketika memberinya sedikit kehangatan.
Di sampingnya, sebuah api unggun kecil baru saja menyala. Api unggun itu perlahan menghangatkan tubuh Ammara yang basah kuyup.
Setelah tubuhnya perlahan mulai normal, Ammara mengangkat wajah. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari jika ia masih berada di tempat yang sama, tepian sungai dengan air terjun yang indah. Namun,p kini ia tidak sendirian. Ia melihat dua sosok peri laki-laki sebangsa elf. Sesosok peri laki-laki duduk di sampingnya, sementara yang lain duduk di hadapannya sambil menatap api unggun.
Ammara menatap wajah peri di hadapannya. Dari balik lidah api yang meliuk-liuk, tubuh peri laki-laki itu terlihat sama basahnya dengan dirinya. Peri itu pasti peri yang telah menyelamatkannya saat tenggelam di sungai.
Tiba-tiba peri laki-laki itu balas menatapnya. Iris mata hazel green-nya beradu dengan iris mata hijau milik Ammara. Sontak Ammara langsung menundukkan wajah. Pipinya memerah setelah memandang peri tampan itu.
"Para nimfa mengerjaimu, mengapa kau begitu ceroboh hingga tak menyadarinya!" ucap peri itu dengan nada dingin. Peri laki-laki yang bernama Archibald itu melanjutkan ucapannya. "Aku tidak pernah melihat peri elf yang begitu ceroboh seperti dirimu!"
Ammara terkejut. Ia tak menyangka, seorang peri asing dengan wajah tampan bisa berkata sebegitu kasar padanya. Matanya membelalak menatap Archibald. Ia sudah hampir membalas perkataan peri itu, tetapi sosok peri lain yang duduk di sampingnya mengusap punggungnya, mencoba menenangkan.
"Sudahlah, mulutnya memang begitu, tidak usah dipikirkan," tutur peri laki-laki lainnya dengan ramah.
Ammara menoleh padanya. Peri laki-laki bermata biru itu membalas tatapannya dengan tersenyum ramah. "Aku, Elwood," tukasnya lagi sambil tersenyum.
Ammara membalas senyuman Elwood, "Terima kasih ..." sahutnya pelan.
"Sebenarnya ... peri Elf bermulut tajam ini yang menyelamatkanmu. Aku hanya meminjamkanmu selimut. Kami sedang berjalan-jalan di Fairyfall dan tanpa sengaja, kami mendengar teriakanmu. Dia, peri bermulut tajam ini, namanya Archibald. Setelah mendengar teriakanmu, dia memacu unicornya dengan kencang, kemudian terjun ke sungai dan menyelamatkanmu." Elwood menjelaskan.
Ammara menoleh ke arah Archibald yang tampak tak peduli. Ia sibuk memainkan ranting pohon kering di tangannya yang ia sulutkan ke dalam api unggun. Ammara tampak ragu, sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih sudah menyelamatkanku, Archibald."
Archibald sama sekali tidak menoleh padanya. Ia bahkan tidak menanggapi perkataan Ammara. Matanya yang tajam dan dalam menatap pada lidah api unggun yang menjilat kayu dan daun-daun kering.
Elwood tidak merasa nyaman dengan sikap Archibald ini, "Ayolah Archibald, dia hanya berterima kasih," decaknya. Ia berharap Archibald dapat mengatakan sesuatu, setidaknya sebagai basa-basi.
Suasana hening beberapa saat, sebelum akhirnya Ammara memekik marah. Ia berkacak pinggang di hadapan Archibald. Aku tidak pernah melihat Elf yang sombong sepertimu, Archibald! Andai aku bisa memilih aku tidak akan memintamu untuk menyelamatkanku!"
Elwood terpana, menatap Ammara tidak percaya. Namun, salah satu sudut bibirnya menyunggingkan senyum menyaksikan keberanian peri perampuan itu. "Wow!" desisnya sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Seumur hidupnya, ia tidak pernah menyaksikan seorang peri perempuan yang membentak dan berbicara kasar kepada Archibald, kecuali peri cantik yang ada di hadapannya sekarang.
Archibald mengangkat wajah menatap Ammara tanpa ekspresi. Namun, sesuatu yang menyala terlihat jelas pada netranya.
"Elwood, mari kita pulang ke Avery. Tampaknya peri perempuan ini sudah sehat," ucap Archibald datar. Ia sama sekali tidak memedulikan kemarahan Ammara. Namun, ia menatap mata gadis itu dalam-dalam saat mengucapkan kata-kata untuk Elwood.
"Lagi pula sebentar lagi kelopak bunga akan menyala," Archibald melanjutkan kata-katanya sambil membuang muka. Ia bergegas berdiri dan menyeka sisa-sisa tetesan air di tubuhnya.
Ammara membelalak, tambah semakin emosi karena Archibald tak mengacuhkannya. Ia ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi Elwood lebih dulu menahannya.
"Kita harus mengantarnya pulang, Archibald. Tidak baik membiarkan peri perempuan pulang sendirian setelah ia hampir tenggelam," bujuk Elwood.
"Kau saja yang mengantarnya kalau kau mau!" sahut Archibald dingin. Ia segera bergegas meninggalkan Elwood dan Ammara yang masih menatapnya tidak percaya.
Archibald naik ke atas unicornnya yang berwarna hitam pekat dan segera memacunya meninggalkan tempat itu.
Ammara menatap kepergian Archibald dengan marah sampai sosok Archibald dan unicornnya menghilang di keremangan senja. Ia mengutuk peri sombong itu dalam hati.
"Di mana rumahmu, Ammara?" tanya Elwood setelah kepergian Archibald. Bagaimanapun ia harus mencairkan situasi canggung yang disebabkan oleh Archibald.
"Aku tinggal di Fairyfarm," sahut Ammara.
"Wow, kau tidak menggunakan unicorn ke sini?" tanya Elwood penuh selidik. Fairyfarm letaknya cukup jauh dari fairyfall.
"Aku datang ke sini dengan berlari," sahut Ammara sambil mengulum senyum. Ia merasa terlihat bodoh di hadapan Elwood. Sedikit kebebasan yang ia reguk membuat jarak menjadi tak berarti.
Elwood terbahak. "Apa kau tidak tahu bahwa Fairyfall dan Fairyfarm itu letaknya cukup jauh?"
Ammara menggeleng. "Aku baru pertama kali ke sini. Biasanya aku hanya bermain-main di fairyfarm, kebun ayahku."
Elwood menahan senyum sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya kau perlu pemandu untuk menjelajahi Fairyverse. Aku bisa melakukannya, kalau kau mau." Elwood menatap iris Ammara yang hijau itu penuh kekaguman.
"Benarkah?" Netra Ammara tampak berbinar senang.
"Ya, tetapi tidak ada yang gratis di Fairyverse," sahut Elwood menggoda Ammara.
"Aku bisa mengajakmu makan buah gratis sepuasnya di Fairyfarm," sahut Ammara sambil tersenyum.
"Tawaran yang menarik! Tetapi sebelumnya, aku harus mengantarmu pulang ke rumah dulu sekarang."
Ammara dan Elwood beranjak meninggalkan Fairyfall. Mereka menaiki unicorn yang sama. Kelopak bunga mulai menyala beberapa saat setelah mereka pergi. Kemudian, kunang-kunang pun mulai hadir menyemarakkan tepian sungai di Fairyfall. Malam pekat telah hadir menyelimuti Fairyverse.
Welcome to Fairyverse, readers!
Semoga suka... Please, kritik, saran, vote dan komentarnya yaaa ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top