33. The Treasonous Prince

Elijah berdiri di balkon menara tertinggi di Kastel Larangan. Jubah hitamnya berkibar-kibar tertiup angin berhawa dingin dan lembab. Sepasang netranya menatap lekat butir-butir salju yang turun sedari tadi. Rahangnya mengeras, sementara kedua tangannya mengepal di atas pagar balkon.

Langit Hutan Larangan berwarna kelabu saat itu, tetapi tak segelap sebelumnya. Kabut yang biasanya menyelimuti hutan itu juga telah jauh menipis.

Kutukan itu telah sirnah.

Hutan Larangan bukan lagi hutan terkutuk. Demikian juga dengan makhluk-makhluk penghuninya, mereka bukan lagi makhluk terkutuk. Sebutan Sheelie dan Unsheelie artinya hanya tinggal nama, tak berarti apa-apa.

Tanpa sadar, salah satu sudut bibir Elijah tertarik ke atas. Ia menyeringai. Netra birunya beralih pada gerombolan makhluk Hutan Larangan yang terbang mengambang di atas permukaan jurang. Gerombolan itu bergumam riuh, bahkan sesekali gelak tawa mereka tertangkap pendengaran Elijah.

Balkon tempat Elijah berdiri tepat menghadap jurang menganga yang membatasi Kastel Larangan dan Hutan Larangan. Jurang yang biasanya diselimuti kabut pekat itu, kini menampakkan pemandangan air laut yang bergelombang di dalamnya. Beberapa buah tentakel hitam berlendir terlihat mencuat dari sisi jurang. Rupanya makhluk serupa gurita raksasa itu juga turut merayakan kebebasannya dari kutukan. 

Dari berbagai penjuru Hutan Larangan, makhluk-makhluk kegelapan masih terus berdatangan untuk berkumpul di atas permukaan jurang. Para peri Elf dengan rambut tergerai yang terbang maupun menunggangi naga dan makhluk-makhluk buruk rupa dengan mata merah menyala berkumpul dengan antusias untuk merayakan kebebasan mereka.

Elijah berdecak menyaksikan pemandangan yang tak biasa tersebut. Namun, tak dapat ia pungkiri, ia juga merasakan euforia yang sama. Peri laki-laki itu juga merasakan kelegaan karena telah terbebas dari segala bentuk penghakiman atas darah Unsheelie yang mengalir di tubuhnya.

"Bagaimana, putraku? Apa kau sudah mulai menikmatinya?" tanya Minerva dalam suara rendah. Peri perempuan bersurai kelam itu tiba-tiba telah berdiri di samping Elijah dengan senyum tersungging di bibir.

Elijah terkesiap. Peri laki-laki itu memalingkan wajahnya pada sang ibu sekilas, kemudian kembali mengamati bongkahan salju yang mulai menutupi permukaan pagar balkon dengan takjub.

"Ini benar-benar indah, Bu," sahut Elijah pelan. "Kebebasan ini benar-benar melegakan. Terima kasih karena telah menepati janjimu." Pangeran peri itu menghirup napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara Hutan Larangan yang segar seraya menutup mata.

Minerva mengangguk pelan. Senyumnya semakin mengembang. Binar kebahagiaan seketika terbit di mata sang ratu kegelapan. Ucapan terima kasih putranya telah menghancurkan kebekuan yang membelenggu hatinya.

Tiba-tiba peri laki-laki itu membuka mata. Elijah teringat akan sesuatu. Ia mengalihkan pandang pada Minerva yang sedang menatapnya takjub.

Dua pasang netra milik ibu dan anak itu bertemu.

"Ada apa?" tanya sang ratu kegelapan seolah mendapati sesuatu yang tidak beres melalui ekspresi Elijah.

Peri laki-laki berparas rupawan itu berpikir sesaat. "Aku menginginkan Ammara di sisiku, Ibu," ucap Elijah dalam nada rendah.

