38. Sleepless Night
Ella berlari sekuat tenaga. Salah satu tangannya mengangkat gaun yang menyapu lantai koridor istana. Di depannya, Maurelle mendahului terengah-engah dengan sebelah tangan menggenggam tangkai obor. Obor yang diberikan oleh sesosok peri yang menyusulnya ke ruang tahanan bawah tanah. Lidah apinya menari-nari liar membuat lorong ruang bawah tanah itu tampak temaram dengan bayangan hitam yang bergerak-gerak bagai tangan-tangan monster.
Dengan berat hati, Ella harus meninggalkan Ailfryd yang sedang dipindahkan ke bilik yang lebih layak oleh beberapa kesatria Elf suruhan Maurelle. Hatinya terasa perih dan pikirannya kacau tak karuan. Di satu sisi ia memikirkan keadaan sang suami yang terserang sihir, di sisi lain ia harus menemukan penangkal sihir agar suami dan penghuni Kerajaan Avery lainnya yang juga terkena sihir dapat terselamatkan. Entah apa yang terjadi malam itu, Maurelle menjemputnya tanpa penjelasan lebih banyak mengenai sihir yang menyerang Avery. Namun, satu hal yang ia tahu pasti bahwa penyebab sihir adalah para makhluk kegelapan.
Peluh membanjiri pelipis peri penyembuh itu saat tungkainya menaiki tangga keluar dari ruang bawah tanah. Sesekali langkahnya tersandung oleh gaunnya sendiri. Mata Ella menyipit saat telinganya menangkap rintihan serta lolongan ketakutan dari seluruh penjuru istana. Peri-peri yang sedang tertidur itu tengah berjuang untuk bangun dari tidur mereka yang mengerikan.
Di depan pintu balairung Istana Avery yang tertutup, Elwood dan Claude menyambut dengan wajah pucat dan panik. Beberapa peri Elf berpakaian bangsawan dan kesatria Elf juga turut menyambut kedatangan Ella dan Maurelle dengan harap-harap cemas.
"Bagaimana? Apakah ada yang berhasil melumpuhkan sihir itu?" Napas Maurelle memburu. Cuping hidungnya kembang kempis mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya.
Claude menyahutinya dengan gelengan cepat. Begitu pula dengan beberapa peri berpakaian bangsawan yang berdiri di dekatnya. Rupanya beberapa peri penyembuh istana telah turun tangan untuk mengenyahkan serangan sihir itu. Namun, hasilnya masih nihil.
"Bagaimana Raja dan para menteri?" tanya Maurelle lagi, setelah napasnya sedikit teratur.
"Raja dan beberapa menteri belum tidur. Sementara, beberapa menteri lainnya tertidur dan terkena sihir. Ratu dan Putri Tatianna juga tertidur." Elwood menjawab gusar. Saat Maurelle menjemput Ella, ia memang mendapat tugas untuk memeriksa Raja, para menteri, dan anggota keluarga kerajaan lainnya.
Ella mengalihkan pandangannya pada Maurelle menuntut penjelasan. Dalam perjalanan dari ruang bawah tanah ke depan Balairung Istana Avery, peri cenayang itu memang tak mengatakan apa-apa padanya.
"Ini ulah para makhluk kegelapan. Sihir ini menyebabkan mimpi buruk dan menyerang siapa pun yang sedang tertidur. Para korbannya tidak akan dapat sadarkan diri ... Jika kita tidak menolongnya," tutur Maurelle dengan suara bergetar.
Demi mendengar penuturan peri cenayang Kerajaan itu, Ella membelalak. Pikirannya langsung saja tertuju pada sang suami. Ia tidak ingin Ailfryd tertawan selamanya di alam mimpi.
"Bolehkah aku memeriksa salah satu di antara peri yang tertidur?" tanya Ella tak sabar.
Maurelle mengangguk. "Tentu saja!"
Ella, Maurelle, Claude, Elwood serta beberapa kesatria Elf menuju sebuah bangunan besar di sayap kiri Istana utama Avery, yaitu sebuah kastel tiga lantai yang terbuat dari batu berwarna putih. Tanaman merambat yang berbunga memenuhi dinding kastel, tetapi tanaman itu telah diselubungi es.
Mereka memasuki salah satu kamar paling besar di lantai bawah yang pintu masuknya dijaga ketat oleh beberapa kesatria Elf. Kamar itu adalah kamar Putri Tatianna. Cahaya temaram menyorot dari sebuah nyala api di sudut kamar. Beruntung, Maurelle masih menggenggam obornya hingga ruangan bilik itu menjadi lebih terang.
Di atas pembaringan sesosok peri perempuan tengah berbaring gelisah. Kedua matanya tertutup rapat dengan suara rintihan terdengar dari mulutnya. Sama seperti per elf lainnya yang tengah terlelap dalam ketakutan, keringat dingin membanjiri pelipis sang putri. Kaki dan tangannya terasa dingin saat Ella menyentuhnya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Maurelle mengerutkan kening. Alis tebalnya saling bertaut. Selintas memori tentang serangan sihir serupa seketika membuat netranya membulat sempurna. "Ella, bukankah sihir ini hampir sama dengan sihir yang pernah dialami putri dan para pangeran pada saat ulang tahun Putri Tatianna?!"
Bagaimana ia bisa melupakannya. Kejadian yang membuat putri angkatnya tertuduh. Bukankah malam ini sihirnya hampir sama walaupun tentu saja bukan kalung yang menjadi perantaranya.
"Kau benar, Maurelle." Sebuah binar terbit di bola matanya. Ella termenung sesaat sebelum salah satu lengannya merogoh sesuatu di balik lengan gaunnya. Ia meraih kantong kain kecil berwarna merah marun lalu membuka simpul di atasnya dengan tergesa.
Ella mendengkus saat ia berhasil mengintip ke dalam kantong kain itu. "Serbuk periku hampir habis, Maurelle. Apakah kau memiliki cukup banyak serbuk peri karena aku akan membuat ramuan untuk meredakan halusinasi mereka?" tanyanya pada Maurelle.
Maurelle mengangguk cepat. "Ada cukup banyak serbuk peri di sini, Ella. Apakah kau memerlukan campuran lainnya untuk ramuan pereda halusinasi itu?" tanyanya lagi. Ia meletakkan obor yang dipegangnya pada tempat obor yang tertempel di salah satu sisi dinding bilik.
Ella berpikir sejenak. Pandangannya terpaku pada sang putri yang menggeliat gelisah di atas pembaringan. "Ini sedikit berbeda dengan kasus sebelumnya, Maurelle. Rasanya aku memerlukan beberapa bahan campuran," lirihnya. Telapak tangannya kembali menyentuh permukaan kulit Putri Tatianna yang terasa sangat dingin. Dengan cepat, ia mengurai selimut yang terlipat di bawah kaki sang putri lalu menutupkannya pada tubuh itu hingga sebatas dada.
Raut wajahnya seketika mengeruh. Ia kembali menatap Maurelle dengan mata nanar. "Kita tidak punya banyak waktu lagi, Maurelle. Saat fajar menyingsing, jika kita tidak segera memberikan ramuan penawar pada mereka, mereka tidak akan pernah bisa bangun lagi."
Maurelle melotot. Demikian pula halnya dengan Claude dan Elwood. "Cepat katakan apa yang kau perlukan untuk ramuan itu. Biar aku yang mencarinya," ujar peri cenayang kerajaan tak sabar.
"Aku akan membantumu, Maurelle!" Claude mengajukan diri. Namun, hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh peri laki-laki di hadapannya.
"Sebagai Pangeran Kerajaan Avery, lebih baik Anda tetap berada di istana. Apa pun yang terjadi tetaplah lindungi kerajaan ini."
Rahang Claude mengeras. "Bagaimana kalau makhluk kegelapan mengganggumu, Maurelle. Siapa yang akan menolongmu?" Ia tak dapat membayangkan jika Maurelle tak dapat kembali ke Istana karena mungkin saja di suatu tempat di luar sana, makhluk kegelapan tengah mengintai siapa pun yang keluar dari Avery untuk menyelamatkan diri.