Iris mata kelam Minerva melebar, tetapi sepersekian detik kemudian raut wajahnya kembali datar. "Manusia itu?" ulangnya meyakinkan. Keterkejutan tersirat jelas dalam suaranya yang sedikit bergetar.

Elijah mengangguk mantap.

Minerva bungkam sesaat, mempertimbangkan permintaan putranya. "Kau akan mendapatkannya, Elijah," sahut Minerva pada akhirnya. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. "Apa pun yang kau inginkan, Putraku. Kau akan mendapatkannya."

"Terima kasih, Bu," sahut Elijah pelan. Suaranya tertelan keriuhan gerombolan makhluk penghuni Hutan larangan.

Minerva memaksakan seulas senyum seraya mengangguk pelan. Peri perempuan itu sebenarnya tidak begitu menyetujui keinginan sang anak.  Namun, ia harus menuruti permintaan tersebut sampai tujuannya benar-benar tercapai. Lagi pula, ia memang masih punya urusan dengan gadis manusia itu.

Gerombolan makhluk kegelapan yang terbang mengambang di permukaan jurang semakin bertambah. Makhluk-makhluk terkutuk yang biasanya bersembunyi di balik kegelapan dan kabut, kini tak ragu menantang terang untuk berkumpul merayakan kebebasan sekaligus menanti pengumuman dari sang ratu pemilik Kastel Larangan.

"Apa kau sudah siap, Elijah?" tanya Minerva. Peri perempuan itu mendekat agar suaranya terdengar oleh sang putra.

Dengan sorot mata tajam dan tanpa keraguan, Elijah mengangguk takzim.

Netra Minerva menyorot gerombolan makhluk-makhluk kegelapan di depan Kastelnya. Peri perempuan itu mengangkat kedua lengannya yang tertutup jubah berwarna ungu dan hitam.  Percikan cahaya berwarna ungu tiba-tiba muncul dari kedua telapak tangannya.

Sontak suasana menjadi hening. Makhluk-makhluk kegelapan itu seketika terbungkam dan mengalihkan perhatian kepada sang ratu.

"Terima kasih, rakyatku!" teriak Minerva lantang. Ia menurunkan tangannya dan meletakkannya pada pagar balkon menara. Peri perempuan itu menyisir pandangan kepada kumpulan makhluk di hadapannya.

"Sebagaimana yang telah kalian ketahui, kini segel Hutan Larangan telah terbuka. Kutukan telah menghilang. Dan, kalian telah sama berdaulatnya dengan peri Sheelie. Tidak ada lagi makhluk terkutuk. Tidak ada lagi makhluk terhukum. Kalian bebas untuk bepergian dan tinggal di manapun di Fairyverse," tandasnya.

Minerva menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. "Namun, satu hal yang harus kalian ingat. Selama Dewan Peri masih ada dan Kerajaan Avery masih dipimpin oleh peri Sheelie, keberadaan kita belum sepenuhnya aman!"

Suasana mendadak riuh. Makhluk-makhluk kegelapan itu saling berdebat dengan sesamanya.

Minerva mengangkat salah satu lengannya ke atas. Suara gaduh para makhluk kegelapan itu kembali mereda.

"Untuk itu, kita semua perlu berjuang sekali lagi untuk mengukuhkan kedaulatan kita! Tidak cukup hanya sampai segel Hutan Larangan terbuka. Kita juga harus merevolusi penguasa yang telah menindas dan seenaknya menyegel kita di Hutan Larangan!" ucap Minerva berapi-api. Sepasang netranya berkilat penuh semangat.

Kata-kata sang ratu tersebut sontak di sambut gemuruh seruan yang tak kalah semangat dari makhluk-makhluk Hutan Larangan.