Pandangan Maurelle menerawang. Ia tertegun beberapa saat lamanya. Perkataan Claude memang ada benarnya, tetapi keselamatan penghuni Kerajaan Avery jauh lebih penting di atas segalanya. Tiba-tiba netra coklatnya berbinar, sebuah ide terlintas di pikirannya. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. "Aku tahu di mana aku bisa mendapatkan bahan-bahan obat dengan aman!" serunya.
Peri cenayang itu menoleh pada Ella. "Ella, cepat katakan apa saja yang kau butuhkan untuk membuat ramuan itu. Aku akan segera menemukannya secepat mungkin dan tentu saja di tempat yang aman," ujarnya berbinar.
Ella seolah dapat membaca pikiran sahabatnya itu. "Kau akan menemui Breena?" tebaknya. Salah satu alisnya naik ke atas.
Maurelle mengangguk cepat. Raut wajah penuh kelegaan seketika terpancar dari wajah para peri yang berkumpul di dalam bilik Tatianna. Kekacauan yang mereka hadapi saat ini akan segera berlalu. Para korban akan segera pulih dari sihir. Namun, semua ini belum akan berakhir, di balik benteng istana itu para makhluk kegelapan telah bersiap untuk memerangi mereka.
* * *
"Archie ... Archie!"
Gadis kecil bersurai keemasan itu berlari tak tentu arah di antara semak Dandelion. Pandangannya menyorot liar ke sekeliling taman. Tak ada siapa pun di sana, hanya suara gemerisik angin yang mengadu dedaunan.
Setelah lelah berlari akhirnya gadis itu duduk di bawah sebatang pohon oak yang menaunginya dengan teduh. Ia meluruskan kaki kecilnya. Matanya menatap langit yang beranjak sore dengan tatapan sendu. Pemuda bertelinga runcing yang ia nanti sedari pagi buta tak kunjung datang. Hari itu adalah hari ketiga saat penantiannya harus berujung sia-sia.
Sebulir air bening terbit di pelupuk matanya. Bulir itu menetes lalu mengaliri pipi kemerahannya. Si gadis kecil lantas terisak dengan suara tertahan. Suara tangis lirihnya tenggelam dalam tiupan angin musim gugur.
Di balik portal yang tersembunyi oleh semak tanaman merambat, serorang remaja peri laki-laki bergeming mengawasi gadis kecil yang sedang menangis sesenggukan. Tangannya terulur menyentuh udara kosong di depannya seolah menggapai pundak gadis bersurai keemasan itu untuk menghiburnya dari kejauhan.
"Maafkan aku Chiara. Aku berjanji aku akan kembali untuk menemuimu," gumam peri laki-laki itu. Ia menggenggam udara kosong di depannya dengan ekspresi getir. Beberapa saat lamanya ia terdiam di sana hanya untuk menatap gadis kecil yang menangis tersedu di bawah pohon Oak.
* * *
Archibald terbangun dari pembaringannya dengan napas memburu. Bulir-bulir keringat menghiasi pelipis yang langsung diseka kasar olehnya. Peri laki-laki itu kini duduk di pinggir tempat tidur seraya menatap nanar pada sepotong langit gelap yang mengintip dari jendela.
Ia memimpikan Chiara lagi. Nyaris setiap malam setiap kali ia jatuh tertidur, gadis manusia itu pasti hadir di mimpinya. Memori tentang masa lalunya bersama gadis itu seolah memberi petunjuk tentang sesuatu yang tak ia pahami, sebelum akhirnya ia terbangun dengan kelelahan dan perasaan hampa. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang?
Archibald mengusap lagi wajah berkeringatnya dengan kasar, lalu ia menuju ke ambang jendela yang terbuka. Langit gelap menyambut pandangannya. Salju tipis masih setia turun malam itu hingga ia harus bergidik kedinginan saat merasakan embusan angin yang membekukan. Ia mengembuskan napas. Pikirannya berkelana menembus langit Aethelwyne yang terlindung segel menuju rumahnya, Kerajaan Avery.
Informasi dari Albert benar-benar membuatnya gusar, rasanya ia ingin sekali kembali ke istana sekarang. Namun, menurut Albert, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk kembali ke istana terlebih Maurelle juga melarangnya. Jika ia ingin kembali ke Avery, maka ia harus menyusun strategi terlebih dahulu dan menghimpun kekuatan. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Kerajaan Avery. Ia juga tak dapat mengenyahkan kebimbangan yang melanda pikirannya terhadap saudara-saudaranya di sana, Claude, Elwood dan Elijah. Namun, Elijah sudah tidak di Avery lagi, ia sudah kembali menemui ibunya di Kastil Larangan. Netra Archibald seketika melebar saat sebuah pemikiran mengilhaminya. Bagaimana jika semua ini ada hubungannya dengan Elijah?
Pangeran peri itu bergegas meraih jubah berwarna abu-abu kusam yang tersampir di kepala tempat tidurnya lalu memakainya cepat. Tidak lupa ia mengikatkan kantong pedang sihirnya di pinggang. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum kepalanya pecah karena berbagai asumsi yang menghantamnya tanpa ampun. Setelah mengikat tali sepatu kulit tebalnya, Archibald bergegas membuka pintu kamar dan menyelinap tanpa suara.
Dua kesatria Elf yang berjaga di depan kamarnya terkejut saat melihat sang pangeran menghambur cepat dari pintu kamar, tetapi mereka tak dapat berbuat apa pun saat Archibald meletakkan jari telunjuknya di bibir. Suasana Istana Aethelwyne kala itu hening dan temaram sehingga Archibald dengan mudah dapat menyelinap melewati bayang-bayang gelap di sepanjang lorong istana. Ia akhirnya sampai di depan pintu balkon istana yang sedikit terbuka.
Archibald mengintip sekilas pada celah terbuka di pintu tersebut. Tak ada siapa pun di tempat itu. Balkon yang terletak di lantai tiga Istana Aethelwyne itu sangat lenggang. Ia menarik daun pintu menuju balkon dengan sangat pelan hingga celah yang terbuka melebar hingga dapat memuat tubuhnya. Ia berjingkat menuju balkon lalu mengintip sekilas ke bawah, di mana dua orang kesatria Elf terlihat sedang berjaga.
Pangeran peri itu mengamati keadaan tiang-tiang penyangga balkon yang ditutupi tanaman merambat beku. Ia menilai kemungkinan untuk dapat turun dari sana dengan selamat dan tanpa suara. Setelahnya, salah satu lengannya meraih sulur tanaman merambat yang paling besar dan kokoh lalu menariknya beberapa kali. Beberapa serpihan es kecil berguguran. Setelah yakin jika sulur itu kuat, Archibald melangkahi pagar balkon. Ia berdiri pada pijakan yang ukurannya tak lebih dari sebuah telapak kaki peri Elf lalu kedua lengannya memeluk tiang penyangga balkon.
Archibald bergidik saat permukaan kulit telapak tangannya menyentuh sulur tanaman merambat yang diselimuti es. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat, sebelum memanjat turun dengan bantuan sulur tanaman merambat pada tiang penyangga balkon. Begitu menjejak pada pijakan di luar balkon di lantai dua dengan mulus, pangeran peri itu berhenti sejenak seraya mengamati dua kesatria Elf yang sama sekali tak menyadari keberadaannya di atas mereka.
Setelah mengambil ancang-ancang dan melakukan perhitungan yang dikira cukup matang, Archiblad lanjut memanjat turun. Kali ini sulur yang membantunya bergelantungan turut tercerabut sebagian, menggungurkan bongkahan es beku yang menyelimutinya. Kedua kesatria Elf yang sedang berjaga sontak mendongak ke atas, mereka membelalak saat menangkap basah peri laki-laki yang sedang bergelantungan pada sulur tanaman.
Refleks kedua kesatria Elf itu mengacungkan pedang mereka pada Archibald. "Pencuri!" teriak salah satu kesatria Elf yang tepat berada di bawah kaki Archibald.