"Pada kesempatan kali ini, aku juga akan memperkenalkan kalian pada pemimpin revolusi kita. Anakku. Darah dagingku sekaligus keturunan Raja Avery!" seru sang ratu lantang. Ia kemudian melanjutkan. Tangannya terangkat dan memegang pundak Elijah dengan kebanggaan yang meluap-luap. "Perkenalkan ... dia adalah Pangeran Elijah."

Elijah mengangguk takzim, lalu mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa makhluk-makhluk Hutan Larangan.

Sorak-sorai bergema memenuhi tempat itu. Gerombolan makhluk kegelapan mengelu-elukan sang pangeran. Tangan-tangan beraneka bentuk dengan kuku-kuku yang runcing milik mereka terulur ke arah balkon tempat Elijah dan Minerva berdiri.

Senyum Elijah mengembang. Matanya seketika berbinar. Beginilah rasanya didamba dan memiliki pengikut. Gumamnya dalam hati. "Terima kasih atas sambutannya!" tutur sang pangeran dengan suara nyaring, seketika keriuhan itu mereda.

"Perkenalkan, aku adalah Pangeran Elijah. Aku adalah Putra Raja Brian dan Minerva," tukasnya. Ia berhenti dan merasakan sesuatu menyesak dalam dadanya. Namun, ia kembali melanjutkan ucapannya. "Mari bekerjasama untuk meraih tujuan kita. Bubarkan Dewan Peri dan rebut kekuasaan dari tangan peri Sheelie. Aku harap kalian semua bersedia membantu dan mendukungku. Karena tanpa kalian, sungguh, aku bukan apa-apa!"

Kata-kata Elijah disambut dengan keriuhan dan sorakan para makhluk kegelapan. Dari mata-mata mereka yang merah menyala terpancar nyala-nyala semangat dan harapan. Tangan-tangan mereka terkepal ke udara sebagai simbolisasi perjuangan yang akan mereka tempuh bersama.

Butiran salju turun semakin deras, sementara angin dingin mulai bertiup kencang. Namun, tak satu pun dari makhluk-makhluk Hutan Larangan itu yang undur dari kumpulanya. Mereka sedia mendengarkan titah sang pemimpin baru yang menjanjikan kedaulatan dan pembalasan dendam terhadap kaum Sheelie.

* * *

Tatianna berjalan tergesa menuju balairung Istana Avery. Sesekali langkahnya tersandung gaun putih panjangnya yang menyapu lantai.

Di belakangnya, Elwood mengekor dengan langkah yang tak kalah lincah.

"Tatianna, tunggu!" pekik Elwood seraya menarik salah satu lengan saudarinya itu sedikit kasar.

Tatianna tersentak, kemudian berbalik menghadap Elwood dengan marah. Netranya menyorot tajam kepada sang pangeran peri.

"Tolong jangan laporkan kejadian ini pada Ratu Serenity?" ucap Elwood dengan tampang memelas.

"Kau ingin aku ikut melindungi gadis manusia itu? Aku tidak sudi. Lagi pula tindakanmu itu sama saja dengan pengkhianatan, Elwood!" decak Tatianna dengan emosi yang mulai tersulut. Wajah rupawannya seketika memerah. Ia melanjutkan ucapannya dengan napas yang memburu. "Kau tahu 'kan jika selama ini kondisi Raja melemah akibat keberadaan manusia itu. Raja telah lama mencari manusia itu, Elwood!"

Elwood menganga. Pupil matanya melebar, menatap Tatianna tak percaya. Namun, sepersekian detik kemudian ia tersadar saat peri perempuan itu hendak menarik lengannya dan memasuki balairung.

"Tatianna, aku mohon. Aku yakin Ammara dijebak. Kita bicarakan ini nanti, setelah Archibald kembali. Bagaimana menurutmu?" tawar Elwood. Suaranya terdengar bergetar karena menahan emosi.

Tatianna menggeleng cepat. Ia menepiskan tangan Elwood yang menggenggam pergelangan tangannya dengan kasar. "Aku tidak peduli!" geramnya. Dengan gerakan cepat putri peri itu beranjak meninggalkan Elwood.