"Ti-tidak! Tenanglah. Aku bukan pencuri!" Sulur tanaman yang ada di genggam Archibald tiba-tiba tercabut hingga ke akar hingga menyebabkan tubuh pangeran peri itu jatuh menghantam kesatria Elf di bawahnya tanpa bisa dihindari. Kesatria Elf lain menghampiri mereka saat bunyi berdebam menghantam tumpukan salju disertai suara pekikan tertahan terdengar.
"Pangeran Archibald?" Kesatria Elf yang mendekatiya terkejut saat mengenali peri laki-laki yang terjatuh dari balkon lantai dua Istana utama Aethelwyne. Kesatria Elf itu membantu sang pangeran berdiri, lalu dengan sigap membersihkan bekas salju yang menempel pada jubah dan bajunya.
"Ma-maf, pangeran!" lirih kesatria Elf yang meneriaki pangerannya sebagai pencuri. Wajahnya tertunduk lesu sambil sesekali meringis merasai punggungnya yang sakit akibat terjatuh dan tertimpa Archibald.
"Aku yang seharusnya meminta maaf." Archibald menepuk bahu kesatria Elf itu sekilas. "Aku tidak apa-apa. Aku ingin mencari angin dulu," kilahnya seraya menyunggingkan seulas senyum canggung, kemudian berlalu melewati kedua kesatria Elf yang menatapnya bingung.
Archibald mengembuskan napas lega saat sosok kedua peri Elf itu tak terlihat lagi terlindung rerimbunan tanaman beku. Ia melanjutkan langkahnya menuju kandang naga putih di sisi timur Istana Aethelwyne. Namun, tungkainya tiba-tiba berhenti saat melihat sesosok peri berjubah hijam berdiri hanya beberapa meter di hadapannya.
Pangeran peri itu hendak berbalik. "Archie, kau mau ke mana?" Namun, sosok itu berbalik terlebih dahulu lalu membuka tudung jubah yang menutupi kepalanya.
"Ibu?" Archibald mendadak gelagapan. Ia tak menyangka akan bertemu Ratu Breena tengah malam begini.
Sang ratu menatapnya dengan sayu. "Kau mau ke mana, Archie?" ulangnya.
"A-aku ... ingin melihat naga putih. Aku tidak bisa tidur, Bu. Jadi, aku jalan-jalan," sahutnya seraya mengeratkan jubah pada bagian depan tubuh agar sarung pedang yang terikat di pinggangnya tak terlihat. Namun, sepertinya sudah terlambat, sang ibu telah melihatnya.
Salah satu sudut bibir peri perempuan itu tertarik ke atas. "Setidaknya, tunggulah sampai fajar datang Archie," ucapnya lirih. "Beristirahatlah dulu malam ini karena esok adalah hari yang sangat berat."
Ratu Breena berjalan melewatinya. Jubah dan surainya yang berkibar tertiup angin malam menyentuh sang pangeran. Aroma herbal yang pekat menguar dari tubuh sang ratu. Sebersit tanya terlintas pada pikiran peri laki-laki itu mengenai keberadaan ibunya di luar istana pada tengah malam buta seperti ini, tetapi urung ia ungkapkan.
"Baik, bu," jawabnya pelan.
Salju kembali turun perlahan. Archibald bergeming di tempatnya, sementara sang ratu telah menghilang di balik rimbun tanaman yang membeku. Akhirnya pangeran peri itu memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju sebuah kandang besar yang terbuat dari batu di mana naga putih sedang tertidur nyenyak, menanti datangnya fajar yang terasa sangat lama.
* * *
Malam itu obor-obor menyala di seantero Istana Avery. Para kesatria Elf terlihat berjaga di luar benteng, sementara di dalam benteng mereka hilir-mudik dengan kesibukan masing-masing untuk mempersiapkan pertahanan perang yang mungkin saja pecah kala fajar menyingsing. Tak ada yang tertidur. Jikalau pun ada yang tertidur, maka tidurnya tak akan lena karena sihir menyerang alam bawah sadar mereka.