Para kesatria Elf di depan pintu balairung dengan sigap membukakan pintu untuk Tatianna. Bunyi berdebam memenuhi lorong istana, saat sepasang Kesatria Elf menutup pintu dari dalam setelah sang putri masuk.

Elwood terkesiap. Ia mengacak rambutnya gusar seraya berjalan mondar-mandir di depan pintu gerbang balairung, sebelum akhirnya mengikuti Tatianna masuk ke dalam Balairung Istana Avery.

Netra biru Elwood langsung mendapati wajah Ratu Serenity yang memerah saat ia memasuki balairung. Sang ratu berdiri di atas singgasana seraya melipat kedua lengannya. Peri perempuan itu menyorot Elwood dengan tajam yang membuat langkah Elwood terasa berat.

Di sebelah kanan sang Ratu tampak Maurelle yang berdiri dengan wajah kaku. Sementara Tatianna berdiri di sisi lain singgasana dengan wajah yang juga memerah. Peri perempuan itu membuang muka saat melihat Elwood masuk ke dalam Balairung.

Jantung Elwood berdegup kencang. Kaki dan tangannya mendadak lebih dingin dari pada sebelumnya begitu melihat ekspresi Ratu dan Tatianna. Putri peri itu pasti telah melaporkannya pada sang Ratu.

Elwood baru saja hendak membuka mulutnya untuk menyapa Ratu Serenity, tetapi sang ratu telah memotong ucapannya terlebih dahulu.

"Aku tidak menyangka kau berniat untuk melindungi manusia yang meresahkan Fairyverse, Elwood! Berani-beraninya kau mengkhianati Raja Brian!" hardik Ratu Serenity berang.

"Maafkan hamba Ratu Serenity. Hamba bisa jelaskan--

"Kesatria Elf tangkap dia!" seru Ratu Serenity.

Sepasang Kesatria Elf berbaju zirah seketika datang mendekati Elwood. Saat peri laki-laki itu hendak menoleh, kedua kesatria Elf itu dengan sigap telah menahan kedua lengannya kebelakang. Mereka menurunkan tubuh Elwood hingga pangeran peri itu berlutut di hadapan sang ratu.

"Ibu, kenapa Elwood ditangkap?" protes Tatianna dengan kening berkerut.

Ratu Serenity membungkam sang putri dengan tatapan matanya hingga Tatianna menundukkan wajah.

"Bukankah Raja Brian telah memerintahkan untuk menangkap peri-peri yang melindungi manusia itu?" tanya Ratu Serenity pada Maurelle yang membelalak melihat penangkapan Elwood.

Dengan gelagapan, Maurelle mengangguk cepat. "Be-benar sekali, Yang Mulia Ratu," sahutnya dengan suara bergetar.

Ratu Serenity menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Bagus. Bawa Elwood ke penjara bawah tanah, Kesatria Elf!" titahnya dengan nada tinggi.

"Ti-tidak tunggu dulu, Ratu! hamba mohon, hamba bisa jelaskan!" tukas Elwood dengan panik. Ia berusaha melepaskan diri tetapi tenaga kedua kesatria Elf itu jauh lebih besar.

Dengan sigap, kedua Kesatria Elf itu menyeret tubuh Elwood meninggalkan Balairung. Sementara Elwood berteriak-teriak meminta pertolongan pada Ratu Serenity dengan sia-sia.

Ratu Serenity mengangkat salah satu tangannya dengan tak acuh. Ia tak mau mendengar apa-apa lagi. Sementara Maurelle dan Tatianna menunduk dalam, tak tega melihat Elwood diperlakukan bagaikan tahanan.

Bunyi pintu Balairung yang berdebam menggema ke seluruh ruangan, saat kesatria Elf menyeret keluar Elwood.

"Maurelle!" panggil Ratu Serenity.

Peri cenayang itu mengangkat wajahnya dan menyorot sekilas netra sang ratu. "Ya, Yang Mulia!" sahutnya dengan suara bergetar.

"Perintahkan pasukan khusus untuk menangkap Ella, Ailfryd dan manusia yang mereka lindungi berdasarkan titah Raja Brian. Kemudian tangkap siapa saja yang terlibat dan merahasiakan keberadaan manusia itu. Tanpa terkecuali!" desis sang ratu seraya memicingkan matanya.

Maurelle mengangguk takzim. "Baik, Yang Mulia Ratu!" Peri cenayang itu langsung beranjak meninggalkan balairung.

Sepasang netra Ratu Serenity mengiringi kepergian Maurelle. Rahang sang ratu mengetat, sementara kedua tangannya mengepal erat.

* * *

Raja Brian duduk bergeming di depan sebuah meja bundar. Ia sibuk membolak-balik selembar perkamen yang sedang ia baca.

Hampir setengah hari, sang raja lebih memilih berkutat dengan perkamen-perkamen di dalam biliknya daripada duduk di atas singgasana. Ia membiarkan sang ratu yang menduduki singgasananya.

Tiba-tiba Raja Brian terbatuk-batuk hingga wajahnya memerah. Ia menutup mulutnya dengan salah satu tangan, sementara tangan lainnya menggapai gelas perak yang berisi obat herbal di salah satu sisi meja.

Ujung jarinya menyentuh permukaan gelas perak yang telah dingin itu saat batuknya mulai reda. Harusnya ia meminum ramuan itu ketika masih hangat, tetapi kekhusyukannya menekuri kitab-kitab itu membuatnya lupa untuk meminum ramuan herbal yang selalu disediakan Ratu Serenity untuknya.

Raja Brian batuk lagi. Kali ini, tanpa sengaja, tangannya menyenggol gelas. Gelas itu jatuh menghantam lantai hingga menumpahkan seluruh isinya begitu saja. Namun, netranya menangkap sebuah keanehan di dalam tumpahan cairan yang membasahi lantai.

Raja Brian terkesiap. Ia sontak berjongkok di atas lantai meratapi larutan herbal yang terbuang dengan sia-sia. Peri laki-laki bersurai pirang itu mengembuskan napas panjang saat netranya menangkap sesuatu yang seperti ampas berwarna keunguan pada tumpahan ramuan herbal itu. Raja Brian membelalakkan mata. Rasanya, ia tidak pernah menemukan ampas sebesar itu dalam ramuan-ramuan sebelumnya.

Dengan hati-hati, Raja Brian meraih ampas keunguan itu agar wujudnya yang terlihat rapuh tidak hancur. Sang raja mendekatkan ampas itu pada hidungnya, membauinya untuk beberapa saat.

Wajah Raja Brian seketika berubah menjadi pucat. Matanya membelalak. Mulutnya ternganga tanpa ia sadari. Tangan yang memegang ampas itu bergetar.

"Wolfsbane?!" pekik Raja Brian tertahan. "Ke-kenapa bisa ada wolfsbane di dalam ramuan herbalku?"

Raja Brian memegang dadanya yang seketika terasa sesak. Tiba-tiba batuk kembali menyerang, lebih hebat dari sebelumnya, hingga ia tersungkur di lantai. Sang raja meringkuk untuk beberapa saat lamanya. Bahunya bergetar. Beberapa tetes air bening lolos begitu saja dari pelupuk matanya. Mengapa, Ratu? Mengapa kau lakukan ini padaku?!









😭😭😭😭

Selamat tahun baru semuaa! 😊
Semoga tahun yang baru semakin sukses yaa dan jangan lupa bahagia 🎆🎇🎊🎉
Terima kasih sudah membaca,
Kalau berkenan tinggalkan vote dan komentarnya yaaa 😊💖



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top