Ella tengah sibuk mengaduk ramuan dalam sebuah panci besar yang mengepulkan asap tinggi. Ia menyingsing lengan bajunya agar dapat leluasa memegang sendok besar yang ia gunakan untuk mengaduk isi panci. Dahinya berkeringat. Sesekali cenayang itu menyeka kening dengan lengan telanjangnya.
Suara derap langkah kaki tergesa di atas timbunan salju, membuatnya mengangkat wajah dari wadah ramuan itu. Sorot kelegaan seketika terpancar dari kedua netranya saat melihat Maurelle mendekat.
"Kau sudah mendapatkannya, Maurelle?" tanyanya seraya sekali lagi menyeka keringat di pelipis.
Peri cenayang di hadapannya mengangguk mantap.
"Syukurlah!" lirih Ella. Dengan cekatan ia meraih wadah besar yang diangsurkan Maurelle, lalu menuang seluruh isinya ke dalam panci.
Seketika kepulan asap dari mulut wadah menghilang. Sebagai gantinya bau herbal menguar pekat menusuk penciuman setiap peri yang ada di dekat tempat itu.
Sebagai sentuhan terakhir, Ella mencampurkan serbuk peri dari sebuah kantong ukuran sedang yang diulurkan Maurelle kemudian. Mulut peri penyembuh itu terlihat komat-kamit merapal mantra serupa bisikan. Permukaan ramuan di dalam wadah itu terlihat bersinar sesaat, lalu kembali redup setelah Ella menyelesaikan mantra.
"Ini sudah siap diminum. Pastikan setiap peri menyuapi satu peri yang tertidur. Kita tak punya banyak waktu karena sebentar lagi pagi akan tiba." Ella menuangkan ramuannya ke dalam gelas-gelas perak yang telah tersedia.
Elwood dan Claude membantunya membagikan gelas-gelas tersebut kepada para kesatria Elf dan anggota keluarga kerajaan. Setelah itu, para pangeran membantu meminumkan ramuan pada anggota keluarga kerajaan lainnya yang tertidur.
Ella sendiri mengambil segelas ramuan setelah membagikan seluruh isi panci. Ia membawanya ke kamar tempat Ailfryd terbaring. Suaminya masih terlihat merintih dengan gelisah di atas pembaringan.
Dengan hati-hati, ia menyuapkan ramuan itu dengan sendok perak kecil. Beberapa suapan pertama terlihat meleset dan lolos membasahi leher dan dada Ailfryd. Ella tak menyerah. Akhirnya beberapa sendok ramuan berhasil masuk ke dalam mulut suaminya dengan sempurna.
Ella sempat menahan napas beberapa detik saat ia menanti reaksi yang ditimbulkan oleh ramuan itu. Mula-mula tubuh Ailfryd yang bergerak gusar perlahan-lahan menjadi tenang. Rintihannya perlahan menghilang. Wajah Ailfryd terlihat tenang, saat kelopak matanya mulai bergerak lalu membuka perlahan. Ella mengembuskan napas lega kemudian menghambur memeluk suaminya sambil terisak.
Tangis suka cita sayup-sayup terdengar dari seluruh penjuru Avery. Peri-peri yang tertidur dalam gelisah itu kini telah terselamatkan dari sihir kegelapan. Raja beserta segenap penghuni Kerajaan Avery terlarut dalam suka cita dan kelegaan.
Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba panah api menghujani benteng istana saat matahari mengintip malu-malu dari peraduannya. Beberapa anak panah api itu bahkan berhasil menembus melewati celah dan bagian atas benteng yang terbuka.
Suara genderang ditabuh bertalu-talu dengan panik sebagai penanda bahaya. Para kesatria Elf menyerukan kekhawatiran dan himbauan untuk waspada. Kepanikan seketika menyelimuti Avery.
"Mereka sudah datang ... makhluk-makhluk kegelapan itu sudah datang!"
28xxan kata huhuhu part terpanjang di cerita ini. Selamat malam 😍❤️ terima kasih yaa sudah mampir di Fairyverse. Jangan lupa vote dan komentarnya supaya aku semangat untuk menyelesaikan kisah ini. Sampai ketemu Minggu depan 🤗🤗🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top